Mukhrijal
Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Syiah Kuala
Email : Mukhrijal07@gmail.com
Abstrak
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sudah ada pada masa orde baru. Pada saat
orde baru otonomi daerah di Indonesia tidak berjalan sesuai dengan tujuan dan harapan
bagi kebutuhan daerah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakan dalam
memberikan pelayanan publik. Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia pada masa orde baru yang merujuk pada undang-undang No. 5 tahun 1974
telah memberikan penekanan pada daerah tingkat II sebagai basis pelaksanaan otonomi
daerah, tetapi pada kenyataannya pemerintah pusat dan pemerintah daerah tingkat I
masih memegang kendali kekuasaan secara signifikan. Dalam pelaksanaan otonomi
daerah sangat dibutuhkan akan reformasi birokrasi pemerintah daerah yang kreatif
untuk mengembangan potensi yang dimiliki sebagai usaha dalam meningkatkan
pendapatan asli daerah (PAD). Keberhasilan Bupati Lamongan dalam meningkatkan
PAD merupakan implikasi dari wujud pelaksanaan otonomi daerah. Upaya
keberhasilan yang diperoleh karena kemampuan dalam memimpin dan semangat
wirausaha. Keberhasilan program pembangunan di Kabupaten Lamongan dikarenakan
pemda melibatkan masyarakat dalam pembangunan.
PENDAHULUAN
24
VOLUME I, Nomor I, November 2016
Selain halnya masalah keilmuan yang belum menemukan titik temu, hambatan
lainnya yang muncul adalah faktor riil yang terjadi di lapangan. Selama ini yang terjadi
dalam penyusunan konsep otonomi daerah untuk diterapkan acap kali muncul daerah
yang tidak siap menjadi daerah otonom murni. Berbagai macam kompleksitas
mewarnai proses untuk mencari sesuatu formulasi paradigma yang ideal dalam
otonomi daerah baik itu faktor internal maupun eksternal.
Rumusan Masalah
25
VOLUME I, Nomor I, November 2016
TINJAUAN PUSTAKA
Otonomi secara etmologis berarti pemerintah sendiri yang merupakan kesatuan
dari dua kata yaitu auto (sendiri) dan nomes (pemerintahan). Jadi otonimi adalah
pemerintahan yang mengatur urusan sendiri dalam berbagai urusan daerah (Karianga :
2013 :75). Hanif Nurcholis menyebutkan bahwa Otonomi daerah adalah hak penduduk
yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan
mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati peraturan perundangan yang
berlaku (Rori, 2013 : 428). Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Pemerintahan Daerah, definisi otonomi daerah sebagai berikut: “Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang undangan”.
Dalam Encyclopedia of Social Science definisi otonomi adalah the legal self
sufficiency dan actual independence yang dilihat sebagai suatu politik atau
pemerintahan, otonomi daerah berarti self government atau the condition of living
under one’s own lows. Sedangkan otonomi daerah adalah yang meiliki legal self
sufficiency yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own lows
(Karianga, 2013 : 76).
Dalam hal ini, otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas luasnya
dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-
undang (Pambudi, 2012 : 12). Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
26
VOLUME I, Nomor I, November 2016
METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode library research, dimana sumber rujukan
berasar dari bahan bacaan. Data pustaka menjadi acuan dalam menjawab permasalahan
tentang pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Data pustaka dapat dipergunakan
sebagai bahan riset karena data yang diperoleh merupakan bahan ilmiah yang
sebelumnya sudah dilakukan penelitian lapangan.
PEMBAHASAN
Pada bab pembahasan akan dibahas mengenai pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia, dan mengurai tentang kebutuhan reformasi birokrasi pemerintahan daerah
serta menjelaskan tentang keberhasilan otonomi daerah di Kota Lamongan Jawa
Timur.
27
VOLUME I, Nomor I, November 2016
pelaksanaan otonomi dengan titik berat pada daerah tingkat II dilaksanakan dengan
memuat tiga aspek utama, diantaranya sebagai berikut :
28
VOLUME I, Nomor I, November 2016
khas yang mewarnai sepanjang pelaksanaan otonomi daerah di masa Orde Baru. Pada
masa ini, isu desentralisasi dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah
terbatas pada distribusi keuangan ke daerah-daerah, dan tidak pernah menyentuh
masalah pembagian kekuasaan (power sharing) sebagai sesuatu yang diperlukan dalam
menumbuhkan proses pembangunan demokrasi di daerah, baik antara pusat dengan
daerah maupun antara birokrasi dengan masyarakatnya. Oleh karena itu, menjadi tidak
mengherankan jika isu desentralisasi dan otonomi tetap menjadi isu yang menarik
didiskusikan hingga saat terutama, terlebih ketika negara mengalami kebangkrutan
ekonomi dan politik akibat krisis moneter yang berkepanjangan beberapa waktu yang
lalu. Ini seolah-olah menjadi momen yang tepat untuk mendesakkan kembali agenda
desentralisasi dan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Indonesia.
Pada masa Orde baru, kuatnya peran pemerintah pusat dalam melaksanakan
otonomi daerah banyak menimbulkan akibat. Ada beberapa akibat kuatnya peran
pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah (Wiranto : 3) diantaranya sebagai
berikut :
a. Pembangunan yang dilakukan gagal menangkap aspirasi, potensi, dan
kebutuhan masyarakat di daerah. Hal ini terjadi karena kuatnya dominasi
pemerintah pusat sehingga para pengambil keputusan gagal memahami
aspirasi dan dinamika yang berkembang di tingkat grass root.
b. Sentralisme pembangunan telah menciptakan ketergantungan daerah terhadap
pusat. Terutama dalam hal pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang
29
VOLUME I, Nomor I, November 2016
c. Banyak daerah yang potensial gagal berkembang karena sumber daya daerah
yang penting sebagai penopang pembangunan daerah ditarik ke pusat, dan
pemerintah daerah hanya mendapatkan sedikit saja dari hasil-hasil kekayaan
daerahnya. Akibatnya, banyak daerah yang tidak puas dengan kondisi seperti
itu sehingga muncul desakan ke arah pembentukan daerah teritorial sendiri
yang lepas dari pemerintahan RI. Irian Jaya dan Aceh dapat dijadikan contoh
untuk menjelaskan hal ini.
Dengan demikian, ada beberapa hal pokok yang perlu digaris bawahi
menyangkut pelaksanaan otonomi yaitu :
a. Undang-Undang No. 22 tahun 1999 nampaknya berusaha mendefinisikan
desentralisasi. Pertama, Desentralisasi administratif (administrative
decentralization) lebih menekankan pada lembaga-lembaga pemerintahan
formal. Titik berat lebih ditekankan pada susunan organisasi atau administratif.
Dalam pengertian ini, desentralisasi merupakan transfer pertanggungan jawab
mengenai perencanaan, manajemen, dan peningkatan ataupun alokasi berbagai
sumber dari pemerintah pusat dan berbagai lembaga yang dimiliki kepada
berbagai unit lembaga pemerintah dan unit-unit yang lebih bawah. Sementara
30
VOLUME I, Nomor I, November 2016
31
VOLUME I, Nomor I, November 2016
32
VOLUME I, Nomor I, November 2016
6 milyar rupiah menjadi 19 milyar selama dua tahun berjalan sebagai Bupati
Lamongan. Keberhasilan ini merupakan implikasi dari wujud pelaksanaan otonomi
daerah dalam birokrasi di pemerintahan yang dijalankan oleh Masbuk. Untuk
mewujudkan ini tentu ada upaya yang dilakukan dalam menjalan birokrasi
pemerintahan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan keberhasilan pembangunan di
Kota Lamongan (Wiranto : 20), diantaranya sebagai berikut :
33
VOLUME I, Nomor I, November 2016
34
VOLUME I, Nomor I, November 2016
1. Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan baru yang timbul di
dalam pasar;
Akhirnya jelas, sebuah perubahan harus dimulai, apapun konsep yang hendak
digunakan, namun paling tidak konsep tersebut harus merepresentasikan juga posisi
35
VOLUME I, Nomor I, November 2016
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
36
VOLUME I, Nomor I, November 2016
37