Anda di halaman 1dari 56

KEADILAN TERHADAP PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT

DISHARMONISASI HUBUNGAN ANTARA PEKERJA DENGAN


MANAJEMEN STUDI KASUS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
TERHADAP KARYAWAN PT POS INDONESIA (PERSERO)

Usulan Penelitian Tesis

Diajukan untuk memenuhi salahs atu syarat guna mengikuti Sidang Usulan
Penelitian Tesis

Disusun Oleh :

Nama : Bestin Anwar

NPM : 188040034

Konsentrasi : Hukum Ekonomi

Di bawah bimbingan:

Dr. H. Dedy Hernawan., S.H, M.Hum

Hj. N. Ikue Kusmiati., S.H, M.Hum

PROGRAM STUDI MAGITER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2020

1
2
3

Usulan Penelitian

KEADILAN TERHADAP PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA


AKIBAT DISHARMONISASI HUBUNGAN ANTARA PEKERJA
DENGAN MANAJEMEN STUDI KASUS

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA TERHADAP KARYAWAN

PT POS INDONESIA (PERSERO)

A. Latar Belakang Penelitian

Pelaksanaan pembangunan nasional dalam sektor ketenagakerjaan

dimaksudkan untuk mencapai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia yaitu

mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang dasar 1945. Dalam hal ini selain sumber daya alam, factor

sumber daya manusia juga mempunyai andil yang penting dalam proses

perkembangan dan kemajuan Negara, salah satunya adalah tenaga kerja. 1

Dalam pelaksanaan pembangunan nasional tersebut, tenaga kerja mempunyai

peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan

pembangunan, sehingga dituntut dapat berpartisipasi dan berperan aktif

bersama pengusaha dalam upaya menuju perbaikan dan peningkatan taraf hidup

bangsa dengan jalan meningkatan produksi dan produktifitas kerja.

Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 14 didefinisikan bahwa perjanjian kerja

adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja

yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Sedangkan

hubungan kerja pada Pasal 1 angka 15 didefinisikan sebagai hubungan antara

1
Hadi Setia Tunggal. Seluk Beluk Ketenagakerjaan. Jakarta: Harvarindo. 2014. Hlm 7
4

pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai

unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa

hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hokum antara pekerja dan

pengusaha. Substansi perjanjian kerja yang dibuat tidak boleh bertentangan

dengan perjanjian perburuhan atau perjanjian kerja bersama (PKB) yang ada.2

Sementara itu Suratman menjelaskan bahwa : 3

Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha


yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Dalam Pasal 1 angka 15
Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan
bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur
pekerjaan, upah dan perintah. Dengan demikian, jelaslah bahwa
hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha
dan pekerja/buruh.

Dalam hubungan kerja masing-masing pihak harus menjalankan hak dan

kewajiban sesuai perjanjian kerja yang disepakati, pelanggaran atas hak dan

kewajiban oleh satu pihak dapat menjadi perselisihan hubungan industrial. Dala

m Undang-Undang Nomor 21 Tahun …… tentang Serikat Pekerja ,

perselisihan hubungan Industrial terbagi 3 (tiga) yaitu : 1) Perselisihan

PHK ; 2) Perselisihan Kepentingan; dan 3) Perselisihan Hak.

Perlindungan hukum terhadap pekerja merupakan salah satu upaya pene

gakan hukum yang ingin dicapai dalam masalah terjadinya perselisihan

hubungan industrial yang dapat berujung kepada terjadinya pemutusan

hubungan kerja (PHK) . Proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) telah diatur m

ekanisme yang wajib ditaati oleh perusahaan pada saat terpaksa melakukan

2
Broto Suwiryo, Hukum Ketenagakerjaan, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Berdasarkan Asas Keadilan, Surabaya, LaksBang PRESindo, 2017, hlm. 71
3
Suratman Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Depok, RajaGrafindo Persada, Cetakan
ke-1, 2019, hlm. 60
5

pemutusan hubungan kerja terhadap karyawannya. Pemutusan hubungan kerja

terhadap karyawan yang tidak sesuai dengan mekanisme atau proses yang telah

diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengakibatkan

perselisihan hubungan industrial yang bisa berakhir di pengadilan hubungan

industrial.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada perusahaan diatur dalam BAB

XII tentang Pemutusan Hubungan Kerja Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan selanjutnya disebut Undang Undang Ketenagakerjaan

dan Pasal 158 UU 13 Tahun 2003 Tentang Tenagakerja yang telah dianulir oleh

MK dengan Keputusan MK No. 012/PUU-I/2003.

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang

ketenagakerjaan meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan

usaha yang berbadan hokum atau tidak, milik orang perseorangan, milik

persekutuan atau milik badan hokum, baik milik swasta maupun milik Negara,

maupum usaha-usaha social dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus

dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam

bentuk lain.

Pasal 151 Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang PHK

mengatur :

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan

pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar

jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan , tetapi pemutusan

hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan

hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat


6

pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila

pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat

pekerja/serikat buruh.

(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya

dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah

memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan

hubungan industrial.

Pasal 154, Pasal 155.

Pasal 152 Undang-Undang 13 Tahun 2003 mengatur sebagai

berikut :

(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan

secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan disertai

alasan yang menjadi dasarnya.

(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial apabila telah diundangkan sebagaimanadimaksud dalam

Pasal 151 ayat (2).

(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya

dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungankerja

telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan

kesepakatan.
7

Pasal 153 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang PHK

mengatur :

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan

alasan :

a. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit

menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui

12 bulan (dua belas) bulan secara terus menerus;

b. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya

karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

c. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan

agamanya;

d. Pekerja/buruh menikah;

e. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan,gugur

kandungan, atau menyusui bayinya;

f. Pekerja/buruh mempunyai pertalian dan/atau ikatan

perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu

perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

g. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau

pengurus serikat pekerja/serikat buruh pekerja/buruh


8

melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh diluar jam

kerja, atau didalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha,

atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian

kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

h. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang

berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan

tindak pidana kejahatan;

i. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna

kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status

perkawinan;

j. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat

kecelakaan kerja yang menurut surat keterangan dokter

yang jangka penyembuhannya belum dapat dipastikan.

(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hokum dan

pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang

bersangkutan.

Pasal 154 Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

mengatur :

Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak

diperlukan dalam hal :

a. Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah

dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya ;


9

b. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri secara

tertulis atas kemauan sendiri tanpa indikasi adanya tekanan ,

intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai

dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;

c. Pekerja/buruh mencapai usia pension sesuai dengan ketetapan

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja

bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau

d. Pekerja/buruh meninggal dunia.

Pasal 155 Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

mengatur :

(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hokum.

(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh

harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.

(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing

kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan

hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak

lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.


10

Pada awal diundangkanya Undang-Undang 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), salah satu alasan

Pemutusan Hubungan Kerja adalah, karena “kesalahan berat”, yang

diatur dalam ketentuan Pasal 158

Ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan ini dinilai oleh pihak

pekerja dan serikat pekerja telah bertentangan dengan Pasal 27

ayat (1) UUD 1945, serta melanggar azas praduga tidak

bersalah/ preassumption of innocence. Berdasarkan alas hukum

tersebut maka dilakukan permohonan hak uji materi UU

Ketenagakerjaan.

Atas permohonan pekerja dan serikat pekerja, Mahkamah

Konsitusi (MK) menjatuhkan putusan No.012/PUU-I/2003, tertanggal

28 Oktober 2004, yang amar putusannya pada pokoknya

menyatakan ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan

bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat.    

Pasca putusan MK, muncul banyak penafsiran dalam hal terjadi

perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan hubungan

kerja karena pekerja melakukan perbuatan yang dikualifikasikan

dalam ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan.


11

Menyikapi hal tersebut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

pada 7 Januari 2005 menerbitkan Surat Edaran Nomor:

SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005. Isi pokok dari surat edaran menteri itu

adalah penyelesaian perkara pemutusan hubungan kerja karena

pekerja melakukan kesalahan berat harus memperhatikan dua hal.

Yakni, PHK dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang

mempunyai kekuatan hukum tetap atau apabila pekerja ditahan dan

tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka berlaku ketentuan pasal

160 UU Ketenagakerjaan.

Selain itu, surat edaran menteri juga menyatakan, dalam hal

terdapat “alasan mendesak” yang berakibat hubungan kerja tidak

dapat dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya

penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memunculkan

istilah “alasan mendesak” tanpa memberikan pengertian yang jelas.


12

Berdasarkan penelusuran pustaka, “alasan mendesak” ternyata

ditemukan pada buku III Kitab Undang-undang Hukum

Perdata Pasal 1603 o, yang isinya sebagian besar sama dengan

ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

Berdasarkan penelusuran penulis, praktek PHK di PT Pos Indonesia

(Persero) selama 5 Tahun terakhir dapat dirangkum sebagai berikut :

PENGUSAHA MEDIATOR PHI

1.    Menerapkan 1. Menolak 1. Menyatakan


Pasal 158 seperti melakukan mediasi gugatan tidak dapat
sebelum adanya tanpa memberikan diterima apabila
putusan MK, yakni anjuran apabila gugatan pemutusan
melakukan PHK belum ada putusan hubungan kerja
sepihak tanpa pidana. karena kesalahan
membayarkan berat belum memiliki
pesangon dan 2. Melakukan mediasi putusan pidana yang
penghargaan dan menerbitkan berkekuatan hukum
masa kerja. anjuran apabila tetap.
dalam proses 2. Mengabulkan
2.    Hanya mediasi pengusaha gugatan pemutusan
melaporkan tindak menyatakan bersedia hubungan kerja
pidana yang memberikan karena kesalahan
dilakukan pekerja kompensasi sebesar berat apabila
ke Polisi 1 x ketentuan pasal kesalahan berat diatur
sedangkan proses 156 ayat (2), (3) dan dalam perjanjian kerja
ketenagakerjaany (4) UU atau peraturan
a di biarkan atau Ketenagakerjaan
13

menunggu perusahaan atau


putusan pidana. 3. Melakukan mediasi perjanjian kerja
dan menerbitkan bersama dan
3.    Melaporkan anjuran untuk pengusaha dapat
pekerja terlebih mempekerjakan membuktikanya
dahulu ke polisi pekerja pada posisi dalam persidangan.
dan apabila di semula atau Dalam hal ini
lakukan melakukan pengadilan akan
penahanan pemutusan hubungan memberikan hukuman
setelah 6 (enam) kerja dengan kepada pengusaha
bulan tidak dapat memberikan untuk membayarkan
menjalankan kompensasi kompensasi sebesar
pekerjaan atau pesangon sebesar 2 1 x ketentuan pasal
belum 6 (enam) x ketentuan pasal 156 ayat (2), (3) & (4)
bulan tetapi telah 156 ayat (2) , UU Ketenagakerjaan.
ada putusan penghargaan masa Namun sebagian
bersalah dari kerja sesuai pasal pengadilan ada yang
pengadilan pidana 156 ayat (3) & (4) UU memutuskan tanpa
maka pengusaha ketenagakerjaan. memberikan hak
menerbitkan Surat pesangon dan
Keputusan PHK penghargaan masa
sepihak sesuai kerja.
Pasal 160 UU
Ketenagakerjaan.
3. Mengabulkan

4.    Tidak gugatan pemutusan

melaporkan hubungan kerja

kesalahan berat karena kesalahan


berat meskipun
14

pekerja ke polisi dianggap tidak


akan tetapi terbukti. Pada
langsung beberapa kasus
melakukan proses hakim justru
PHK sesuai UU mendasarkan alasan
No.2 tahun 2004 pemutusan hubungan
tentang kerja karena efisiensi
Penyelesaian sebagaimana diatur
Perselisihan dalam pasal 164 ayat
Hubungan 3 UU
Industrial Ketenagakerjaan, dan
(bipartite, mediasi, apabila pengusaha
PHI) dinilai telah
kehilangan
5.    Tidak kepercayaan dan
melaporkan hubungan kerja
kesalahan berat menjadi disharmonis
pekerja ke polisi maka pengusaha
asalkan pekerja akan dihukum untuk
bersedia membayarkan
mengundurkan diri pesangon sebesar 2 x
atau diakhiri ketentuan pasal 156
hubungan ayat (2) UU
kerjanya tanpa Ketenagakerjaan.Men
pesangon dan olak melakukan
penghargaan mediasi tanpa
masa kerja. memberikan anjuran
6.    Membuat apabila belum ada
15

pengakhiran putusan pidana.


hubungan kerja
terlebih dahulu
dengan pekerja
setelah itu
melakukan proses
pidana dengan
melaporkan
kesalahan berat
pekerja.

Setiap orang berhak untuk mendapat pekerjaan yang layak serta

mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja. Bahwa

ditujuan dibentuknya suatu aturan adalah untuk mengatur tatanan hidup

masyarakat, bagaimana suatu aturan Das Sollen yang dibentuk oleh

Lembaga Legislatif seharusnya diimbangi dengan penerapan dilapangan

Das Sein. Didalam ilmu hokum, hak dan kewajiban tidak dapat dipisahkan.

Tidak ada hak tanpa kewajiban, sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa

adanya hak. Isi atas hak dan kewajiban ini ditentukan oleh aturan hokum,

dimana aturan hokum itu terdiri atas peristiwa dan akibat yang oleh aturan

hokum tersebut dihubungkan. Dengan demikian, peristiwa hokum adalah

peristiwa yang akibatnya diatur oleh hokum. 4

Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam hubungan

antar anggota masyarakat, diperlukan aturan-aturan hokum yang

4
Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 77
16

diadakan atas kehendak dan keinsyafan tiap-tiap anggota masyarakat.

Peraturan-peraturan hokum yang bersifat mengatur dan memaksa

anggota masyarakat untuk patuh mentaatinya. Setiap pelanggaran

peraturan hokum yang ada, akan mendapatkan sanksi berupa hukuman

sebagai reaksi terhadap perbuatan yang melanggar hokum yang

dilakukan.5

Campur tangan pemerintah (penguasa) dalam hokum

perburuhan/ketenagakerjaan dimaksudkan untuk terciptanya hubungan

perburuhan/ketenagakerjaan yang berkeadilan, karena jika hubungan

antara pekerja dan pengusaha yang sangat berbeda secara social-

ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, maka tujuan untuk

menciptakan keadilan dalam hubungan perburuhan/ketenagakerjaan akan

sulit tercapai, karena yang kuat akan selalu ingin menguasai yang lemah.

Atas dasar inilah pemerintah turut campur tangan melalui peraturan

perundang-undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan

kewajiban para pihak .6

Menurut Satjipto Rahardjo bahwa hokum tidak hanya sebatas

rangkaian kalimat tertulis yang diwujudkan ke dalam suatu peraturan

perundang-undangan saja (law in the book) yang diibaratkan sebagai

suatu bangunan yang formal, akan tetapi dalam pelaksanaannya perlu

memperhatikan cita-cita keadilan masyarakat sebagai suatu perwujudan

hokum yang hidup (living of law) yang dalam tatanan pelaksanaannya


5
C.S.T. Kansil, dan Cristine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Indonesia, P.T Rineka
Cipta, Jakarta, 2011. Hlm, 36.
6
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hlm. 57
17

harus melihat budaya hokum untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai,

dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap system hokum yang

berlaku.

Pernyataan Indonesia adalah negara hukum tercantum dalam Pasal

1 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan se

cara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, deng

an demikian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

harus mewujudkan prinsip-prinsip sebagaimana yang ingin dicapai oleh N

egara hukum. Konsep negara hukum Indonesia menurut UUD 1945 ialah

negara hukum Pancasila, yaitu konsep negara hukum di mana satu pihak

harus memenuhi kriteria dari konsep negara hukum pada umumnya (yaitu

ditopang oleh tiga pilar pengakuan: pengakuan dan perlindungan hak asa

si manusia, peradilan yang bebas dan tidak memihak, asas legalitas dala

m arti formal maupun material), dan di lain pihak diwarnai oleh aspirasi-as

pirasi keIndonesiaan yaitu lima sila fundamental dari Pancasila 7. Dari kon

sep negara hukum Indonesia yang didasarkan pada Pancasila “Philipus

M. Hadjon” merumuskan perkembangan unsur negara hukum Pancasila,

sebagai berikut 8:

a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat


berdasarkan asas kerukunan.
b. Hubungan fungsional yang proposional antara kekuasaan-
kekuasaan negara.
7
A. Mukthie Fadjar, Negara Hukum Dan Perkembangan Teori Hukum, Instrans
Publishing, Malang, 2018, hlm.152.
8
Yopie Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan Negara
Hukum Pancasila, Refika Aditama, Bandung, 2015, hlm 110-111.
18

c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan


peradilan merupakan sarana terakhir.
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

           
Tenaga kerja mempunyai kedudukan sebagai pelaku dalam

tujuan pembangunan sebagaimana definisi tenaga kerja menurut Pasal

1 butir 2 Undang Undang Ketenagakerjaan bahwa : Tenaga kerja

adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan

sendiri maupun untuk masyarakat.

Tenaga kerja yang dalam posisi hubungan kerja adalah yang

diisitilahkan sebagai pekerja/buruh sebagaimana definisi Pasal 1 butir 3

Undang Undang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja

dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Istilah

pekerja/buruh yang dalam definisi menurut “JHM Van der Ven” yang

dikutif oleh “Aloysius Uwiyono” buruh (pekerja) atau mantan buruh

(pekerja) adalah manusia yang bekerja pada orang lain untuk

mendapat upah.9

Perlindungan terhadap tenaga kerja dalam pembangunan

ketenagakerjaan dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar

pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan

tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan

pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan

9
Aloysius Uwiyono, Siti Hajati Hoesin, Widodo Suryandono, Melania Kiswandari, Asas-
Asas Hukum Perburuhan, Cet.2, PT.RajaGrafindo Persada, Depok, 2014, hlm 4.
19

perkembangan kemajuan dunia usaha. Perlindungan terhadap tenaga

kerja tidak semata-mata menjadi bahan pertimbangan dalam

pembangunan ketenagakerjaan tetapi menjadi ketentuan dasar yang

diatur dalam UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (2)

sebagai berikut:

Pasal 28D ayat (1) menyatakan :

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan da


n kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hada
pan hukum”.

Pasal 28D ayat (2) menyatakan :

“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan p


erlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.

Hubungan kerja terjalin antara pekerja/buruh dengan pengusaha

atas dasar perjanjian yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan

perintah. Menurut “Iman Soepomo” hubungan kerja terjadi setelah

diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, di mana buruh

menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan

menerima upah, dan di mana majikan menyatakan kesanggupannya

untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah 10. Jadi pada

intinya ada perjanjian kerja yang mengikat antara pekerja/buruh dengan

pengusaha dan itu berlaku selama hubungan kerja berlangsung atau

masa selama bekerja.


10
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet.,ketujuh, Djambatan, Jakarta 1985,
hlm. 53.
20

Hubungan kerja selama masa bekerja atau dalam hubungan

kerja (during employment), termasuk dalam Lingkup laku hukum

perburuhan/ketenagakerjaan menurut waktu ( Tijdsgebied ), yaitu

menunjukan waktu kapan suatu peristiwa tertentu diatur oleh kaidah

hukum. Di dalam pelaksanaannya secara operasional peristiwa-


11
peristiwa tersebut terbagi dalam tiga tahap yaitu :

(1) Pra Employment (sebelum memasuki hubungan kerja);

(2) During Employment ( dalam hubungan kerja);

(3) Post Employment (sesudah bekerja).

Hubungan kerja pada saat/selama masa bekerja inilah yang sering

menimbulkan perbuatan hukum yang akan bersinggungan dengan asas

kepastian hukum dan keadilan di dalam penegakannya, tujuan

utamanya semata-mata untuk melindungi pekerja.

Hubungan kerja yang lahir dari perjanjian kerja antara pekerja/b

uruh dan pengusaha terikat pada syarat syarat yang diperjanjikan antar

a kedua belah pihak menurut “Aloysius Uwiyono “ berkaitan erat denga

n jenis kaidah hukum perburuhan sebagai berikut :

“Ketentuan-ketentuan di bidang hukum perburuhan yang dibuat o


leh para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan kerja yaitu pe
kerja/buruh dengan pengusaha disebut kaidah otonom. Bentuk k
aidah otonom di sini meliputi Perjanjian Kerja, Peraturan Perusah
aan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Selain kaidah oto
nom ada kaidah heteronom yaitu ketentuan-ketentuan hukum di
bidang perburuhan yang dibuat oleh Pihak Ketiga yang berada di
11
Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cet. Kedua, P
T. Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm. 10-16.
21

luar para pihak yang terikat dalam suatu hubungan kerja, pihak k
etiga dimaksud adalah Pemerintah/Negara. Oleh karena itu bent
uk kaidah heteronom adalah semua peraturan perundang-undan
gan di bidang perburuhan yang ditetapkan oleh Pemerintah/Neg
ara yang sah. Misalnya Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri dll 12”.

Penyimpangan kaidah otonom terhadap kaidah heteronom dimungkink

an dengan syarat bahwa penyimpangan tersebut tidak bertentangan de

ngan kaidah heteronom.13 Landasan hukum dari kesemuanya itu adala

h Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “ Semua perjanjia

n yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya. Jadi dalam perjajian kerja yang dibuat antara peker

ja dan pengusaha berlaku prinsip Lex specialis derogate legi ge

neralis.

Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjami

n berlangsungnya sistem hubungan kerja secara harmonis tanpa disert

ai adanya tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Untu

k itu pengusaha wajib melaksanakan ketentuan perlindungan tenaga ke

rja tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 14 Dari

ketentuan tersebut dapat dilihat hukum berfungsi sebagai instrument p

erlindungan bagi subyek hukum15. Tetapi hubungan hukum antara buru

12
Ibid, hlm.8.
13
Ibid, hlm. 9.
14
Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cet.ke-4, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 99.
15
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara,PT.RajaGrafindo Persada, 2006, hlm.280.
22

h/pekerja dengan pengusaha pada hakikatnya bersifat timpang, artinya

kewajiban pekerja/buruh lebih banyak dari Pengusaha.

Dengan adanya kaidah heteronom baik berupa undang-undang

ataupun peraturan lainnya difungsikan sebagai pilar penjaga agar tidak

ada syarat-syarat perjanjian dalam hubungan kerja sebelum, selama, d

an sesudah masa bekerja melanggar ketentuan undang-undang yang

mengakibatkan berkurang atau hilangnya hak-hak pekerja. Sekalipun U

ndang Undang Ketenagakerjaan dan peraturan terkait lainnya menjadi

penjaga agar tidak terjadi pelanggaran dalam perjanjian kerja, kemungk

inan suatu waktu sengaja atau tidak sengaja ada yang diabaikan oleh s

alah satu pihak, maka dalam perjanjian kerja lazimnya ditentukan tenta

ng tanggung jawab dan anti rugi yang secara wajar disepakati bersama

oleh pengusaha dan calon buruh/pekerja 16 .

Pada dasarnya semua peraturan perundangan ketenagakerjaan

dibuat dengan memberikan macam-macam perlindungan kepada peker


17
ja/buruh. Menurut “Soepomo” yang dikutip oleh “ Asikin” perlindunga
18
n terhadap pekerja dibagi menjadi tiga macam yaitu:

1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan pekerja dalam bentu


k penghasilan yang cukup, termasuk bila pekerja tidak mampu b
ekerja di luar kehendaknya.
2. Perlindungan Sosial, yaitu perlindungan pekerja dalam bentuk ja
minan kesehatan kerja dan kebebasan berserikat, dan perlindun
gan hak untuk berorganisasi.
16
Katasapoetra, G.,Kartasapoetra R.G., Kartasapoetra A.G., Hukum Perburuhan di
Indonesia Berlandaskan Pancasila, Cet. ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hlm. 154-155
17
Aloysius Uwiyono dkk, Op. Cit, hlm, 24.
18
Abdul Khakim, Op. Cit, hlm 102.
23

3. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan pekerja dalam bentuk ke


amanan dan keselamatam kerja.

Konsep dalam pembangunan ketenagakerjaan bahwa tenaga kerja

sebagai pelaku dari tujuan pembangunan maka, pembangunan pereko

nomian yang digalang pemerintah dengan membuka peluang investasi

di berbagai sektor industri melalui jalur penanaman modal asing dan pe

nanaman modal dalam negeri, harus disertai dengan kepatuhan terhad

ap peraturan perundang-undangan terkait serta dilakukan melalui meka

nisme dan prosedur seuai peraturan perundang-undangan.

Dilihat dari peristiwa hukum yang terjadi dalam hubungan kerja


19
maka menurut Aloysius Uwiyono dapat dibedakan antara Perilaku Hu

kum, Kejadian Hukum, dan Keadaan Hukum. Dari ketiga definisi peristi

wa hukum tersebut maka, akuisisi merupakan peristiwa hukum dalam a

rti perilaku hukum yaitu suatu perilaku-perilaku yang dibatasi oleh kaida

h-kaidah hukum perburuhan, karena terjadi pada saat terjadi hubungan

kerja dan akan berakibat kepada pekerja.

Pada Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak

diatur pemutusan hubungan kerja karena alasan disharmonisasi antara

pekerja/buruh dengan pengusaha.

Berdasarkan penelusuran penulis pada tahun 2018/2017 terjadi

pemutusan hubungan kerja terhadap 4 (empat) orang karyawan PT Pos

Indonesia yang anggap oeleh pekerja yang bersangkutan sebagai

19
Aloysius Uwiyono, dkk. Op, Cit. hlm, 11.
24

perselisihan PHK, karena proses pemutusan hubungan kerja yang

dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, yaitu

pemutusan hubungan kerja atan nama karyawan sebagai berikut :

1. Saudara Rachmad Fajar, dengan posisi sebagai staf pada bagian

Publik Relation.

1) Pemutusan hubungan kerja (PHK) ditetapkan dengan surat

keputusan Nomor : dengan alasan terjadi

disharmonisasi, alasan yang tidak dikenal dalam Undang-

undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

2. Saudara Deni Sutarya, dengan posisi sebagai fungsional perusahaan

pada bagian teknologi informasi.

2) Pemutusan hubungan kerja (PHK) ditetapkan dengan surat

keputusan Nomor : dengan alasan disharmonisas,i

alasan yang tidak dikenal dalam Undang-undang 13 tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan.

3. Saudara Fadhol Wahab, dengan posisi sebagai staf pada kantor

regional 4 Jakarta.

1) Pemutusan hubungan kerja (PHK) ditetapkan dengan surat

keputusan Nomor : dengan alasan alasan disharminisasi,

yang tidak dikenal dalam Undang-undang 13 tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan.

4. Saudara Adang Sunarya, dengan posisi sebagai fungsional

perusahaan pada kantor regional 4 Jakarta.


25

1) Pemutusan hubungan kerja (PHK) ditetapkan dengan surat

keputusan Nomor : dengan alasan disharmoni , alasan

yang tidak dikenal dalam Undang-undang 13 tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji

permasalahan tersebut dalam bentuk tesis dengan judul :

“PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT DISHARMONISASI


HUBUNGAN ANTARA PEKERJA DENGAN MANAJEMEN STUDI KASUS

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA TERHADAP KARYAWAN

PT POS INDONESIA (PERSERO) “

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitan di atas peneliti mengidentifika

sikan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana keadilan bagi pekerja yang mengalami pemutusan

hubungan kerja (PHK) tanpa proses sebagaimana yang diatur

dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang terjadi di PT Pos

Indonesia (Persero) ?

2. Bagaimana akibat hokum dalam pelaksanaan pemutusan

hubungan kerja (PHK) di terhadap karyawan karena alasan

disharmoni di PT Pos Indonesia (Persero)?


26

3. Bagaimana penyelesaian hokum dalam pelaksanaan

pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan karena

alasan disharmoni di PT Pos Indonesia (Persero).

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian tentunya tidak terlepas dari tujuan yang henda

k dicapai dalam penelitian tersebut, tujuan penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis keadilan terhadap

pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK)

karena alasan disharmonisasi yang terjadi di PT Pos Indonesia

(Persero).

2. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis akibat hokum

dalam pelaksanaan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena

alasan disharmonisasi yang terjadi di PT Pos Indonesia (Persero).

3. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis , penyelesaian huk

um dalam pelaksanaan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena

alasan disharmonisasi yang terjadi di PT Pos Indonesia (Persero).

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau

kegunaan bagi pihak-pihak yang memerlukan, baik secara:

1. Secara teoritis :
27

a. Memberikan sumbangan pemikiran untuk perkembangan ilmu

pengetahuan hukum pada umumnya dan ilmu hukum

Ketenagakerjaan .

b. Menambah referensi akademis di bidang hukum

ketenagakerjaan khususnya tentang esensi BAB XII tentang

Pemutusan hubungan kerja bagi praktisi hukum, dan

mahasiswa hukum.

c. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang

perlindungan hukum bagi pekerja atas ancaman pemutusan

hubungan kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan

perundangan yang berlaku.

2. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi:

a. Pemerintah, diharapkan lebih memahami peraturan tentang

hukum perusahaan dalam hal menangani perselisihan yang

terjadi dalam hubungan kerja sebagai upaya perlindungan

hukum bagi pekerja dan pengusaha secara adil.

b. Pengusaha, penelitian ini dapat dijadikan gambaran dan

referensi bahwa mematuhi prosedur peraturan perundang-

undangan secara benar akan membantu terciptanya hubungan

industrial yang harmonis dan mencegah terjadinya perselisihan

di kemudian hari.
28

c. Pekerja, penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi pekerja

dan serikat pekerja dalam memperjuangkan hak dan

kewajibannya apabila terjadi perbuatan hukum pemutusan

hubungan kerja.

E. Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

a. Teori Negara Hukum

Indonesia merupakan Negara hokum (Rechstaat) yang berarti

Indonesia menjunjung tinggi hokum dan kedaulatan hokum. Hal ini

sebagai sebagai konsekuensei dari ajaran kedaulatan hokum

bahwa kekuasaan tertinggi tidak terletak pada kehendak pribadi

penguasa (penyelenggara Negara atau pemerintah), melainkan

pada hokum. Jadi kekuasaan hokum terletah diatas segala

kekuasaan yang ada dalam Negara dan kekuasaan itu harus

tunduk pada hokum yang berlaku. Dengan demikian kekuasaan

yang diperoleh tidak berdasarkan hokum termasuk yang bersumber

dari kehendak rakyat yang tidak ditetapkan dalam hukum tertulis

(undang-undang) dengan sendirinya dianggap tidak sah. Indonesia

sebagai Negara hokum, bercirikan Negara kesejahteraan (welfare

State) yang berkehendak untuk mewujudkan keadilan bagi segenap

rakyat Indonesia.
29

Menurut Philipus M Hadjon, konsep rechstaat lahir dari suatu

perjuangan menentang absolutism sehingga sifatnya revolusioner,

sebaliknya konsep the rule of law, berkembang secara

revplusioner. Hal ini tampak baik dari isi maupun kriteria rechstaat

dan rule of law itu sendiri. 20

F.J. Stahl dari kalangan Eropa Kontinental memberikan ciri-

ciri Negara hokum (rechstaat) sebagai berikut : 21

1. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia;


2. Pemisahan Kekuasaan Negara;
3. Pemerintahan berdasarkan Undang-undang
4. Adanya peradilan administrasi

Sejak perjuangan kemerdekaan melawan penjajah, cita-cita

bangasa Indonesia adalah membangun sebuah Negara hokum.

Cita-cita Negara hokum tersebut tidak bisa dipisahkan dari

perkembangan UUD Negara Indonesia. Hhal ini dapat diketahui

dengan dicantumkannya konsep Negara hokum dalam tiap UUD

dan konstitusi yang pernah ada dan sedang berlaku. Cita-cita

Negara hokum di Indonesia dimulai dari UUD 1945, Konstitusi RIS

tahun 1949, UUDS RI tahun 1950, dan yang terakhir diatur dalam

UUD 1945 amandemen . 22

20
Philipus M Hadjon, diikuti oleh Madja El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi
Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm.21
21
F.J Stahl, dikutip oleh Faturohman, Dian Aminudin, Sirajuddin, Memahami Mahkamah
Konstitusi Di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 2004, hlm.5
22
Piatur Pengaribuan dan Arie Purnomosidi, Negara Hukum Pancasila Dalam Kerangka NKRI,
Surakarta, Cakrawala Media, Cetakan Pertama, 2012, hlm.1
30

Pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga disebutkan

bahwa Indonesia adalah Negara hokum. Negara hokum yang

diperjuangkan di negeri ini adalah suatu Negara Negara hokum

dalam artian yang materiil, the rule of just law, yang bertujuan untuk

menyelenggarakan kesejahteraan umum jasmaniah dan rohaniah,

berdasarkan prinsip-prinsip hokum yang benar dan adil, sehingga

hak-hak dasar warga Negara betul-betul dihormati (to respect),

dilindungi (to protect) dan dipenuhi (to fulfill).23

Menurut Sri Soemantri bahwa ada 4 (empat) unsur terpenting

dalam negara hokum, yaitu ;24

a) Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban harus


berdasarkan atas hokum atau peraturan perundang-
undangan;
b) Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga
negara);
c) Adanya pembagian kekuasaan (distribution of power) dalam
negara; dan
d) Adanya pengawasan (dari badan-badan peradilan).

Undang-undang dasar 1945 merupakan asas penting dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ddalam hal ini UUD

1945 membahas banyak hal-hal tentang hokum, politik, budaya,

dan tatanan kehidupan serta tatanan kemasyarakatan di NKRI.

Sehubungan dengan adanya tatanan kehidupan dan tatanan

kemasyarakatan, hal ini juga mencakup kepada kesejahteraan

23
Abdul Muktie Fadjar, Membangun Negara Hukum yang Bermartabat, Malang, Setara Press,
Cet. I, 2013, hlm.5
24
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, Alumni 1992, hlm 29
31

pada tenaga kerja di Indonesia. Hal ini juga diungkapkan pada UUD

1945 Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi : “ Tiap-tiap warga negara

berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Dari kutipan

UUD 1945 telah jelas bahwa kesejahteraan adalah kemampuan

warga negara untuk menjalani kehidupan dan pekerjaan yang

layak. Pembukaan UUD 1945 alinea kedua menyebutkan :

“dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah


sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur”.
Konsep pemikiran utilitarianisme Nampak melekat pada

pembukaan alinea kedua, terutama pada makna “adil dan makmur”.

Pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan untuk

memajukan kesejahteraanumum sebagaimana tercantum dalam

alinea keempat UUD 1945 yaitu :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan


negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kepada
kemerdekaan, perdamaian dan keadilan social, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk
dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada…..

Selanjutnya Sunaryati Hartono mengatakan bahwa ,

Supremasi (negara) hokum tersebut tidak hanya mencakup


Undang-undang, tetapi meliputi keluasan ruang lingkup, yaitu
kehidupan berbangsa dan bernegara yang membawa keadilan
32

social bagi seluruh rakyat (warga negara) Indonesia tanpa


diskriminasi.25

Pada dasarnya bahwa setiap warga negara memiliki keinginan

untuk berkehidupan dan bekerja secara layak agar mendapatkan

kehidupan yang layak, karena kehidupan yang layak adalah hak bagi

setiap warga negara. Setiap hak berawal dari kewajiban maka dari

itu setiap warga memiliki kewajiban untuk mencapai pada kehidupan

yang layakatau dengan kata lain kehidupan layak dicapai dengan

memenuhi kewajiban sebagai tenaga kerja. Pemerintah sebagai

actor penting pada pencapaian kehidupan yang sejahtera memiliki

andil besar dalam mengatur serta mencanangkan program-program

pendukung agar tercapainya kehidupan yang layak dan terpenuhinya

kuota peluang kerja pada negara Indonesia.

b. Teori Keadilan

Sebagaimana dipahami bahwa tujuan hokum pada dasarnya

adalah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, sebagaimana

Bentham26 menjelaskan “The great happiness for the greatest

number”. Konsep tersebut menjelaskan bahwa hokum memberikan

25
Sunarti Hartono, “Mencari Filsafat Hukum Indonesia yang Melatarbelakangi Pembentukan UUD
1945,” Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H. Bandung, Refika Aditama, 2008,
hlm.152
26
Bentham dikutip Arizona Maha Dewa, Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Indonesia
Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak Oleh Perusahaan Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan (Tesis yang tidak dipublikasikan, Program Pascasarjana, Program
Studi Magister Ilmu Hukum, UNPAS 2017), hlm.17
33

kebahagiaan sebesar-besarnya kepada orang sebanyak-

banyaknya.

Hukum berfungsi mengatur hubungan antar manusia sebagai

anggota masyarakat agar tercipta idealism harmoni social. Tujuan

pelaksanaan hokum yakni menciptakan kondisi masyarakat yang

damai, teratur, selaras, dan berkeadilan.

Hal yang paling mendasar ketika membicarakan hokum tidaklah

lepas dari persoalan keadilan. Ssebagaimana hokum diwujudkan

melalui dewi keadilan dari Yunani. Dari zaman Yunani hingga

zaman modern para ahli hokum mempunyai dispritas konsep

keadilan.

Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip oleh Sayid Mohammad

Rifqi Noval menjelaskan bahwa :27

Membicarakan hokum adalah membicarakan hubungan antar


manusia. Membicarakan hubungan antar manusia adalah
membicarakan keadilan. Dengan demikian, setiap pembicaraan
mengenai hokum, jelas, atau samar-samar, senantiasa
merupakan pembicaraan mengenai keadilan pula. Kita tidak dapat
membicarakan hokum hanya sampai pada wujudnya sebagai
suatu bangunan yang formal. Kita juga perlu melihatnya sebagai
ekspresi dan cita-cita keadilan masyarakat.

Keadilan merupakan salah satu dari cita-cita hokum. Berbicara

mengenai cita-cita hokum, tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran dari

seorang ahli hokum, filsuf hokum dan sekaligus juga seorang birokrat dan

politisi Jerman dari mazhab Relativisme yaitu Gustav Radbruch (1878-

27
Satjipto Rahardjo dikutip Sayid Mohammad Rifqy Noval, Hukum Ketenaga Kerjaan, Hakikat Cita
Keadilan Dalam Sistem Ketenaga Kerjaan, Bandung, Refika Aditama, 2017, hlm.52
34

1049) sangat berpengaruh di dunia hokum. Menurut Radbruch, hokum

sebagai gagasan kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada

cita-cita hokum yaitu keadilan, untuk mengisi cita keadilan itu, kita harus

menoleh kepada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hokum.

Pengertian kegunaan hanya dapat dijawab dengan menunjukan pada

konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang negara dan hokum. Untuk

melengkapi formalitas keadilan relativitas kegunaan, keamanan

dimasukkan sebagai unsur ketiga dari cita hokum. Kegunaan menuntut

kepastian hokum. Hukum harus pasti. Tuntutan akan keadilan dan

kepastian merupakan bagian-bagianyang tetap dari cita hokum, da nada

diluar pertentangan-pertentangan bagi pendapat politik. Kegunaan

memberi unsur relativitas. Tetapi tidak hanya kegunaan sendiri yang

relative, hubungan antara tiga unsur dari cita hokum itu juga relative.

Sseberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan atau keamanan lebih

penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus diputuskan oleh

system politik.28

Keadilan, kepastian hokum, kebenaran, dan ketertiban

penyelenggaraan system hokum adalah hal-hal pokok dalam menjamin

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal tersebut

merupakan masalah yang sangat penting dalam usaha mewujudkan

kehidupan yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib hokum.

28
W. Friedman, Legal Theory, Dditerjemahkan oleh Muhammad Arifin dengan judul Teori dan
Filsafat Hukum-Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan (Susunan II), Raja Grafindo Persana,
Jakarta, Cetakan Kedua, 1994, halaman 42-45
35

c. Teori Hukum Pembangunan

Hubungan hokum dengan Pembangunan Ekonomi sebagaimana

Dikutip dari Abdul Manan29 bahwa :

Konsep hokum sebagai a tool of social engineering , ini lahir


karena konsep hokum yang diajarkan oleh aliran historis dari
Frederich Karl van Savigny dianggap kurang tepat
menggerakkan masyarakat untuk berubah.Menurut Savigny
bahwa hokum merupakan ekspresi dari kesadaran hokum, dari
volksgesit, dan dari jiwa rakyat. Hukum pada awalnya lahir dari
kebiasaan dan kesadaran hokum masyarakat. Kemudian dari
putusan hakim, tetapi bagaimanapun juga diciptakan dari dalam
yang bekerja secara diam-diam, dan tidak oleh kemauan
legislative. Konsep hokum historis ini tepat diberlakukan pada
masyarakat yang sederhana itu tidak terdapat
perananlegislative , dan yang menonjol ialah peranan hokum
kebiasaan. Adapun pada masyarakat yang maju konsep hokum
historis dianggap sudah ketinggalan zaman, sebab pada
masyarakat yang maju peranan legislative dalam membuat
hokum sudah merupakan suatu keharusan.

Berhadapan dengan konsep aliran historisini, maka Roscoe

Pound mengemukakan konsep baru yang disebut “law is a tool of

social engineering” yang memberikan dasar bagi kemungkinan

digunakannya hokum secara sadar untuk mengadakan perubahan

masyarakat30, atau dengan kata lain hokum berperan aktif dalam

merekayasa perubahan social dalam masyarakat. Kemudian Abdul

Manan mengutip Roscoe Pound31

Hukum harus menjadi factor penggerak kearah perubahan


masyarakat agar lebih baik daripada sebelumnya. Fungsi hokum
29
Abdul Manan, Peranan Hukum Dalam Pengembangan Ekonomi, Jakarta, Fajar Interpratama
Mandiri, Cet. Ke-2, 2016, hlm 47
30
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta, Chandra
Pratama, 1993. Hlm. 101
31
Abdul Manan, Peranan.. Op.Cit, hlm. 48
36

pada masyarakat (kecuali pada masyarakat totaliter) ditentukan


dan dibatasi oleh kebutuhan untuk menyeimbangkan stabilitas
hokum dan kepastian terhadapperkembangan hokum sebagai
alat evolusi social. Oleh karena itu, perubahan dalam kehidupan
masyarakathendaknya direncanakan dengan baik dan terarah,
sehingga tujun dari perubahan itu dapat tercapai dengan arahan
dan perlindungan dari hokum.

Menurut J.P. Glastra van Loon sebagaimana dikutip oleh Dudu

Duswara menyatakan bahwa dalam menjalankan peranannya hokum

mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu: 32

a. Menertibkan masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup;


b. Menyelesaikan pertikaian;
c. Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan-aturan,
jika perlu dengan kekerasan;
d. Mengubah tata tertib dan aturan-aturan dalam rangka
penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat;
e. Memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hokum dengan cara
merelaisasikan fungsi di atas.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja bahwa :33

Fungsi hokum itu sebenarnya sudah terkandung dalam batasan


pengertian atau definisinya. Kalau dikatakan bahwa hokum itu
adalah perangkat kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, dapat disimpulkan bahwa
salah satu fungsi yang terpenting dari hokum adalah tercapainya
keteraturan dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat.

Lebih lanjut Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa : 34

32
J.P. Glastra van Loon dikutip Dudu Duswara dalam bukunya, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah
Sketsa, Bandung, Cetakan Keenam, Refika Aditama, 2017, hlm 51-52
33
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan
Pertama Ruang LIngkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung, Cetakan Keempat, Alumni, 2016, hlm.
49
34
Ibid., hlm. 49-50
37

Keteraturan ini yang menyebabkan orang dapat hidup dengan


berkepastian, artinya orang dapat mengandalkan kegiatan-
kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat karena
ia dapat mengadakan perhitungan tentang apa yang akan terjadi
atau apa yang bisa ia harapkan. Keteraturan yang intinya
kepastian ini , apabila dihubungkan dengan kepentingan
penjagaan keamanan diri maupun harta milik dapat juga
dinamakan ketertiban.

Berdasarkan penjelasan fungsi hokum di atas dan jika

dihubungkan dengan dunia usaha, maka kepastian demikian diperlukan

karena tanpa kepastian tidak mungkin diadakan perhitungan-perhitungan

yang diperlukan dalam dunia usaha .35


36
Lain halnya yang dikemukan oleh Romli

Dalam kenyataan teori hokum pembangunan belum efektif


membangun kesadaran hokum masyarakat sejalan dengan
harapan penemunya karena terbukti masyarakat Indonesia lebih
tergantung pada “atasan” atau “penguasa” daripada sesame
anggota masyarakat lain ( patron-client relantionship) sehingga
factor panutan sangat menentukan kesadaran hokum masyarakat.

Lebih lanjut Romli memberikan koreksi bahwa sesungguhnya

kesadaran hokum aparatur negara termasuk aparatur penegak hokum

juga perlu direkayasa bahwa “law as tool of social and bureaucratic

engineering “ bukan hanya “ as a tool of social engineering”.37

Koreksi Romli di atas mengandung arti bahwa masyarakat akan

memahami dan mau mentaati jika aparatur hokum dan birokrasi terlebih

dahulu konsistensi menaati hokum.


35
Ibid., hlm. 50
36
Romli Atmasasmita, Hukum Kejahatan Bisnis Teori & Praktek Di Era Globalsasi,
37
Ibid, hlm. 256
38

Sementara Teori Hukum Pembangunan yang digagas oleh

Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa :38

“pendayagunaan hokum sebagai sarana untuk merekayasa


masyarakat menuju scenario kebijakan pemerintah (eksekutif)
amatlah terasa diperlukan oleh negara-negara berkembang, jauh
melebihi kebutuhan negara-negara industry maju yang telah
mapan karena negara-negara maju telah memiliki mekanisme
hokum yang telah “jalan” untuk mengakomodasi perubahan-
perubahan didalam masyarakat sedangkan negara-negara
berkembang tidaklah demikian”

2. Kerangka Konseptual

Fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional

menjadi konsep pemikiran dari Mochtar Kusumaatmadja yang

dituangkan dalam Teori Hukum Pembangunan. Inti dari Teori Hukum

Pembangunan mencerminkan suatu pemikiran tentang hukum sebagai

berikut 39:

1. Hukum hidup dan berkembang sejalan dengan perkembangan


masyarakat.

2. Perkembangan hukum yang sejalan dengan perkembangan


masyarakat juga dapat diciptakan melalui pembentukan
perundang-undangan, tidak hanya putusan pengadilan.

3. Hukum sebagai sarana dalam pembangunan bukan alat agar


pembangunan bisa dilaksanakan dengan tertib dan teratur.

38
Soetandyo Wignjosoebrota, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: DInamika Sosial Politik
dan Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawal Press, 1994, hlm. 231
39
Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Cet.kedua, Genta Publising, Yogyakarta,
2012, hlm
39

4. Kepastian hukum tidak boleh dipertentangkan dengan keadilan,


dan keadilan tidak boleh hanya ditetapkan sesuai dengan
kehendak pemegang kekuasaan melainkan harus sesuai
dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.

Sejalan dengan inti ajaran dari teori Hukum Pembangunan

maka, perbuatan hukum akuisisi merupakan suatu perbuatan hukum

yang berkembang dalam kehidupan pembangunan perekonomian,

yang merupakan suatu arah kebijakan dari pemerintah dalam

menggerakkan pembangunan ekonomi dengan cara investasi melalui

pengambilalihan saham. Akuisisi sebagai suatu perbuatan hukum

yang diatur dalam peraturan perundangan merupakan suatu sarana

dalam pembangunan bukan merupakan alat agar pembangunan

dapat dilaksanakan, sebagaimana salah satu prinsip dari teori hukum

pembangunan bahwa perubahan dan hukum berfungsi agar dapat

menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur.

Perubahan yang teratur dapat dibantu oleh perundang-undangan atau

keputusan pengadilan atau kombinasi keduanya.

Prosedur dan syarat pemutusan hubungan kerja bagi pekerja

sebagaimana diatur dalam BAB XII Undang-Undang nomor 13 tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan mencerminkan bahwa perbuatan hukum

Pemutusan hubungan kerja (PHK) menimbulkan dampak adanya hak

yang timbul baik dari pekerja maupun dari pengusaha untuk

menentukan langkah mana yang akan diambil dalam hubungan kerja.

Langkah keputusan apapun yang diambil masing masing pihak harus


40

menjamin kepastian hukum dan keadilan yang ditetapkan, bukan

keadilan yang sesuai dengan pemegang kekuasaan tetapi keadilan

yang sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.

Kepastian hukum dari suatu perbuatan hukum menunjukkan

bahwa subyek hukum memiliki kejelasan mengenai apa yang menjadi

hak dan kewajibannya dalam berhubungan dengan subyek-subyek

hukum lainnya. Supaya subyek hukum dapat memperoleh kejelasan

itu, subyek hukum perlu memiliki kepastian orientasi dan kepastian

realisasi, yaitu kepastian bahwa norma-norma hukum itu memang

dimengerti sehingga dapat ditaati untuk kemudian ditegakkan 40. James

Mazeiner merumuskan kepastian hukum sebagai suatu keadaan yang

memungkinkan subyek hukum merencanakan hidup dengan sesedikit

mungkin ketidak pastian41. Oleh karena itu perlu pemberlakuan hukum

yang jelas, tetap dan konsisten yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi

oleh keadaaan-keadaan yang sifatnya subyektif.

Dalam hal terjadinya perbuatan hukum pemutusan hubungan

kerja di perusahaan subyek hukum yang terlibat di dalamnya harus

berperan aktif menjalankan peraturan perundang-undangan baik itu

pihak pengusaha, pekerja, maupun pemerintah, sehingga kepastian

hukum bisa dicapai dan tidak menimbulkan konflik di kemudian hari,

karena kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan

dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
40
Budiono Kusumohamidjojo, Teori Hukum, Dilema Antara Hukum Dan Kekuasaan,
Yrama Widya, Bandung, 2016, hlm 200.
41
Ibid
41

logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir)

dan logis. Jelas dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan

norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik

norma.

Pasal 158 UU Ketenagakerjaan dinilai oleh pihak pekerja

dan serikat pekerja telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1)

UUD 1945, serta melanggar azas praduga tidak

bersalah/ preassumption of innocence. Berdasarkan alasan

hukum tersebut maka dilakukan permohonan hak uji materi UU

Ketenagakerjaan. Atas permohonan pekerja dan serikat pekerja,

Mahkamah Konsitusi (MK) menjatuhkan putusan

No.012/PUU-I/2003, tertanggal 28 Oktober 2004, yang amar

putusannya pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 158 UU

Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Teori Hukum Pembangunan yang menyatakan bahwa hukum

sebagai sarana dalam pembaharuan masyarakat, tidak terbatas hanya

dari peraturan perundang-undangan saja tetapi juga dari keputusan

pengadilan atau kombinasi keduanya. Dalam dinamika pembentukan

hukum, cita hukum Pancasila dan asas-sasas hukum nasional berperan

sebagai guidng principles dan batu uji proses pembentukan perundang-


42

undangan dan pembentukan hukum melalui yurisprudensi 42. Produk

putusan Mahkamah Konstitusi tentang penafsiran Pasal 158 Undang

Undang Ketenagakerjaan menjadi salah satu bentuk bahwa hukum

sebagai sarana pembaharuan masyarakat hasil dari kombinasi undang

undang dan putusan badan peradilan yang membuat satu tafsiran yang

diharapkan dapat menjamin kepastian hukum dari isi pasal tersebut.

Di sinilah pentingnya penegakan hukum harus memperhatikan 3

(tiga) unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rec

htssichenheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtig

keit)43. Putusan Mahkamah Kontitusi tentang penafsiran pasal 158 terk

ait pemutusan hubungan kerja akibat kesalahan berat tidak bisa diberla

kukan secara umum untuk setiap tetapi harus dengan mempertimbangk

an nilai-nilai yang bersumber dari lingkungan para pihak yang berselisih

dan berbeda kepentingannya.

Oleh karena itu penegakan hukum diperlukan dengan menelaah

nilai-nilai, prinsip-prinsip dari pasal-pasal pemutusan hubungan kerja da

n penerapannya termasuk kaitannya dengan putusan Mahkamah

Konsitusi (MK) menjatuhkan putusan No.012/PUU-I/2003,

tertanggal 28 Oktober 2004 dalam rangka keseimbangan perlindunga

n hukum terhadap pekerja dan pengusaha (perusahaan) untuk member

ikan dasar pada pembentukan hukum perburuhan atau hukum ketenag

42
Sayid Mohammad Rifqi Noval, Hukum Ketengakerjaan, Hakikat Cita Keadilan dalam
Sistem Ketenagakerjaan, PT.Refika Aditama, Bandung, 2017, hlm. 73.
43
Soedikno Mertokusumo dan A. Pitio, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Cet. ke-1,
PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, hlm.1.
43

akerjaan yang menurut “Aloysius Uwiyono” salah satunya adalah unsur

kekinian dan kemasadepanan yang harus diperhatikan agar tetap dala

m suatu tingkat keserasian untuk menjamin kesejahteraan buruh 44.

Sistem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendas

ari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi

abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buru

k. Nilai-nilai tersebut lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang me

ncerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan 45. Pasangan n

ilai yang berperanan dalam hukum adalah sebagai berikut : nilai ketertib

an dan nilai ketentraman, nilai jasmaniah/nilai kebendaan dan nilai rokh

aniah/keakhlakan, nilai kelanggengan/konservarisme dan nilai kebarua

n/movarisme46. Di dalam keadaan sehari-hari, maka nilai ketertiban bias

anya disebut keterikatan atau disiplin, sedangkan nilai ketentraman mer

upakan suatu kebebasan.

Nilai-nilai itulah yang perlu dipertimbangan dalam menerapkan k

eputusan Mahkamah Konstitusi tentang penganuliran pasal 158 Undan

g Undang Ketenagakerjaan, sehingga kepastian hukum dapat ditegakk

an yang disusul dengan kemanfaatan dan keadilan bagi para pihak dal

am hukum ketenagakerjaan. Kemanfaatan dari hukum harus dirasakan

oleh pihak yang mencari keadilan dan juga oleh masyarakat, hasil kep

utusan mana yang mempunyai manfaat lebih baik bagi subyek hukum d

an masyarakat. Adapun ukuran kemanfaatan hukum yaitu kebahagiaa


44
Aloysius Uwiyono, dk, .Op. Cit, hlm. 15.
45
Soerjono Soekanto, 2016, Op.Cit, hlm. 59-60.
46
Soerjono Soekanto, 2016, Op,Cit. hlm.60.
44

n yang sebesar-besarnya bagi orang-orang. Penilaian baik buruk, adil a

tau tidaknya hukum tergantung apakah hukum mampu memberikan keb

ahagiaan kepada manusia atau tidak 47. Pemikiran ukuran kebahagiaan

tersebut berangkat dari aliran utility yang diungkapkan oleh Jeremy Ben

tham48 bahwa hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat guna men

capai hidup bahagia. Oleh karenanya Putusan Mahkamah Konstitusi ter

kait penganuliran Pasal 158 Undang Undang Ketenagakerjaan dalam s

uatu kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kesalahan berat ti

dak dapat digeneralisasi untuk diberlakukan sama untuk setiap kasus, t

etapi harus dilihat nilai-nilai dan norma hukum yang menjadi latar belak

ang terjadinya akuisisi.

Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang ber

isi keadilan. Meskipun hukum itu harus lebih dulu menegakkan ketertiba

n tujuan akhirnya adalah pembangunan keadilan. Keadilan dalam hubu

ngan kerja merupakan keseimbangan antara yang patut diperoleh piha

k-pihak baik berupa keuntungan maupun kerugian, karenanya suatu hu

kum diharapkan memenuhi prinsip pokok keadilan, kemanfaatan, dan k

epastian49.

Keadilan mempunyai banyak arti sebagaimana teori dari para ahl

i hukum tetapi keadilan dalam wacana ini lebih diutamakan pada keadil

an sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam Te

ori Hukum Pembangunan tentang Pengayoman bahwa hukum ditujuka


47
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 59.
48
Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Cet.kesembilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 3.
49
Budiono Kusumohamidjojo, op, cit, hlm 267 -351
45

n untuk menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi, sehingg

a memungkinkan proses-proses kemasyarakatan berlangsung secara

wajar. Secara adil setiap manusia memperoleh kesempatan yang luas

untuk mengembangkan potensi (lahiriah dan batiniahnya) secara utuh


50
.

Dalam hal terjadi kesalahan berat yang berakibat terhadap

pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sebelumnya diatur dalam Pasal

158 Undang Undang Ketenagakerjaan yang kemudian dianulir dengan

keputusan MK , maka pelaksanaannya harus mempertimbangkan keten

tuan pasal-pasal lain yang berhubungan dengan hak-hak pekerja dan

hak-hak pengusaha/perusahaan dengan mempertimbangkan keuntung

an dan kerugiannya, sebagaimana diungkapkan oleh Andi Hamzah dal

am Tulisannya di Tempo.co.id tentang Keadilan dalam Kepastian Huku

m, bahwa kepastian dan keadilan hukum harus dilihat sebagai dua sisi

yang tak dapat dipisahkan dari satu koin utuh, sebab keadilan mesti me

njadi tujuan utama dari kepastian hukum, selain itu keadilan sendiri tak

akan bisa ditemukan apabila tak dibangun dalam kebenaran dan kejujur

an dalam penerapan hukum.51 Jika kepastian hukum yang diiringi keadil

an sudah ditegakkan, maka perlindungan terhadap hak-hak pekerja dap

at dicapai.

http://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/viewFile/7280/3349, Jurnal Unpad, Asep


50

Warlan Yusuf, Hukum dan Keadilan, 2015.


51
https:// kolom.tempo.co/read/1154467/keadilan – dalam – kepastian - hukum,
Keadilan Dalam Kepastian Hukum, diunduh Rabu 12 Desember 2018, 07:00 WIB
46

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu

penelitian terhadap data sekunder52.

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah penelitian bersifat deskriptif analitis, yang artinya

menggambarkan fakta-fakta berupa data sekunder yang terdiri dari

bahan hukum primer (norma dasar Pancasila, UUD 1945,

peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak

dikodifikasikan, yurisprudensi. traktat), bahan hukum sekunder

yaitu bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer

dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum

primer (rancangan peraturan perundang-undangan, hasil karya

ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian), bahan hukum tersier

yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder (bibliografi, indeks

kumulatif)53.

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif,

yaitu dengan cara melakukan penelitian kepustakaan di bidang huk


52
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Cet.ke-4,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm.11.
53
Ibid, hlm. 11-12.
47

um dan bidang lainnya.54 Data yang diteliti adalah data sekunder y

ang dibedakan antara data sekunder yang bersifat pribadi dengan d

ata sekunder yang bersifat publik,55 yang dikonsepsikan terhadap

asas-asas, norma-norma, atau kaidah-kaidah hukum yang

merupakan patokan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

mengkaji ketentuan perundang-undangan dengan tetap mengarah

kepada permasalahan yang ada sekaligus meneliti

implementasinya dalam praktek. Data sekunder yang bersifat priba

di adalah dokumen pribadi dan data pribadi yang disimpan oleh pen

eliti karena pernah bekerja di perusahaan. Data sekunder yang ber

sifat publik adalah , data arsip, data resmi instansi pemerintah, dan

data lain adalah Putusan Mahkamah Konstitusi.

3. Tahap Penelitian

Penelitian dilakukan melalui 2 tahapan yaitu penelitian kepu

stakaan dan penelitian lapangan adalah sebagai berikut :

a. Penelitian Kepustakaan

Pada tahap ini dilakukan tahapan pengumpulan data melalui

studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data berdasarkan

referensi dari buku-buku kepustakaan berbagai peraturan

perundang-undangan atau literatur-literatur yang berhubungan

54
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitkan Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Cet.ke-17, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm, 24.
55
Ibid. hlm 24 – 25.
48

dengan permasalahan penelitian guna mendapatkan bahan

hukum primer, sekunder dan tersier, yaitu :

a) Bahan hukum primer berupa UUD 1945, peraturan


perundang-undangan yang berkaitan dengan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
dihubungakan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas, dan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja, serta
Surat Edaran Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 pada 7
Januari 2005

b) Bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku, literatur


tentang hukum, artikel, jurnal dan teori hukum.

c) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang


memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum
primer dan sekunder, seperti kamus hukum, dan
ensiklopedi.

b. Penelitian lapangan

Penelitian lapangan (field research) ini dimaksudkan untuk

mendapat data primer, tetapi diperlukan hanya untuk

menunjang dan melengkapi data sekunder.

4. Teknik Pengumpulan Data


49

Dalam Penelitian ini teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah studi kepustakaan, pengamatan (observasi) dan

wawancara (interview)56.

a. Studi kepustakaan terhadap data sekunder yang bersifat publik,

adalah data arsip, data resmi pada isntasi pemerintah, data

yang dipublikasikan (misalnya: Yurisprudensi Mahkamah

Agung, dan Putusan Mahkamah Konstitusi)57.

b. Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan

bertanya langsung pada yang diwawancarai. Wawancara

merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi 58.

5. Alat Pengumpulan Data

a. Data Kepustakaan

Data penelitian kepustakaan dengan mepelajari materi

bacaan buku buku ilmiah, lietratur, catatan-catatan hasil

inventarisasi bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer,

sekunder dan tersier.

b. Data Lapangan

Dalam penelitian lapangan penulis menyiapkan alat berupa

pedoman wawancara, handphone untuk merekam dan

mengambil gambar, flashdisk, catatan, terjemahan dan lain-

56
Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit, hlm.51.
57
Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit, hlm.51.
58
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hlm.57.
50

lain.

6. Analisis Data

Sesuai dengan metode pendekatan yang diterapkan, maka

data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara yuridis

kualitatif yaitu kegiatan untuk mengadakan sistematisasi

terhadap bahan-bahan hukum tertulis dan tidak tetulis untuk

menemukan asas-asas hukum, dengan urutan mengumpulkan,

data bahan hukum bidang tertentu, mengklasifikasi, menganalisa

dengan mempergunakan pengertian-pengertian dasar dari

sistem hukum yang lazimnya meliputi, subyek hukum, hak dan

kewajiban, peristiwa hukum, dan objek hukum yang kesemuanya

merupakan norma hukum, kemudian dilakukan kontruksi, dan

sikronisasi secara horizontal maupun vertikal, 59 sehingga

akhirnya bisa didapat suatu kesimpulan dan rekomendasi.

7. Lokasi Penelitian

a. Perpustakaan

1) Perpustakaan Pascasarjana Universitas Pasundan Jl.

Sumatra No 41 Bandung.

2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan

Bandung, Jl. Lengkong Dalam No. 17 Bandung.


59
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan kedua, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1985. hlm 94 – 99.
51

b. Lapangan

1) Kantor Pusat PT. Pos Indonesia (Persero) jl . Banda no 30

bandung 40005

2) Kantor Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung Jl. R.A.A. Marta

Negara No.4 Turangga , Kec. Lengkong Kota Bandung.

3) APINDO Jawa Barat, Jl. Gading Utama, Cisaranten Endah

Kec. Arcamanik, Kota Bandung.

4) DPP SPPI, Jl. Katamso No.37 Bandung

8. Jadual Penelitian

Rencana/Jenis 2020– 2021


Kegiatan
sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Aprl
Pengajuan judul
dan acc judul
Persiapan
penyusunan
proposal
Bimbingan

Seminar

Pengumpulan dan
PengolahanData
Analisa Data

Penyusunan Tesis

Sidang Tesis
52

Perbaikan dan
pengesahan

G. Sistematika Penulisan

Penelitian hukum ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :

BAB 1 : PENDAHULUAN

Pada Bab ini peneliti menguraikan tentang latar


belakang penelitian, identifikasi masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian kerangka pemikiran,
metode penelitian, jadwal penelitian serta sistematika
penulisan.

BAB II : KAJIAN TEORI TENTANG KAJIAN TERHADAP


PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT
DISHARMONISASI HUBUNGAN ANTARA PEKERJA
DENGAN MANAJEMEN STUDI KASUS PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA TERHADAP KARYAWAN PT POS
INDONESIA (PERSERO)

Pada Bab ini peneliti menguraikan pembahasan teori-


teori atau doktrin, konsep hubungan kerja antara pekerja
dan pengusaha pada Perseroan Terbatas.

BAB III : GAMBARAN UMUM PELAKSANAAN PEMUTUSAN


HUBUNGAN KERJA TERHADAP KARYAWAN PT POS
INDONESIA (Persero) AKIBAT DISHARMONIS

Pada Bab ini peneliti menguraikan tentang gambaran


proses pelaksanaan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja akibat disharmonis studi kasus di PT
pos Indonesia (Persero).

BAB IV : ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKE


RJA PT. POS INDONESIA (PERSERO) SEBAGAI DAM
PAK KLAIM TERJADINYA DISHARMONIS ANTARA
PEKERJA DENGAN MANAJEMEN PERUSAHAAN
STUDI KASUS PT POS INDONESIA (PERSERO)
53

Pada Bab ini peneliti menganalisis tentang perlindungan


hukum terhadap pekerja sebagai klaim sepihak
terjadinya disharmonis antara pekerja dengan
manajemen perusahaan studi kasus di PT Pos Indonesia
(Persero dikaitkan dengan Keputusan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor No.012/PUU-I/2003,
tertanggal 28 Oktober 2004.

BAB V : PENUTUP

Pada Bab ini menguraikan tentang bagian penutup dari


penelitian hukum yang akan berisi mengenai kesimpulan
dari hasil analisis masalah yang telah dibahas pada bab–
bab sebelumnya, dan juga akan berisi saran yang
relevan dari peneliti terkait dengan masalah yang
dibahas dan ditutup dengan daftar pustaka.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,


Cetakan Ke- 4 Edisi Revisi, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 2014.
Aloysius Uwiyono, Siti Hajati Hoesin, Widodo Suryandono, Melania
Kiswandari, Asas-Asas Hukum Perburuhan, Cet.2,
Rajagrafindo Persada, Depok, 2014.
Ana Rokhmatussa’dyah, Suratman, Hukum Investasi & Pasar
Modal, Cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2017.
Bernard Arief Sidharta, Reflexi Tentang Struktur Ilmu Hukum,
Cetakan ketiga, Mandar Maju, Bandung . 2009.
Budiono Kusumohamidjojo, Teori Hukum, Dilema Antara Hukum
Dan Kekuasaaan, Yrama Widya, Bandung, 2016.
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Cetakan ketujuh,
Djambatan, Jakarta 1985.
54

Katasapoetra, G., Kartasapoetra R.G., Kartasapoetra A.G., Hukum


Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Cet.
ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hlm. 154-155.

Mukthie Fadjar, A., Negara Hukum Dan Perkembangan Teori


Hukum, Sejarah dan Pergeseran Paradigma, Intrans
Publishing, Malang, 2018.
Munir Fuady, Hukum Tentang Merger, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 1999.
__________ , Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan
Kontemporer, Cet.ke empat, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2013.
__________ , Hukum Kontrak, Buku Kesatu, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2015.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara,PT.RajaGrafindo Persada,
2006, hlm.280.

Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Cet.kedua, Genta


Publising, Yogyakarta, 2012.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan
kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
__________ , Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Cetakan ke-4, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.
Sayid Mohammad Rifqi Noval, Hukum Ketengakerjaan, Hakikat
Cita Keadilan dalam Sistem Ketenagakerjaan,
PT.Refika Aditama, Bandung, 2017.

Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indo


nesia, Cetakan Kedua, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 199
5.
Soedikno Mertokusumo dan A. Pitio, Bab-Bab Tentang Penemuan
Hukum, Cetakan ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta,
1993.
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitkan Hukum Normatif,
Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke-17, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2015.
__________ , Faktor-Faktor Yang Mempengartuhi Penegakan
Hukum, Cetakan ke-14, Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2016.
55

Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan kelimabelas, Intermasa,


Jakarta, 1994.
Willy Farianto, dkk., Himpunan Artikel Ketenagakerjaan, PT.
RajaGrafindo Persada, Depok, 2018.
Yopie Gunawan dan Kristian, Perkembangan Konsep Negara
Hukum dan Negara Hukum Pancasila, PT. Refika
Aditama, Bandung, 2015.
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

__________ , Sosiologi Hukum, Cetakan kesembilan, Sinar


Grafika, Jakarta, 2015.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945


Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas
Undang Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Peerintahan
Daerah

C. Sumber lain
Jurnal :
Jurnal Unpad : Asep Warlan Yusuf, Hukum dan Keadilan

Materi Perkuliahan
Lili Rasjidi, Liza Sonia Rasjidi, Monograf, Filsafat Ilmu, Metode
Penelitian, Dan Karya Tulis Ilmiah Hukum
Mashudi, Hukum Ketenagakerjaan, September 2017 – Januari
2018
T. Subarsyah, Metode Penelitian Hukum, Maret 2018 -
September 2018

Putusan
56

Putusan Mahkamah Konstitusi, PUTUSAN Nomor


No.012/PUU-I/2003, tertanggal 28 Oktober 2004

Kamus
Salma, Kamus Umum Lengkap, Patma Baru, Bandung. 19086

Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya


Paramita, Jakarta 1978

C.J.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, Kamus


Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1980

Anda mungkin juga menyukai