Anda di halaman 1dari 116

1

2
~Tahun Anggaran 2015~
3
4
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb,

Salam sejahtera untuk kita semua,

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan
karunia-Nya, buku panduan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
(Ranperda) Pengelolaan Sampah dapat tersusun.

Buku panduan ini disusun guna menjadi acuan Satker PAMS,


Pemerintah Kabupaten/Kota dan Konsultan dalam melaksanakan
kegiatan Penyusunan Ranperda Pengelolaan Sampah di provinsi
masing-masing. Buku panduan ini berisikan informasi mengenai
Umum, Pembentukan Peraturan Daerah, dan Penyusunan Ranperda
Pengelolaan Sampah.

Semoga buku panduan ini memberikan manfaat bagi pelaksanaan


kegiatan Bantek Penyusunan Ranperda Pengelolaan Sampah TA.
2015.

Kepada semua pihak kami ucapkan terimakasih atas bantuan dan


kerjasamanya. Masukan dan saran sangat kami harapkan demi
penyempurnaan buku panduan ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, Juni2015

Tim Penyusun
Direktorat PPLP Ditjen Cipta Karya
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

5i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Daftar Tabel iii
Daftar Gambar iii

BAB I UMUM 1
1.1 HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1
1.2 KEDUDUKAN PERATURAN DAERAH 3
1.3 FUNGSI PERATURAN DAERAH 3
1.4 LANDASAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 4
1.5 ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 5
1.6 MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH 6
1.7 ASAS MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH 8

BAB II PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 13

2.1 PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 13
2.2 PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK PERATURAN DAERAH 20

BAB III PENYUSUNAN RANPERDA PENGELOLAAN SAMPAH 33

3.1 KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERDA PENGELOLAAN


SAMPAH 33
3.2 MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH PENGELOLAAN
SAMPAH MENURUT HIRARKI PERUNDANG-UNDANGAN 35
3.3 MODEL RANPERDA PENGELOLAAN SAMPAH 51

ii
6
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kewenangan Urusan Persampahan 34
Tabel 3.2 Muatan Ranperda Pengelolaan Sampah 43

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tahap Penyusunan Prolegda 14
Gambar 2.2 Tahap Penyusunan Ranperda 15
Gambar 2.3 Tahap Pembentukan Ranperda 19

i7ii
TPA Rawakucing Tangerang.

8
9
10
BAB 1
UMUM
1.1 HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 1 (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum. Hal ini bermakna bahwa Indonesia
adalah Negara Hukum (rechtstaat) dan bukan Negara
Kekuasaan (machtstaat); dengan demikian penyelenggaraan
kekuasaan negara didasarkan pada prinsip-prinsip hukum
sebagai landasan untuk menjalankan program pembangunan
nasional. Ketentuan pasal 1 (3) UUD 1945 tersebut adalah
sebagai bentuk titah konstitusi kepada seluruh rakyat Indonesia
terutama para pejabat di tataran pemerintahan baik di pusat
maupun di daerah untuk dapat memposisikan hukum sebagai
titik tolak dalam bertingkah laku dan merumuskan kebijakan
publik.
Sebagai negara hukum dalam mengimplementasikan berbagai
produk hukum menggunakan teori norma hukum yang
berjenjang (hirarki) dalam artian bahwa produk hukum yang
berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan produk

1
hukum yang lebih tinggi diatasnya (lex superior derogat
legi inferior). Hal ini sebagaimana diimplementasikan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang menyebutkan hirarki
norma hukum yang dianut adalah :
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Jenis Peraturan Perundang-undangan lain mencakup peraturan


yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-
Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,
Kepala Desa atau yang setingkat, diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.1
Peraturan Daerah dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dibedakan
menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Mengingat lingkup berlakunya Peraturan
Daerah hanya terbatas pada daerah yang bersangkutan
1. Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

2
sedangkan lingkup berlakunya Peraturan Menteri mencakup
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, maka dalam
hirarki, Peraturan Menteri berada diatas Peraturan Daerah.2

1.2 KEDUDUKAN PERATURAN DAERAH

Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis Peraturan


Perundang-undangan dan merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Pada saat
ini Peraturan Daerah mempunyai kedudukan yang sangat
strategis karena diberikan landasan konstitusional yang jelas
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain berhak
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah untuk melaksanakan
otonomi daerah dan tugas pembantuan sesuai dengan
ketentuan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

1.3 FUNGSI PERATURAN DAERAH

Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi yaitu:


a. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi
daerah dan pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia tahun
1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
b.
Merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan

2. Kementerian Hukum dan Hak asasi Manusia RI, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah

3
hirarki Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian
Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
c. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah
serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam
pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia tahun
1945.
d.
Sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan
kesejahteraan daerah.

1.4 LANDASAN PEMBENTUKAN PERATURAN


DAERAH

Dalam Pembentukan Peraturan Daerah paling sedikit harus


memuat 3 (tiga) landasan yaitu:
a. Landasan filosofis, adalah landasan yang berkaitan dengan
dasar atau ideologi Negara;
b. Landasan sosiologis, adalah landasan yang berkaitan
dengan kondisi atau kenyataan empiris yang hidup dalam
masyarakat, dapat berupa kebutuhan atau tuntutan yang
dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan, dan harapan
masyarakat; dan
c. Landasan yuridis, adalah landasan yang berkaitan dengan
kewenangan untuk membentuk, kesesuaian antara jenis
dan materi muatan, tata cara atau prosedur tertentu, dan
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Mengingat Peraturan Daerah adalah merupakan produk

4
politis maka kebijakan daerah yang bersifat politis dapat
berpengaruh terhadap substansi Peraturan Daerah. Oleh
karena itu, perlu dipertimbangkan kebijakan politis tersebut
tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat.

1.5 ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik


termasuk Peraturan Daerah sebagaimana tercantum pada
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 meliputi :
a. Kejelasan Tujuan
Bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai.
b. Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat
Bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk
peraturan perundang-undangan yang berwenang karena
peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan
atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga Negara
atau pejabat yang tidak berwenang.
c. Kesesuaian Antara Jenis, Hirarki, dan Materi Muatan
Bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan.
d. Dapat Dilaksanakan
Bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan

5
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
e. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan
Bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
f. Kejelasan Rumusan
Bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,
serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan
Bahwa dalam peraturan perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan
dan terbuka.

1.6 MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

Yang dimaksud dengan materi muatan suatu peraturan


perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Pasal
1 angka 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah
materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan
sesuai dengan jenis, fungsi dan hirarki peraturan perundang-
undangan.
Materi muatan Peraturan Daerah telah diatur dengan jelas
dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang

6
berbunyi sebagai berikut:
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan
serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran
lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Materi muatan Peraturan Daerah juga dapat memuat sanksi
pidana sebagaimana ketentuan Pasal 15 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011. Materi muatan yang berupa sanksi
pidana dalam Peraturan Daerah berupa ancaman pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga
dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda
sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan lainnya.
Selanjutnya materi Peraturan Daerah dilarang bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Hal tersebut sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 250 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Adapun yang dimaksud dengan Bertentangan dengan
kepentingan umum meliputi:
a. Terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
b. Terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c. Terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d. Terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat; dan/atau
e. Diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras,
antar-golongan, dan gender.

7
1.7 ASAS MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

Peraturan Daerah mempunyai materi muatan yang mengandung


asas-asas sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mempunyai
pengertian sebagai berikut :
a. Pengayoman
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan
harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Kemanusiaan
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga
Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Kebangsaan
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Kekeluargaan
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat
dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-
undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari
sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.

8
f. Bhineka Tunggal Ika
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya
yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. Keadilan
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara tanpa kecuali.
h.
Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan
Pemerintahan
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan tidak
boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan
latar belakang, antara lain: agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial.
i. Ketertiban dan Kepastian Hukum
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan harus
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
adanya kepastian hukum.
j. Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
Bahwa setiap Materi Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat
dengan kepentingan bangsa dan negara.

9
CDM TPA BATU LAYANG-PTK
10
11
12
BAB 2
PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH
2.1 PROSES PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH

Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014


tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah menyebutkan
bahwa Pembentukan Produk Hukum Daerah adalah
pembuatan peraturan perundang-undangan daerah yang
mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Usulan
pembentukan produk hukum daerah - yang dimaksud dalam
hal ini adalah Peraturan Daerah dapat berasal dari dua jalur,
yaitu atas usulan eksekutif (Pemerintah Daerah) dan atas
usulan legislatif (DPRD).
Proses dalam tiap-tiap tahapan tersebut adalah sebagai
berikut:

13
A. Perencanaan
Perencanaan adalah tahap dimana pemerintah daerah dan
DPRD menyusun daftar Peraturan daerah yang akan disusun ke
depan. Proses ini umumnya dikenal dengan istilah penyusunan
Program Legislasi Daerah (Prolegda). Hasil pembahasan
tersebut kemudian dituangkan dalam Keputusan DPRD.
Secara umum ada lima tahap dalam penyusunan Prolegda,
yaitu:

1 2 3 4 5
Tahap Tahap Tahap Tahap
Mengumpulkan Penyaringan Penetapan Pembahasan Tahap
Masukan Masukan Awal Bersama Penetapan
Prolegda

Gambar 2.1. Tahap Penyusunan Prolegda

Pada tahap mengumpulkan masukan, Pemerintah Daerah


dan DPRD secara terpisah membuat daftar Ranperda, baik
dari SKPD, anggota DPRD, fraksi dan masyarakat. Hasil dari
proses pengumpulan masukan tersebut kemudian disaring/
dipilih untuk kemudian ditetapkan oleh masing-masing pihak
(Pemerintah Daerah dan DPRD). Tahap selanjutnya adalah
pembahasan masing-masing usulan dalam forum bersama
antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Dalam tahap inilah
seluruh masukan tersebut diseleksi dan kemudian, setelah
ada kesepakatan bersama, ditetapkan oleh DPRD melalui
Keputusan DPRD.
B. Penyusunan
Tahap Penyusunan Ranperda merupakan tahap penyiapan
sebelum sebuah Ranperda dibahas bersama antara DPRD dan
Pemerintah Daerah. Secara garis besar tahap ini terdiri dari:

14
Pembuatan Naskah Akademik

Penyusunan Draft Ranperda

Harmonisasi, Pembulatan, dan


Pemantapan Konsepsi

Persetujuan Draft Ranperda

Gambar 2.2. Tahap Penyusunan Ranperda

Persiapan penyusunan Ranperda di lingkungan Pemerintah


Daerah, lebih rinci adalah sebagai berikut:
1. Kepala Daerah memerintahkan pimpinan SKPD menyusun
Ranperda berdasarkan Prolegda.
2. Pimpinan SKPD menyusun Ranperda disertai dengan
penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik.
3. Ranperda diajukan kepada biro hukum provinsi atau bagian
hukum kabupaten/kota.
4. Biro hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/
kota melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi Ranperda.3
5. Kepala Daerah membentuk Tim Penyusun Rancangan
Perda yang diketuai oleh Kepala SKPD pemrakarsa.
6. Ranperda Provinsi yang telah dibahas diparaf koordinasi
oleh kepala biro hukum dan pimpinan SKPD terkait.

3). Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi adalah adalah suatu tahapan untuk memastikan bahwa
1.Ranperda yang disusun telah selaras dengan: a.Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan UU lain, b. Teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan.2.Menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur dalam Ranperda

15
7. Ranperda kabupaten/kota yang telah dibahas diparaf
koordinasi oleh kepala bagian hukum dan pimpinan SKPD
terkait.
8. Pimpinan SKPD mengajukan Ranperda yang telah diparaf
koordinasi kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris
Daerah.
9.
Sekretaris Daerah melakukan perubahan dan/atau
penyempurnaan Ranperda yang telah diparaf koordinasi.
10. Sekretaris Daerah menyampaikan Ranperda kepada Kepala
Daerah.
11. Kepala Daerah menyampaikan ranperda kepada pimpinan
DPRD.
12.
Kepala Daerah membentuk Tim asistensi pembahasan
Ranperda yang diketuai oleh Sekretaris Daerah atau pejabat
yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
Persiapan penyusunan Ranperda di lingkungan DPRD, lebih
rinci adalah sebagai berikut:
1. Pengajuan Ranperda oleh anggota DPRD, komisi,
gabungan komisi, atau Balegda kepada pimpinan DPRD
disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau
naskah akademik.
2. Pimpinan DPRD menyampaikan Ranperda kepada Balegda
untuk pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi Ranperda.
3. Pimpinan DPRD menyampaikan hasil pengkajian Ranperda
kepada semua anggota DPRD dalam rapat paripurna.
4. Pembahasan Ranperda dalam rapat paripurna.
5. Penyempurnaan Ranperda oleh komisi, gabungan komisi,
Balegda atau panitia khusus.

16
6. Ranperda disampaikan kepada pimpinan DPRD.
7. Ranperda disampaikan kepada Kepala Daerah untuk
pembahasan.
C. Pembahasan
Ranperda yang berasal dari DPRD atau Kepala Daerah dibahas
oleh DPRD dan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan
bersama.4 Pembahasan dilakukan melalui 2 (dua) tingkat
pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat I dan pembicaraan
tingkat II. Urutan kegiatan pembahasan adalah sebagai berikut:
1. Pembicaraan tingkat 1
Dalam hal Ranperda berasal dari Kepala Daerah maka
urutan kegiatan pada pembicaaran tingkat I adalah sebagai
berikut:
a. Penjelasan kepala daerah dalam rapat paripurna
mengenai Rancangan Perda;
b. Pemandangan umum fraksi terhadap Rancangan Perda;
dan
c. Tanggapan dan/atau jawaban kepala daerah terhadap
pemandangan umum fraksi.
Dalam hal Ranperda berasal dari DPRD maka urutan
kegiatan pada pembicaaran tingkat I adalah sebagai berikut:
a. Penjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi,
pimpinan Balegda, atau pimpinan panitia khusus dalam
rapat paripurna mengenai Rancangan Perda;
b. Pendapat kepala daerah terhadap Rancangan Perda;
dan
c. Tanggapan dan/atau jawaban fraksi terhadap pendapat
kepala daerah.

4
. Apabila dalam satu masa sidang kepala daerah dan DPRD menyampaikan Ranperda mengenai materi yang sama, maka yang dibahas
Ranperda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan Ranperda yang disampaikan oleh kepala daerah digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan

17
2. Pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau
panitia khusus yang dilakukan bersama dengan kepala
daerah atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakilinya.
3. Pembicaraan tingkat II, meliputi:
a. Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang
didahului dengan:
1) penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan
gabungan komisi/pimpinan panitia khusus yang
berisi pendapat fraksi dan hasil pembahasan; dan
2) Permintaan persetujuan dari anggota secara lisan
oleh pimpinan rapat paripurna.
b. Pendapat akhir kepala daerah.
4. Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD
dan kepala daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD
kepada kepala daerah untuk ditetapkan menjadi Perda.
Dalam hal persetujuan tidak dapat dicapai secara musyawarah
untuk mufakat, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Dalam hal rancangan Perda tidak mendapat persetujuan
bersama antara DPRD dan kepala daerah, Rancangan Perda
tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPRD
masa itu.
Rancangan Perda dapat ditarik kembali sebelum dibahas
bersama oleh DPRD dan kepala daerah. Penarikan kembali
Rancangan Perda oleh kepala daerah, disampaikan dengan
surat kepala daerah disertai alasan penarikan. Penarikan
kembali Rancangan Perda oleh DPRD, dilakukan dengan
keputusan pimpinan DPRD dengan disertai alasan penarikan.
Rancangan Perda yang sedang dibahas hanya dapat ditarik
kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan kepala
daerah.Penarikan kembali Rancangan Perda hanya dapat

18
dilakukan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh
kepala daerah.
Rancangan Perda yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi
pada masa sidang yang sama.

PEMBICARAAN TINGKAT I

Dalam hal Ranperda Dalam hal Ranperda berasal


berasal dari Kepala Daerah dari DPRD

Penjelasan Pimpinan Komisi,


Penjelasan Kepala Daerah Gabungan Komisi, Balegda
atau Panitia Khusus

Pemandangan Umum Fraksi Pendapat Kepala Daerah

Tanggapan Kepala Daerah Tanggapan Fraksi

PEMBICARAAN TINGKAT II
Pembahasan bersama
dengan Kepala Daerah atau
Pejabat yang mewakili Penyampaian Laporan
Pimpinan Komisi, Gabungan
Komisi, Balegda atau
Panitia Khusus

Permintaan Persetujuan dari


Anggota Secara Lisan

Persetujuan Bersama DRPD


dan Kepala Daerah Pendapat Akhir
Kepala Daerah

Gambar 2.3. Tahap Pembahasan Ranperda

19
D. Pengesahan
Setelah ada persetujuan bersama antara DPRD dan Kepala
Daerah terkait Ranperda yang dibahas bersama, Kepala Daerah
mengesahkan Ranperda tersebut dengan cara membubuhkan
tanda tangan pada naskah Ranperda. Penandatanganan
ini harus dilakukan oleh Kepala Daerah dalam jangka waktu
maksimal 30 hari terhitung sejak tanggal Ranperda tersebut
disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah. Jika Kepala
Daerah tidak menandatangani Ranperda tersebut sesuai waktu
yang ditetapkan, maka Ranperda tersebut otomatis menjadi
Perda dan wajib untuk diundangkan. Penomoran Perda
dilakukan oleh kepala biro hukum provinsi atau kepala bagian
hukum kabupaten/kota.
E. Pengundangan
Pengundangan merupakan pemberitahuan secara formal
suatu Perda sehingga mempunyai daya ikat pada masyarakat.
Perda yang telah ditetapkan, diundangkan dalam lembaran
daerah. Tambahan lembaran daerah memuat penjelasan perda
dan ditetapkan bersamaan dengan pengundangan Perda.
Sekretaris Daerah mengundangkan perda. Perda dimuat dalam
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum.

2.2 PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK


PERATURAN DAERAH

Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau


pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap
suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam
suatu Rancangan Peraturan Daerah sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

20
Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Presiden Nomor
87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, bahwa Pemrakarsa dalam
mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah disertai dengan
penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik.
Pemrakarsa dalam melakukan Penyusunan Naskah Akademik
dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan pihak ketiga yang mempunyai keahlian sesuai materi
yang akan diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah. Teknik
penyusunan Naskah Akademik mengikuti ketentuan pada
Lampiran II Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014.

2.2.1 Sistematika Naskah Akademik Adalah


Sebagai Berikut:

Sistematika Naskah Akademik adalah sebagai berikut:

JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG- UNDANGAN TERKAIT
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN
RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-

21
UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI,
ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
BAB VI PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
Uraian singkat setiap bagian adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
Memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan,
identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode
penelitian.
A. Latar Belakang
Latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya
penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan
Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah tertentu. Latar belakang menjelaskan mengapa
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah suatu Peraturan Perundang-undangan
memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif
mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan
materi muatan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah
tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis,
sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak
perlunya penyusunan Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah.

22
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa
yang akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik
tersebut. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu
Naskah Akademik mencakup 4 (empat) pokok masalah, yaitu
sebagai berikut:
1. Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana
permasalahan tersebut dapat diatasi.
2.
Mengapa perlu Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan
masalah tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan
negara dalam penyelesaian masalah tersebut.
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-
Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan.
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang
dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik
dirumuskan sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara
mengatasi permasalahan tersebut.
2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai
alasan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum
penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

23
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-
Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam
Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah.
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik
adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan
pembahasan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah.
D. Metode
Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan
suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode
penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode
penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat
dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis
empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian
sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi
pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang
berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil
penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode
yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi
(focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode
yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali
dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan
Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan
observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner
untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan
yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan
yang diteliti.

24
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
Memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas,
praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial,
politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam
suatu Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut:
A. Kajian teoretis
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan
penyusunan norma. Analisis terhadap penentuan asas-
asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang
kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang-undangan
yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian.
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada,
serta permasalahan yang dihadapi masyarakat.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang
akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah
terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya
terhadap aspek beban keuangan negara.

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundang- undangan
terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan
Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan
Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan
horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan
yang ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan
yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan

25
Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak
bertentangan dengan Undang- Undang atau Peraturan Daerah
yang baru.
Kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini
dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi
atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui
posisi dari Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang
baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi,
harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada serta
posisi dari Undang-Undang dan Peraturan Daerah untuk
menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari
penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan
landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Undang-
Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN


YURIDIS

1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan
cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk

26
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris
mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat
dan negara.
3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang
telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna
menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum
yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur
sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang
baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan
yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau
tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-
Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah
ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama
sekali belum ada.

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN


RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-
UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU
PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan
ruang lingkup materi muatan Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.
Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi

27
muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah
dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan
yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Selanjutnya
mengenai ruang lingkup materi pada dasarnya mencakup:
A. Ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai
pengertian istilah, dan frasa;
B. Materi yang akan diatur;
C. Ketentuan sanksi; dan
D. Ketentuan peralihan.

BAB VI PENUTUP
Bab penutup terdiri atas sub bab simpulan dan saran.
A. Simpulan
Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan
dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan
asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
B. Saran
Saran memuat antara lain:
1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam
suatu Peraturan Perundang-undangan atau Peraturan
Perundang-undangan di bawahnya.
2.
Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan
Rancangan Undang-Undang/Rancangan Peraturan Daerah
dalam Program Legislasi Nasional/Program Legislasi
Daerah.
3.
Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung
penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik lebih
lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

28
Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang bahan
penyusunan Naskah Akademik.
LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN

2.2.2 Proses Penyusunan Naskah Akademik

Proses penyusunan Naskah Akademik terbagi dalam beberapa


tahap. Berikut adalah tahapan penyusunan Naskah Akademik:
a. Tahap persiapan penyusunan Naskah Akademik
1) Pembentukan Tim Penyusun Naskah Akademik
2) Pengumpulan data-data dan informasi penyusunan
agenda dan pembagian kerja serta persiapan-persiapan
b. Tahap Pelaksanaan Penyusunan Naskah Akademik
1) Penyusunan Kerangka Draft Naskah Akademik
2) Penyusunan draft naskah akademik
c. Diskusi publik draft Naskah Akademik
1) Menginformasikan draft Naskah Akademik
2) Menghimpun masukan-masukan dan berbagai hal
d. Evaluasi Draft Naskah Akademik
1) Menginventarisasi masukan-masukan
2) Mengakomodir masukan-masukan yang bermanfaat ke
dalam Naskah Akademik
e. Penetapan atau finalisasi draft Naskah Akademik
f. Memberikan Naskah Akdemik kepada lembaga legislative
dan lembaga eksekutif untuk dijadikan sebagai bahan
masukan dan pertimbangan dalam pembahasan
pembentukan peraturan daerah

29
30
31
32
PENYUSUNAN RANCANGAN
BAB 3
PERATURAN DAERAH
PENGELOLAAN SAMPAH

3.1 KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERDA


PENGELOLAAN SAMPAH

Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada


Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Mengenai dasar kewenangan pembentukan Peraturan
Daerah diatur dalam:
a. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
indonesia Tahun 1945 yang berbunyi:
Pemerintah Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah
dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi
dan tugas pembantuan
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah [Pasal 65 ayat (2) huruf b, Pasal 154
ayat (1) huruf a, dan Pasal 236 ayat (2), Pasal 242 (1) ] yang
masing-masing berbunyi sebagai berikut:

33
Pasal 65 ayat (2) huruf b :
Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang
menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan
bersama DPRD
Pasal 154 ayat (1) huruf a :
DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk
Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat
persetujuan bersama
Pasal 242 ayat (1) :
Rancangan Perda Yang telah disetujui bersama oleh DPRD
dan Kepala daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD
kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Perda
Pasal 236 ayat (2) :
Perda dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama
Kepala Daerah
Pemerintah Daerah memiliki kewenangan di bidang
persampahan yang merupakan bagian dari urusan
pemerintahan konkuren, sebagaimana diatur dalam UU
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kewenangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota untuk
urusan persampahan adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Kewenangan Urusan Persampahan



Daerah
Sub Urusan Daerah Provinsi
Kabupaten/Kota
Persampahan Pengembangan sistem Pengembangan sistem
dan pengelolaan dan pengelolaan
persampahan regional persampahan dalam
Daerah kabupaten/ kota

34
Sub Urusan Daerah Provinsi Daerah Kabupaten/Kota
Persampahan Pengembangan sistem dan pengelolaan
persampahan regional Pengembangan sistem dan
pengelolaan persampahan dalam Daerah kabupaten/ kota

3.2 MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH


PENGELOLAAN SAMPAH MENURUT HIRARKI
PERUNDANG-UNDANGAN

Materi muatan yang perlu diatur dalam penyusunan Perda


Pengelolaan Sampah diperintahkan oleh beberapa peraturan
perundang-undangan yang secara Hirarki Perundang-
undangan berada diatas Peraturan Daerah. Sebagaimana telah
diuraikan pada sub bab sebelumnya bahwa menurut Undang-
Undang Pasal 14 Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dan Pasal 236 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, menyatakan bahwa
materi muatan Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih
lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan materi
muatan yang harus diatur dalam Perda bidang Persampahan
adalah :
1. UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah;
2. PP Nomor 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga;
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 tahun 2010;
dan
4. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 16
tahun 2011.

35
Perintah Undang-undang No 18 tahun 2008 yang bersifat
tegas untuk diatur dengan Peraturan Daerah, adalah sebagai
berikut:
1. Pasal 11 ayat (2) mengenai tata cara penggunaan hak
setiap orang, yaitu: (a) mendapatkan pelayanan dalam
pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan
lingkungan dari pemerintah daerah, dan/atau pihak lain
yang diberi tanggung jawab untuk itu; (b) berpartisipasi di
dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan,
dan pengawasan di bidang pengelolaan sampah; (c)
memperoleh informasi yang benar, akurat, dan tepat waktu
mengenai penyelenggaraan pengelolaan sampah; (d)
mendapatkan pelindungan dan kompensasi karena dampak
negatif dari kegiatan tempat pemrosesan akhir sampah;
(e) memperoleh pembinaan agar dapat melaksanakan
pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan
lingkungan.
2. Pasal 12 ayat (2) mengenai tata cara pelaksanaan kewajiban
pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
rumah tangga yang merupakan kewajiban setiap orang
mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang
berwawasan lingkungan.
3. Pasal 17 ayat (3) mengenai tata cara memperoleh izin
melaukan kegiatan usaha pengelolaan sampah.
4. Pasal 18 ayat (2) mengenai jenis usaha pengelolaan sampah
yang mendapatkan izin dan tata cara pengumuman kepada
masyarakat.
5. Pasal 22 ayat (2) mengenai penanganan sampah
meliputi: (a) pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan
pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau
sifat sampah; (b) pengumpulan dalam bentuk pengambilan
dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat

36
penampungan sementara (TPS) atau tempat pengolahan
sampah terpadu (TPST; (c) pengangkutan dalam bentuk
membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat
penampungan sampah sementara (TPSS) atau dari tempat
pengolahan sampah terpadu (TPST) menuju ke tempat
pemrosesan akhir (TPA); (d) pengolahan dalam bentuk
mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah;
(e) pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian
sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke
media lingkungan secara aman.
6. Pasal 24 ayat (3) mengenai pembiayaan bahwa Pemerintah
dan pemerintah daerah wajib membiayai penyelenggaraan
pengelolaan sampah yang bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan
dan belanja daerah.
7. Pasal 25 ayat (4) mengenai pemberian kompensasi oleh
pemerintah daerah kepada orang sebagai akibat dampak
negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penanganan sampah
di tempat pemrosesan akhir sampah (TPA) berupa: relokasi,
pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan,
dan/atau kompensasi dalam bentuk lain.
8. Pasal 27 ayat (2) mengenai bentuk perjanjian kemitraan
antara pemerintah daerah kabupaten/kota dan badan usaha
pengelolaan sampah dalam penyelenggaraan pengelolaan
sampah
9. Pasal 28 ayat (3) mengenai mengenai bentuk dan tata
cara peran masyarakat dalam pengelolaan sampah yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah, dapat dilakukan melalui: (a) pemberian usul,
pertimbangan, dan saran kepada pemerintah daerah; (b)
perumusan kebijakan pengelolaan sampah; (c) pemberian
saran dan pendapat dalam penyelesaian sengketa
persampahan.

37
10. Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4) mengenai larangan membuang
sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan
disediakan, melakukan penanganan sampah dengan
pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir (TPA),
dan/atau membakar sampah yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis pengelolaan sampah. Atas pelarangan
tersebut, di dalam Peraturan Daerah dapat menetapkan
sanksi pidana kurungan atau denda terhadap pelanggaran
tersebut.
11.
Pasal 31 ayat (3) mengenai pengawasan terhadap
pelaksanaan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh
pengelola sampah dan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-
sama. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
didasarkan pada norma, standar, prosedur, dan kriteria
pengawasan yang diatur oleh Pemerintah.
12. Pasal 32 ayat (3) mengenai penerapan sanksi administratif
oleh Bupati/walikota kepada pengelola sampah yang
melanggar ketentuan persyaratan yang ditetapkan dalam
perizinan dapat berupa: (a) paksaan pemerintahan; (b)
uang paksa; (c) pencabutan izin.
Sedangkan perintah yang bersifat tidak tegas untuk diatur
dengan Peraturan Daerah, meliputi:
1.
Pasal 5 memberikan tugas kepada Pemerintah
Daerah bersama-sama dengan Pemerintah menjamin
terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan
berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan pengelolaan
sampah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan
kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai
sumber daya.
2. Pasal 6 memberikan tugas kepada Pemerintah Daerah
bersama-sama dengan Pemerintah (Pusat) untuk

38
melaksanakan sebagai berikut: (a) menumbuhkembangkan
dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan
sampah; (b) melakukan penelitian, pengembangan
teknologi pengurangan, dan penanganan sampah; (c)
memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya
pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah;
(d) melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi
penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah; (e)
mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil
pengolahan sampah; (f) memfasilitasi penerapan teknologi
spesifik lokal yang (berkembang pada masyarakat setempat
untuk mengurangi dan menangani sampah; g) melakukan
koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat, dan
dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan
sampah.
3. Pasal 9, memberikan kewenangan kepada Pemerintahan
Kabupaten/Kota sebagai berikut: (a) menetapkan kebijakan
dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan
nasional dan provinsi; (b) menyelenggarakan pengelolaan
sampah skala kabupaten/kota sesuai dengan norma,
standar,prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah; (c) melakukan pembinaan dan pengawasan
kinerja pengelolaan sampah yang dilaksanakan oleh
pihak lain; (d) menetapkan lokasi tempat penampungan
sementara (TPS), tempat pengolahan sampah terpadu
(TPST), dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah
(TPA) merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah
(RTRW); (e) melakukan pemantauan dan evaluasi secara
berkala setiap 6 (enam) bulan selama 20 (dua puluh) tahun
terhadap tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem
pembuangan terbuka yang telah ditutup; (f) menyusun dan
menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan
sampah sesuai dengan kewenangannya.

39
4. Pasal 20 ayat (2) memberikan kewajiban kepada
Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Pemerintah
untuk melakukan kegiatan pengurangan sampah meliputi
kegiatan: (a) pembatasan timbulan sampah; (b) pendauran
ulang sampah; (c) pemanfaatan kembali sampah. Untuk
itu Pemerintah Daerah bersama-sama Pemerintah: (a)
menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap
dalam jangka waktu tertentu; (b) memfasilitasi penerapan
teknologi yang ramah lingkungan; (c) memfasilitasi
penerapan label produk yang ramah lingkungan; (d)
memfasilitasi kegiatan mengguna ulang dan mendaur
ulang; (e) memfasilitasi pemasaran produk-produk daur
ulang.
5. Pasal 26 memberikan anjuran kepada Pemerintah daerah
untuk melakukan kerja sama antar pemerintah daerah
dalam melakukan pengelolaan sampah yang dapat
diwujudkan dalam bentuk kerja sama dan/ atau pembuatan
usaha bersama pengelolaan sampah.
Perintah tersebut di atas tidak hanya ditujukan kepada
Pemerintah Daerah melainkan juga kepada masyarakat,
seperti:
1. Pasal 13 memberikan perintah kepada Pengelola kawasan
permukiman, kawasan komersial, kawasan industri,
kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan
fasilitas lainnya untuk menyediakan fasilitas pemilahan
sampah.
2. Pasal 14 memberikan perintah kepada setiap produsen
untuk mencantumkan label atau tanda yang berhubungan
dengan pengurangan dan penanganan sampah pada
kemasan dan/atau produknya.
3. Pasal 15 memberikan perintah kepada produsen untuk
mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya

40
yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
Peraturan Pemerintah Nomor 81 tahun 2012 tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga sebagai peraturan pelaksanaan
Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 memerintahkan
secara tegas untuk mengatur tata cara pemberian kompensasi
oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi. Hal tersebut
diperintahkan dalam Pasal 32 ayat (4) PP Nomor 81 tahun
2012.
Kementerian Dalam Negeri sebagai kementerian penyelenggara
urusan pemerintahan dalam negeri, menerbitkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pengelolaan Sampah,
yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2010
yang memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah
(kabupaten dan kota) untuk menetapkan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Sampah.
Pasal 44 ayat (1) Peraturan Menteri Nomor 33 tahun 2010
memerintahkan secara tegas kepada Bupati/Walikota untuk
menetapkan peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah
dengan berpedoman pada peraturan menteri ini, paling
lambat 2 (dua) tahun sejak ditetapkan.
Pasal 44 ayat (2) perintah yang bersifat tegas untuk
menetapkan Peraturan Daerah tentang pengelolaan sampah,
dengan minimal muatan yang diatur sebagai berikut:
a. Pengurangan dan penanganan;
b. Lembaga pengelola;
c. Hak dan kewajiban;
d. Perizinan;
e. Insentif dan desinsentif;
f. Kerjasama dan Kemitraan;

41
g. Retribusi;
h. Pembiayaan dan kompensasi;
i. Peran masyarakat;
j. Mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa;
k. Pengawasan dan pengendalian;dan
l. Larangan dan sanksi;
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, melalui Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 16 tahun 2011 telah
menetapkan sebuah Pedoman Materi Muatan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16
tahun 2011 memberi perintah tegas bahwa materi muatan
Rancangan Peraturan Daerah Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, adalah
sebagai berikut :
a. Hak dan kewajiban;
b. Perizinan;
c. Penanganan Sampah;
d. Pembiayaan dan kompensasi ;
e. Peran masyarakat;
f. Larangan;
g. Pengawasan;dan
h. Sanksi administratif.
Berikut tabel muatan yang diperintahkan, dalam penyusunan
Ranperda Pengelolaan Sampah :
berbunyi sebagai berikut:

42
Tabel 3.2 Muatan Ranperda Pengelolaan Sampah

Pengaturan Dalam
Muatan Referensi Model Ranperda
No Yang Perundang- Bunyi Perintah Pengelolaan
Diperintahkan undangan Sampah
Pasal 5 UU No. 18 Pemerintah dan Pemerintah 1. Tugas pemerintah daerah
tahun 2008 tentang daerah bertugas menjamin Kabupaten/Kota dalam
Pengelolaan Sampah terselenggaranya pengelolaan pengelolaan sampah
sampah yang baik dan 2. Kewenangan pemerintah
berwawasan lingkungan sesuai daerah Kabupaten/
dengan tujuan UU pengelolaan Kota dalam pengelolaan
Tugas dan sampah. sampah
1. Kewenangan
pemerintah daerah 3. Perencanaan daerah
dalam pengelolaan
sampah yang harus
disusun oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam
mencapai tujuan
pengelolaan sampah

1. Pasal 11 ayat (2) Ketentuan lebih lanjut 1. Hak-hak masyarakat


UU No. 18 tahun mengenai tata cara penggunaan dalam pengelolaan
2008 tentang hak diatur dengan Peraturan sampah :
Pengelolaan Pemerintan dan Peraturan a. M e n d a p a t k a n
Sampah Daerah pelayanan
b. berpartisipasi dalam
2. Pasal 3 (a) Pedoman Materi Muatan proses pengambilan
Permen Negara Rancangan Peraturan Daerah k e p u t u s a n
LH No. 16 tahun memuat : penyelenggaraan dan
2011, Pedoman pengawasan
Materi Muatan a. Hak dan Kewajiban
Rancangan b. Perizinan c. m e m p e r o l e h
Peraturan informasi yang benar
c. Penanganan Sampah
Daerah Tentang akurat dan tepat
d. Pembiayaan dan waktu
Pengelolaan Kompensasi
Sampah Rumah d. m e n d a p a t k a n
e. Peran Masyarakat perlindungan dan
Tangga dan
Sampah Sejenis f. Larangan kompensasi akibat
Sampah Rumah g. Pengawasan, dan dampak negatif dari
Tangga h. Sanksi pengelolaan sampah
(*)
2. Tata cara penggunaan
2. Hak 3. Pasal 44 ayat Peraturan daerah sebagaimana hak masyarakat
(2) (c), Peraturan dimaksud pada ayat (1) paling dalam pengelolaan
Menteri Dalam sedikit memuat : sampah, yang
Negeri No. disesuaikan dengan
33 Tahun a. Pengurangan dan kelembagaan,
2010, tentang penanganan kearifan lokal dan
Pedoman b. Lembaga Pengelola peraturan perundang-
Pengelolaan c. Hak dan Kewajiban undangan di daerah
Sampah d. Perizinan masing-masing
e. Insentif dan Desinsentif
f. Kerjasama dan Kemitraan
g. Retribusi
h. Pembiayaan dan
Kompensasi
i. Peran masyarakat
j. Mekanisme pengaduan
dan penyelesaian sengketa
k. Pengawasan dan
Pengendalian
l. Larangan dan Sanksi
(**)

43
Pengaturan Dalam
Muatan Referensi Model Ranperda
No Yang Perundang- Bunyi Perintah Pengelolaan
Diperintahkan undangan Sampah
1. Pasal 12 ayat (2) UU Tata cara pelaksanaan 1. Kewajiban dalam
No. 18 tahun 2008 kewajiban pengelolaan pengelolaan sampah:
tentang Pengelolaan sampah rumah tangga a. orang perseorangan
Sampah dan sampah sejenis dan kelompok orang
sampah rumah tangga dan/atau badan
diatur dengan Perda hukum untuk
mengurangi dan
2. Pasal 3 (a) Permen Bunyi perintah sama menangani sampah
Negara LH No. sebagaimana diuraikan dengan cara yang
16 tahun 2011, pada Point (*) berwawasan
Pedoman Materi lingkungan
Muatan Rancangan b. setiap pengelola
Peraturan Daerah kawasan untuk
Tentang Pengelolaan
3. Kewajiban menyediakan fasilitas
Sampah Rumah pemilahan sampah
Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah c. setiap produsen
Rumah Tangga untuk mengelola
kemasan dan/
3. Pasal 44 ayat (2) (c), Bunyi perintah sama atau barang yang
Peraturan Menteri sebagaimana diuraikan diproduksinya yang
Dalam Negeri No. pada Point (**) sulit terurai oleh
33 Tahun 2010, proses alam
tentang Pedoman 2. Tata cara
Pengelolaan pelaksanaan
Sampah kewajiban dalam
pengelolaan sampah

1. Pasal 17 ayat (3) UU Ketentuan lebih lanjut 1. Kewajiban memiliki izin


No. 18 tahun 2008 mengenai tata cara 2. Jenis kegiatan
tentang Pengelolaan memperoleh izin diatur pengelolaan sampah yang
Sampah dengan peraturan memerlukan izin
daerah sesuai dengan 3. Tata cara mendapatkan
kewenangannya izin
2. Pasal 18 ayat (2) UU Ketentuan lebih lanjut 4. Tata cara pengumuman
No. 18 tahun 2008 mengenai jenis usaha dalam perizinan
tentang Pengelolaan pengelolaan sampah yang 5. Izin lingkungan yang
Sampah mendapat izin dan tata merupakan bagian dari
cara pengumuman diatur perizinan
dengan peraturan daerah 6. Masa berlaku izin
pengelolaan sampah
3. Pasal 3 (b) Permen Bunyi perintah sama
Negara LH No. sebagaimana diuraikan
4. Perizinan 16 tahun 2011, pada Point (*)
Pedoman Materi
Muatan Rancangan
Peraturan Daerah
Tentang Pengelolaan
Sampah Rumah
Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah
Rumah Tangga

4. Pasal 44 ayat (2) (a), Bunyi perintah sama


Peraturan Menteri sebagaimana diuraikan
Dalam Negeri No. pada Point (**)
33 Tahun 2010,
tentang Pedoman
Pengelolaan
Sampah

44
Pengaturan Dalam
Muatan Referensi Model Ranperda
No Yang Perundang- Bunyi Perintah Pengelolaan
Diperintahkan undangan Sampah
Pengurangan Sampah 1. Pengelolaan sampah
terdiri dari pengurangan
1. Pasal 44 ayat Bunyi perintah sama dan penanganan
(2)(a) Peraturan sebagaimana diuraikan 2. Pengurangan sampah
Menteri Dalam pada Point (**) a. Perencanaan
Negeri No. pengurangan dan
33 Tahun penanganan pengelolaan
2010, tentang sampah
Pedoman b. Pengurangan Sampah :
Pengelolaan
Jenis kegiatan
Sampah
pengurangan sampah
2. UU No. 18 tahun Pemerintah dan pemerintah Tata cara pengurangan
2008 Pasal 20 daerah wajib melakukan sampah
ayat (2), perintah kegiatan-kegiatan dalam Tugas dan Kewenangan
secara tidak hal pengurangan sampah. Pemerintah daerah dalam
tegas Pengurangan Sampah
c. Tata cara pengurangan
sampah oleh produsen
3. Penanganan Sampah:
a. Jenis kegiatan
penanganan sampah
b. Teknis pemilahan
sampah
c. Pembagian jenis sampah
Penanganan Sampah dalam kegiatan pemilahan
sampah
1. Pasal 22 ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
UU No. 18 tahun penanganan sampah diatur d. Persyaratan sarana
Pengelolaan
5. 2008 tentang dengan atau berdasarkan pemilahan dan
Sampah
Pengelolaan peraturan pemerintah pewadahan sampah
Sampah atau dengan peraturan e. Teknis pengumpulan
daerah sesuai dengan sampah
kewenangannya f. Teknis pengangkutan
sampah
2. Pasal 3 (c) Bunyi perintah sama g. Alat angkut sampah
Permen Negara sebagaimana diuraikan
LH No. 16 tahun pada Point (**) h. Teknis pengolahan
2011, Pedoman sampah
Materi Muatan i. Jenis kegiatan
Rancangan pengolahan sampah
Peraturan j. Prasarana dan sarana
Daerah Tentang dalam pengolahan
Pengelolaan sampah
Sampah Rumah k. Kerjasama dalam
Tangga dan penyelenggaraan
Sampah Sejenis pengolahan sampah
Sampah Rumah l. Teknis pemrosesan
Tangga sampah
3. Pasal 44 ayat m. Metode pemrosesan akhir
(2) (a), Peraturan sampah
Menteri Dalam n. Teknis pemilihan lokasi
Negeri No. TPA
33 Tahun o. Tugas dan kewenangan
2010, tentang Pemerintah Daerah dalam
Pedoman kegiatan pemrosesan
Pengelolaan akhir sampah.
Sampah

45
Pengaturan Dalam
Muatan Referensi Model Ranperda
No Yang Perundang- Bunyi Perintah Pengelolaan
Diperintahkan undangan Sampah
1. Pasal 24 ayat (3) UU Ketentuan lebih lanjut 1. Sumber-sumber
No. 18 tahun 2008 mengenai pembiayaan pembiayaan
tentang Pengelolaan diatur dengan peraturan 2. Sumber pembiayaan lain
Sampah daerah yang sah adalah retribusi
dan/atau penerimaan dari
2. Pasal 3 (d ) Permen Bunyi perintah sama badan layanan umum
Negara LH No. sebagaimana diuraikan daerah
16 tahun 2011, pada Point (*)
Pedoman Materi
Muatan Rancangan
Peraturan Daerah
Tentang Pengelolaan
6. PEMBIAYAAN Sampah Rumah
Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah
Rumah Tangga

3. Pasal 44 ayat (2) (h), Bunyi perintah sama


Peraturan Menteri sebagaimana diuraikan
Dalam Negeri No. pada Point (**)
33 Tahun 2010,
tentang Pedoman
Pengelolaan
Sampah

1. Pasal 25 ayat (4) UU Ketentuan lebih lanjut 1. Kompensasi secara


No. 18 tahun 2008 mengenai pemberian umum
tentang Pengelolaan kompensasi oleh 2. Bentuk-bentuk
Sampah pemerintah diatur dengan kompensasi
peraturan pemerintah dan/ 3. Bentuk-bentuk
atau peraturan daerah dampak negatif yang
dapat mengakibatkan
2. Pasal 32 ayat (4) PP Ketentuan lebih lanjut
diberikannya kompensasi
No.81 tahun 2012 mengenai tata cara
tentang Pengelolaan pemberian kompensasi 4. Asuransi sebagai jaminan
Sampah Rumah oleh Pemkab/kota dan kompensasi
Tangga dan Sampah pemprov diatur dengan 5. Tata cara pemberian
Sejenis Sampah peraturan daerah kompensasi yang
Rumah Tangga disesuaikan dengan
kelembagaan, kearifan
3. Pasal 3 (d ) Permen Bunyi perintah sama lokal dan peraturan
Negara LH No. sebagaimana diuraikan perundang-undangan di
7. Kompensasi daerah masing-masing
16 tahun 2011, pada Point (*)
Pedoman Materi
Muatan Rancangan
Peraturan Daerah
Tentang Pengelolaan
Sampah Rumah
Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah
Rumah Tangga

4. Pasal 44 ayat (2) (h), Bunyi perintah sama


Peraturan Menteri sebagaimana diuraikan
Dalam Negeri No. pada Point (**)
33 Tahun 2010,
tentang Pedoman
Pengelolaan
Sampah

46
Pengaturan Dalam
Muatan Referensi Model Ranperda
No Yang Perundang- Bunyi Perintah Pengelolaan
Diperintahkan undangan Sampah
1. Pasal 28 ayat (3) UU Ketentuan lebih lanjut 1. Bentuk peran masyarakat
No. 18 tahun 2008 mengenai bentuk- bentuk :
tentang Pengelolaan dan tata cara pelaksanaan a. Pemberian usul,
Sampah peran masyarakat, pertimbangan, dan
diatur dengan peraturan saran dalam perumusan
pemerintah dan/atau kebijakan pengelolaan
peraturan daerah sampah
b. Melaksanakan
2. Pasal 3 (e ) Permen Bunyi perintah sama penanganan sampah
Negara LH No. sebagaimana diuraikan secara mandiri atau
16 tahun 2011, pada Point (*) bermitra dengan
Pedoman Materi
pemerintah
Muatan Rancangan
Peraturan Daerah c. Pemberian pendidikan
8. Peran Masyarakat
Tentang Pengelolaan dan pelatihan
Sampah Rumah d. Pendampingan oleh
Tangga dan Sampah kelompok masyarakat
Sejenis Sampah kepada anggota
Rumah Tangga masyarakat
2. Tata cara peran serta
masyarakat yang di
3. Pasal 44 ayat (2) (i), Bunyi perintah sama sesuaikan dengan
Peraturan Menteri sebagaimana diuraikan kebutuhan, kearifan lokal
Dalam Negeri No. 33 pada Point (**) dan peraturan perundang-
Tahun 2010, tentang undangan di daerah
Pedoman Pengelolaan masing-masing.
Sampah

1. Pasal 29 ayat (3) (3) Ketentuan 1. Kegiatan yang dilarang


dan (4) UU No. 18 lebih lanjut mengenai dalam pengelolaan
tahun 2008 tentang larangan : diatur dengan sampah :
Pengelolaan Sampah perda kabupaten/kota a. membuang sampah tidak
(4) Peraturan pada tempat yang telah
daerah kabupaten/kota ditentukan dan disediakan
sebagaimana dimaksud b. melakukan penanganan
pada ayat (3) dapat sampah dengan
menetapkan sanksi pidana pembuangan terbuka di
kurungan atau denda TPA
terhadap pelanggaran c. membakar sampah yang
ketentuan sebagaimana tidak sesuai dengan
dimaksud diatas persyaratan teknis
pengelolaan sampah.
2. Pasal 3 (f ) Permen Bunyi perintah sama
9. Larangan Negara LH No. sebagaimana diuraikan
16 tahun 2011, pada Point (*) Pengaturan lainnya dapat di
Pedoman Materi sesuaikan dengan kebutuhan,
Muatan Rancangan kearifan lokal dan peraturan
Peraturan Daerah perundang-undangan di
Tentang Pengelolaan daerah masing-masing
Sampah Rumah
Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah
Rumah Tangga

3. Pasal 44 ayat (2) (l), Bunyi perintah sama


Peraturan Menteri sebagaimana diuraikan
Dalam Negeri No. 33 pada Point (**)
Tahun 2010, tentang
Pedoman Pengelolaan
Sampah

47
Pengaturan Dalam
Muatan Referensi Model Ranperda
No Yang Perundang- Bunyi Perintah Pengelolaan
Diperintahkan undangan Sampah
1. Pasal 31 ayat (3) UU Ketentuan lebih lanjut 1. Bentuk kegiatan
No. 18 tahun 2008 mengenai pengawasan pembinaan oleh kepala
tentang Pengelolaan pengelolaan sampah daerah
Sampah diatur dengan peraturan 2. Subyek hukum dalam
daerah setiap kegiatan
pembinaan
2. Pasal 3 (g) Permen Bunyi perintah sama
3. Bentuk pengawasan
Negara LH No. sebagaimana diuraikan
16 tahun 2011, pada Point (**) 4. Kegiatan pengawasan
Pedoman Materi dalam pengelolaan
Muatan Rancangan sampah
Pembinaan dan Peraturan Daerah
10
Pengawasan Tentang Pengelolaan
Sampah Rumah
Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah
Rumah Tangga

3. Pasal 44 ayat (2) (k), Bunyi perintah sama


Peraturan Menteri sebagaimana diuraikan
Dalam Negeri No. 33 pada Point (**)
Tahun 2010, tentang
Pedoman Pengelolaan
Sampah

1. Pasal 32 ayat (3) UU Bunyi perintah sama 1. Bentuk-bentuk sanksi


No. 18 tahun 2008 sebagaimana diuraikan administratif
tentang Pengelolaan pada Point (**) 2. Penerapan sanksi
Sampah administratif
3. Kelembagaan yang
2. Pasal 3 (h) Permen Ketentuan lebih lanjut mengawal dan
Negara LH No. mengenai penerapan menerapkan sanksi
16 tahun 2011, sanksi administratif diatur administratif
Pedoman Materi dengan perda kabupaten/
Muatan Rancangan kota 4. Tata cara dan mekanisme
Peraturan Daerah penerapan sanksi
Bunyi perintah sama adminsitratif secara rinci
11. Sanksi Tentang Pengelolaan sebagaimana diuraikan
Sampah Rumah dapat didelegasikan
pada Point (*) dalam peraturan Bupati/
Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Walikota
Rumah Tangga 5. Sanksi Pidana (bila
diperlukan)
3. Pasal 44 ayat (2) (l), Bunyi perintah sama
Peraturan Menteri sebagaimana diuraikan Pengaturan lainnya dapat di
Dalam Negeri No. 33 pada Point (**) sesuaikan dengan kebutuhan,
Tahun 2010, tentang kearifan lokal dan peraturan
Pedoman Pengelolaan perundang-undangan di
Sampah daerah masing-masing

Pasal 44 ayat (2) (e) Bunyi perintah sama 1. Bentuk-bentuk kegiatan


Peraturan Menteri Dalam sebagaimana diuraikan yang mendapatkan
Negeri No. 33 Tahun pada Point (**) insentif
2010, tentang Pedoman 2. Bentuk-bentul insentif
Pengelolaan Sampah. 3. Bentuk-bentuk kegiatan
yang mendapatkan
Insentif dan
12. desinsentif
Desinsentif
4. Bentuk-bentuk desinsentif
5. Pendelegasian pengaturan
lebih lanjut mengenai
bentuk dan tatacara
pemberian insentif dan
desinsentif

48
Pengaturan Dalam
Muatan Referensi Model Ranperda
No Yang Perundang- Bunyi Perintah Pengelolaan
Diperintahkan undangan Sampah
Pasal 44 ayat (2) (f) Bunyi perintah sama 1. Tata cara kerjasama antar
Peraturan Menteri Dalam sebagaimana diuraikan daerah
Negeri No. 33 Tahun pada Point (**) 2. Lingkup kegiatan
2010, tentang Pedoman pengelolaan
Pengelolaan Sampah sampah yang dapat
dikerjasamakan
Kerjasama dan
13. 3. Kemitraan dengan badan
kemitraan
usaha
4. Lingkup kegiatan
pengelolaan
sampah yang dapat
dikerjasamakan dengan
badan usaha

Pasal 44 ayat (2) (g) Bunyi perintah sama 1. Kewenangan pemerintah


Peraturan Menteri Dalam sebagaimana diuraikan dalam pemungutan
Negeri No. 33 Tahun pada Point (**) retribusi
2010, tentang Pedoman 2. Pedoman
14. Retrbusi Pengelolaan Sampah penyelenggaraan
mengacu pada peraturan
perundangan yang sudah
ada (bila ada)

Pasal 44 ayat (2) (b) Bunyi perintah sama 1. Lembaga


Peraturan Menteri Dalam sebagaimana diuraikan pengelola sebagai
Negeri No. 33 Tahun pada Point (**) penyelenggara
2010, tentang Pedoman pengelolaan sampah
Lembaga Pengelolaan Sampah 2. Bentuk Lembaga
15.
Pengelola Pengelola disesuaikan
dengan peraturan
perUUan dan
kelembagaan di
daerah masing-masing

Pasal 44 ayat (2) (b) Bunyi perintah sama 1. Pengaduan masyarakat


Peraturan Menteri Dalam sebagaimana diuraikan : tata cara pengaduan
Negeri No. 33 Tahun pada Point (**) dan penanganan
2010, tentang Pedoman pengaduan akibat dugaan
Pengelolaan Sampah pencemaran dan/atau
Mekanisme kerusakan lingkungan
pangaduan dan 2. Lembaga pengelola
16. pengaduan masyarakat
penyelesaian
sengketa 3. Jenis-jenis sengketa yang
mungkin timbul dalam
pengelolaan sampah
4. Tata cara penyelesaian
sengketa dalam
pengelolaan sampah

Dapat ditambahkan sesuai


Materi muatan
17. dengan kebutuhan masing-
lainnya
masing daerah

49
50
3.3 MODEL RANPERDA PENGELOLAAN SAMPAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA


.
NOMOR . TAHUN
TENTANG
PENGELOLAAN SAMPAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


BUPATI/WALIKOTA..

Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat


merupakan hak asasi setiap warga negara
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal
28 H Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan Kabupaten/
Kota . yang sehat dan bersih dari sampah
yang dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan,
maka perlu dilakukan pengelolaan sampah secara
komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir;
c. bahwa dalam pengelolaan sampah diperlukan
kepastian hukum, kejelasan tugas dan wewenang
Pemerintah Daerah serta hak dan kewajiban
masyarakat/pelaku usaha sehingga pengelolaan
sampah dapat berjalan secara proporsional,
efektif dan efisien;
d.
bahwa pengelolaan sampah berdasarkan

51
Peraturan Nomor. Tahun tentang
Kebersihan Lingkungan Dalam Wilayah
Kabupaten/ Kota.., sudah tidak sesuai
dengan perkembangan situasi dan kondisi saat ini
sehingga perlu dilakukan penggantian;
e. Bahwa untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 47
ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sampah;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c dan
huruf d maka perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Sampah.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor .. Tahun .tentang


Pembentukan Kabupaten/Kota;
2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Tahun
2008 Nomor 69, Tambahan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun
2014 Nomor 244, Tambahan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 188, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5347)
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun
2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah

52
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 274);
6.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 16 Tahun 2011, tentang Pedoman Materi
Muatan Rancangan Peraturan Daerah Tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 933);
7. Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota..



Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN/KOTA.

Dan

BUPATI/WALIKOTA KABUPATEN/WALIKOTA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN


SAMPAH.

53
BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

1. Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau


proses alam yang berbentuk padat.
2. Sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal dari
kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga yang tidak termasuk
tinja dan sampah spesifik.
3. Sampah sejenis sampah rumah tangga adalah sampah rumah
tangga yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri,
kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum dan/atau fasilitas
lainnya.
4. Sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi,
dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus.
5. Sumber sampah adalah asal timbulan sampah.
6. Penghasil sampah adalah setiap orang dan/atau akibat proses
alam yang menghasilkan timbulan sampah.
7. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis,
menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan
dan penanganan sampah.
8. Penyelenggaraan Pengelolaan sampah adalah kegiatan
merencanakan, membangun, mengoperasikan, dan memelihara
serta memantau dan mengevaluasi pengelolaan sampah.
9. Pengurangan sampah adalah kegiatan pembatasan timbulan
sampah, pendaur ulang sampah dan/atau pemanfaatan
kembali sampah.

54
10. Pemilahan sampah adalah kegiatan mengelompokkan dan
memisahkan sampah sesuai dengan jenis, jumlah dan/atau sifat
sampah.
11. Pengumpulan sampah adalah kegiatan mengambil dan
memindahkan sampah dari sumber sampah ke tempat
penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah
dengan prinsip 3R atau ke tempat pengolahan sampah terpadu.
12. Pengangkutan sampah adalah kegiatan membawa sampah dari
sumber dan/ atau dari tempat penampungan sampah sementara
atau dari tempat pengolahan sampah dengan prinsip 3R atau
dari tempat pengelolaan sampah terpadu menuju ke tempat
pemrosesan akhir.
13. Pengolahan sampah adalah kegiatan mengubah karakteristik,
komposisi dan/atau jumlah sampah.
14. Pemrosesan akhir sampah adalah proses pengembalian sampah
dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media
lingkungan secara aman.
15. Tempat penampungan sementara yang selanjutnya disingkat
TPS adalah tempat sebelum sampah diangkut ke tempat
pendauran ulang, pengolahan dan/atau tempat pengolahan
sampah terpadu.
16. Tempat pengolahan sampah dengan prinsip 3R (Reduse,
Reuse, Recycle) yang selanjutnya disebut TPS 3R adalah
tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan,
penggunaan ulang, dan pendauran ulang skala kawasan.
17. Stasiun peralihan antara yang selanjutnya disingkat SPA, adalah
sarana pemindahan dari alat angkut kecil ke alat angkut lebih
besar dan diperlukan untuk kabupaten/kota yang memiliki lokasi
TPA jaraknya lebih dari 25 km yang dapat dilengkapi dengan
fasilitas pengolahan sampah.
18. Tempat pengolahan sampah terpadu yang selanjutnya disingkat

55
TPST adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan,
pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan
dan pemrosesan akhir.
19. Tempat pemrosesan akhir yang selanjutnya disingkat TPA adalah
tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke
media lingkungan.
20. Prasarana persampahan yang selanjutnya disebut prasarana
adalah fasilitas dasar yang dapat menunjang terlaksananya
kegiatan penanganan sampah.
21. Sarana persampahan yang selanjutnya disebut sarana adalah
peralatan yang dapat dipergunakan dalam kegiatan penanganan
sampah.
22. Reduce, Reuse dan Recycle yang selanjutnya disingkat dengan
3R, adalah kegiatan pengurangan sampah dengan cara
mengurangi, memakai atau memanfaatkan kembali dan mendaur
ulang.
23. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh
Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
24. Daerah adalah Kabupaten/Kota ..
25. Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan
rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun
1945.
26. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten /Kota

56
27. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD
adalah Perangkat Daerah sebagai unsur pembantu Kabupaten/
Kota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
28. Unit Pelaksana Teknis Daerah yang selanjutnya disingkat UPTD
29. Badan Layanan Unit Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD
adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Unit Kerja pada
Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah
yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
30. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD
adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh Daerah.
31. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS
adalah pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi
wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan
penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah.
32. Produsen adalah pelaku usaha yang memproduksi barang
yang menggunakan kemasan, mendistribusikan barang yang
menggunakan kemasan dan berasal dari impor, atau menjual
barang dengan menggunakan wadah yang tidak dapat atau sulit
terurai oleh proses alam.
33. Petugas kebersihan adalah orang yang diberi tugas menjalankan
pelayanan kebersihan oleh Pemerintah Daerah dan/atau badan
usaha di bidang kebersihan
34. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang dan/atau
badan hukum.
35. Masyarakat adalah perorangan atau kelompok orang atau badan
usaha atau lembaga/organisasi kemasyarakatan.

57
BAB II

ASAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2

Pengelolaan sampah berdasarkan pada asas:


a. tanggung jawab;
b. kelestarian dan keberlanjutan;
c. keterpaduan;
d. keadilan;
e. kehati-hatian;
f. partisipatif;
g. manfaat;
h. tata kelola pemerintahan yang baik; dan
i. pencemar membayar.

Pasal 3

Tujuan pengelolaan sampah untuk:


a. mewujudkan lingkungan yang sehat dan bersih dari sampah;
b. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan menjaga
kesehatan masyarakat;
c. meningkatkan peran serta masyarakat dan pelaku usaha untuk
secara aktif mengurangi dan/atau menangani sampah yang

58
berwawasan lingkungan;
d. menjadikan sampah sebagai sumber daya yang memiliki nilai
ekonomis; dan
e. mewujudkan kinerja pelayanan sampah yang efektif dan efisien.

Pasal 4

Sampah yang diatur dalam peraturan daerah ini meliputi:


a. sampah rumah tangga;
b. sampah sejenis sampah rumah tangga; dan
c. sampah spesifik.

BAB III

TUGAS DAN WEWENANG

Pasal 5

Tugas Pemerintah Daerah meliputi:


a. menumbuh kembangkan dan meningkatkan kesadaran
masyarakat dan pelaku usaha dalam pengelolaan sampah;
b. mengalokasikan dana untuk pengelolaan sampah;
c. melakukan penelitian pengembangan teknologi pengurangan
dan penanganan sampah;

59
d. memfasilitasi, mengembangkan dan melaksanakan upaya
pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah;
e. melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi
penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah;
f. mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil
pengolahan sampah;
g. mendorong dan memfasilitasi penerapan teknologi pengolahan
sampah lokal yang berkembang pada masyarakat untuk
mengurangi dan/atau menangani sampah; dan
h. mengkoordinasikan antar lembaga pemerintah daerah, antar
lembaga pengelola sampah, dan antara lembaga-lembaga
tersebut dengan masyarakat, dan pelaku usaha agar terdapat
keterpaduan dalam pengelolaan sampah.

Pasal 6

Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,


Pemerintah Daerah mempunyai kewewenangan:

a. menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah


berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi;
b. menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/
kota sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria yang
ditetapkan pemerintah;
c. melakukan kerjasama antar daerah, kemitraan dan jejaring dalam
pengelolaan sampah;
d. menetapkan lokasi TPS, TPS 3R, TPST dan TPA di dalam
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR);
e. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap

60
TPS, TPS 3R dan TPST dan/atau TPA;
f. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6
(enam) bulan sekali selama 20 (dua puluh) tahun terhadap TPA
dengan sistem pembuangan terbuka yang telah ditutup;
g. melakukan pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan
pengelolaan sampah; dan
h. menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat
pengelolaan sampah sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 7

(1) Untuk mencapai tujuan pengelolaan sampah sesuai tugas dan


wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal
6, pemerintah daerah harus membuat dokumen perencanaan
daerah yang memuat target pengurangan dan penanganan
sampah dalam pengelolaan sampah.
(2) Teknis penyusunan perencanaan daerah pengelolaan sampah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

61
BAB IV

HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Kesatu
Hak

Pasal 8

Masyarakat berhak:

a. mendapatkan lingkungan yang bersih, indah, nyaman dan sehat;


b. mendapatkan pelayanan kebersihan secara baik dan
berwawasan lingkungan pemerintah daerah dan/atau pengelola
kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri
dan kawasan khusus;
c. berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan,
penyelenggaraan dan pengawasan pengelolaan sampah;
d. memperoleh data dan informasi yang benar dan akurat serta
tepat waktu mengenai penyelenggaraan pengelolaan sampah;
e. mendapatkan perlindungan dan kompensasi karena dampak
negatif dari kegiatan pengolahan sampah di TPA; dan
f. memperoleh pembinaan pengelolaan sampah yang baik dan
berwawasan lingkungan.

62
Bagian Kedua
Kewajiban

Pasal 9

(1) Dalam pengelolaan sampah di Daerah, setiap orang wajib:


a. menjaga kebersihan di lingkungan sekitarnya;
b. turut aktif dalam pengurangan dan penanganan sampah;
c. menyiapkan pewadahan sampah sesuai dengan peraturan/
standar tempat sampah yang berwawasan lingkungan;
d. dalam kegiatan sehari-hari menggunakan bahan yang
dapat diguna ulang, di daur ulang dan/atau mudah diurai
oleh proses alam.
(2) Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah
tangga wajib dilakukan dalam skala RT/RW, dan/atau Desa/
Kelurahan/Kecamatan dengan pembinaan teknis dari Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang membidangi persampahan.
(3) Setiap angkutan umum, kendaraan pribadi, fasilitas umum,
fasilitas sosial, perkantoran, perusahaan, pusat perbelanjaan
wajib menyediakan wadah sampah dan/atau TPS.

63
BAB V

PENGELOLAAN SAMPAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 10

Pengelolaan sampah terdiri dari:

a. pengurangan sampah; dan


b. penanganan sampah.

Bagian Kedua
Pengurangan Sampah

Pasal 11

(1) Pengurangan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10


huruf a, meliputi kegiatan:
a. pembatasan timbulan;
b. pendauran ulang sampah; dan
c. pemanfaatan kembali sampah.

64
(2) Pengurangan sampah sebagaimana dimaksud pada Pasal 10
huruf a dilakukan dengan cara:
a. menggunakan bahan yang dapat digunakan ulang, bahan yang
dapat didaur ulang, dan/atau bahan yang mudah diurai oleh
proses alam; dan/atau
b. mengumpulkan dan menyerahkan kembali sampah dari produk
dan/atau kemasan yang sudah digunakan untuk didaur ulang
dan/atau diguna ulang;
c. memanfaatkan kembali sampah secara aman bagi kesehatan
dan lingkungan.

Pasal 12

Pemerintah daerah dalam usaha pengurangan sampah dilakukan


melalui kegiatan:

a. pemantauan dan supervisi pelaksanaan rencana pemanfaatan


bahan produksi ramah lingkungan oleh pelaku usaha; dan
b. fasilitasi kepada masyarakat dan dunia usaha dalam
mengembangkan dan memanfaatkan hasil daur ulang,
pemasaran hasil produk daur ulang, dan guna ulang sampah.

Pasal 13

(1) Produsen wajib melakukan pembatasan timbulan sampah


dengan:
a. menyusun rencana dan/atau program pembatasan timbulan

65
sampah sebagai bagian dari usaha dan/atau kegiatannya;
dan/atau
b. menghasilkan produk dengan menggunakan kemasan yang
mudah diurai oleh proses alam dan yang menimbulkan
sampah sesedikit mungkin.
c. melakukan pendauran ulang sampah; dan
d. melakukan pemanfaatan kembali sampah.
(2) Produsen wajib melakukan pendaur ulangan sampah dengan:
a. menyusun program pendauran ulang sampah sebagai
bagian dari usaha dan/atau kegiatannya;
b. menggunakan bahan baku produksi yang dapat didaur
ulang; dan/atau
c. menarik kembali sampah dari produk dan kemasan produk
untuk didaur ulang.
(3) Dalam melakukan pendauran ulang sampah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), produsen dapat menunjuk pihak lain.
(4) Pihak lain, dalam melakukan pendauran ulang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib memiliki izin usaha dan/atau
kegiatan.
(5) Dalam hal pendauran ulang sampah untuk menghasilkan
kemasan pangan, pelaksanaan pendauran ulang wajib mengikuti
ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang
pengawasan obat dan makanan.
(6) Produsen wajib melakukan pemanfaatan kembali sampah
dengan:
a. menyusun rencana dan/atau program pemanfaatan kembali
sampah sebagai bagian dari usaha dan/atau kegiatannya
sesuai, dengan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah
Kabupaten/Kota ..;

66
b. menggunakan bahan baku produksi yang dapat diguna
ulang; dan/atau
c. menarik kembali sampah dari produk dan kemasan produk
untuk diguna ulang.

Pasal 14

(1) Pelaku usaha wajib melaksanakan pengurangan sampah dari


kegiatan usahanya.
(2) Pengurangan sampah dari kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan:
a. menggunakan bahan-bahan baik untuk produksi maupun
untuk pewadahannya yang sesedikit mungkin menimbulkan
sampah;
b. menggunakan bahan yang dapat diguna ulang, didaur
ulang dan/atau bahan yang mudah diurai oleh proses alam
dalam kegiatan usahanya;
c. melakukan pendaur ulangan sampah yang dihasilkan dari
usahanya dengan teknologi yang aman bagi kesehatan
dan lingkungan;
d. membantu upaya pengurangan dan pemanfaatan kembali
sampah dari hasil dalam kegiatan usahanya, dengan
metode pemanfaatan sampah untuk menghasilkan produk
dan energi; dan
e. apabila usahanya menghasilkan produk, melakukan
optimalisasi penggunaan bahan daur ulang sebagai bahan
baku produk; dan menampung kemasan produk yang telah
dimanfaatkan oleh konsumen.

67
Bagian Ketiga
Penanganan Sampah

Pasal 15

Kegiatan penanganan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal


10 huruf b meliputi:

a. pemilahan;
b. pengumpulan;
c. pengangkutan;
d. pengolahan;
e. pemrosesan akhir sampah.

Paragraf 1
Pemilahan sampah

Pasal 16

(1) Pemilahan sampah sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 huruf


a dilakukan melalui kegiatan pengelompokan sampah menjadi
paling sedikit 5 (lima) jenis sampah yang terdiri atas:
a. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun
serta limbah bahan berbahaya dan beracun;
b. sampah yang mudah terurai;

68
c. sampah yang dapat digunakan kembali;
d. sampah yang dapat didaur ulang; dan
e. sampah lainnya.
(2) Sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta
limbah bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a antara lain kemasan obat serangga,
kemasan oli, kemasan obat-obatan, obat-obatan kadaluarsa,
peralatan listrik, dan peralatan elektronik rumah tangga.
(3) Sampah yang mudah terurai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b antara lain sampah yang berasal dari tumbuhan,
hewan, dan/atau bagian-bagiannya yang dapat terurai oleh
makhluk hidup lainnya dan/atau mikroorganisme seperti sampah
makanan dan serasah.
(4) Sampah yang dapat digunakan kembali sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan sampah yang dapat
dimanfaatkan kembali tanpa melalui proses pengolahan antara
lain kertas kardus, botol minuman, dan kaleng.
(5) Sampah yang dapat didaur ulang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d meirupakan sampah yang dapat dimanfaatkan
kembali setelah melalui proses pengolahan antara lain sisa kain,
plastik, kertas, dan kaca.
(6) Sampah lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
merupakan residu.

Pasal 17

(1) Dalam rangka pemilahan sampah, produsen harus mencantumkan


label atau tanda pada produk dan/atau kemasan produk, yang
menunjukkan bahwa sisa produk dan/atau kemasan produk

69
yang dihasilkan merupakan jenis :
a. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun
serta limbah bahan berbahaya dan beracun;
b. sampah yang mudah terurai;
c. sampah yang digunakan kembali;
d. sampah yang dapat di daur ulang; dan
e. sampah lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai simbol dan label sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 18

(1) Setiap orang/rumah tangga wajib melakukan pemilahan sampah


pada sumbernya.
(2) Setiap rumah tangga wajib menyediakan wadah sampah untuk
kegiatan pemilahan sampah, dengan persyaratan dan kriteria
sebagai berikut :
a. tidak mudah rusak dan kedap air;
b. ekonomis dan mudah diperoleh;
c. mudah dikosongkan;
d. apabila berbentuk kantong terbuat dari bahan yang dapat di
daur ulang;
e. dibedakan dengan warna dan simbol, sesuai jenis sampah.
(3) Apabila rumah tangga tidak mampu menyediakan wadah
sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka wadah
sampah wajib disediakan oleh pemerintah daerah.

70
Pasal 19

(1) Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan


industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan
fasilitas lainnya dalam melakukan pemilahan sampah wajib
menyediakan sarana pemilahan dan pewadahan sampah skala
kawasan.
(2) Pemerintah kabupaten/kota menyediakan sarana pemilahan dan
pewadahan sampah skala kabupaten/kota.

Pasal 20

(1) Persyaratan sarana pemilahan dan pewadahan sampah skala


kawasan dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada:
a. volume sampah;
b. jenis sampah dan sifat sampah;
c. penempatan;
d. jadwal pengumpulan; dan
e. jenis sarana pengumpulan dan pengangkutan.
(2) Sarana pemilahan dan pewadahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus menggunakan wadah yang tertutup, yang
diberi label atau tanda, dengan kriteria sebagai berikut :
a.
wadah warna untuk sampah, dengan
simbol..;
b. wadah warna ... untuk sampah .., dengan
simbol.;

71
c. wadah warna ... untuk sampah ..., dengan
simbol.....;
d. wadah warna ... untuk sampah .., dengan
simbol.;
e. wadah warna ... untuk sampah ..., dengan
simbol..
(3) Penyediaan wadah sampah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) , harus memenuhi standar wadah sampah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar wadah sampah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 2
Pengumpulan Sampah

Pasal 21

(1) Pengumpulan sampah sebagaimana dimaksud pada Pasal 15


huruf b dilakukan melalui kegiatan pengambilan dan pemindahan
sampah dari sumber sampah ke TPS dan/atau TPS 3R atau
TPST/ TPA dengan tetap memperhatikan pemilahan sampah
sesuai jenis sampah.
(2) Kegiatan pengumpulan sampah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 huruf b, meliputi:
a. Pengelolaan kawasan wajib melakukan pengumpulan sampah
dan menyediakan TPS dan/atau TPS 3R skala kawasan secara
aman bagi kesehatan dan lingkungan;

72
b. Pemerintah Daerah wajib menyediakan TPS dan/atau TPS 3R
yang aman bagi kesehatan dan lingkungan.

Pasal 22

(1) Pengumpulan sampah perorangan/rumah tangga dari tempat


pemilahan sampah ke TPS dan/atau TPS 3R menjadi tanggung
jawab pengelola sampah di tingkat Rukun Warga (RW) yang
dibentuk oleh Pengurus RW.
(2) Penyediaan sarana pengumpulan sampah rumah perorangan/
rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di wilayah
permukiman yang dikelola oleh Pengurus RW, menjadi tanggung
jawab Pengurus RW, dan Pemerintah Daerah berkewajiban
memfasilitasinya sesuai kebutuhan, dan kondisi sosial - ekonomi
masyarakat.

Pasal 23

(1) Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan


industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan
fasilitas lainnya dalam melakukan pengumpulan sampah wajib
menyediakan TPS, atau TPS 3R dan/atau sarana pengumpulan
sampah terpilah secara aman bagi kesehatan dan lingkungan
skala kawasan.
(2) Sarana pengumpulan sampah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari:
a. gerobak;

73
b. motor sampah;
c. kontainer; atau
d. truk sampah
(3) TPS dan/atau TPS 3R sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi kriteria sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(4) Pemerintah kabupaten/kota menyediakan TPS, TPS 3R dan
sarana pengumpulan sampah skala kabupaten/kota.

Paragraf 3
Pengangkutan Sampah

Pasal 24

(1) Pengangkutan sampah dari TPS dan/atau TPS 3R ke TPA dan/


atau TPST sebagaimana dimaksud Pasal 15 huruf c tidak boleh
dicampur kembali setelah dilakukan pemilahan dan pewadahan.
(2) Dalam hal terdapat sampah yang mengandung bahan berbahaya
dan beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun,
teknis pengangkutan sampah mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 25

(1) Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)


dilakukan oleh pemerintah daerah .

74
(2) Pemerintah daerah dalam melakukan pengangkutan sampah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. menyediakan alat angkut sampah termasuk untuk sampah
terpilah yang tidak mencemari lingkungan; dan
b. melakukan pengangkutan sampah dari TPS dan/atau TPS
3R ke TPA atau TPST.
(3) Dalam pengangkutan sampah, pemerintah daerah bila
diperlukan dapat menyediakan stasiun peralihan antara.
(4) Dalam hal dua atau lebih kabupaten/kota melakukan pengolahan
sampah bersama dan memerlukan pengangkutan sampah
lintas kabupaten/kota, pemerintah kabupaten/kota dapat
mengusulkan kepada pemerintah provinsi untuk menyediakan
stasiun peralihan antara dan alat angkutnya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kendaraan dan penjadwalan
pengangkutan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Kabupaten/Walikota.

Paragraf 4
Pengolahan Sampah

Pasal 26

Pengolahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf


d, dilakukan di TPS 3R, TPST dan/atau TPA dengan cara mengubah
karakteristik, komposisi dan jumlah sampah dengan memanfaatkan
teknologi yang ramah lingkungan.

75
Pasal 27

(1) Kegiatan pengolahan sampah dilakukan dengan cara sebagai


berikut :
a. pemadatan;
b. pengomposan;
c. daur ulang materi;
d. daur ulang energi; dan/atau
e. pengolahan sampah lainnya dengan teknologi ramah
lingkungan.
(2) Pengolahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 dilakukan oleh Pemerintah Daerah, orang perseorangan,
kelompok orang dan/atau badan hukum pada sumbernya, dan
pengelola kawasan.

Pasal 28

(1) Pengolahan sampah di TPS 3R sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 26 terdapat di:
a. kelurahan/desa;
b. kecamatan; dan
c. kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri,
dan kawasan khusus.
(2) Pengolahan sampah di TPS 3R kawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, diselenggarakan oleh penanggung jawab
dan/atau pengelola kawasan.

76
(3) Pengolahan sampah di TPS 3R sebagaimana dimaksud dapat
dikerjasamakan dan/atau dapat diselenggarakan oleh badan
usaha di bidang kebersihan atau persampahan di bawah
pembinaan dan pengawasan Pemerintah Daerah.
(4) Penyediaan lahan TPS 3R di kelurahan dan kecamatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab
Pemerintah Daerah dan dapat dikerjasamakan dengan pelaku
usaha, masyarakat dan/atau badan usaha dibidang kebersihan
atau persampahan.

Pasal 29

Lokasi TPS 3R sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat 4


ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai Rencana Detail Tata Ruang
(RDTR) dan Peraturan Zonasi.

Pasal 30

(1) Pengolahan sampah di TPS 3R harus memenuhi persyaratan


teknis dan standar prasarana dan sarana pengolahan sampah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan
standar prasarana dan sarana pengolahan sampah di TPS 3R
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

77
Pasal 31

(1) Sampah spesifik karena sifat, konsentrasi dan/atau volumenya


memerlukan pengelolaan khusus, dilaksanakan berdasarkan
norma, standar, prosedur, kriteria sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan sampah spesifik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan
Bupati/Walikota.

Paragraf 5
Pemrosesan Akhir Sampah

Pasal 32

(1) Pemrosesan akhir sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal


15 huruf e, dilakukan di TPA untuk mengembalikan sampah dan/
atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan
secara aman.
(2) Pemrosesan akhir sampah dilakukan oleh Pemerintah Daerah
dengan menggunakan metode :
a. lahan urug terkendali
b. lahan urug saniter; dan/atau
c. penggunaan teknologi ramah lingkungan.
(3) Pemilihan lokasi TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

78
Pasal 33

(1) Apabila TPA tidak dioperasikan sesuai dengan persyaratan


teknis, harus dilakukan penutupan dan/atau rehabilitasi.
(2) Penyediaan fasilitas pengolahan dan pemrosesan akhir sampah
dilakukan melalui tahapan perencanaan, pembangunan,
pengoperasian dan pemeliharaan.
(3) Pembangunan fasilitas pengolahan dan pemrosesan akhir
meliputi kegiatan konstruksi, supervisi, dan uji coba.

Paragraf 6
Pengelolaan Sampah Spesifik

Pasal 34

Pengelolaan sampah spesifik terdiri atas:


a. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun;
b. sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun;
c. sampah yang timbul akibat bencana;
d. puing bongkaran bangunan;
e. sampah yang secara teknologi belum dapat diolah;
f. sampah yang timbul secara tidak periodik.

79
Pasal 35

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 mengenai


pengelolaan sampah spesifik diatur dengan peraturan Bupati/Walikota.

BAB VI

PERIZINAN

Pasal 36

(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha pengelolaan


sampah wajib memiliki izin dari Bupati/Walikota.
(2) Kegiatan pengelolaan sampah rumah tangga dan yang wajib
memiliki izin meliputi :
a. pendaur ulangan;
b. pengangkutan;
c. pengolahan; dan
d. pemrosesan akhir.
(3) Izin pengangkutan sampah berlaku selama 1 (satu) tahun dan
dapat diperpanjang.
(4) Izin pengolahan dan pemrosesan akhir sampah berlaku selama
5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
(5) Izin pengelolaan sampah berakhir secara otomatis karena masa
berlaku nsudah berakhir atau badan usaha pemegang izin

80
pengelolaan sampah bubar dan/atau dicabut karena melanggar
ketentuan yang berlaku dalam perizinan.

Pasal 37

(1) Untuk mendapatkan izin usaha pengelolaan sampah


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), badan usaha
harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bupati/
Walikota dengan melampirkan persyaratan administrasi dan
teknis.
(2) Permohonan izin pengelolaan sampah harus memenuhi
persyaratan administratif yang memuat :
a. data akta pendirian perusahaan;
b. nama penanggung jawab kegiatan;
c. nama, alamat dan bidang usaha dan/atau kegiatan
perusahaan;
d. nomor telepon perusahaan;
e. wakil perusahaan yang dapat dihubungi; dan
f. sertifikat kompetensi dan/atau sertifikat pelatihan.
(3) Untuk kegiatan pengelolaan yang wajib Amdal atau UKL-UPL.
permohonan izin harus dilengkapi dengan izin lingkungan.
(4) Keputusan mengenai pemberian izin pengelolaan sampah
diumumkan kepada masyarakat.

81
BAB VII

LEMBAGA PENGELOLA

Pasal 38

(1) Penyelenggaraan pengelolaan sampah dilaksanakan oleh


lembaga pengelola sampah.
(2) Lembaga pengelola sampah sebagaimana yang dimaksud
dengan ayat 1 dapat berbentuk:
a. Lembaga Swadaya Masyarakat;
b. UPTD;
c. BLUD;
d. SKPD; dan/atau
e. BUMD.

Pasal 39

Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga pengelola sampah


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 akan diatur dengan peraturan
Bupati/Walikota.

82
BAB VIII

PEMBIAYAAN DAN KOMPENSASI

Bagian Kesatu
Pembiayaan

Pasal 40

(1) Sumber pembiyaan pengelolaan sampah berasal dari:


a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan
b. sumber pembiayaan lainnya yang sah sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Sumber pembiayaan lain yang sah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dapat berupa:
c. retribusi;
b. hibah;
c. pinjaman; dan/atau
d. investasi badan usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembiayaan diatur
dengan Peraturan Bupati/Walikota.

83
Pasal 41

(1) Pembiayaan kegiatan pengolahan sampah yang dilaksanakan


oleh masyarakat menjadi tanggung jawab masyarakat.
(2) Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan berupa stimulan
dan/atau sarana pengolahan sampah yang diselenggarakan
oleh masyarakat sesuai kebutuhan.

Pasal 42
(1) Setiap orang yang menggunakan atau menerima manfaat
jasa pelayanan pengelolaan sampah wajib membayar jasa
pengelolaan sampah.
(2) Besaran tarif yang dikenakan kepada setiap wajib bayar dihitung
berdasarkan kebutuhan biaya penyediaan jasa pengelolaan
sampah yang diberikan menurut kaidah manajemen usaha dan
mempertimbangkan kemampuan secara ekonomi dan aspek
keadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif jasa pengelolaan sampah
diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota.

Bagian Kedua
Kompensasi

Pasal 43

(1) Kompensasi merupakan pemberian imbalan dan/atau rugi

84
kepada orang perseorangan, kelompok orang dan/atau badan
hukum, yang terkena dampak negatif yang ditimbulkan oleh
kegiatan penanganan sampah di TPA.
(2) Pemerintah Daerah wajib memberikan kompensasi sebagai
akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan
pemrosesan akhir sampah.
(3) Kompensasi harus dianggarkan dalam APBD.
(4) Dampak negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. pencemaran air;
b. pencemaran udara;
c. pencemaran tanah;
d. longsor;
e. kebakaran;dan/atau
f. ledakan gas metan; dan/atau
g. hal lain yang dapat menimbulkan dampak negatif.

Pasal 44

(1) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat


(1),dapat
berbentuk:
a. relokasi penduduk;
b. pemulihan kualitas lingkungan;
c. biaya kesehatan dan pengobatan;
d. penyediaan fasilitas sanitasi dan kesehatan; dan/atau
e. kompensasi dalam bentuk lain.

85
(2) Untuk memberikan jaminan kompensasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan
perusahaan asuransi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kerjasama dengan
perusahaan asuransi diatur melalui Peraturan Bupati/Walikota.

Pasal 45

Tata cara pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal


43 ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. pengajuan surat pengaduan kepada Pemerintah Daerah;


b. pemerintah daerah melakukan investigasi atas kebenaran dan
dampak negatif pengelolaan sampah; dan
c. menetapkan bentuk kompensasi yang diberikan berdasarkan
hasil investigasi dan hasil kajian.

BAB IX

INSENTIF DAN DISINSENTIF

Pasal 46

(1) Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif pada setiap


lembaga, pelaku usaha, perseorangan yang melakukan
pengurangan dan/atau pengolahan sampah berupa:

86
a. inovasi terbaik dalam pengelolaan sampah;
b. pelaporan atas pelanggaran terhadap larangan;
c. pengurangan timbulan sampah; dan/atau
d. tertib penanganan sampah.
(2) Insentif yang diberikan berupa:
a. insentif fiskal; dan/atau
b. insentif non fiskal.
(3) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dapat berupa antara lain:
a. uang kepada anggota masyarakat yang langsung melakukan
pemilahan dan/atau pengolahan sampah;
b. dana bergulir; dan
c. keringanan pajak daerah dan/atau pengurangan retribusi.
(4) Insentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
berupa pemberian kemudahan dalam perizinan dan/atau dalam
bentuk penghargaan.

Pasal 47

(1) Pemerintah Daerah dapat memberikan disinsentif kepada setiap


orang yang melakukan:
a. pelanggaran terhadap larangan; dan/atau
b. pelanggaran tertib penanganan sampah.
(2) Desinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa:
a. disinsentif fiskal; dan

87
b. disinsentif non fiskal.
(3) Disinsentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a, berupa pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah yang
tinggi.
(4) Disinsentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b, berupa persyaratan khusus dalam perizinan, kewajiban berupa
kompensasi atau imbalan dan/atau pembatasan penyediaan
prasarana dan sarana.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian
insentif dan/atau disinsentif diatur dengan Peraturan Bupati/
Walikota.

BAB X

KERJASAMA DAN KEMITRAAN

Bagian Kesatu
Kerjasama Antar Daerah

Pasal 48

(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan kerjasama antar Pemerintah


Daerah dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah.
(2) Lingkup kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam pengelolaan
sampah mencakup:

88
a. penyediaan/pembangunan TPA;
b. penyediaan prasarana dan sarana TPA;
c. pengangkutan sampah dari TPS/TPST ke TPA;
d. pengelolaan TPA; dan/atau
e. pengelolaan sampah menjadi produk lainnya yang ramah
lingkungan.
(3) Bentuk dan pola kerjasama antar daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Kemitraan

Pasal 49

(1) Pemerintah Daerah dapat bermitra dengan badan usaha dalam


pengelolaan sampah.
(2) Lingkup kerja sama bidang pengelolaan sampah dapat berupa:
a. pembatasan timbulan sampah;
b. pendauran ulang sampah;
c. pemanfaatan kembali sampah;
d. pemilahan sampah;
e. pengumpulan sampah;
f. pengangkutan sampah;
g. pengolahan sampah; dan
h. pemrosesan akhir sampah.

89
(3) Kerjasama dalam kegiatan pemrosesan akhir sampah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h , dapat berupa :
a. penyediaan/pembangunan TPA;
b. sarana dan prasarana TPA;
c. pengangkutan sampah dari TPS/TPST ke TPA;
d. pengelolaan TPA; dan/atau
e. pengolahan sampah menjadi produk lainnya yang ramah
lingkungan
f. Pengolahan sampah menjadi produk berdaya guna, bernilai
ekonomis dan sumber energi.

Pasal 50

(1) Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1)


dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama antara pemerintah
daerah dengan badan usaha.
(2) Tata cara pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

BAB XI

RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN

Pasal 51

90
(1) Pemerintah daerah dapat mengenakan retribusi atas pelayanan
persampahan.
(2) Penyelenggaraan retribusi atas pelayanan persampahan
berpedoman pada peraturan daerah Nomortentang
Retribusi.

BAB XII

PERAN MASYARAKAT

Pasal 52

(1) Masyarakat dapat berperan aktif dalam pengolahan sampah


dengan cara:
a. meningkatkan kemampuan, kemandirian, keberdayaan dan
kemitraan dalam pengelolaan sampah;
b. menumbuhkembangkan kepeloporan masyarakat dalam
pengolahan sampah;
c. meningkatkan ketanggap daruratan atau tindakan yang
sifatnya gawat darurat dalam pengolahan sampah, seperti
terjadi kebakaran di TPS, TPS 3R, TPST atau TPA yang
membahayakan; dan
d. menyampaikan informasi, laporan, pengaduan, saran dan/
atau kritik yang berkaitan dengan pengelolaan sampah.
(2) Pelaku usaha dapat berperan aktif dalam kegiatan pengolahan
sampah melalui kegiatan:
a. penyediaan dan/atau pengembangan teknologi pengolahan
sampah;

91
b. bantuan prasarana dan sarana;
c. bantuan inovasi teknologi pengolahan sampah;dan
d. pembinaan pengolahan sampah kepada masyarakat.

Pasal 53

(1) Setiap orang yang mengetahui, menduga dan/atau menderita


kerugian akibat dampak negatif yang ditimbulkan dalam kegiatan
pengelolaan sampah dan/atau perbuatan larangan dalam perda
ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dapat menyampaikan
pengaduan kepada Bupati/Walikota melalui Lurah, Camat dan/
atau Kepala Dinas.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
disampaikan dengan cara lisan dan/atau tertulis.

Pasal 54

(1) Pengaduan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat


(2) memuat informasi:
a. identitas pengadu yang paling sedikit memuat informasi
nama, alamat, dan
b. nomor telepon yang bisa dihubungi;
c. lokasi terjadinya dampak dan/atau perbuatan dalam
kegiatan pengelolaan sampah ;
d. dugaan sumber dampak dan/atau perbuatan dalam
kegiatan pengelolaan sampah;

92
e. waktu terjadinya dampak dan/atau perbuatan dalam
kegiatan pengelolaan sampah.
(2) Data pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
dirahasiakan oleh penerima pengaduan.

Pasal 55

(1) Pengadu berhak menyampaikan pengaduan kepada instansi


yang bertanggung jawab.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
disampaikan melalui kepala desa/lurah atau camat setempat.
(3) Kepala desa/lurah atau camat setempat menyampaikan
pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada
instansi yang bertanggung jawab.
(4) Dalam hal pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 3
ditindaklanjuti dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja, pengadu
dapat menyampaikan pengaduan kepada instansi yang
bertanggung jawab di tingkat pemerintahan yang lebih tinggi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan kelembagaan
dalam penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota.

93
BAB XIII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 56

(1) Pemerintah Daerah wajib melakukan pembinaan terhadap


penyelenggara pengelolaan sampah, antara lain melalui
kegiatan:
a. koordinasi;
b. sosialisasi;
c. penyuluhan dan bimbingan teknis;
d. supervisi dan konsultasi;
e. pendidikan dan pelatihan;
f. penelitian dan pengembangan;
g. pengembangan sistem informasi dan komunikasi; dan
h. penyebarluasan informasi.
(2) Kegiatan pembinaan pengelolaan sampah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada masyarakat (orang
perorangan, kelompok masyarakat), produsen, pelaku usaha,
pengelola kawasan, dan lembaga pengelola.
(3) Kegiatan pembinaan pengelolaan sampah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

94
Pasal 57

(1) Pemerintah Daerah melakukan pengawasan pelaksanaan


pengelolaan sampah dengan cara:
a. pemantauan;
b. pengendalian; dan
c. evaluasi.
(2) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan sampah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. pengurangan sampah ;
b. penanganan sampah;
c. pelaksanaan penanggulangan kecelakaan dan pencemaran
lingkungan hidup akibat kegiatan penanganan sampah;
dan
d. pelaksanaan pemulihan fungsi lingkungan hidup akibat
kecelakaan dan pencemaran lingkungan dari kegiatan
penanganan sampah.

95
BAB XIV

LARANGAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF

Bagian Kesatu
Larangan

Pasal 58

Setiap orang dilarang :

a. membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan


dan disediakan;
b. membuang sampah, kotoran, atau barang bekas lainnya
disaluran air atau selokan, jalan, berm (bahu jalan), trotoar,
tempat umum, tempat pelayanan umum, dan tempat-tempat
lainnya yang bukan merupakan tempat pembuangan sampah;
c. mencampur sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah
rumah tangga dengan sampah B3 rumah tangga;
d. mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan;
e. mengotori, merusak, membakar, atau menghilangkan tempat
sampah yang telah disediakan;
f. membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis
pengelolaan sampah, sehingga mengganggu kenyamanan
penduduk sekitar tempat pembakaran sampah dan menyebabkan
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup; dan
g. melakukan pemrosesan akhir sampah menggunakan metode
yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

96
Bagian Kedua
Sanksi Administratif

Pasal 59

(1) Setiap produsen dengan sengaja melaksanakan kegiatan yang


bertentangan dengan Pasal 13 dikenakan sanksi administratif
berupa uang paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(2) Setiap pelaku usaha dengan sengaja melaksanakan kegiatan
yang bertentangan dengan Pasal 19 ayat (1), Pasal 21 ayat (2)
dan Pasal 23 dikenakan sanksi administratif berupa uang paksa
paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
(3) Setiap produsen dan pelaku usaha yang dengan sengaja tanpa
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan (2) maka pemerintah daerah dapat mencabut izin usaha.
(4) Uang paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
disetorkan ke kas daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 60

(1) Setiap orang yang lalai atau dengan sengaja tidak melakukan
pemilahan dan pewadahan sampah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 dikenakan sanksi administratif berupa uang paksa paling
banyak Rp.1.000.000,00.

97
(2) Penanggung jawab dan/atau pengelola kawasan permukiman,
kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, yang
lalai atau dengan sengaja tidak menyediakan prasarana dan
sarana pengelolaan sampah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 23
dikenakan sanksi administratif berupa uang paksa paling sedikit
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.50.000.000,00 (lima puluh Juta rupiah).
(3) Pengelola fasilitas umum, fasilitas sosial dan fasilitas lainnya
yang lalai atau dengan sengaja tidak menyediakan prasarana
dan sarana pengelolaan sampah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 dan Pasal 23, dikenakan sanksi administratif
berupa uang paksa paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta
rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Pasal 61

(1) Bupati/ Walikota dapat memberikan sanksi administratif berupa


uang paksa kepada:
a. setiap orang dengan sengaja atau terbukti membuang
sampah di luar jadwal yang ditentukan, dikenakan uang
paksa paling banyak Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah);
b. setiap orang dengan sengaja atau terbukti membuang,
menumpuk sampah dan/atau bangkai binatang tidak pada
tempat yang ke sungai/kali/kanal, waduk, situ, saluran air
limbah, di jalan, taman, atau tempat umum, dikenakan
uang paksa paling banyak Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah);
c. setiap orang dengan sengaja atau terbukti membuang
sampah dari kendaraan, dikenakan uang paksa paling

98
banyak Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); dan
d. setiap orang dengan sengaja atau terbukti mengeruk atau
mengais sampah di TPS yang berakibat sampah menjadi
berserakan, membuang sampah diluar tempat/lokasi
pembuangan yang telah ditetapkan, dikenakan uang paksa
paling banyak Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);
e. setiap orang dengan sengaja atau terbukti membakar
sampah, dikenakan uang paksa paling banyak Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah);
f. pengelola sampah yang melanggar ketentuan dan
persyaratan yang ditetapkan dalam izin, dikenakan paksaan
pemerintahan sesuai ketentuan dalam perizinan yang
berlaku;
g. apabila paksaan pemerintahan tidak dilaksanakan,
dikenakan uang paksa paling banyak Rp 25.000.000,00
(Dua Puluh Lima Juta Rupiah).
h. paksaan pemerintahan dan uang paksa tidak dilaksanakan
oleh pemegang izin maka dikenakan pencabutan izin.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
secara operasional ditetapkan oleh pengawas kebersihan dan
dapat di dampingi aparat penegak hukum.
(3) Uang paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
disetorkan ke kas daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 62

(1) Badan usaha yang terbukti melakukan usaha pengelolaan


sampah tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat

99
(1) kepada penanggungjawab Badan Usaha bersangkutan
dikenakan sanksi administratif berupa uang paksa paling
sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dengan ketentuan
wajib memproses Izin Usaha Pengelolaan Sampah.
(2) Badan usaha di bidang pengelolaan sampah dengan sengaja
dan terbukti tidak memberikan jaminan perlindungan kepada
Petugas Kebersihannya, maka penanggung jawab badan usaha
yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa pencabutan izin
usaha pengelolaan sampah.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara dan mekanisme
penerapan sanksi administratif secara rinci, diatur dengan
Peraturan Bupati/Walikota.

BAB XV

PENYIDIKAN

Pasal 63

(1) Selain pejabat penyidik Polri, yang bertugas menyidik tindak


pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah
ini dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang
pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dalam melaksanakan tugas PPNS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), berwenang:

100
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya pelanggaran dan/atau tindak pidana ;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat
kejadian pelanggaran dan/atau melakukan pemeriksaan
kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
pelanggaran dan/atau tindak pidana di bidang pengelolaan
sampah;
c. memanggil seseorang untuk didengar keterangannya
sebagai tersangka atau saksi yang berkenaan dengan
pelanggaran dan/atau tindak pidana di bidang pengelolaan
sampah;
d. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan pelanggaran dan/atau tindak pidana di bidang
pengelolaan sampah;
e. meminta keterangan dan mengumpulkan alat bukti
berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang
pengelolaan sampah;
f. melakukan pemeriksaan atas alat bukti yang berkenaan
dengan tindak pidana di bidang pengelolaan sampah;
g. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan
bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta
melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang yang
dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dibidang
pengelolaan sampah; dan
h. melakukan pemeriksaan tempat kejadian perkara yang
diduga tempat kejadian atau lokasi yang terkena dampak
pelanggaran dan/ atau tindak pidana di bidang pengelolaan
sampah.
(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil
penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik

101
Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menyampaikan penyidikan kepada penuntut umum
melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

BAB XVI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 64

(1) Setiap produsen yang lalai atau dengan sengaja tidak


mencantumkan label dan/atau tanda yang berhubungan dengan
pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau
produk yang dihasilkan kepada penanggungjawabnya diancam
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling
banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(2) Setiap produsen yang lalai atau dengan sengaja tidak
menggunakan bahan baku produksi dan kemasan yang dapat
diurai oleh proses alam, yang menimbulkan sesedikit mungkin
sampah, dan yang dapat didaur ulang dan/atau diguna ulang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), kepada
penanggungjawabnya diancam pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).

102
Pasal 65

Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan sampah tanpa


memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2), diancam
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak
Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Pasal 66

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65


adalah kejahatan.

BAB XVII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 67

(1) Selama belum ditetapkan peraturan pelaksanaan


berdasarkanPeraturan Daerah ini, peraturan pelaksanaan
yang ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Penyediaan fasilitas pemilahan sampah dilakukan paling lama 3
(tiga) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku.

103
(3) Penyediaan TPS 3R oleh Pemerintah Daerah dilakukan paling
lama 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku.
(4) Penyediaan TPST dan TPA oleh Pemerintah Daerah dilakukan
paling lama 5 (lima) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai
berlaku.
(5) Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh Peraturan Daerah
ini diselesaikan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak
peraturan daerah ini diundangkan.

BAB XVIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 68

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor
.. Tahun . tentang .., dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.

Pasal 69

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

104
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota .

Ditetapkan di .

pada tanggal

BUPATI/WALIKOTA ..

NAMA BUPATI/WALIKOTA

Diundangkan di..

pada tanggal.

Plt. SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN/KOTA ..,

..

NIP.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

TAHUN.. NOMOR..

105
106

Anda mungkin juga menyukai