Anda di halaman 1dari 18

TUGAS IDENTITAS, KEWENANGAN DAN LEGAL STANDING

SURAT PERMOHONAN

HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

Dosen Pengampu:
Ryan Muthiara Wasti, S.H., M.H.

Disusun Oleh

Annisa Salsabila 1906318565


Fahriza Mutiara Adhyaksa 1906303550
Khairunnisa Alkhawarijmi 1906308734
Nahda Chairunnisa Utami 1906304944
Natasya Alifia Amanda 1906306792

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2021
KASUS POSISI

Pada tahun 2007, Pemerintah beserta DPR RI mengesahkan Revisi Undang-Undang No 20


Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD (UU MD3). Pengesahan ini menimbulkan gejolak di masyarakat karena
Pemerintah dan DPR RI dianggap tidak serius dalam menangani masalah perbedaan
kewenangan DPR dan DPD bahkan terkesan mencoba menggerus kewenangan legislasi
DPD. Selain itu, proses pencalonan anggota DPD yang semula harus independent pada UU
ini berubah menjadi diperbolehkan berasal dari partai politik. Akibatnya, terjadi pro dan
kontra terhadap revisi UU MD3 tersebut.

Selain persoalan materi, undang-undang tersebut juga dianggap mempunyai permasalahan


dalam proses pembentukannya, karena asas transparansi yang seharusnya menjadi patokan
dalam pembentukan undang-undang tidak sepenuhnya dilakukan. UU tersebut disahkan
dalam kurun waktu 2 bulan sejak diajukan rancangannya oleh DPR RI.

Masyarakat kemudian mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk melakukan


pengujian Undang-Undang No 20 tahun 2007.

1
Jakarta, 9 April 2009

Nomor : 01/XI/PUU/2007
Hal : Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 tentang
Perubahan UU No. 27 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Yth. Ketua Mahkamah Konstitusi


Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6
Di Jakarta Pusat

Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini:

nama : Aksara Cahaya Abadi, S.H.


pekerjaan : Anggota DPD RI
warga negara : Indonesia
alamat : Jl. Menteng Kemang Raya No.100 Rt.015/ Rw.007 Kec. Menteng,
Jakarta Pusat. 10310
nomor telepon/hp : 08756453914267
nomor faksimili : 021-5263082
e-mail : aksaracahaya@gmail.com

Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 50 Undang-Undang Nomor 20 Tahun


2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (“UU MD3”) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945).

Untuk selanjutnya disebut dengan “PEMOHON”:


I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”;

2
2. Bahwa selanjutnya Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”;
3. Bahwa kemudian pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan,
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
4. Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi (the
guardian of constitution). Artinya, apabila terdapat Undang-Undang yang berisi atau
terbentuk bertentangan dengan konstitusi (inconstitutional), maka Mahkamah
Konstitusi dapat menganulirnya dengan membatalkan keberadaan Undang-Undang
tersebut secara menyeluruh atau pun per pasalnya;
5. Bahwa melalui permohonan ini, Pemohon mengajukan Pengujian Undang-Undang
No 20 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 1999
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (“UU MD3”) terhadap UUD; dan
6. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa dan mengadili permohonan ini.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

1. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003


tentang Mahkamah Konstitusi beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD
1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan Warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

3
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
2. Bahwa sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-111/2005 tanggal
31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU- V/2007 tanggal
20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah berpendirian
bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan
oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual/
atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
3. Bahwa Pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang merupakan anggota Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang merasa hak konstitusionalnya
dirugikan dengan berlakunya Pasal 50 UU No. 20 Tahun 2007 tentang Perubahan
atas Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(“UU MD3”) terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
merumuskan “Menghapus kewenangan legislasi DPD dalam hal mengajukan dan
membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah.
Kemudian, dalam hal proses pencalonan anggota DPD diperbolehkan melalui jalur
independen maupun partai politik.” dalam hal ini, rumusan dalam Pasal tersebut
bertentangan dengan ketentuan Pasal 22D ayat (1) Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi :
Pasal 22D ayat 1
“Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat

4
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah”.
Sehingga dapat diketahui bahwa rumusan dari Pasal 50 UU No. 20 Tahun 2007
yang telah dijelaskan diatas bertentangan dengan ketentuan mengenai wewenang
DPD yang dirumuskan dalam Pasal 22 D UUD Negara Republik Indonesia 1945
yaitu pengurangan wewenang DPD dalam hal legislasi membatasi kewenangan
anggota DPD sebagai senator yang berhak menyampaikan aspirasi masyarakat dari
daerahnya masing-masing.
4. Bahwa Pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang merasa haknya dirugikan
dengan berlakunya Pasal 50 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (“UU MD3”) terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan a quo.

III. ALASAN PERMOHONAN (posita)


Pasal 50 UU Nomor 20 Tahun 2007 tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 28C Ayat 2
dan 28D Ayat 1 UUD NRI 1945
1. Bahwa ketentuan Pasal 50 Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 tentang Perubahan
atas Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (“UU
MD3”) tidak memberikan kewenangan kepada legislasi DPD dalam hal mengajukan
dan membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah.
2. Bahwa ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 tentang Perubahan
atas Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (“UU
MD3”. Bahwa ketentuan Pasal tersebut, mempersempit kesempatan bagi masyarakat
umum yang ingin mencalonkan diri menjadi anggota DPD secara independen
dikarenakan berlaku ketentuan tambahan mengenai pencalonan anggota DPD melalui
partai politik.
3. Bahwa Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945 secara jelas menentukan bahwa “Setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.” Dengan dibatasinya

5
hak setiap anggota untuk memajukan dirinya untuk dipilih dalam pencalonan anggota
DPD maka anggota tersebut sudah kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan
haknya membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
4. Bahwa dengan berlakunya Pasal 50 Undang-Undang No. 20 Tahun 2007
kemungkinan Anggota DPD, dapat mempengaruhi konflik kepentingan dalam
pengajuan rancangan undang-undang, yaitu kepentingan sebagai perwakilan daerah
dalam otonomi daerah. Hal tersebut dapat menyebabkan adanya benturan kepentingan
antara Anggota DPD dengan partai politik dalam mewakili kepentingan daerahnya
masing-masing.
5. Bahwa Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI 1945 secara jelas menentukan bahwa “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Dengan diakuinya perlakuan
yang sama dihadapan hukum dapat diketahui bahwa Pemohon selaku anggota DPD
berhak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
dalam hal upaya pengajuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 yang dilakukan
oleh Pemohon.
6. Bahwa kegiatan yang dimaksud adalah :
a. Bahwa berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ketua DPD Irman
Gusman pada Sidang Paripurna bersama dengan MPR mengatakan bahwa
“akan lebih baik jika DPD memiliki kemandirian dalam hal anggaran yang
dibahas bersama DPR dan Presiden”. Dalam hal ini pernyataan Ketua DPD
tersebut selaras dengan permohonan yang diajukan oleh Pemohon karena
rumusan Pasal 50 Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 bertentangan dengan
wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (Bukti P-1).
b. Bahwa berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi yaitu
Arief Hidayat yang berpendapat bahwa konsep pembentukan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2007 terkait kewenangan DPD tidak mengindahkan Putusan
Mahkamah Konstitusi No.006/PUU-/11/2005 Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 11/PUU-V/2007 (Bukti P-2).
7. Bahwa Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan “Dewan Perwakilan Daerah
dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan

6
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.” Maka keterlibatan
DPD yang diatur Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, pada dasarnya memberikan
pertimbangan dalam pembahasan RUU tujuan memberikan kesempatan kepada DPD
agar dapat memberikan perspektif dan pendapat atas RUU yang dibahas terkait
dengan kepentingan daerah. Dengan diberlakukannya Pasal 50 Undang-Undang No
20 tahun 2007 tersebut, penyaluran aspirasi daerah akan mengurangi intensitas
penentuan kebijakan nasional yang dapat berpotensi menimbulkan ketimpangan serta
kurang meratanya pembangunan di tingkat pusat dan daerah.
8. Bahwa Pasal 22D Ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan “Dewan Perwakilan Daerah
ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah;
hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan dan agama.” Dengan adanya ketentuan dari Undang-Undang Dasar
tersebut memberikan kesempatan pada DPD untuk dapat ikut membahas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah.
9. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-111/2005 memperkuat Pasal
22D ayat (1) dan 22D Ayat (2) UUD NRI 1945, dengan menyimpulkan empat pokok
konstitusional DPD yaitu kewenangan DPD mengusulkan RUU yang diatur Pasal
22D ayat (1) UUD 1945, diperlakukan setara RUU dari presiden dan DPR.
Kemudian, kewenangan DPD ikut membahas RUU yang disebut Pasal 22D UUD
1945 bersama DPR dan presiden. Selanjutnya, kewenangan DPD memberi
persetujuan atas RUU yang disebut Pasal 22D UUD 1945. Selain itu, keterlibatan
DPD dalam penyusunan program legislasi nasional (prolegnas) sama dengan
keterlibatan presiden dan DPR.

Pengujian Formil
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-111/2005 tanggal 31 Mei 2005
dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September
2007 telah memberikan batasan waktu 60 hari sejak Undang-Undang disahkan dan
dimuat dalam Lembar Negara Republik Indonesia, sebagai tenggat untuk
mengajukan pengujian formil.

7
2. Landasan pengujian formil.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No
20 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (“UU MD3” ).
Pasal 50 UU 20/2007
“Menghapus kewenangan legislasi DPD dalam hal mengajukan dan membahas
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah. Kemudian,
dalam hal proses pencalonan anggota DPD diperbolehkan melalui jalur
independen maupun partai politik”.
Undang-Undang terhadap UUD 1945
Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”;
3. Dalil dan argumentasi Pemohon
Proses pembentukan UU yang dimohonkan pengujiannya oleh para pemohon telah
melanggar ketentuan formil pengambilan keputusan pada waktu itu, yaitu tata tertib
dalam Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang yaitu Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-111/2005 terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik 1945. Lebih lanjut, pemohon mengajukan uji formil.

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar yaitu Undang-Undang Nomor 20


Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 20 Tahun 1999 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD (“UU MD3”) yang dianggap terdapat cacat secara
prosedural.

a. Bahwa terdapat ketidaksesuaian bentuk, format, dan struktur UU MD3


sebagaimana ditentukan dengan UUD 1945. Menurut pemohon, Pasal 22D
ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Daerah dapat
mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-Undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah dalam hal ini Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2007. Oleh karena itu, terdapat ketidaksesuaian bentuk, format, dan
struktur Undang-Undang a quo, adalah bertentangan dengan asas kesesuaian
antara jenis, hierarki, dan materi muatan sebagaimana diatur dalam ketentuan

8
Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pembentukan undang-undang.
b. Bahwa berdasarkan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang
memberikan kewenangan konstitusional DPD dalam fungsi legislasi yang
kemudian dikuatkan dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-111/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Pengikut
sertaan pemohon dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2007
merupakan amanat dari Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945 karena
Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 salah satu materi muatannya mengatur
tentang DPD. DPD merupakan salah satu kelembagaan untuk melaksanakan
otonomi daerah. Dengan demikian Undang-Undang No. 20 Tahun 2007
sekaligus juga dinilai tidak memenuhi ketidaksesuaian kewenangan lembaga
yang mengambil keputusan proses pembentukan undang-undang sebagaimana
diatur dalam ketentuan dalam undang-undang. Lebih lanjut, hak menguji
formal menurut Sri Soemantri yaitu wewenang untuk menilai apakah suatu
produk legislatif contohnya undang-undang misalnya terbentuk melalui
cara-cara sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam pengaturan
perundang-undangan yang berlaku atau tidak.

Pengujian Materiil
1. Bahwa Undang-Undang yang dimohonkan pengujian (Pasal 50 Undang-Undang No.
20 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD (“UU MD3”) bertentangan dengan Norma UUD 1945
yang dijadikan sebagai dasar pengujian (Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945.

2. Norma Undang-Undang
Undang-Undang terhadap UUD 1945

Pasal 22D UUD 1945


“Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah”.

9
Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945
(2) “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.”

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945


“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

3. Dalil dan argumentasi Pemohon

Bahwa sesungguhnya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi


Nomor 6 Tahun 2005. Hak Asasi Manusia seperti yang dimuat dalam Pasal 28 UUD
NRI 1945 yang menjadi dasar dari pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007
tentang Perubahan atas Undang-Undang No 20 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (“UU MD3” ) adalah ikhtiar yang sungguh-sungguh dari Pemohon selaku
Warga Negara Indonesia dan sebagai anggota dari Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia untuk memperjuangkan kewenangan legislasi dalam hal
pengujian rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah sehingga
dapat menyampaikan aspirasi yang diserap dari daerah. Dengan adanya penghapusan
kewenangan legislasi DPD dalam hal mengajukan dan membahas rancangan
undang-undang maka dapat menghilangkan kesempatan untuk memperjuangkan
haknya membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Dengan demikian,
kewenangan legislasi yang dimiliki DPD untuk membahas rancangan undang-undang
tentang otonomi daerah seharusnya tidak dihapuskan sebagaimana dalam ketentuan
Pasal 50 Undang-Undang 20 Tahun 2007 yang sesungguhnya bertentangan pula
dengan Hak Asasi Manusia tepatnya pada Pasal 28C Ayat (2) dan 28D Ayat 1 UUD
NRI 1945.

IV. PETITUM
a. Pengujian Formil
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi
untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Pembentukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 tentang Perubahan atas

10
Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (“UU
MD3”) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007, Nomor 4136, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4508) tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
3. Undang-Undang Nomor Tahun 20 tentang 2007 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (“UU
MD3”) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007, Nomor 4136, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4508) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
b. Pengujian Materiil
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menyatakan materi muatan ayat dan/atau pasal dari undang-undang yang dimohonkan
pengujian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3. Menyatakan materi muatan ayat dan/atau pasal dari undang-undang yang dimohonkan
pengujian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
a. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
b. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(“UU MD3”) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007, Nomor
4136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4508)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c. Pasal 50 Undang-Undang Nomor Tahun 20 tentang 2007 tentang Perubahan
atas Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(“UU MD3”) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007, Nomor
4136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4508) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat
d. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik

11
Indonesia sebagaimana mestinya.
Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono).

Hormat kami,
Pemohon/Kuasa Hukum Pemohon,

Aksara Cahaya Abadi, S.H.

12
LAMPIRAN
DAFTAR BUKTI
1. Bukti [P-1]: Keterangan Ketua DPD Irman Gusman
2. Bukti [P-2]: Keterangan Hakim Konstitusi Arief Hidayat
3. Bukti [P-3]: Identitas Pemohon atas nama Aksara Cahaya Abadi, S.H.
4. Bukti [P-4]: Fotocopy NPWP atas nama Aksara Cahaya Abadi, S.H.

Bukti [P-1]

Ketua DPD Irman Gusman diwawancara

Bukti [P-2]

13
Bukti [P-3]
Fotocopy KTP atas nama Aksara Cahaya Abadi, S.H.

Bukti [P-4]
Fotocopy NPWP atas nama Aksara Cahaya Abadi, S.H.

14
Tambahan :

15
SURAT KETERANGAN AHLI

Keterangan Ahli : Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U., M.I.P
a. Dihadirkannya ahli untuk didengar pendapat/keterangannya mengenai Pasal 50
Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27
Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (“UU MD3”) oleh Pemohon;
b. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (“UU MD3”) “Menghapus kewenangan legislasi DPD dalam hal mengajukan
dan membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah.
Kemudian, dalam hal proses pencalonan anggota DPD diperbolehkan melalui jalur
independen maupun partai politik.” adalah merupakan kewenangan legislasi dari
DPD yang tidak dapat dikurangi. Hal tersebut dikarenakan wewenang DPD dalam hal
pengajuan dan pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah adalah kewenangan yang diberikan oleh UUD Tahun 1945. Sehingga
jika wewenang tersebut dihapuskan maka ketentuan Pasal 22 UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 haruslah diamandemen terlebih dahulu;
c. Mengenai permasalahan yuridis yang dialami oleh Pemohon berkaitan dengan
“pendapat ahli” dalam penyelesaian perkara Pemohon, pada prinsipnya terdapat
perampasan wewenang hukum oleh DPR;
d. Bahwa perbaikan yang disampaikan diperkenankan menjadi satu kesatuan dari
keterangan yang nanti akan disampaikan tentang penelitian. Dimohonkan untuk
menyampaikan keterangan ahli sesuai dengan ilmu dalam sistem perubahan
undang-undang;
e. Dapat dikatakan bahwa perubahan terhadap Pasal 50 Undang-Undang No. 20 Tahun
2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD (“UU MD3”) yang dilakukan pada perubahan kedua ini, telah
mengurangi kewenangan legislasi dari DPD, di mana terdapat upaya-upaya luar biasa
secara filosofi yang ditekankan kepada usaha untuk bersama-sama membahas
rancangan Undang-Undang bersama DPR;
f. Sebagaimana telah diuraikan di atas, kewenangan MK dalam melakukan pengujian
Undang-Undang terhadap UUD 1945 meliputi segi waktu (Undang-Undang yang
diundangkan baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945); lingkup materi,
bahwa yang diuji oleh MK meliputi pengujian materi muatan Undang-Undang

16
(materieele toetsing), apakah materi UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945;
dan pengujian atas proses pembentukan Undang-Undang (formele toetsing) apakah
telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau tidak (vide Pasal
51 ayat (4) UU MK); dan lingkup keleluasaan, yaitu MK dapat menguji keseluruhan
materi muatan dalam suatu Undang-Undang; pasal atau ayat tertentu; dan bagian
tertentu dari Undang-Undang (Pasal 60 UU MK);
g. Bahwa dalam keterangannya ahli berpendapat dengan adanya pengesahan Pasal 50
Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27
Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (“UU MD3”) ini menimbulkan
gejolak di masyarakat hal ini disebabkan Pemerintah dan DPR RI dianggap tidak
serius dalam menangani masalah perbedaan kewenangan DPR dan DPD bahkan
terkesan menggerus kewenangan legislasi DPD;
h. Dilihat dari pengujian Undang-Undang yang menjadi kewenangan MK maka inti
pengujian adalah permasalahan substansi dari suatu Undang-Undang, yang dianggap
memberikan kerugian konstitusionalitas bagi warga negara. Berdasarkan kewenangan
MK dalam Pasal 24C ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 MK
memiliki wewenang pengujian terhadap Pasal 50 Undang-Undang No. 20 Tahun 2007
tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (“UU MD3”);
i. Dari Permohonan yang didalilkan oleh Pemohon, permasalahan yang terjadi adalah
ada pada permasalahan substansi suatu Undang-Undang yaitu berkaitan dengan
kewenangan legislasi oleh DPR yang dengan berlakunya Pasal 50 Undang-Undang
No. 20 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 27 Tahun 1999
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (“UU MD3”) dianggap mempersempit ruang
lingkup kewenangan dan independensi dari DPD;
j. Dengan demikian, berdasarkan keterangan yang telah disampaikan pada poin
sebelumnya, maka Pemohon dalam pengajuannya telah sesuai dengan teknis
pengajuan di Mahkamah Konstitusi, selain itu substansi yang diajukan telah memuat
dan memenuhi ketentuan kompetensi relatif dalam hal Pengujian Undang-Undang.
Maka sekiranya permohonan yang diajukan oleh Pemohon selayaknya dapat diterima
oleh Majelis Hakim.

17

Anda mungkin juga menyukai