Anda di halaman 1dari 14

VOLUME I, Nomor I, November 2016

JURNAL PRODI ILMU PEMERINTAHAN

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

Mukhrijal

Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Syiah Kuala
Email : Mukhrijal07@gmail.com

Abstrak
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sudah ada pada masa orde baru. Pada saat
orde baru otonomi daerah di Indonesia tidak berjalan sesuai dengan tujuan dan harapan
bagi kebutuhan daerah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakan dalam
memberikan pelayanan publik. Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia pada masa orde baru yang merujuk pada undang-undang No. 5 tahun 1974
telah memberikan penekanan pada daerah tingkat II sebagai basis pelaksanaan otonomi
daerah, tetapi pada kenyataannya pemerintah pusat dan pemerintah daerah tingkat I
masih memegang kendali kekuasaan secara signifikan. Dalam pelaksanaan otonomi
daerah sangat dibutuhkan akan reformasi birokrasi pemerintah daerah yang kreatif
untuk mengembangan potensi yang dimiliki sebagai usaha dalam meningkatkan
pendapatan asli daerah (PAD). Keberhasilan Bupati Lamongan dalam meningkatkan
PAD merupakan implikasi dari wujud pelaksanaan otonomi daerah. Upaya
keberhasilan yang diperoleh karena kemampuan dalam memimpin dan semangat
wirausaha. Keberhasilan program pembangunan di Kabupaten Lamongan dikarenakan
pemda melibatkan masyarakat dalam pembangunan.

Kata Kunci : Pelaksanaan, Otonomi Daerah, Indonesia

PENDAHULUAN

Pelaksanaan otonomi daerah di suatu negara adalah keniscayaan. Hal ini


dikarenakan perdebatan tentang pencarian paradigma yang ideal dalam kebijakan
otonomi daerah belum berakhir dan tidak pernah akan berakhir. Terdapat berbagai

24
VOLUME I, Nomor I, November 2016

JURNAL PRODI ILMU PEMERINTAHAN


ragam penjelasan teoritis yang hingga kini masih berputar dalam dialektis keilmuan
antar akademisi administrasi publik maupun politik pemerintahan.

Selain halnya masalah keilmuan yang belum menemukan titik temu, hambatan
lainnya yang muncul adalah faktor riil yang terjadi di lapangan. Selama ini yang terjadi
dalam penyusunan konsep otonomi daerah untuk diterapkan acap kali muncul daerah
yang tidak siap menjadi daerah otonom murni. Berbagai macam kompleksitas
mewarnai proses untuk mencari sesuatu formulasi paradigma yang ideal dalam
otonomi daerah baik itu faktor internal maupun eksternal.

Perjalanan Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dengan diberikannya hak


otonomi kepada daerah maka akan tercipta iklim demokratisasi yang sehat di aras lokal.
Otonomi daerah mendorong daerah untuk bersikap efektif dan efisien dalam pelayanan
publik dan kepala daerahnya akan lebih peka dengan kondisi masyarakatnya yang
sesungguhnya. Maka yang terjadi adalah saluran partisipasi publik dalam
pembangunan daerah akan lebih termanifestasikan dalam otonomi daerah. Namun
yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah, bagaimana pelaksanaan otonomi daerah di
massa orde baru, gagal atau berhasil? Oleh karena itu, perlu sekiranya bagi kita untuk
melihat bagaimana paradigma yang pernah muncul dan menjadi dominan dalam
penerapan otonomi daerah di Indonesia, baik itu dalam birokrasi yang memberikan
pelayanan publik kepada masyarakat. Birokrasi merupakan instrumen dalam
masyarakat yang kehadirannya tidak mungkin terelakkan. Birokrasi adalah sebuah
konsekuensi logis dari diterimanya hipotesis bahwa negara mempunyai misi suci yaitu
untuk mensejahterakan rakyatnya. Untuk itu negara harus terlibat. langsung dalam
memproduksi barang dan jasa publik yang diperlukan oleh rakyatnya (Ahmad, 2008 :
45).

Rumusan Masalah

a. Bagaimana Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia Pada Masa Orde Baru?

25
VOLUME I, Nomor I, November 2016

JURNAL PRODI ILMU PEMERINTAHAN


b. Bagaimana Kebutuhan Akan Reformasi Birokrasi Pemerintahan Daerah ?

c. Bagaimana Bentuk Keberhasilan Otonomi Daerah di Kota Lamongan, Jawa


Timur?

TINJAUAN PUSTAKA
Otonomi secara etmologis berarti pemerintah sendiri yang merupakan kesatuan
dari dua kata yaitu auto (sendiri) dan nomes (pemerintahan). Jadi otonimi adalah
pemerintahan yang mengatur urusan sendiri dalam berbagai urusan daerah (Karianga :
2013 :75). Hanif Nurcholis menyebutkan bahwa Otonomi daerah adalah hak penduduk
yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan
mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati peraturan perundangan yang
berlaku (Rori, 2013 : 428). Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Pemerintahan Daerah, definisi otonomi daerah sebagai berikut: “Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang undangan”.
Dalam Encyclopedia of Social Science definisi otonomi adalah the legal self
sufficiency dan actual independence yang dilihat sebagai suatu politik atau
pemerintahan, otonomi daerah berarti self government atau the condition of living
under one’s own lows. Sedangkan otonomi daerah adalah yang meiliki legal self
sufficiency yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own lows
(Karianga, 2013 : 76).
Dalam hal ini, otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas luasnya
dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-
undang (Pambudi, 2012 : 12). Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan

26
VOLUME I, Nomor I, November 2016

JURNAL PRODI ILMU PEMERINTAHAN


daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Tujuan dilaksanakannya otonomi daerah adalah dalam rangka meningkatkan


pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian
kewenangan yang lebih besar kepada daerah. Di sisi yang lain, melalui pelaksanaan
otonomi, pemerintah daerah diharapkan lebih kreatif dalam mengembangkan potensi
di daerahnya masing-masing sehingga mereka akan mampu melakukan pembangunan
daerah. Selain itu otonomi daerah juga bertujuan untuk mendorong tumbuhnya
prakarsa dan kreatifitas lokal, supaya daerah lebih mandiri dalam berkopetensi secara
sehat. Prakarsa masyarakat termaksuk prakarsa dunia usaha dan dapat berkembang
dalam kondisi yang kondusif dengan situasi yang aman dan mendapatkatkan kepastian
hukum (Hardiansyah, 2011 : 112).

METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode library research, dimana sumber rujukan
berasar dari bahan bacaan. Data pustaka menjadi acuan dalam menjawab permasalahan
tentang pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Data pustaka dapat dipergunakan
sebagai bahan riset karena data yang diperoleh merupakan bahan ilmiah yang
sebelumnya sudah dilakukan penelitian lapangan.

PEMBAHASAN
Pada bab pembahasan akan dibahas mengenai pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia, dan mengurai tentang kebutuhan reformasi birokrasi pemerintahan daerah
serta menjelaskan tentang keberhasilan otonomi daerah di Kota Lamongan Jawa
Timur.

Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia Pada Masa Orde Baru

27
VOLUME I, Nomor I, November 2016

JURNAL PRODI ILMU PEMERINTAHAN


Di era pemerintahan Orde Baru, kita mengenal Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 yang menegaskan bahwa otonomi daerah dititik beratkan pada daerah
tingkat II. Selanjutnya, pasal 11 undang-undang ini menyebutkan bahwa

pelaksanaan otonomi dengan titik berat pada daerah tingkat II dilaksanakan dengan
memuat tiga aspek utama, diantaranya sebagai berikut :

a. Aspek administrasi. Aspek administrasi merujuk pada pemerataan dan


efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
b. Aspek politik. Aspek politik merujuk pada upaya pendemokrasian
pemerintah di daerah.
c. Aspek kemandirian. Aspek kemandirian dimaksudkan agar daerah mampu
mandiri, khususnya dalam melaksanakan urusan rumah tangganya sehingga
pemerintah daerah dituntut untuk menciptakan kondisi di mana masyarakat
ikut berperan serta, kreatif, dan inovatif dalam pembangunan daerah.

Dengan demikian, isu mengenai otonomi daerah telah lama diperdebatkan


dalam tata pemerintahan Indonesia, terutama dalam konteks hubungan antara pusat dan
daerah. Namun, konsep ideal yang tercantum dalam masing-masing undang-undang,
terutama UU No. 5 tahun 1974 yang menjadi patokan pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah di Indonesia pada masa Orde Baru, belum dapat dilaksanakan sesuai
dengan yang diharapkan. Meskipun Undang-Undang No. 5 tahun 1974 telah
memberikan penekanan pada Daerah Tingkat II sebagai basis pelaksanaan otonomi
daerah, tetapi pada kenyataannya pemerintah pusat dan pemerintah daerah tingkat I
masih memegang kendali kekuasaan secara signifikan.
Konsep otonomi menurut UU no. 5 tahun 1974 dipandang sebagai penyebab
dari berbagai kekurangan yang menyertai perjalanan pemerintah didaerah selama lebih
dari dua dekade terakir (Haris, 2005 : 3).
Asas desentralisasi yang seharusnya menjadi pijakan utama untuk
melaksanakan otonomi daerah berada di bawah bayang-bayang asas dekosentrasi.

28
VOLUME I, Nomor I, November 2016

JURNAL PRODI ILMU PEMERINTAHAN


Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai
bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik,
perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi
Sidik (2013 : 1-4). Sebagai konsekuensinya, sentralisme menjadi ciri

khas yang mewarnai sepanjang pelaksanaan otonomi daerah di masa Orde Baru. Pada
masa ini, isu desentralisasi dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah
terbatas pada distribusi keuangan ke daerah-daerah, dan tidak pernah menyentuh
masalah pembagian kekuasaan (power sharing) sebagai sesuatu yang diperlukan dalam
menumbuhkan proses pembangunan demokrasi di daerah, baik antara pusat dengan
daerah maupun antara birokrasi dengan masyarakatnya. Oleh karena itu, menjadi tidak
mengherankan jika isu desentralisasi dan otonomi tetap menjadi isu yang menarik
didiskusikan hingga saat terutama, terlebih ketika negara mengalami kebangkrutan
ekonomi dan politik akibat krisis moneter yang berkepanjangan beberapa waktu yang
lalu. Ini seolah-olah menjadi momen yang tepat untuk mendesakkan kembali agenda
desentralisasi dan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Indonesia.

Pada masa Orde baru, kuatnya peran pemerintah pusat dalam melaksanakan
otonomi daerah banyak menimbulkan akibat. Ada beberapa akibat kuatnya peran
pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah (Wiranto : 3) diantaranya sebagai
berikut :
a. Pembangunan yang dilakukan gagal menangkap aspirasi, potensi, dan
kebutuhan masyarakat di daerah. Hal ini terjadi karena kuatnya dominasi
pemerintah pusat sehingga para pengambil keputusan gagal memahami
aspirasi dan dinamika yang berkembang di tingkat grass root.
b. Sentralisme pembangunan telah menciptakan ketergantungan daerah terhadap
pusat. Terutama dalam hal pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang

29
VOLUME I, Nomor I, November 2016

JURNAL PRODI ILMU PEMERINTAHAN


dilakukan oleh pemerintah. Setidaknya ada empat faktor yang membuat daerah
sangat tergantung pada pusat menyangkut pembiayaan proyek-proyek
pembangunan, diantaranya sebagai berikut :
(1) kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan;
(2) tingginya tingkat sentralisasi dalam bidang perpajakan. Dalam
konteks ini, pemerintah pusat menguasai sumber-sumber pajak penting
yang bersifat lucrative (pajak bidang usaha dan penghasilan orang, pajak
pertambahan nilai, dan bea cukai); (3)

akibat yang ditimbulkan dari faktor kedua adalah minimnya sumber-


sumber penerimaan daerah yang dapat diandalkan; (4) faktor politis.
Dalam hal ini, ada kekhawatiran pusat jika daerah diberi kekuasaan yang
besar dalam hal keuangan dan pendapatan akan muncul gerakan
disintegrasi dan separatisme.

c. Banyak daerah yang potensial gagal berkembang karena sumber daya daerah
yang penting sebagai penopang pembangunan daerah ditarik ke pusat, dan
pemerintah daerah hanya mendapatkan sedikit saja dari hasil-hasil kekayaan
daerahnya. Akibatnya, banyak daerah yang tidak puas dengan kondisi seperti
itu sehingga muncul desakan ke arah pembentukan daerah teritorial sendiri
yang lepas dari pemerintahan RI. Irian Jaya dan Aceh dapat dijadikan contoh
untuk menjelaskan hal ini.
Dengan demikian, ada beberapa hal pokok yang perlu digaris bawahi
menyangkut pelaksanaan otonomi yaitu :
a. Undang-Undang No. 22 tahun 1999 nampaknya berusaha mendefinisikan
desentralisasi. Pertama, Desentralisasi administratif (administrative
decentralization) lebih menekankan pada lembaga-lembaga pemerintahan
formal. Titik berat lebih ditekankan pada susunan organisasi atau administratif.
Dalam pengertian ini, desentralisasi merupakan transfer pertanggungan jawab
mengenai perencanaan, manajemen, dan peningkatan ataupun alokasi berbagai
sumber dari pemerintah pusat dan berbagai lembaga yang dimiliki kepada
berbagai unit lembaga pemerintah dan unit-unit yang lebih bawah. Sementara

30
VOLUME I, Nomor I, November 2016

JURNAL PRODI ILMU PEMERINTAHAN


itu, pengertian desentralisasi politik lebih menekankan adanya transfer otoritas
pembuatan keputusan kepada daerah, kepada kelompok kelompok yang
sebelumnya tidak terwakili atau termarjinalisasi. Pada masa lampau,
desentralisasi administratif lebih dominan dibandingkan dengan desentralisasi
politik. Akibatnya, pemerintah daerah kurang mempunyai otoritas dalam
mengambil keputusan-keputusan politik menyangkut alokasi sumber daya
pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerahnya.

b. Keterlibatan masyarakat (daerah) dalam proses pembangunan. Konsekuensi


yang paling penting sebagai akibat pelaksanaan desentralisasi politik adalah
keterlibatan masyarakat (daerah) dalam proses pengambilan keputusan. Pada
masa lampau, pembangunan sangat bersifat sentralistik di mana rakyat berada
dalam posisi marginal dalam proses pengambilan keputusan.
c. Perbaikan pelayanan birokrasi daerah melalui penciptaan lembaga birokrasi
yang lebih responsif. Sentralisme yang dikembangkan pada masa
pemerintahan Orde Baru telah membuat pemerintah daerah tidak lagi responsif
terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat.

Kebutuhan Akan Reformasi Birokrasi Pemerintahan Daerah


Dalam memenuhi kebutahan akan Reformasi Birokrasi pemerintah daerah
harus kreatif dalam mengembangkan setiap potensi yang mereka miliki sebagai usaha
untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Peningkatan PAD ini dapat mereka
peroleh melalui pengelolaan perusahaan daerah secara efisien sehingga mampu
menghasilkan keuntungan yang besar, pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam,
atau melalui pajak dan penarikan investasi ke daerah sehingga akan memacu
pertumbuhan ekonomi. Untuk menarik investasi ini, pemerintah daerah harus mampu

31
VOLUME I, Nomor I, November 2016

JURNAL PRODI ILMU PEMERINTAHAN


mengembangkan birokrasi yang efisien, tidak korup, demokratis dan ramah terhadap
investasi.
Pemerintah daerah masa lampau lebih bersifat pasif, tidak akuntabel, kurang
responsif, dan tersentralisasikan oleh pusat, sehingga tidak lagi memadai untuk
menjawab tantangan yang muncul. Singkatnya, otonomi daerah yang hendak
dilaksanakan diharapkan akan memberikan manfaat yang besar terhadap daerah.
Pertama, peningkatan efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintahan dan
pembangunan di daerah. Kedua, terciptanya hubungan yang harmonis dan saling
membutuhkan antara pemerintah dengan masyarakat. Ketiga, mempertinggi daya serap
aspirasi masyarakat dalam program pembangunan. Keempat, terjadinya penanganan
masalah secara terpusat dan tepat dari berbagai

permasalahan aktual yang berkembang dalam masyarakat. Kelima, mendorong


munculnya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Selanjutnya, agar otonomi daerah mendapatkan manfaat seperti telah dijelaskan
di awal, kita membutuhkan wajah birokrasi yang baru, yang mampu bertindak sebagai
kreator dan inovator dalam pembangunan daerah. Hal ini karena wajah birokrasi yang
lama tidak lagi memadai untuk menopang otonomi daerah yang penuh dengan
tantangan, kompetisi, dan tentu saja kompleksitas permasalahan. Oleh karena itu,
gagasan mengenai reinventing government nampaknya menemukan relevansinya
dalam konteks ini. Maka dalam hal ini, perlu adanya penerapan kewirausahaan dalam
birokrasi Indonesia.
Penerapan reinventing Government atau kewirausahaan dalam Birokrasi di
Indonesia (Djumiarti : 8), maka harus memenuhi persyaratan, yaitu :
a. Penyiapan sumberdaya aparatur birokrasi yang siap dan mampu
mendukung operasionalisasi konsep-konsep tersebut.
b. Penyesuaian sistem dan prosedur kerja yang berorientasi pada efisiensi dan
efektivitas kerja,

32
VOLUME I, Nomor I, November 2016

JURNAL PRODI ILMU PEMERINTAHAN


c. Penyempurnaan peraturan-peraturan (regulasi) yang lebih akomodatif
terhadap perubahan.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai karakteristik birokrasi Indonesia adalah
penting karena birokrasi akan memegang peran yang signifikan, dan sekaligus, menjadi
subyek reformasi yang hendak dilakukan. Selain itu, pengidentifikasian peluang juga
sama pentingnya sehingga peluang yang ada tersebut dapat dimaksimalkan.

Kasus Bentuk Keberhasilan Otonomi Daerah di Kota Lamongan, Jawa Timur


Dibawah kepemimpinan Masbuk sebagai Bupati Lamongan, telah berhasil
dalam meningkatkan PAD di Kabupaten Lamongan. Hal ini terlihat dari pendapatan
asli daerah Lamongan yang naik mencapai lebih dari 150%, yakni dari

6 milyar rupiah menjadi 19 milyar selama dua tahun berjalan sebagai Bupati
Lamongan. Keberhasilan ini merupakan implikasi dari wujud pelaksanaan otonomi
daerah dalam birokrasi di pemerintahan yang dijalankan oleh Masbuk. Untuk
mewujudkan ini tentu ada upaya yang dilakukan dalam menjalan birokrasi
pemerintahan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan keberhasilan pembangunan di
Kota Lamongan (Wiranto : 20), diantaranya sebagai berikut :

a. kemampuan leadership dan semangat wirausaha yang dimiliki oleh Bupati


Lamongan. Sebelum menjabat sebagai Bupati Lamongan, Masfuk adalah
pengusaha dengan jumlah tenaga kerja lebih dari sekitar 16 ribu dengan omzet
perusahaan mencapai 15 milyar rupiah. Sebelum menjadi pengusaha sukses,
Masfuk adalah pedagang perhiasan monel di Sinar Supermarket Surabaya
dengan modal awal 65 ribu rupiah. Latar belakang sebagai pengusaha yang
berangkat dari titik nol inilah, nampaknya, yang memberikan kontribusi bagi
keberhasilan pembangunan di daerah Lamongan.
b. Hal ini juga dibuktikan melalui usahanya dalam mengembangkan pupuk lokal
dengan merek Maharani yang dibuat dari enceng gondok. Per kilogram pupuk

33
VOLUME I, Nomor I, November 2016

JURNAL PRODI ILMU PEMERINTAHAN


ini seharga Rp. 600,- kilogram. Dengan menggunakan pupuk ini, terjadi
penghematan sekitar Rp. 385. 000,- per hektar atau sekitar Rp. 54 milyar per
tahun. Oleh karena pupuk ini pula, pada tahun 2002 Lamongan berhasil
memproduksi beras unggul Rajasili yang harganya Rp. 3.500,- per kilo gram.
Semangat kewirausahaan ini juga diterapkan dalam mengembangkan kawasan
industri seluas 500 hektar dan tengah dipersiapkan kawasan sebesar 9. 500
hektar.
c. Keberhasilan program pembangunan di Kabupaten Lamongan dikarenakan
pemda melibatkan masyarakat dalam pembangunan. Salah satu semangat
otonomi daerah adalah dalam rangka mendorong keterlibatan masyarakat
sehingga pembangunan yang dilakukan di daerah dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat secara riil. Pelaksanaan Otonomi Daerah di

Kabupaten Lamongan ikut serta masyarakat dalam meningkatkan pelayanan


publik. Selanjutnya, menyangkut pembenahan sistem, pemda menerapkan
sistem pelayanan terpadu semua urusan perizinan bisnis dijadikan satu atap di
bawah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

Analisis Perspektif Reinventing Government


Pemerintah adalah sistem untuk menjalankan wewenang dan kekuasaan dalam
mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan politik, suatu negara dan bagian-bagiannya.
Menurut David Osborne dan Peter Plastrik (1997) dalam bukunya “Memangkas
Birokrasi”, Reinventing Government adalah “transformasi system dan organisasi
pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam
efektifitas, efesiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi (Azmidun :
2013 : 7).
Dalam konteks ini, reinventing dimaknai sebagai penciptaan kembali birokrasi
dengan mendasarkan pada sistem wirausaha, yakni menciptakan organisasi-organisasi

34
VOLUME I, Nomor I, November 2016

JURNAL PRODI ILMU PEMERINTAHAN


dan sistem publik yang terbiasa memperbarui, yang secara berkelanjutan, memperbaiki
kualitasnya tanpa harus memperoleh dorongan dari luar. Dengan demikian, reinventing
berarti menciptakan sektor publik yang memiliki dorongan dari dalam untuk
memperbaiki apa yang disebut dengan “sistem yang memperbarui kembali secara
sendiri”. Dengan kata lain, reinventing menjadikan pemerintah siap menghadapi
tantangan-tantangan yang mungkin tidak dapat diantisipasi. Di samping itu,
reinventing tidak hanya memperbaiki keefektifan pemerintah sekarang ini, tetapi juga
dapat membangun organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki keefektifannya di
masa mendatang pada waktu lingkungan organisasi mengalami perubahan.
Moeljarto Tjokrowinoto menyebutkan bahwa dalam rangka mendorong pasar
agar tetap berlaku efisien, maka birokrasi memerlukan kualitas entrepreneurial.
Setidaknya, terdapat tujuh kompentensi yang harus dimiliki oleh birokrasi
entrepreneurial (Wiranto : 10) , diantaranya sebagai berikut :

1. Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan baru yang timbul di
dalam pasar;

2. Tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi


instrumental birokrasi, akan tetapi harus mampu melakukan terobosan
(breakthrough) melalui pemikiran yang kreatif dan inovatif;
3. Mempunyai wawasan futuristik dan sistematik
4. Mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan, dan
menimbulkan resiko;
5. Jeli terhadap potensi sumber-sumber danpeluang baru;
6. Mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi resource
mix yang mempunyai produktivitas tinggi;
7. Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumber yang tersedia, dengan
menggeser sumber kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju kegiatan
yang berproduktivitas tinggi.

Akhirnya jelas, sebuah perubahan harus dimulai, apapun konsep yang hendak
digunakan, namun paling tidak konsep tersebut harus merepresentasikan juga posisi

35
VOLUME I, Nomor I, November 2016

JURNAL PRODI ILMU PEMERINTAHAN


kebudayaan Indonesia sehingga ditemukan format kelembagaan birokrasi yang efisien,
efektif, adaptif dan human tanpa harus menjadi kebarat-baratan, meninggalkan
identitas sebagai sebuah bangsa yang otonom dan berjati diri.

KESIMPULAN

Pemerintah adalah sistem untuk menjalankan wewenang dan kekuasaan dalam


mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan politik, suatu negara dan bagian-bagiannya.
Reinventing Government adalah “transformasi system dan organisasi pemerintah
secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas,
efesiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai
dengan mengubah tujuan, system insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan
dan budaya system dan organisasi pemerintahan.

Dalam konteks ini, reinventing dimaknai sebagai penciptaan kembali birokrasi


dengan mendasarkan pada sistem wirausaha, yakni menciptakan

organisasi-organisasi dan sistem publik yang terbiasa memperbarui, yang secara


berkelanjutan, memperbaiki kualitasnya tanpa harus memperoleh dorongan dari luar.
Dengan demikian, reinventing berarti menciptakan sektor publik yang memiliki
dorongan dari dalam untuk memperbaiki apa yang disebut dengan “sistem yang
memperbarui kembali secara sendiri”. Dengan adanya Desentralisasi Otonomi daerah
yang diberikan oleh pusat kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri,
sehingga dapat mewujudkan kesejahtraan bagi masyarakat. Baik dalam memberikan
pelayanan publik maupun dalam mengupayakan pengoptimalan potensi daerah,
sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Badu. 2008. Kondisi Birokrasi di Indonesia Dalam Hubungannya dengan


Pelayanan Publik. Jurnal. Administrasi Publik, volume IV no. 1. Makasar.

36
VOLUME I, Nomor I, November 2016

JURNAL PRODI ILMU PEMERINTAHAN


Azmidun, Romy. 2013. Reveinting Goverment dalam Penyelenggaraan Kegiatan
Pemerintah. Makalah. Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Kampus Kalimantan
Barat.
Djumiarti, Titik. Menggagas Strategi Reveinting Goverment dalam Memantapkan
Kehidupan Berbangsa. Jurnal.
Hardiansyah. 2011. Kualitas Pelayanan Publik (Konsep, Demensi, Indikator dan
Implementasinya). Gava Media. Yogyakarta.
Haris, Syamsudin. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Desentralisasi,
Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah). LIPI Press. Jakarta.
Karianga, Hendra. 2013. Politik Hukum (Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah).
Kencana Prenadamedia Group. Jakarta.
Linggar Agus, Parmudi. 2012. Mengelola Pasar Demangan Yogyakarta. Skripsi.
Universitas Negeri Yogyakarta.
Rori, Handoro.2013. Analisa Perhitungan dan Pelaporan Pajak Reklama di Kota
Manado. Jurnal EMBA 427 Vol.1 No.3 edisi Juni.
Sidik, Machfud. 2013. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksana
Desentralisasi Fiskal (Antara Teori dan Aplikasi di Indonesia). Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan RI,
Yogyakarta.
Wiranto, Budi. Implementasi Konsep “Reiventing Goverment” Dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah. Jurnal. Unversitas di Penogoro.

37

Anda mungkin juga menyukai