Anda di halaman 1dari 20

PUTUSAN

NOMOR 120/PUU-XXII/2022

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan
terakhur, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] Raisa , tempat/tanggal lahir Jakarta, 20 April 2003, umur 19 tahum, kewarganegaraan
Warga Negara Indonesia, pekerjaan Mahasiswa, agama Islam, beralamat di Jalan Margasatwa
II No. 1 Ragunan, Jakarta Selatan.
Selanjutnya disebut sebagai……………………………………………………………….PEMOHON;

[1.3] Telah membaca permohonan Pemohon;


Telah membaca keterangan Pemohon;
Telah memeriksa bukti-bukti;
Telah mendengar keterangan saksi dan ahli dan Pemohon;
Telah membaca kesimpulan tertulis dari Pemohon;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan surat


permohonannya bertanggal 11 November 2022 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 13
November 2022, dengan registrasi Perkara Nomor 69/PUU-XXII/2022, yang telah diperbaiki
dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 November 2022, yang
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 (P-1), menyatakan:“Partai Politik yang telah disahkan
sebagai badan hukum berdasarkan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik
tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-
Undang ini dengan mengikuti verifikasi”.

2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 (P-2) menyatakan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum”.

3. Bahwa kemudian ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor tentang Mahkamah Konstitusi
(untuk selanjutnya disebut UU MK (P-3)) menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final,untuk: (a) menguji
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

4. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, untuk: (a) menguji Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

5. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang memiliki
peran penting guna mengawal dan menegakkan konstitusi beadasarkan kewenangan dan
kewajiban sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan dasarnya
konstitusi. Apabila undang-undang dibentuk bertentangan dengan Konstitusi atau Undang-
undang Dasar Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan undang-undang tersebut
secara menyeluruh atau sebagian pasal atau pula menafsirkan undang-undang seupayanya dia
dapat mengikat secara konstitusional..
6. Bahwa melalui permohonan ini, Pemohon mengajukan pengujian materil atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah melalui
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801).

7. Bahwa permohonan materiil diajukan atas Pasal 51 ayat (1) UU Partai Politik yang berbunyi:
“Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang- Undang Nomor
2 Tahun 2008 tentang partai politik tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan
penyesuaian menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi”.

Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pasal:

8. Pasal 28 yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran


dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

9. Pasal 28C ayat (2) yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya.”

10. Pasal 28I ayat (2) yang berbunyi: “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu.”

11. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa dan mengadili permohonan a quo.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON


1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (P-4) menyatakan bahwa para pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu:

a. Perorangan WNI;…

2. Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK (P-4) menyatakan bahwa: "Yang dimaksud dengan
“hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.”
3. Bahwa sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 (P-5) tanggal 31
Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 (P-6) tanggal 20
September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK, harus memenuhi lima syarat, yaitu:
A. Adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Hak konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh pemohon telah dirugikan
oleh suatu undang-undang yang diuji.
C. Kerugian konstitusional pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus
dan aktual atau setidaknya bersifat yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan terjadi.
D. Hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang
dimohonkan untuk diuji.
E. Kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
4. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia yang merasa hak konstitusionalnya
dirugikan dengan berlakunya Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
5. Bahwa dengan demikian, Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal
standing).
III. POKOK PERMOHONAN
1. Bahwa dalam menjamin proses demokrasi, negara Indonesia harus menjamin
kebebasan rakyat-rakyatnya dalam menyelenggarakan pertemuan dalam berserikat
dengan tujuan bersama-sama untuk berpolitik dan bermasyarakat. Dalam
penyelenggaraannya, Indonesia harus berdasarkan dengan hukum yang mengatur hal
tersebut. Di dalam hukum tersebut harus bisa ditafsirkan, dilaksanakan, dan diawasi
untuk kepentingan rakyat, sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Dalam rangka menjalankan demokrasi tersebut, tidak boleh ada
satu badan pun yang menghalangi dan menghambat proses demokrasi.
2. Bahwa dalam menjalankan proses demokrasi yang benar dan berpedoman dalam
hukum, disusun Undang-Undang yang dapat mengakomodasi perkembangan dan
proses demokrasi tersebut yang sesuai dengan semangat demokrasi dan
berkepentingan yang mendukung proses demokrasi melalui Undang-Undang No. 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik. Selanjutnya diubah beberapa bagian di dalamnya
melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pembentukan Partai Politik memiliki asas-asas
yang di dalamnya adalah hak-hak yang dikandung pada UUD 1945.
3. Bahwa tujuan dalam Partai Politik yang ingin melakukan kegiatan-kegiatan
berdemokrasi harus memiliki status berbadan hukum supaya memudahkan partai politik
melakukan demokrasi. Status berbadan hukum tersebut diatur pada pasal 3 ayat 1 pada
UU 2/2011 tentang Perubahan atas UU 2/2011 dimana Partai Politik harus didaftarkan
menjadi badan hukum ke Kementerian. Proses penyelenggaran tersebut merupakan
bentuk demokrasi yang telah berdasarkan kepada hukum dan sesuai dengan semangat
demokrasi.
4. Bahwa perlu disadari bahwa proses demokrasi telah ada sepanjang sejarah Indonesia.
Sejarah Indonesia memperlihatkan partai politik yang telah berdiri dalam kurun waktu
yang lama. Memiliki tradisi-tradisi dalam berpolitik dan berdemokrasi sehingga memiliki
cakupan demokrasi yang sehat dan memahami Indonesia. Hal ini merupakan warisan
budaya yang harus dijaga ketat oleh Indonesia. Dengan pertimbangan tersebut,
bubarnya partai politik tanpa alasan yang tidak jelas dan tidak berdasar pada
pertimbangan yang wajar harus dihilangkan. Hal ini diupayakan untuk menjamin proses
demokrasi di Indonesia.
5. Bahwa berdasarkan pasal 51 ayat (1) dengan bunyi: “ Partai Politik yang telah disahkan
sebagai badan hukum berdasarkan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
partai politik tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian
menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi.” Merupakan kerugian
konstitusional yang dialami oleh Pemohon karena penafsiran pada kalimat “…….
Dengan mengikuti verifikasi.” Verifikasi meruju pada pasal 3 ayat di atas.
6. Bahwa proses verifikasi merupakan proses yang dapat memberikan penolakan terhadap
suatu partai politik yang bersangkutan walaupun sudah diakui. Verifikasi yang dialami
oleh suatu partai politik berhubungan dengan kriteria-kriteria yang dimaksud pada pasal
2 pada Undang-Undang nomor 2 tahun 2011. Terdapat beberapa penafsiran yang dapat
berpotensi kepada pelanggaran kepada hak-hak yang dilindungi.
7. Hak-hak yang dilindungi oleh konstitusi pada UUD 1945 mencakup kepada pasal-pasal
batu uji karena akan merugikan pemohon. Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin
kebebasan berserikat dan berkumpul. Jika suatu partai politik yang melakukan verifikasi
tidak diterima, maka partai politik sebelumnya yang telah diakui sebelum Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2011 akan kehilangan hak-haknya untuk berkegiatan demokrasi
seperti Pemilu. Hal ini diatur pada proses verifikasi Partai Politik sebagaimana telah
diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
8. Bahwa sebagaimana tujuan partai politik pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
pasal 10 merupakan hak konstitusional yang diatur oleh UUD 1945 pada pasal 28C ayat
2 berbunyi “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.” Jika
proses verifikasi partai politik oleh partai politik sebelumnya terjadi penolakan, maka
partai politik sebagai sarana menuju kemajuan diri dan negaranya akan dilanggar. Hal
ini akan mengakibatkan kerugian constitutional yang besar bagi pemohon dan rakyat
Indonesia.
9. Bahwa kerugian constitutional pada proses verifikasi partai politik yang kemungkinan
ditolak dapat merugikan hak konstitusional pada pasal 28I ayat 2 dengan bunyi: “Setiap
orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Dimana
perlakuan yang bersifat diskriminatif oleh proses verifikasi partai politik sebelumnya
seakan-akan meniadakan dan mengesampingkan tradisi demokrasi yang ada di
Indonesia.

IV. PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian sebagaimana tersebut di atas, Pemohon memohon agar
Mahkamah Konstitusi berkenan memeriksa permohonan Pemohon dan memutuskan:
1. Mengabulkan permohonan pengujian undang-undang Pemohon;
2. Menyatakan pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Partai Politik bertentangan
dengan UUD NRI 1945;
3. Menyatakan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Partai Politik tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
4. Memerintahkan amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik untuk dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
[2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah
mengajukan bukti tertulis yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-3, sebagai berikut:

1. Bukti P-1 : Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24C ayat (2);


2. Bukti P-2 : Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24C ayat (1);
3. Bukti P-3 : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

4. Bukti P-4 : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005

5. Bukti P-5 : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007

[2.3] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 18 Desember 2022, Pemohon mengajukan
seorang ahli, yang telah memberikan keterangan di bawah sumpah/janji, pada pokoknya
sebagai berikut:

[2.3.1] Keterangan Ahli Pemohon DR. Isa Iuysiam Marimasi, S.H., M.H., PhD.,

● Bahwa Hak politik dalam demokrasi merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan.
Sistem demokrasi dan hak yang diatur oleh hukum merupakan ciri demokrasi yang
sehat dan kuat. Secara infrakstruktur politik, hukum sebagai salah satu instrument
negara adalah cara yang kuat dalam menstabilkan pemerintahan yang berdasar. Sistem
demokrasi yang berjalan oleh suatu norma hukum yang telah disepakati dan disahkan
oleh perwakilan rakyat memuat norma yang restitutive dan represif.
● Bahwa Dalam konteks hak-hak politik dalam konstitusi sebagai suatu norma hukum,
terdapat setidaknya unsur-unsur politik seperti hak untuk menyatakan pendapat, hak
untuk berserikat, hak untuk memajukan dirinya dan bangsanya, hak untuk memperoleh
informasi politik dan transparansi pemerintah, dan hak-hak untuk memberikan ekspresi
bebas kepada masyarakat. Hak-hak ini seharusnya dijaga kepada peraturan perundang-
undangan di bawahnya supaya sifat konstitusi sebagai pelaksana tujuan negara yang
menjadi patokan bernegara bertindak sebaik-baiknya.
● Bahwa Terdapat beberapa hak-hak politik yang telah dijamin dan dilindungi negara
sebagai hak asasi manusia:
a) Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang;
b) Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
c) Pasal 28D ayat (3): Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan;
● Bahwa Selain hak-hak politik yang tertulis dalam konstitusi, terdapat hak-hak lain yang
tidak disebutkan oleh konstitusi tapi hidup di dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan
bahwa hak-hak masyarakat itu sebagai konstitusi, tertulis ataupun tidak tertulis harus
dijaga dan diberikan perlindungan. Ini berhubungan dengan kehidupan bernegara yang
baik bagi rakyat Indonesia.
● Bahwa Partai Politik memberikan simbol demokrasi terhadap suatu negara dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Partai politik sebagai lembaga masyarakat yang
mengurusi norma-norma politik dan pemerintahan di masyarakat merupakan tradisi
sistem demokrasi universal. Partai politik terdiri dari individu, kelompok atau gabungan
dari kedua hal sebelumnya dan memiliki tujuan politik yang sama. Tujuan pembentukan
partai politik itu semata wayang sebagai pengejawantahan dari demokrasi.
● Bahwa Sebelumnya belum pernah ada praktik partai politik semenjak berdirinya suatu
pemerintahan modern. Sistem demokrasi secara langsung merupakan demokrasi yang
sesungguhnya. Keunggulan demokrasi langsung sebagai sistem merupakan cara
terbaik untuk mengadministrasi pemerintahan. Akan tetapi, setelah memiliki masyarakat
yang banyak dan kompleks tersebut, sistem perwakilan tidak serta merta harus
langsung seperti pada organisasi kewibawaan sebelumnya. Demokrasi berpindah
makna menjadi suatu sistem perwakilan yang mewakili suara banyak masyarakat.
Namun, melihat masyarakat yang luas itu demokrasi tidak langsung merupakan sistem
yang sudah tepat.
● Bahwa Sistem demokrasi tidak langsung ini dapat diwakilkan dengan suatu lembaga
yaitu partai politik. Oleh karena itu, semua negara yang berdemokrasi secara luas dan
masih akan menggunakan partai politik sebagai kendaraan berpolitik.
● Bahwa Partai politik itu sendiri tidak dapat berdiri jika hak-hak politiknya tidak dijaga.
Proses hukum di setiap negara mengalami permasalahan serupa, pendirian partai politik
akan selalu berhubungan dengan konflik politik ketika ia sudah berdiri. Pemerintah
menggunakan instrument hukum untuk bisa menjaga hal-hal tersebut bisa dicegah.
Salah satunya adalah dengan mengatur pembentukan, hak, kewajiban, dan
tanggungjawab partai politik. Praktik politik yang dilakukan oleh Partai Politik sama
dengan hak-hak politik pada konstitusi. Akan tetapi, karena sebagai partai politik yang
memiliki hak dan kewajiban, Partai Politik memiliki hak-hak yang berbeda di dalamnya.
Pastinya, hak dan kewajiban tersebut harus bisa dijaga karena kepentingan demokrasi.
● Bahwa Segala hambatan yang menghalangi hak dan kewajiban dari Partai Politik
ataupun sesuatu yang pada akhirnya merugikan Partai Politik tanpa sebab yang jelas
harus dicegah.

[2.4] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 18 Desember telah didengar keterangan
dari Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Mahkamah
telah pula menerima keterangan tertulis dari Pemerintah yang diterima oleh Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 30 November 2022, pada pokoknya sebagai berikut:

Keterangan Pemerintah

● Bahwa proses verifikasi sebagaimana yang diatur oleh pasal 51 ayat (1) UU Partai
Politik merupakan manifestasi dari kepastian hukum yang menjadi kewajiban dari
pemerintah untuk lakukan. Proses verifikasi merupakan serangkaian kegiatan
administrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menelaah apakah suatu
partai politik sudah memenuhi standar-standar yang diperlukan dalam memberikan
status badan hukum bagi suatu partai politik. Tujuan yang diharapkan dari proses
verifikasi adalah kemampuan pemerintah untuk meninjau secara pre-view ataupun re-
view pembentukan partai politik sebagaimana tujuan awal dari pembentukan UU Partai
Politik
● Bahwa verifikasi yang dilakukan adalah kegiatan yang sama pentingnya pada proses
demokrasi Indonesia. Proses demokrasi Indonesia yang diwakili oleh partai politik harus
mengikuti falsafah dan konstitusi Republik Indonesia. Proses verifikasi bertujuan untuk
memilah apakah partai politik tersebut mengikuti atau bertentangan dengan falsafah dan
konstitusi Republik Indonesia. Pentingnya memilah ini sejak awal adalah kepentingan
utama dalam campur tangan pemerintah dalam mengatur perpolitikan negara yang
sehat, supaya hal-hal yang tidak diinginkan bagi masyarakat Indonesia tidak dapat
terjadi.
● Bahwa verifikasi partai politik merupakan hal yang sudah menjadi tradisi demokrasi
Indonesia. Lembaga-lembaga verificator partai politik dulunya merupakan hukum tidak
tertulis maupun informal dalam pemerintahan. Lembaga ini dapat berupa badan legislatif
dan badan eksekutif sendiri. Namun, dengan perkembangan zaman yang
mengharuskan kepastian hukum menjadi utama, maka proses verifikasi sebagai
lembaga institusi harus diformalkan melalui hukum. Oleh karena itu, proses verifikasi ini
sudah menjadi tradisi itu sendiri.

[2.5] Menimbang bahwa di samping menyampaikan keterangan, Pemerintah juga telah


mengajukan seorang ahli dan seorang saksi, yang telah memberikan keterangan di bawah
sumpah/janji, yang pada pokoknya sebagai berikut:

[2.5.1] Keterangan Ahli Pemerintah Prof. James Uripansu Monash S.H., M.H., PhD.,

● Bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa konflik yang dialami dalam penafsiran kasus
verifikasi dalam partai politik adalah sesuatu yang wajar dalam memiliki dialektik
perdebatan yang panjang mengenai filosofis v. sosiologis perkara. Filosofis dalam artian
bahwa tujuan hukum semestinya dan demokrasi seutuhnya serta praktik sosiologis dari
peraturan perundang-undangan yang telah disahkan. Adapun jika dikaitkan dengan
moralitas penguasa dan kolektif mengenai maksud kedua pernyataan di atas. Akan
tetapi, sesuai dengan tujuan hukum dan pemerintah yang di dalamnya menyangkut
kepastian dan kebermanfaatan hukum, pemerintah dapat melakukan tindakan
extramonarchial act (Tindakan layaknya suatu Raja/Penguasa Absolut) demi
keberlangsungan hukum.
● Bahwa Indonesia memiliki landasan konstitusi dan tujuan negara yang jelas.
Terkandung di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai hal-hal yang
harus diutamakan sebagai konsideran utama dalam menafsirkan seluruh peraturan
perundang-undangan. Salah satu tujuan itu adalah memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan bangsa. Frasa mencerdaskan bangsa memiliki definitif yang luas jika
dikaitkan dalam aspek-aspek pemerintahan lainnya. Hal ini didasari oleh keyakinan kuat
ahli bahwa partai politik sebagai institusi sosial politik utama memiliki fungsi sosial maha
kuat untuk menahkodai pola pikir masyarakat terhadap suatu permasalahan negara.
● Bahwa tradisi demokrasi Indonesia justru akan terjaga dan berkembang dengan adanya
proses verifikasi. Tradisi demokrasi Indonesia tidak bisa serta merta dikaitkan dengan
demokrasi ala barat yang cenderung liberal ataupun komunis. Tradisi demokrasi
Indonesia berlandaskan pada nilai-nilai luhur kebersamaan dan saling isi-mengisi dan
bekerjasama. Tidak serta mertanya bekerjasama dikaitkan dengan pelaranggan dan
ketidakbolehan melainkan kebijaksanaan terbuka dengan memberikan pendapat yang
berbeda dan saling koreksi-mengoreksi. Nilai-nilai tersebut tercerminkan dalam
beberapa praktik demokrasi belakangan ini. Praktik itu antara lain:
○ Pengujian Undang-Undang semestinya pada setiap perkara di MK tidak serta
merta meyakinkan suatu pasal konstitusional atau inkonstitusional namun
menjabarkan, menafsirkan, dan mengoreksi pembentukan Undang-Undang
sebagaimana Mahkamah membantu Dewan Perwakilan Rakyat menyesuaikan
normanya di masyarakat awam.
○ Amandemen UUD 1945 yang dilakukan selama 4 kali pun merupakan bentuk
demokrasi Indonesia. Tidak pernah diantaranya suatu negara melakukan
amandemen sedemikian rupa mengurangi akan tetapi menambahkan dan
mengoreksi suatu pasal pada UUD 1945 menjadi lebih baik dan meluas kepada
Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing.
○ Musyawarah sebagaimana yang hidup dalam masyarakat tidak pernah
menunjukkan kepentingan pribadi saja namun kepentingan bersama bagi
masyarakat. Demokrasi Indonesia dibangun atas rasa kolektif yang berpikir
layaknya manusia dan alam, saling gantung-mengantung dan menambahkan
nilainya masing-masing.
● Bahwa ketika dalil permohonan Pemohon menyatakan hal tersebut tidak sesuai dengan
demokrasi, Pemohon belum mengamini demokrasi masyarakat yang semestinya
diberlakukan seakan-akan Pemohon tinggal pada norma lain.
● Bahwa dengan konsideran Demokrasi Indonesia tersebut, proses verifikasi yang
notabenenya adalah suatu sistem koreksi-mengoreksi untuk kepentingan bersama
selama tidak menganggu keberlangsungan hidup suatu individu harus dijadikan
landasan untuk menafsirkan demokrasi Indonesia.

[2.6] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan tertulis dari Pemohon dan
Pemerintah masing-masing bertanggal 22 Desember 2022, yang isinya termuat dalam berkas
permohonan;

[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka segala sesuatu yang
terjadi dipersidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan dan merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.

3. PERTIMBANGAN HUKUM

KEWENANGAN MAHKAMAH
[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah terakhir kali dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076),
Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945;

[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas
undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik ( Lembaran Negara Tahun 2011
Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5189 selanjutnya disebut UU Partai Politik)
terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang
dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945
dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:

a. Perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai


kepentingan sama);
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara;

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus
menjelaskan terlebih dahulu:
a. Kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU
MK;
b. Ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh
UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang yang dimohonkan
pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a;

[3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei
2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan
selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon danggap
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-
tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-
undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-
syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas,
selanjutnya Mahkamah akan mempertimbang kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:

1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh


Pemohon adalah Pasal 51 ayat (1) UU 2/2008 sebagaimana telah diubah oleh UU
2/2011 yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut:

Pasal 51 ayat (1)

“Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya dengan
kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti
verifikasi.”
2. Bahwa Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur oleh
Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2), yaitu:

Pasal 28

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan


tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

Pasal 28C ayat (2)

“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.”

Pasal 28I ayat (2)

“Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

3. Bahwa Pemohon adalah perorangan WNI yang dapat dibuktikan oleh Kartu Tanda
Penduduk Indonesia yang telah dilegalisir dan dibuktikan dibuat oleh pemerintah
administratif urusan kependudukan. Pemohon juga melampirkan dalam bukti Passport
Indonesia yang berlaku sehingga dapat membuktikan dirinya terikat dengan Republik
Indonesia sebagai perorangan WNI.
4. Bahwa Pemohon beranggapan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945
secara spesifik, aktual dan setidak-tidaknya potensial telah dilanggar akibat berlakunya
norma pasal a quo karena Pemohon tidak mendapatkan hak politik yang telah dijamin
an dilindungi oleh UUD 1945. Pemohon dirugikan dengan adanya proses verifikasi
karena akan menghambat pergerakan partai politik Pemohon. Proses verifikasi akan
menghambat pasal-pasal UUD 1945 a quo dengan dalil akan merenggut kesempatan
politik yang lebih luas secara kolektif. Selain itu, Pemohon berpotensi mengalami
kerugian hak konstitusional berupa halangan untuk mengembangkan diri dan
mendapatkan rasa berpolitik yang aman.
Bahwa setelah Mahmakah memeriksa bukti yang diajukan oleh Pemohon
berkaitan dengan kedudukan hukumnya dalam mengajukan permohonan a quo adalah
perorangan WNI maksa sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk Indonesia dan Pasport
Indonesia. Secara lebih lanjut, Pemohon telah menjabarkan persyaratan mengenai
kedudukan hukumnya.
[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo,
Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian
norma Pasal 51 ayat (1) UU 2/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 2/2011.

POKOK PERMOHONAN
[3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma pada Pasal 51 ayat (1)
UU 2/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 2/2011, Pemohon mengemukakan
argumetasi, selengkapnya dimuat pada bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai
berikut:
1. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan norma pada Pasal 51 ayat (1) dan frasa “...
mengikuti verifikasi.” pada UU 2/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 2/2011
telah menghilangkan hak politik perorangan dalam membentuk partai politik sehinga
melanggar konstitusi. Dengan berlandaskan pada Pasal 28 UUD 1945 yang memuat
norma kebebasan berserikat maka Pemohon merasa partai politik yang melakukan
verifikasi kembali walaupun telah diakui oleh rezim UU 2/2008 akan merasa bahwa
kerugian dalam bentuk immateril berupa penarikan status badan hukum menghambat
kebebasan tersebut.
2. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan norma pada Pasal 51 ayat (1) dengan frasa yang
sama akan melanggar kebebasan berserikat sehingga memungkinkan akibat dari
pelanggaran dan hak-hak politik lain. Norma UU 28C ayat (2) sebagai landas uji akan
melanggar partai politik sebagai kendaraan politik dalam memajukan diri sendiri dan
bangsa Indonesia secara keseluruhan. Pemohon mendalilkan ini pun akan menjadi
causla verband yang nyata bagi penarikan status Partai Politik.
3. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan norma pada pasal 51 ayat (1) dengan frasa yang
sama akan melanggar kepastian hukum dan kemungkinan rakyat Indonesia untuk
berpartisipasi dalam pemerintahan. Hal ini dilandaskan oleh batu uji Pasal 28D ayat (1)
dan (3). Penarikan status badan hukum tersebut dapat menjadi awalnya ketidakpastian
eksistensi partai politik secara harfiah-hukum. Padahal, sebagai negara hukum
eksistensi tersebut harus didasarkan hukum. Selanjutnya, partai politik yang ditarik
status badan hukumnya tidak dapat mengakses hak-hak dan kewajiban partisipasi
pemerintah. Salah satunya adalah Pemilihan Umum pada level-level pemerintahan yang
seharusnya dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) dan (3) serta Pasal 28C ayat (2).
4. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan norma pada pasal 51 ayat (1) dengan frasa yang
sama akan memberikan kesan diskriminatif jika menggabungkan dalil nomor 2 dan 3.
Hal ini akan memberikan sikap-sikap diskriminatif dalam kehidupan berbangsa yang
tentunya dilarang oleh pasal 28I ayat (2).
5. Bahwa berdasarkan uraian dalil-dalil tersebut di atas, Pemohon memohon kepada
Mahkamah agar menjatuhkan putusan dengan amar sebagai berikut:
a. Mengabulkan permohonan pengujian undang-undang Pemohon;
b. Menyatakan pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Partai
Politik bertentangan dengan UUD NRI 1945;
c. Menyatakan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Partai
Politik tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
d. Memerintahkan amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik untuk dimuat dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

[3.8] Menimbang bahwa belum pernah ada putusan mengenai pengujian Norma Pasal 51 ayat
(1) UU 2/2008 sebagaimana yang telah diubah oleh UU 2/2011. Oleh karena itu, Pengujian kali
ini akan menjadi preseden baru mengenai permasalahan Pasal 51 ayat (1) UU 2/2008
sebagaimana yang telah diubah oleh UU 2/2011.
Pendapat Mahkamah
[3.9] Menimbang bahwa setelah memerikan dengan saksama uraian permohonan Pemohon
dan keterangan Pemohon dalam persidangan, bukti-bukti tertulis yang diajukan Pemohon,
Keterangan Pemerintah, Keterangan Ahli yang diajukan Pemohon dan Pemerintah
sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

[3.9.1] Bahwa proses verifikasi yang dilakukan pemerintah kepada partai politik merupakan
langkah yang patut dipertanyakan dalam penyelenggaraan negara. Proses verifikasi memang
patut dilihat kembali dalam proses penegakkan dan pengawasan partai politik. Hingga saat ini,
belum ada prosedur yang jelas dalam menjawab pengawasan partai politik. Sarana verifikasi
untuk melihat partai politik sebagai suatu yang diawasi terlampau mudah sekali. Permasalahan
utama yang dihadapi oleh pokok norma Pasal 51 ayat (1) adalah verifikasi yang dapat menarik
status badan hukum. Bahkan dalam kasus tertentu partai politik yang kehilangan status badan
hukumnya masih eksis dengan sarana non-hukum ataupun hukum tidak tertulis. Pemohon
seakan-akan salah memperlihatkan masalah pada norma Pasal 51 ayat (1). Salah satu pokok
permasalahan menurut Mahkamah adalah pengawasan politik oleh proses verifikasi sudah
layak atau tidak?
[3.9.2] Bahwa menurut preseden Mahkamah, terdapat setidaknya permasalahan pada norma
yang diperlihat secara dua sisi; Hak politik yang merepresentatifkan Ideologi demokrasi barat
dan Kepastian hukum yang merepresentatifkan Ideologi demokrasi timur corak Indonesia.
Pertimbangan mengenai dua sisi sangat menarik untuk dijelaskan lebih lanjut. Pokok yang
didapatkan oleh Mahkamah adalah pada ujungnya Partai Politik membutuhkan pengawasan
dengan verifikasi. Namun bukan saja dengan verifikasi, melainkan institusi lain.
[3.9.3] Bahwa menurut Mahkamah, frasa “...mengikuti verifikasi.” patutnya dipertimbangkan
eksistensinya melalui rangkaian norma-norma dalam peraturan perundang-undangan ataupun
pratik politik pada umumnya. Namun, Mahmakah berpendapat bahwa proses verifikasi
merupakan pelanggaran terhadap konstitusionalitas Pemohon dengan beberapa sebab:
a. Proses verifikasi terbukti menyulitkan pembentukan partai politik berbadan hukum;
b. Sulitnya membentuk partai politik berbadan hukum melahirkan partai politik yang liar
bahkan mengancam UUD 1945 dan Pancasila;
c. Partai Politik dalam memahami ideologi sangat dinamis sehingga mengakibatkan
verifikasi belum tentu mengawasi semua gerak-gerik partai politik yang sesuai dengan
demokrasi timur; dan
d. Preseden Partai Politik untuk mengikuti tujuan negara dalam mencerdaskan bangsa.
[3.9.4] Bahwa menurut Mahkamah, perlu adanya suatu institusi sosial baru untuk bisa
memperluas eksistensi pengawasan melalui pemerintahan tanpa perlu mengurangi hak-hak
pada UUD 1945.
[3.9.5] Bahwa menurut Mahkamah, sepanjang proses verifikasi merupakan serangkaian proses
yang tetap menjaga nilai demokrasi, maka negara harus cukup andil di dalamnya.
4. KONKLUSI
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo.
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam
pengujian norma Pasal 51 ayat (1) UU 2/2008 sebagaimana yang telah diubah oleh UU 2/2011.
[4.4] Pokok Permohonan sepanjang berkenaan dengan Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 adalah
beralasan menurut hukum secara keseluruhan.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6554), dan UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076).
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili:
1. Menyatakan permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 Tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189). Dapat
diterima.
2. Menyatakan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Partai Politik
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai “Proses verifikasi yang
diselenggarakan dapat diberlakukan kembali untuk koreksi”;
3. Menolak permohonan Pemohon selain dan selebihnya.
Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim
Konstitusi, yaitu Poslam Muharam selaku ketua merangkap Anggota, Aswaja, Jenny
Susanto, Darren Sitorus, Irfan Putra, Bonoparte Rabiul, Ali Halal Thayiban, Yusuf
Zidane, dan Angger Prajago, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal
empat belas, bulan Desember, tahun dua ribu dua puluh dua yang diucapkan dalam
Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua
puluh satu, bulan Desember, tahun dua ribu dua pulu dua, selesai diucapkan pukul
12.45 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Poslam Muharam selaku ketua
merangkap Anggota, Aswaja, Jenny Susanto, Darren Sitorus, Irfan Putra, Bonoparte
Rabiul, Ali Halal Thayiban, Yusuf Zidane, dan Angger Prajago, dengan dibantu oleh
Immanuel Falco sebagai Panitera, serta dihadiri oleh Pemohon, dan Presiden atau yang
mewakili.
Ketua,
Ttd.
Poslam Muharam
ANGGOTA-ANGGOTA,
Ttd. Ttd.

Aswaja Jenny Susanto

Ttd. Ttd.

Darren Sitorus Irfan Putra

Ttd. Ttd.

Bonaparte Rabiul Ali Halal Thayiban

Ttd. Ttd.

Yusuf Zidane Angger Prajago

Ttd.

Immanuel Falco

6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)

[6.1] Terhadap putusan Mahkamah ini, Hakim Poslam Muharam memiliki pendapat berbeda
(dissenting opinion), sebagai berikut:
[6.1.1] Hakim Konstitusi Poslam Muharam
[6.1.1.1] Pengawasan partai Politik seharusnya tidak perluk diselenggarakan. Layaknya
demokrasi pada awalnya dibentuk karena ketakutan besar terhadap negara yang bisa jadi
sewenang-wenang. Untuk bisa menyangkal hal tersebut beberapa negara memberikan
wewenang khusus kepada partai politik untuk menjadi kakak yang baik untuk membantu sang
adik untuk mencapai tujuannya. Sayangnya, hal ini tidak mungkin dilaksanakan di Indonesia
karena praktik hukum serta legal culture yang berbeda dengan bangsa barat.
[6.1.1.2] Pengawasan partai politik bahkan bisa merusak nilai demokrasi yang ada di konstitusi.
Pengawasan partai politik bisa saja menjadi topik permasalahan terhadap kebebasan
berpendapat seperti negara-negara komunis. Negara mengawasi non-stop pergerakan partai
politik mereka, lawan mereka, hingga anggota partai politik negara lain. Ciri kebudayaan
tersebut memang terimplementasi terhadap negara-negara yang justru authoriter sehingga
tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia dan konstitusi
[6.1.1.3] Namun, tidak semua argumen di atas buruk dan ada baiknya sesuai yang ada dalam
putusan ini. Sayangnya, Pemohon harus mempertimbangkan apakah perlakuan tersebut sudah
tepat di Indonesia. Indonesia yang memiliki sistem norma dan sistem hukum yang sangat
berbeda dengan bangsa lain. Ke depannya, jika memungkinkan akan ada situasi dimana
Indonesia dapat memformalkan pengawasan partai politik yang sesuai dengan corak bangsa
Indonesia.

Ttd.

Immanuel Falco

Anda mungkin juga menyukai