BUPATI SERANG
PROVINSI BANTEN
BUPATI SERANG,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka tertib admintrasi dan untuk menjamin
kepastian hukum atas pembentukan produk hukum daerah
diperlukan pedoman berdasarkan cara dan metode yang pasti,
baku dan standar sehingga tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan
umum dan/atau kesusilaan;
b. bahwa dengan berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum
Daerah, maka Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9
Tahun 2013 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
Kabupaten Serang, perlu diganti dan dilakukan penyesuain
dengan pengaturan kembali;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah Kabupaten
Serang.
dan
BUPATI SERANG
MEMUTUSKAN :
BAB I KETENTUAN
UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Serang.
2. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsure penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah
DPRD Kabupaten Serang.
5. Bupati adalah Bupati Serang.
6. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dan DPRD dalam
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
7. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda adalah Peraturan Daerah
Kabupaten Serang.
8. Peraturan DPRD adalah Peraturan DPRD Kabupaten Serang.
9. Peraturan Bupati adalah Peraturan Bupati Serang.
10. Peraturan Bersama Kepala Daerah yang selanjutnya disingkat PB KDH
adalah peraturan yang ditetapkan oleh dua atau lebih Kepala Daerah.
27. Nomor register yang selanjutnya disingkat noreg adalah pemberian nomor
dalam rangka pengawasan dan tertib administrasi untuk mengetahui jumlah
rancangan perda yang dikeluarkan pemerintah daerah sebelum
dilakukannya penetapan dan pengundangan.
28. Materi Muatan Peraturan Daerah adalah materi yang dimuat dalam
Peraturan Daerah sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
BAB II
PRODUK HUKUM DAERAH
Pasal 2
(1) Produk Hukum Daerah berbentuk :
a. peraturan; dan
b. penetapan.
(2) Produk Hukum Daerah berbentuk peraturan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a terdiri atas :
a. Perda;
b. Peraturan Bupati;
c. PB KDH ; dan
d. Peraturan DPRD.
(3) Produk Hukum Daerah berbentuk penetapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b terdiri atas :
a. Keputusan Bupati;
b. Keputusan DPRD;
c. Keputusan Pimpinan DPRD; dan
d. Keputusan Badan Kehormatan DPRD.
BAB III
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
Bagian Kesatu
Azas Pembentukan
Pasal 3
Azas pembentukan Perda yaitu sebagai berikut :
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Bagian Kedua
Materi Muatan
Pasal 4
(1) Materi muatan Perda harus mengandung azas :
a. pengayoman;
b. kemanusian;
c. kebangsaan ;......
-5-
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan
j. keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
(2) Selain azas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda tertentu dapat berisi
azas lain sesuai dengan bidang hukum Perda yang bersangkutan.
Pasal 5
(1) Materi muatan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus berisi :
a. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan;
b. penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi; dan/atau
(2) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perda dapat
memuat materi muatan lokal dan/atau menampung kondisi khusus daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Materi muatan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
untuk mengatur kewenangan:
a. daerah;
b. lokasinya dalam daerah;
c. penggunanya dalam daerah;
d. manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam daerah; dan/atau
e. penggunaan sumberdayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah.
Pasal 6
(1) Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dapat memuat
ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan
Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dimuat ketentuan pidana
berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana
denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Selain pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan dan ancaman
pidana kurungan atau pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Perda dapat memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan pada
keadaan semula dan sanksi administratif.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa :
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan ……….
-6-
BAB IV
PERENCANAAN PERATURAN DAERAH
Bagian Kesatu
Perencanaan Penyusunan Perda
Pasal 7
Perencanaan Penyusunan Perda meliputi kegiatan :
a. penyusunan Propemperda;
b. perencanaan penyusunan raperda kumulatif terbuka; dan
c. perencanaan penyusunan raperda di luar Propemperda.
Bagian Kedua
Penyusunan Propemperda di Lingkungan Pemerintah Daerah
Pasal 8
Bupati menugaskan Kepala Perangkat Daerah menyusun Propemperda di
lingkungan Pemerintah Daerah.
Pasal 9
(1) Penyusunan Propemperda di lingkungan Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dikoordinasikan oleh Bagian Hukum dan dapat
mengikutsertakan instansi vertikal terkait.
(2) Instansi vertikal terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a. Instansi vertikal dari kementrian yang menyelenggarakan pemerintahan
di bidang hukum ; dan/atau
b. Instansi vertikal terkait sesuai dengan :
1. kewenangan;
2. materi muatan; atau
3. kebutuhan dalam pengaturan.
(3) Hasil penyusunan Propemperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan oleh Bagian Hukum kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah.
(4) Bupati menyampaikan hasil penyusunan Propemperda di lingkungan
Pemerintah Daerah kepada Bapemperda melalui pimpinan DPRD.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Propemperda di
lingkungan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 10
(1) Propemperda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memuat program
pembentukan Peraturan Daerah dengan judul Raperda, materi yang diatur,
dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
(2) Materi yang …….
-7-
Bagian Ketiga
Penyusunan Propemperda di Lingkungan DPRD
Pasal 11
(1) Penyusunan Propemperda di lingkungan DPRD dikoordinasikan oleh
Bapemperda.
(2) Ketentuan mengenai penyusunan Propemperda di lingkungan DPRD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan DPRD.
Bagian Keempat
Penyusunan Propemperda
Pasal 12
(1) Penyusunan Propemperda dilaksanakan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah.
(2) Penyusunan Propemperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
daftar Reperda yang didasarkan atas:
a. perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. rencana pembangunan daerah;
c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
d. aspirasi masyarakat daerah.
(3) Penyusunan Propemperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)memuat
daftar urutan yang ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun
berdasarkan skala prioritas pembentukan rancangan perda.
(4) Penyusunan dan penetapan Propemperda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Reperda tentang APBD.
(5) Penetapan skala prioritas pembentukan Reperda sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan oleh Bapemperda dan Bagian Hukum berdasarkan
kriteria :
a. perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. rencana pembangunan daerah;
c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
d. aspirasi masyarakat daerah.
Pasal 13
(1) Hasil penyusunan Propemperda antara DPRD dan pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) disepakati menjadi
Propemperda dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD.
(2) Propemperda ……
-8-
Bagian Keenam
Perencanaan Penyusunan Peraturan Bupati dan Peraturan DPRD
Pasal 15
(1) Perencanaan penyusunan Peraturan Bupati dan Peraturan DPRD
merupakan kewenangan dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga
masing-masing.
(2) Perencanaan penyusunan Peraturan Bupati dan Peraturan DPRD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan perintah
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau berdasarkan
kewenangan.
(3) Perencanaan penyusunan Peraturan Bupati dan Peraturan DPRD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati
dan Keputusan DPRD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
(4) Perencanaan penyusunan Peraturan Bupati dan Peraturan DPRD yang telah
ditetapkan dengan Keputusan pimpinan lembaga masing-masing
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan penambahan atau
pengurangan.
BAB V
PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH
Bagian Kesatu
Penyusunan Reperda
Pasal 16 .......
-9-
Pasal 16
Penyusunan produk hukum daerah berbentuk peraturan berupa perda atau
nama lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dilakukan
berdasarkan Propemperda dapat berasal dari DPRD atau Pemerintah Daerah.
Paragraf 1
Penyusunan Penjelasan atau Keterangan
dan/atau Naskah Akademik
Pasal 17
(1) Pemrakarsa dalam mempersiapkan rancangan perda disertai dengan
penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik.
(2) Penyusunan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Reperda yang berasal dari
pimpinan Perangkat Daerah mengikutsertakan Bagian Hukum.
(3) Penyusunan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Reperda yang berasal dari
anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau Bapemperda, dikoordinasikan
oleh Bapemperda.
(4) Pemrakarsa dalam melakukan penyusunan naskah akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat mengikutsertakan instansi
vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan pihak ketiga yang mempunyai keahlian sesuai materi
yang akan diatur dalam Reperda.
(5) Penjelasan atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat pokok pikiran dan materi muatan yang akan diatur.
(6) Penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan
Reperda.
Pasal 18
Dalam hal Raperda mengenai APBD, pencabutan Peraturan Daerah, dan
perubahan Peraturan Daerah yang hanya terbatas mengubah beberapa materi,
disertai dengan penjelasan atau keterangan yang memuat pokok pikiran dan
materi muatan yang diatur.
Pasal 19
(1) Penyusunan naskah akademik Raperda dilakukan sesuai dengan teknik
penyusunan naskah akademik.
(2) Naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan sistematika
sebagai berikut :
a. Judul
b. Kata pengantar
c. Daftar isi terdiri dari :
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN
TERKAIT
BAB IV ………
- 10
Pasal 20
(1) Bagian hukum melakukan penyelarasan naskah akademik Reperda yang
diterima dari Perangkat Daerah.
(2) Penyelarasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap
sistematika dan materi muatan naskah akademik Reperda.
(3) Penyelarasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam
rapat penyelarasan dengan mengikutsertakan pemangku kepentingan.
(4) Bagian hukum melalui Sekretaris Daerah menyampaikan kembali naskah
akademik Reperda yang telah dilakukan penyelarasan kepada Perangkat
Daerah disertai dengan penjelasan hasil penyelarasan.
Paragraf 2
Penyusunan Peraturan Daerah di Lingkungan Pemerintah Daerah
Pasal 21
(2) Bupati memerintahkan Perangkat Daerah pemrakarsa untuk menyusun
Reperda berdasarkan Propemperda.
(3) Dalam menyusun Reperda, Bupati membentuk tim penyusun Reperda yang
ditetapkan dengan Keputusan Bupati
(4) Keanggotaan tim penyusun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a.Bupati;
b.Sekretaris Daerah;
c. Perangkat Daerah pemrakarsa;
d.Bagian hukum;
e. Perangkat Daerah terkait; dan
f. perancang peraturan perundang-undangan.
(5) Bupati dapat mengikutsertakan instansi vertikal yang terkait dan/atau
akademisi dalam keanggotaan tim penyusun sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
(6) Tim penyusun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh seorang
ketua yang ditunjuk oleh Perangkat Daerah pemrakarsa.
(7) Dalam hal ketua tim adalah pejabat lain yang ditunjuk, pimpinan Perangkat
Daerah pemrakarsa tetap bertanggungjawab terhadap materi muatan
Reperda yang disusun.
(8) Ketua tim penyusun sebagaimana dimaksud pada ayat (6) melaporkan
kepada Sekretaris Daerah mengenai perkembangan dan/atau permasalahan
yang dihadapi dalam penyusunan Reperda untuk mendapatkan arahan atau
keputusan
Pasal 22
(1) Dalam hal penyusunan Raperda, tim penyusun dapat mengundang peneliti
dan/atau tenaga ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi
kemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan.
(2) Rancangan .......
- 11
(2) Raperda yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi
paraf koordinasi oleh ketua tim penyusun dan Perangkat Daerah
pemrakarsa.
Pasal 23
(1) Ketua tim penyusun menyampaikan hasil Raperda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah untuk dilakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
(2) Sekretaris daerah menugaskan kepala Bagian hukum untuk
mengoordinasikan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi Raperda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam mengoordinasikan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Bagian
Hukum dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(4) Sekretaris Daerah menyampaikan hasil pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada
pemrakarsa dan pimpinan Perangkat Daerah terkait untuk mendapatkan
paraf persetujuan pada setiap halaman Raperda.
(5) Sekretaris Daerah menyampaikan Raperda yang telah dibubuhi paraf
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Bupati.
(6) Setiap Raperda yang merupakan konsep akhir yang akan disampaikan
kepada DPRD harus dipaparkan ketua tim kepada Bupati.
Paragraf 3
Penyusunan Peraturan Daerah di Lingkungan DPRD
Pasal 24
(1) Reperda yang berasal dari DPRD dapat diajukan oleh anggota DPRD, komisi,
gabungan komisi, atau Bapemperda berdasarkan Propemperda
(2) Reperda yang telah diajukan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi,
atau Bapemperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara
tertulis kepada pimpinan DPRD disertai penjelasan atau keterangan
dan/atau naskah akademik.
(3) Penjelasan atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. pokok pikiran dan materi muatan yang diatur;
b. daftar nama; dan
c. tanda tangan pengusul.
(4) Naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui
pengkajian dan penyelarasan, memuat :
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan;
c. pokok pikiran, ruang lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
d. jangkauan dan arah pengaturan.
(5) Penyampaian Reperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
nomor pokok oleh Sekretariat DPRD.
(6) Dalam hal Reperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur
mengenai:
a. APBD provinsi;
b. pencabutan ………..
- 12
(2) Surat pengantar Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit
memuat:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan
c. materi pokok yang diatur,
yang menggambarkan keseluruhan substansi Reperda.
(3) Dalam hal Reperda yang berasal dari Bupati disusun berdasarkan naskah
akademik, disertakan dalam penyampaian Reperda.
(4) Dalam rangka pembahasan Reperda di DPRD, Perangkat Daerah pemrakarsa
memperbanyak Reperda sesuai jumlah yang diperlukan.
Pasal 29
(1) Bupati membentuk tim dalam pembahasan Reperda di DPRD.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Sekretaris Daerah
atau pejabat yang ditunjuk oleh Bupati.
(3) Ketua tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaporkan perkembangan
dan/atau permasalahan dalam pembahasan Reperda di DPRD kepada Bupati
untuk mendapatkan arahan dan keputusan.
Pasal 30
(1) Pembahasan Reperda yang berasal dari DPRD disampaikan dengan surat
pengantar pimpinan DPRD kepada Bupati.
(2) Surat pengantar pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat :
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan
c. materi pokok yang diatur,
yang menggambarkan keseluruhan substansi Reperda.
(3) Dalam hal Reperda yang berasal dari DPRD disusun berdasarkan naskah
akademik, naskah akademik disertakan dalam penyampaian Reperda.
(4) Dalam rangka pembahasan Reperda di DPRD, Sekretariat DPRD
memperbanyak Reperda sesuai jumlah yang diperlukan.
Pasal 31
(1) Reperda yang berasal dari DPRD atau Bupati dibahas oleh DPRD dan Bupati
untuk mendapatkan persetujuan bersama.
(2) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui 2
(dua) tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat I dan pembicaraan
tingkat II.
Pasal 32
Pembicaraan tingkat I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) meliputi :
a. dalam hal Raperda berasal dari Bupati dilakukan dengan :
1. penjelasan Bupati dalam rapat paripurna mengenai Raperda;
2. pemandangan umum fraksi terhadap Raperda; dan
3. tanggapan dan/atau jawaban Bupati terhadap pemandangan umum
fraksi.
Pasal 38
(1) Bupati menetapkan Raperda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dengan
membubuhkan tanda tangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
Raperda disetujui bersama oleh DPRD dan Bupati.
(2) Dalam hal Bupati tidak menandatangani Raperda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Raperda tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib
diundangkan dalam Lembaran Daerah.
(3) Raperda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dinyatakan sah dengan
kalimat pengesahannya berbunyi : Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah sebelum
pengundangan naskah Peraturan Daerah ke dalam Lembaran Daerah.
(5) Peraturan Daerah yang berkaitan dengan APBD, pajak daerah, retribusi
daerah, dan tata ruang daerah sebelum diundangkan dalam Lembaran
Daerah harus dievaluasi oleh Pemerintah dan/atau Gubernur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Penyebarluasan
Pasal 39
(1) Penyebarluasan Propemperda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah
sejak penyusunan Propemperda, penyusunan Raperda, pembahasan
Raperda, hingga Pengundangan Peraturan Daerah.
(2) Penyebarluasan Propemperda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan
masyarakat dan para pemangku kepentingan.
(3) Penyebarluasan Raperda yang berasal dari DPRD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh Bapemperda.
(4) Penyebarluasan Raperda yang berasal dari Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
Pasal 40
(1) Penyebarluasan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran
Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah.
(2) Naskah Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah
dan Tambahan Lembaran Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
salinannya disebarluaskan kepada Perangkat Daerah/instansi dan/atau
yang membutuhkan sesuai materi yang terkandung dalam naskah Peraturan
Daerah.
BAB VI
PEMBENTUKAN PERATURAN BUPATI DAN
PERATURAN BERSAMA KEPALA DAERAH
Bagian Kesatu
Azas Pembentukan
Pasal 41
Azas pembentukan dan materi muatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dan Pasal 4 berlaku secara mutatis mutandis untuk pembentukan Peraturan
Bupati dan PB Kepala Daerah.
Bagian Kedua ..........
- 16
Bagian Kedua
Penyusunan Peraturan Bupati dan PB KDH
Pasal 42
(1) Untuk melaksanakan perda atau atas kuasa peraturan perundang-
undangan, Bupati menetapkan Peraturan Bupati dan/atau PB KDH.
(2) Pimpinan Perangkat Daerah pemrakarsa menyusun rancangan Peraturan
Bupati dan/atau PB KDH.
(3) Rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah disusun
disampaikan kepada Bagian hukum untuk dilakukan pembahasan,
harmonisasi dan sinkronisasi dengan Perangkat Daerah terkait.
Pasal 43
(1) Bupati membentuk Tim Penyusunan Peraturan Bupati dan Rancangan PB
KDH.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari:
a. Ketua : Kepala Perangkat Daerah pemrakarsa atau pejabat yang
ditunjuk oleh Bupati;
b. Sekretaris : Kepala Bagian Hukum;
c. Anggota : Perangkat Daerah terkait.
(3) Ketua Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaporkan perkembangan
Raperbup dan Rancangan PB KDH kepada Sekretaris Daerah.
Pasal 44
(1) Raperbup dan Rancangan PB KDH yang telah dibahas harus mendapatkan
paraf koordinasi Kepala Bagian Hukum dan Kepala Perangkat Daerah
terkait.
(2) Kepala Perangkat Daerah atau pejabat yang ditunjuk mengajukan Raperbup
dan Rancangan PB KDH yang telah mendapat paraf koordinasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah.
Pasal 45
(1) Sekretaris Daerah dapat melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan
terhadap Raperbup dan Rancangan PB KDH yang telah diparaf koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1).
(2) Perubahan dan/atau penyempurnaan rancangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikembalikan kepada pimpinan Perangkat Daerah pemrakarsa.
(3) Hasil perubahan dan/atau penyempurnaan rancangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Sekretaris Daerah setelah
dilakukan paraf koordinasi Kepala Bagian Hukum dan pimpinan Perangkat
Daerah terkait.
(4) Sekretaris Daerah menyampaikan rancangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) kepada Bupati untuk ditandatangani.
Bagian Kedua Penyusunan
Peraturan DPRD Pasal 46
(1) Pimpinan DPRD menyusun rancangan peraturan DPRD.
(2) Rancangan peraturan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diajukan oleh anggota DPRD provinsi, komisi, gabungan komisi, atau
Bapemperda.
(3) Rancangan ……..
- 17
Pasal 50 …………
- 18
Pasal 50
(1) Peraturan DPRD tentang kode etik disusun oleh DPRD yang berisi norma
yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya
untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD.
(2) Materi muatan peraturan DPRD tentang kode etik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit memuat :
a. pengertian kode etik;
b. tujuan kode etik;
c. pengaturan mengenai:
1. sikap dan perilaku anggota DPRD;
2. tata kerja anggota DPRD;
3. tata hubungan antar penyelenggara pemerintahan daerah;
4. tata hubungan antar anggota DPRD;
5. tata hubungan antara anggota DPRD dengan pihak lain;
6. penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, dan sanggahan;
7. kewajiban anggota DPRD;
8. larangan bagi anggota DPRD;
9. hal-hal yang tidak patut dilakukan oleh anggota DPRD;
10. sanksi dan mekanisme penjatuhan sanksi; dan
11. rehabilitasi
Paragraf 2
Peraturan DPRD Tentang Tata Beracara Badan Kehormatan
Pasal 51
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada
Badan Kehormatan DPRD dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat
anggota DPRD yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih
dan/atau melanggar ketentuan larangan dan sanksi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan
penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPRD tentang tata beracara badan
kehormatan.
Pasal 53
Materi muatan peraturan DPRD tentang tata beracara di badan kehormatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 paling sedikit memuat :
a. ketentuan umum;
b. materi dan tata cara pengaduan;
c. penjadwalan rapat dan sidang;
d. verifikasi, meliputi:
1. sidang verifikasi;
2. pembuktian;
3. verifikasi terhadap pimpinan dan/atau anggota badan kehormatan;
4. alat bukti; dan
5. pembelaan;
e. keputusan ………….
- 19
e. keputusan;
f. pelaksanaan keputusan; dan
g. ketentuan penutup.
BAB VII
PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH
BERBENTUK PENETAPAN
Pasal 54
Penyusunan produk hukum daerah yang berbentuk penetapan terdiri atas :
a. keputusan Bupati;
b. keputusan DPRD;
c. keputusan pimpinan DPRD; dan
d. keputusan badan kehormatan DPRD.
Bagian Kedua Penyusunan
Keputusan Bupati Pasal 54
(1) Pimpinan Perangkat Daerah menyusun rancangan Keputusan Bupati
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf a sesuai dengan tugas dan
fungsi.
(2) Rancangan Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
kepada Sekretaris Daerah setelah mendapat paraf koordinasi Kepala Bagian
Hukum.
(3) Sekretaris Daerah mengajukan rancangan Keputusan Bupati kepada Bupati
untuk mendapat penetapan.
Bagian Ketiga Penyusunan
Keputusan DPRD Pasal 56
(1) Keputusan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf b yang
berupa penetapan, untuk menetapkan hasil rapat paripurna.
(1) Keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi materi muatan
hasil dari rapat paripurna.
Pasal 57
(1) Untuk menyusun Keputusan DPRD dapat dibentuk melalui panitia khusus
atau ditetapkan secara langsung dalam rapat paripurna DPRD.
(2) Dalam hal keputusan DPRD ditetapkan secara langsung dalam rapat
paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rancangan keputusan DPRD
disusun dan dipersiapkan oleh Sekretariat DPRD dan pengambilan
keputusan dilakukan dengan:
a. penjelasan tentang rancangan keputusan DPRD oleh pimpinan DPRD;
b. pendapat fraksi terhadap rancangan keputusan DPRD; dan
c. persetujuan atas rancangan keputusan DPRD menjadi keputusan DPRD
(3) Keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh
pimpinan dalam rapat paripurna DPRD.
Bagian Keempat
Penyusunan Keputusan Pimpinan DPRD
Pasal 58
(1) Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf c
yang berupa penetapan untuk menetapkan hasil rapat pimpinan DPRD.
(2) Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi
materi muatan penetapan hasil rapat pimpinan DPRD dalam rangka
menyelenggarakan tugas fungsi DPRD yang bersifat teknis operasional.
(3) Rancangan keputusan pimpinan DPRD disusun dan dipersiapkan oleh
sekretariat DPRD.
(4) Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ya ng
ditetapkan oleh pimpinan DPRD dalam rapat pimpinan DPRD.
Bagian Kelima
Penyusunan Keputusan Badan Kehormatan DPRD
Pasal 59
(1) Keputusan Badan Kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
huruf d dalam rangka penjatuhan sanksi kepada anggota DPRD.
(2) Keputusan Badan Kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilaporkan dalam rapat paripurna DPRD.
(3) Keputusan Badan Kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berisi materi muatan penjatuhan sanksi kepada anggota DPRD yang terbukti
melanggar peraturan DPRD tentang tata tertib dan/atau peraturan DPRD
tentang kode etik.
(4) Rancangan Keputusan Badan Kehormatan DPRD disusun dan dipersiapkan
oleh badan kehormatan DPRD.
(5) Keputusan Badan Kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun berdasarkan hasil penelitian, penyelidikan, verifikasi dan klarifikasi
terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap
peraturan DPRD tentang tata tertib dan/atau peraturan DPRD tentang kode
etik.
(6) Keputusan Badan Kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (1) mengenai penjatuhan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(7) Keputusan Badan Kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada anggota DPRD yang bersangkutan,
pimpinan fraksi, dan pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(8) Keputusan Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaporkan dalam rapat paripurna DPRD.
BAB VIII
PENETAPAN, PENOMORAN, PENGUNDANGAN,
AUTENTIFIKASI DAN PENGGANDAAN
Bagian Kesatu
Penetapan
Pasal 60
(1) Penandatanganan produk hukum daerah yang berbentuk Peraturan Daerah
dibuat dalam rangkap 4 (empat).
(2) Pendokumentasian naskah asli produk hukum daerah yang berbentuk
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. DPRD; ...........
- 21
a. DPRD;
b. Sekretaris Daerah;
c. Bagian Hukum ; dan
d. Perangkat Daerah pemrakarsa.
Pasal 61
(1) Penandatanganan produk hukum daerah yang berbentuk Peraturan Bupati
dan PB Kepala Daerah dilakukan oleh Bupati.
(2) Penandatanganan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuat dalam rangkap 3 (tiga).
(3) Pendokumentasian naskah asli Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Sekretaris Daerah;
b. Bagian Hukum ; dan
c. Perangkat Daerah pemrakarsa.
Pasal 62
(1) Penandatanganan PB Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
63 ayat (1) dibuat dalam rangkap rangkap 4 (empat).
(2) Dalam hal penandatanganan PB Kepala Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melibatkan lebih dari 2 (dua) daerah, PB Kepala Daerah
dibuat dalam rangkap sesuai kebutuhan.
(3) Pendokumentasian naskah asli PB Kepala Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) atau dilakukan oleh:
a. Sekretaris Daerah ;
b. Bagian Hukum ; dan
c. Perangkat Daerah pemrakarsa.
Pasal 63
Rancangan Peraturan DPRD yang telah dilakukan pembahasan disampaikan
kepada pimpinan DPRD untuk dilakukan penetapan dan pengundangan.
Pasal 64
(1) Penandatanganan Peraturan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
dibuat dalam rangkap rangkap 4 (empat).
(2) Pendokumentasian naskah asli Peraturan DPRD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Sekretaris Daerah ;
b. Sekkretaris DPRD;
c. Alat Kelengkapan DPRD pemrakarsa; dan
d. Perangkat Daerah pemrakarsa.
Pasal 65
(1) Penandatanganan Produk Hukum Daerah yang berbentuk Keputusan Bupati
dilakukan oleh Bupati.
(2) Penandatanganan Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat didelegasikan kepada :
a. Wakil Bupati;
b. Sekretaris Daerah; dan/atau
c. Kepala Perangkat Daerah.
Pasal 66 ..........
- 22
Pasal 66
(1) Penandatanganan Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
dibuat dalam rangkap 3 (tiga).
(2) Pendokumentasian naskah asli Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Sekretaris Daerah;
b. Bagian Hukum; dan
c. Perangkat Daerah pemrakarsa.
Pasal 67
(1) Rancangan Keputusan DPRD dan Keputusan Pimpinan DPRD yang telah
dilakukan pembahasan disampaikan kepada pimpinan DPRD untuk
dilakukan penetapan.
(2) Rancangan Keputusan Badan Kehormatan DPRD yang telah dilakukan
pembahasan disampaikan kepada Badan Kehormatan DPRD untuk
dilakukan penetapan.
Pasal 68
(1) Penandatanganan Keputusan DPRD, Keputusan Pimpinan DPRD dan
Keputusan Badan Kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 dibuat dalam rangkap rangkap 3 (tiga).
(2) Penandatanganan Keputusan DPRD dan Keputusan Pimpinan DPRD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pimpinan DPRD
(3) Penandatanganan Badan Kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Ketua Badan Kehormatan DPRD.
(4) Pendokumentasian naskah asli Keputusan DPRD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. pimpinan DPRD ;
b. alat Kelengkapan DPRD pemrakarsa; dan
e. sekretaris DPRD.
Bagian Kedua
Penomoran
Pasal 69
(1) Penomoran Produk Hukum Daerah terhadap :
a. Peraturan daerah, PB Kepala Daerah dan Keputusan Bupati dilakukan
oleh Bagian Hukum;
b. peraturan DPRD, keputusan DPRD, keputusam pimpinan DPRD, dan
keputusan badan kehormatan DPRD dilakukan oleh Sekretaris DPRD.
(2) Penomoran Produk Hukum Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang berbentuk Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, dan PB Kepala Daerah,
menggunakan nomor bulat.
(3) Penomoran Produk Hukum Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang berbentuk Keputusan Bupati, Keputusan DPRD, Keputusan Pimpinan
DPRD dan Keputusan Badan Keormatan DPRD, menggunakan nomor kode
klasifikasi.
Bagian Ketiga
Pengundangan
Pasal 70
(1) Peraturan Daerah yang telah ditetapkan, diundangkan dalam lembaran
daerah.
(2) Lembaran Daerah ........
- 23
BAB IX ..........
- 24
BAB IX
TEKNIK PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH
Pasal 77
(1) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Produk Hukum Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Produk Hukum Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. bentuk dan tata cara pengisian Propemperda tercantum dalam Lampiran I;
b. teknik penyusunan Naskah Akademik Peraturan Daerah tercantum dalam
Lampiran II;
c. teknik penyusunan Peraturan Daerah tercantum dalam Lampiran II; dan
d. bentuk Produk Hukum Daerah tercantum dalam Lampiran III,
yang merupakan satu kesatuan dan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
BAB X PARTISIPASI
MASYARAKAT Pasal 78
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis
dalam pembentukan Produk Hukum Daerah.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan melalui :
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang
perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas
substansi Raperda, Raperbup , PB KDH, dan/atau Peraturan DPRD.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Raperda,
Raperbup, PB Kepala Daerah dan/atau Peraturan DPRD harus dapat
diakses dengan mudah oleh masyarakat.
BAB XI KETENTUAN
LAIN-LAIN Pasal 79
(1) Penulisan Produk Hukum Daerah diketik dengan menggunakan jenis huruf
Bookman Old Style dengan ukuran huruf 12.
(2) Produk Hukum Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicetak dalam
kertas yang bertanda khusus.
(3) Kertas bertanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. menggunakan nomor seri dan/atau huruf, yang diletakan pada halaman
belakang samping kiri bagian bawah; dan
b. menggunakan ukuran F4 berwarna putih.
(4) Penetapan .........
- 25
(5) Penetapan Nomor seri dan/atau huruf sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dengan ketentaun sebagai berikut :
a. peraturan daerah, peraturan bupati, PB Kepala Daerah, dan keputusan
bupati oleh Bagian Hukum; dan
b. peraturan DPRD, keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD, dan
keputusan badan kehormatan DPRD oleh sekretaris DPRD.
Pasal 80
(1) Setiap tahapan pembentukan Produk Hukum Daerah yang berbentuk
Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, PB Kepala Daerah dan Peraturan
DPRD dapat mengikutsertakan perancang peraturan perundang-undangan.
(2) Selain perancang peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), tahapan pembentukan Peraturan Daerah, Peraturan Bupati,
PB Kepala Daerah dan Peraturan DPRD dapat mengikutsertakan peneliti dan
tenaga ahli.
BAB X KETENTUAN
PENUTUP Pasal 81
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun
2013 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah Kabupaten Serang
(Lembaran Daerah Kabupaten Serang Tahun 2013 Nomor 9, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Serang Nomor 9), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 82
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Serang.
Ditetapkan di Serang
pada tanggal 9 Juni 2016
BUPATI SERANG,
ttd
ttd
LALU ATHARUSSALAM R
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG TAHUN 2016 NOMOR
I. UMUM
Produk hukum daerah merupakan peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh daerah mulai dari tahap perencanaan, persiapan, perumusan,
pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
Produk hukum daerah terdiri dari 2, yaitu yang berbentuk penraturan dan
penetapan. Produk hukum daerah yang berbentuk peraturan yaitu Peraturan
Daerah, Peraturan Bupati dan PB Kepala Daerah, dan Peraturan DPRD,
sedangan produk hukum yang berbentuk penetapan yaitu Keputusan Bupati,
Keputusan DPRD, Keputusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan Badan
Kehormatan DPRD.
Peraturan Daerah merupakan salah satu bentuk produk hukum daerah yang
telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2013
tentang Pembentukan Pembentukan Produk Hukum daerah Kabupaten
Serang, namun saat ini perlu dilakukan penyempurnaan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, perlu dibentik
produk hukum daerah berdasarkan cara dan metode yang benar dan baku
berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Peraturan Daerah ini merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-
kelemahan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah Kabupaten Serang, yaitu antara
lain:
a. tidak memuat bentuk dan tata cara pengisian Propemperda.
b. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau
kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sebagai penyempurnaan terhadap Peraturan Daerah sebelumnya, terdapat
materi muatan baru yang ditambahkan dalam Peraturan Daerah ini, yaitu
antara lain:
a. penambahan bentuk dan tata cara pengisian Propemperda dalam
Lampiran I;
b. penambahan pengaturan produk hukum daerah yang berbentuk Peraturan
DPRD, Keputusan DPRD, Keputusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan
Badan Kehormatan DPRD;
c. keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan, peneliti, dan
tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Daerah, Peraturan
Bupati, PB Kepala Daerah, dan Peraturan DPRD.
Huruf g ...........
-3
Huruf g
Yang dimaksud dengan “azas keterbukaan” adalah bahwa dalam
Pembentukan Daerah mulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan
bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan Daerah.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “azas pengayoman” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Daerah harus berfungsi
memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman
masyarakat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “azas kemanusiaan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Daerah harus mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta
harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “azas kebangsaan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Daerah harus mencerminkan
sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap
menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “azas kekeluargaan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Daerah harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “azas kenusantaraan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Daerah senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “azas bhinneka tunggal ika” adalah
bahwa Materi Muatan Peraturan Daerah harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi
khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “azas keadilan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Daerah harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara.
Huruf h .............
-4
Huruf h
Yang dimaksud dengan “azas kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Daerah tidak boleh memuat hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “azas ketertiban dan kepastian
hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Daerah
harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan kepastian hukum.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “azas keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Daerah
harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Daerah yang bersangkutan”, antara lain:
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan
asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian,
antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad
baik.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang ………..
-5
Huruf e ………
-6
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Yang dimaksud dengan “Perancang Peraturan Perundang-
undangan” adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas,
tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh
pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun
Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan/atau
instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37…..
-7
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56 ………
-8
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
-9
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
KETERA
UNIT/ TARGET NGAN
STATUS DISERTAI INSTANSI PENYAM
No. JENIS TENTANG
MATERI (5) (7) TERKAIT PAIAN
(10)
PELAKSANAAN (8) (9)
POKOK
(1) (2) (3) (6)
(4)
Penjelasan
BARU UBAH NA atau
keterangan
………………………
-2
KETERA
UNIT/ TARGET NGAN
STATUS DISERTAI INSTANSI PENYAM
No. JENIS TENTANG
MATERI (5) (7) TERKAIT PAIAN
(10)
PELAKSANAAN (8) (9)
POKOK
(1) (2) (3) (6)
(4)
Penjelasan
BARU UBAH NA atau
keterangan
ANGGOTA,KOMISI,GABUNGAN
KOMISI ATAU ALAT KELENGKAPAN
DPRD……
……………………
-3
BUPATI SERANG,
LAMPIRAN II
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG
NOMOR 5 TAHUN 2015
TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
b. Identifikasi ..........
-2
b. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa yang
akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik tersebut. Pada
dasarnya identifikasi masalah dalam suatu Naskah Akademik
mencakup 4 (empat) pokok masalah, yaitu sebagai berikut:
1) Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan
tersebut dapat diatasi.
2) Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar
pemecahan masalah tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan
Daerah dalam penyelesaian masalah tersebut.
3) Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah.
4) Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan.
c. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di
atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai
berikut:
1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi
permasalahan tersebut.
2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum
penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat.
3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah.
4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan
Peraturan Daerah.
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah
sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah.
d. Metode
Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu
kegiatan penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah
Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian
lain. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif
dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan
penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi
pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa
Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian,
kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil
pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat
dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan
rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah
penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan
terhadap Peraturan Daerah (normatif) yang dilanjutkan dengan
observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk
mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan yang
berpengaruh terhadap Peraturan Daerah yang diteliti.
2. ....................
-3
c. Landasan Yuridis.
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa Peraturan Daerah yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum
dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah,
atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan
dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk
Peraturan Daerah yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara
lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis
atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Peraturan
Daerah sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada
tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum
ada.
6. BAB VI PENUTUP
Bab penutup terdiri atas subbab kesimpulan dan saran.
a. Kesimpulan
Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan
praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah
diuraikan dalam bab sebelumnya.
b. Saran
Saran memuat antara lain:
1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu
Peraturan Daerah.
2. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah dalam Program Legislasi Legislasi Daerah.
3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan
penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut.
7. DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundangundangan, dan jurnal
yang menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik.
8. LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH
Lampiran memuat materi untuk menjabarkan amanat pasal yang
terkandung dalam Peraturan Daerah.
BUPATI SERANG,
LAMPIRAN I
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG
NOMOR 5 TAHUN 2015
TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
TENTANG ............
-3-
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG
NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN
BELANJA DAERAH TAHUN 2011
6. Jika Peraturan Daerah telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara
kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang
menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa
merinci perubahan sebelumnya.
Contoh:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG
NOMOR 21 TAHUN 1997
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN
SERANG NOMOR 8 TAHUN 1987 TENTANG KEBERSIHAN,
KEINDAHAN, DAN KETERTIBAN DI KABUPATEN SERANG
B. PEMBUKAAN;
1. Pembukaan Peraturan Daerah terdiri atas:
a. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Daerah sebelum nama
jabatan pembentuk Peraturan Daerah dicantumkan Frasa “Dengan
Rahmat Tuhan yang Maha Esa” yang ditulis seluruhnya dengan
huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin.
b. Jabatan pembentuk Peraturan Daerah
Jabatan pembentuk Peraturan Daerah ditulis seluruhnya dengan
huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan
tanda baca koma.
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah :
BUPATI SERANG,
c. Konsiderans .................
-4-
c. Konsiderans
1) Konsiderans diawali dengan kata Menimbang.
2) Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran
yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan
Daerah.
3) Pokok pikiran pada konsiderans memuat unsur filosofis,
sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan
pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara
berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.
- Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran,
dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
- Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
berbagai aspek.
- Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau
mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan
aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Contoh:
Peraturan Daerah tentang Sistem Kesehatan Daerah.
Menimbang: a. bahwa derajat kesehatan masyarakat yang
semakin tinggi merupakan investasi
strategis pada sumber daya manusia supaya
semakin produktif dari waktu ke waktu;
b. bahwa untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat perlu
diselenggarakan pembangunan kesehatan
dengan batas-batas peran, fungsi, tanggung
jawab, dan kewenangan yang jelas,
akuntabel, berkeadilan, merata, bermutu,
berhasil guna dan berdaya guna;
c. bahwa untuk memberikan arah, landasan
dan kepastian hukum kepada semua pihak
yang terlibat dalam pembangunan
kesehatan, maka diperlukan pengaturan
tentang tatanan penyelenggaraan
pembangunan kesehatan;
4) Pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan
Daerah dianggap perlu untuk dibentuk adalah kurang tepat
karena tidak mencerminkan pertimbangan dan alasan
dibentuknya Peraturan Daerah tersebut. Lihat Nomor 8)
5) Jika ............
-5-
d. Dasar Hukum
1) Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
Dasar hukum memuat:
a) Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Daerah;
b) Peraturan ..............
-6-
C. BATANG TUBUH
Batang tubuh Peraturan Daerah memuat semua materi muatan Peraturan
Daerah yang dirumuskan dalam pasal atau beberapa pasal.
1. Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh dikelompokkan ke
dalam:
a. ketentuan umum;
b. materi pokok yang diatur;
c. ketentuan pidana (jika diperlukan);
d. ketentuan peralihan (jika diperlukan); dan
e. ketentuan penutup.
2. Pengelompokan materi muatan dirumuskan secara lengkap sesuai
dengan kesamaan materi yang bersangkutan dan jika terdapat materi
muatan yang diperlukan tetapi tidak dapat dikelompokkan dalam ruang
lingkup pengaturan yang sudah ada, materi tersebut dimuat dalam bab
ketentuan lain-lain.
3. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan
atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian
(pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau
sanksi keperdataan.
4. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan
terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi
keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal)
tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan sanksi yang
sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi
administratif dalam satu bab.
5. Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin,
pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda
administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat
berupa, antara lain, ganti kerugian.
6. Pengelompokkan ..............
-9-
10. Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang
seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
BUKU KETIGA
PERIKATAN
11. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang
seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
BAB I
KETENTUAN UMUM
12. Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan
huruf dan diberi judul.
13. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul
bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang
tidak terletak pada awal frasa.
Contoh:
Bagian Kesatu
Susunan dan Kedudukan
14. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul.
15. Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf
ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang tidak
terletak pada awal frasa.
Contoh:
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
16. Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Daerah yang memuat
satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara
singkat, jelas, dan lugas.
17. Materi ……….
- 10
17. Materi muatan Peraturan Daerah lebih baik dirumuskan dalam banyak
pasal yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang
masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi muatan
yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat
dipisahkan.
18. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab dan huruf awal kata pasal
ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
Pasal 3
19. Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan
huruf kapital.
Contoh:
Pasal 34
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak
meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33.
20. Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat.
21. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab diantara tanda baca kurung
tanpa diakhiri tanda baca titik.
22. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan
dalam satu kalimat utuh.
23. Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan
huruf kecil.
Contoh:
Pasal 8
(1) Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk
1 (satu) kelas barang.
(2) Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas
yang bersangkutan.
24. Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, selain dirumuskan
dalam bentuk kalimat dengan rincian, juga dapat dirumuskan dalam
bentuk tabulasi.
Contoh:
Pasal 28
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil
Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau
di luar negeri.
Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan sebagai
berikut:
Contoh rumusan tabulasi:
Pasal 28
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi:
a. Presiden;
b. Wakil .............
- 11
27. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian
kumulatif, ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian
kedua dari rincian terakhir.
28. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif
ditambahkan kata atau yang di letakkan di belakang rincian kedua dari
rincian terakhir.
29. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif
dan alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang
rincian kedua dari rincian terakhir.
30. Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur
atau rincian.
31. Tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 9
(1) .....
(2) ...:.
a. ... ;
b. …; (dan, atau, dan/atau)
c. .… .
32. Jika ………….
- 12
32. Jika suatu rincian memerlukan rincian lebih lanjut, rincian itu ditandai
dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 9
(1) .….
(2) ..….:
a. …;
b. …; (dan, atau, dan/atau)
c. …:
1. ...;
2. …; (dan, atau, dan/atau)
3. ….
33. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail,
rincian itu ditandai dengan huruf a), b), dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 9
(1) ….
(2) ….
a. …;
b. …; (dan, atau, dan/atau)
c. …:
1. …;
2. …; (dan, atau, dan/atau)
3. …:
a) …;
b) …; (dan, atau, dan/atau)
c) … .
34. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail,
rincian itu ditandai dengan angka 1), 2), dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 9
(1) ….
(2) …:
a. …;
b. …; (dan, atau, dan/atau)
c. …:
1. …;
2. …; (dan, atau, dan/atau)
3. …:
a) .......
- 13
a) …;
b) …; (dan, atau, dan/atau)
c) … .
1) …;
2) …; (dan, atau, dan/atau)
3) … .
C.1.a. Ketentuan Umum
1. Ketentuan umum diletakkan dalam bab satu. Jika dalam
Peraturan Daerah tidak dilakukan pengelompokan bab,
ketentuan umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal
awal.
Contoh:
BAB I
KETENTUAN UMUM
2. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
3. Ketentuan umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi;
b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan
pengertian atau definisi; dan/atau
c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal
atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang
mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan
tersendiri dalam pasal atau bab.
Contoh batasan pengertian:
1. Bupati adalah Bupati Serang;
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
Kabupaten Serang.
Contoh definisi:
1. Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau
kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya.
2. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah
kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Contoh singkatan:
1. Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal
selanjutnya di singkat BPTPM adalah Perangkat Daerah
yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola sebagian
pelayanan perizinan dan non perizinan di daerah dengan
sistem penanaman modal.
2. Badan ………….
- 14
9. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun
kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab,
bagian atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi
definisi.
10. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip
kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan bupati,
maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam
peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan
pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan
daerah.
11. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau
akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau
istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau
akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus
dirumuskan dengan lengkap dan jelas sehingga tidak
menimbulkan pengertian ganda.
12. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah
didefinisikan atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan
umum ditulis dengan huruf kapital baik digunakan dalam
norma yang diatur, penjelasan maupun dalam lampiran.
13. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum
mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a. pengertian yang mengatur tentang lingk up umum
ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;
b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok
yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu;
dan
c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di
atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan.
Sifat kumulatif:
Contoh:
Setiap orang yang dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang
bersifat sadisme, pornografi, dan/atau bersifat perjudian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (7) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
Sifat alternatif:
Contoh:
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan
penyiaran tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Sifat kumulatif alternatif:
Contoh:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran
orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada
hubungan dengan jabatannya.
11. Perumusan dalam ketentuan pidana harus menunjukkan
dengan jelas unsur-unsur perbuatan pidana bersifat kumulatif
atau alternatif.
12. Jika suatu Peraturan Daerah yang memuat ketentuan pidana
akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus
dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan
bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Contoh:
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkannya dan berlaku surut sejak tanggal 1 Januari
2010, kecuali untuk ketentuan pidananya.
13. Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang merupakan
pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat tidak
diatur tersendiri di dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan,
tetapi cukup mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur
mengenai tindak pidana ekonomi, misalnya, Undang-Undang
Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan,
dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
4. Penyimpangan …..
- 20
a. penunjukan .........
- 21
Pasal 79 ...........
- 22
Pasal 79
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan
Daerah Kabupaten Serang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Ijin
Pengusahaan Pertambangan Umum, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
12. Jika jumlah Peraturan Daerah yang dicabut lebih dari 1 (satu),
cara penulisan dilakukan dengan rincian dalam bentuk
tabulasi.
Contoh:
Pasal 37
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
Contoh :
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus
2011.
b. menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada
Peraturan Daerah lain, jika yang diberlakukan itu kodifikasi,
atau kepada peraturan lain yang lebih rendah jika yang
diberlakukan itu bukan kodifikasi;
Contoh:
Saat mulai berlakunya Peraturan Daerah ini akan ditetapkan
dengan Peraturan Bupati.
c. dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak
saat pengundangan atau penetapan. Agar tidak
menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frasa setelah
... (tenggang waktu) terhitung sejak tanggal diundangkan.
Contoh:
Peraturan Daerah ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun
terhitung sejak tanggal diundangkan.
17. Tidak menggunakan frasa ... mulai berlaku efektif pada tanggal
........... atau yang sejenisnya, karena frasa ini menimbulkan
ketidakpastian mengenai saat berlakunya suatu Peraturan
Daerah yaitu saat diundangkan atau saat berlaku efektif.
18. Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku Peraturan Daerah
dinyatakan secara tegas dengan menetapkan ketentuan yang
berbeda saat mulai berlakunya.
Contoh:
Pasal ........
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ..... ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal…
19. Pada dasarnya mulai berlakunya Peraturan Daerah tidak dapat
ditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya.
20. Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan
Daerah lebih awal daripada saat pengundangannya (berlaku
surut), diperhatikan hal sebagai berikut:
a. ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik
jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut
diberlakusurutkan;
b. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu
terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat
hukum tertentu yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan
peralihan;
c. awal dari saat mulai berlaku Peraturan Daerah ditetapkan
tidak lebih dahulu daripada saat rancangan Peraturan
Daerah tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya,
saat rancangan Peraturan Daerah tersebut tercantum dalam
Prolegda.
21. Saat mulai berlaku Peraturan Daerah, pelaksanaannya tidak
boleh ditetapkan lebih awal daripada saat mulai berlaku
Peraturan Daerah yang mendasarinya.
D. ............
- 24
D. PENUTUP
1. Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Daerah yang memuat:
a. rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan
Daerah dalam Lembaran Lembaran Daerah Kabupaten Serang;
b. penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Daerah;
c. pengundangan atau Penetapan Peraturan Daerah; dan
d. akhir bagian penutup.
2. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Daerah
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Serang berbunyi sebagai berikut:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam dalam Lembaran
Daerah Kabupaten Serang.
3. Rumusan penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan
Daerah memuat:
a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan;
b. nama jabatan;
c. tanda tangan pejabat; dan
d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat,
golongan, dan nomor induk pegawai.
LALU ATHARUSSALAM R
8. Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Bupati tidak
menandatangani Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui
bersama antara DPRD dan Bupati, maka dicantumkan kalimat
pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi:
Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
9. Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Darah Kabupaten
Serang.
10. Penulisan frasa Lembaran Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital.
Contoh :
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG TAHUN 2012 NOMOR
........
E. PENJELASAN
1. Peraturan Daerah dapat diberi penjelasan jika diperlukan.
2. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Daerah
atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan
hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan
kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh.
Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang
tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma
yang dimaksud.
3. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk
membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan
rumusan yang berisi norma.
4. Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat
perubahan terselubung terhadap ketentuan Daerah.
5. Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan
rancangan Peraturan Daerah.
6. Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Daerah ang diawali
dengan frasa penjelasan atas yang ditulis dengan huruf kapital.
Contoh : ..............
- 26
Contoh:
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH NOMOR NOMOR ... TAHUN ........
TENTANG
..............
7. Penjelasan Peraturan Daerah memuat penjelasan umum dan
penjelasan pasal demi pasal.
8. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali
dengan angka Romawi dan ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
I. UMUM
...................................................................................................
..................................................................................................
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
...........
dst.
9. Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar
belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan Peraturan
Daerah yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans,
serta asas, tujuan, atau materi pokok yang terkandung dalam batang
tubuh Peraturan Daerah.
10. Bagian-bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka
Arab, jika hal ini lebih memberikan kejelasan.
Contoh :
I. UMUM
1. Dasar Pemikiran
...............................................................................................
.................................................................................................
2. Pengawasan
................................................................................................
...........................................................................................
3. dst.
F. LAMPIRAN
1. Dalam hal Peraturan Daerah memerlukan lampiran, hal tersebut
dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah.
2. Lampiran ............
- 28
tanda tangan
XXXXXXXXXXXXX
4. Jika .....
- 29
8. Jika .....
- 30
1. Bab V dihapus.
2. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
3. dan seterusnya ....
c. Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal
tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan dari
Peraturan Daerah Perubahan, yang maksudnya berbeda dengan
ketentuan peralihan dari Peraturan Daerah yang diubah.
5. Jika dalam Peraturan Daerah ditambahkan atau disisipkan bab,
bagian, paragraf, atau pasal baru, maka bab, bagian, paragraf, atau
pasal baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan
materi yang bersangkutan.
a. Penyisipan Bab
Contoh:
Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu ) bab, yakni BAB
IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IXA
INDIKASI GEOGRAFI DAN INDIKASI ASAL
b. Penyisipan Pasal:
Contoh:
Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 128A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 128A
Dalam hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat
memerintahkan hasil-hasil pelanggaran paten tersebut dirampas
untuk negara untuk dimusnahkan.
6. Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari beberapa ayat disisipkan
ayat baru, penulisan ayat baru tersebut diawali dengan angka Arab
sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah dengan
huruf kecil a, b, c, yang diletakkan di antara tanda baca kurung( ).
Contoh:
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni
ayat (1a) dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) … .
(1a) … .
(1b) … .
(2) … .
7. Jika dalam suatu Peraturan Daerah dilakukan penghapusan atas
suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka urutan bab,
bagian, paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan
diberi keterangan dihapus.
Contoh 1:
1. Pasal 16 dihapus.
2. Pasal 18 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18 ……
- 34
Pasal 18
(1) … .
(2) Dihapus.
(3) … .
Contoh 2:
1. ...
2. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 4
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Dihapus.
(2) Dihapus.
(3) Lokasi Pengujian dan Penguji ditetapkan dengan Keputusan
Kepala Dinas Perhubungan.
8. Jika suatu perubahan Peraturan Daerah mengakibatkan:
a. sistematika Peraturan Daerah berubah;
b. materi Peraturan Daerah berubah lebih dari 50% (lima puluh
persen); atau
c. esensinya berubah,
Peraturan Daerah yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan
disusun kembali dalam Peraturan Daerah yang baru mengenai
masalah tersebut.
9. Jika suatu Peraturan Daerah telah sering mengalami perubahan
sehingga menyulitkan pengguna Daerah, sebaiknya Peraturan Daerah
tersebut disusun kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan
yang telah dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian pada:
a. urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir;
b. penyebutan-penyebutan; dan
c. ejaan, jika Peraturan Daerah yang diubah masih tertulis dalam
ejaan lama.
III. RAGAM BAHASA PERATURAN DAERAH
A. BAHASA PERATURAN DAERAH
1. Bahasa Peraturan Daerah pada dasarnya tunduk pada kaidah tata
Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat,
teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan
Daerah mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau
kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan
ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam
perumusan maupun cara penulisan.
2. Ciri-ciri bahasa Peraturan Daerah antara lain:
a. lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau
kerancuan;
b. bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai;
c. objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam
mengungkapkan tujuan atau maksud);
d. membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang
digunakan secara konsisten;
e. memberikan .......
- 35
g. penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah
didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan,
nama profesi, nama institusi/lembaga
pemerintah/ketatanegaraan, dan jenis Peraturan Daerah dan
rancangan Peraturan Daerah dalam rumusan norma ditulis
dengan huruf kapital.
Contoh:
- Pemerintah
- Wajib Pajak
- Rancangan Peraturan Daerah
10. Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, tidak boleh
menggunakan frasa tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi,
atau tanpa menyimpang dari.
11. Penyerapan kata, frasa, atau istilah bahasa asing yang banyak
dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa
Indonesia dapat digunakan jika:
a. mempunyai konotasi yang cocok;
b. lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam
Bahasa Indonesia;
c. mempunyai corak internasional;
d. lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau
e. lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa
Indonesia.
Contoh:
1. devaluasi (penurunan nilai uang)
2. devisa (alat pembayaran luar negeri)
12. Penggunaan .....
- 37
12. Penggunaan kata, frasa, atau istilah bahasa asing hanya digunakan
di dalam penjelasan Peraturan Perundang–undangan. Kata, frasa,
atau istilah bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam
Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan diantara tanda
baca kurung ( ).
Contoh:
1. penghinaan terhadap peradilan (contempt of court)
2. penggabungan (merger)
6. Untuk .......
- 38
Contoh 1 : ..............
- 39
Contoh 1:
Pasal ......
Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium
veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian
veteriner, pelayanan jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa
di pusat jasa kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan.
Contoh 2:
Pasal ......
(1) ...............
2) Penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penghormatan dengan bendera negara;
b. penghormatan dengan lagu kebangsaan; dan/atau
c. bentuk penghormatan lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
12. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak.
Contoh:
Pasal ..........
DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta
pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga
masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal
yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.
13. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau
lembaga gunakan kata berwenang.
14. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang
diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat.
Contoh :
Pasal ..........
Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh
tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun
kegiatan operasi produksi.
C. TEKNIK PENGACUAN
1. Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian
tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun, untuk menghindari
pengulangan rumusan digunakan teknik pengacuan.
2. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari
Peraturan Daerah yang bersangkutan dengan menggunakan frasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal … atau sebagaimana dimaksud
pada ayat… .
3. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal, ayat, atau huruf yang
berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal, ayat demi
ayat, atau huruf demi huruf yang diacu tetapi cukup dengan
menggunakan frasa sampai dengan.
Contoh :
Pasal ........
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan
Bupati.
4. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal atau ayat yang berurutan,
tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau
ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali.
Contoh:
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai
dengan Pasal 12 berlaku juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7
ayat (1).
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (5) berlaku juga bagi tahanan, kecuali ayat (4) huruf a.
5. Kata pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu
merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan.
Contoh:
Rumusan yang tidak tepat:
Pasal 8
(1) … .
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku
untuk 60 (enam puluh) hari.
6. Jika ...........
- 41
6. Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai
dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (jika ada), kemudian
diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil.
Contoh:
Pasal 15
(1) ….
(2) ….
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan
ayat (4), Pasal 12, dan Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Dinas.
7. Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan secara singkat materi
pokok yang diacu.
Contoh:
Izin penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
diberikan oleh … .
8. Pengacuan ke peraturan perundang-undangan lain hanya dapat
dilakukan ke Peraturan Perundang–undangan yang tingkatannya
sama atau lebih tinggi.
9. Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal
atau ayat bersangkutan.
10. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari
pasal atau ayat yang diacu dan tidak menggunakan frasa pasal yang
terdahulu atau pasal tersebut di atas.
11. Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan
Peraturan Perundang–undangan yang tidak disebutkan secara rinci,
menggunakan frasa sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang–
undangan.
12. Untuk menyatakan peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan
Daerah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Daerah bersangkutan, gunakan
frasa dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
13. Jika Peraturan Daerah yang dinyatakan masih tetap berlaku hanya
sebagian dari ketentuan Peraturan Daerah tersebut, gunakan frasa
dinyatakan tetap berlaku, kecuali … .
Contoh:
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah
Nomor … Tahun … tentang ... (Lembaran Daerah Kabupaten Serang
Tahun … Nomor … , Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Serang Nomor …) dinyatakan tetap berlaku, kecuali Pasal 5 sampai
dengan Pasal 10.
14. Naskah Peraturan Daerah diketik dengan jenis huruf Bookman Old
Style, dengan ukuran huruf 12, di atas kertas F4.
BUPATI SERANG,
LAMPIRAN III
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG
NOMOR 5 TAHUN 2015
TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
KABUPATEN SERANG
BUPATI SERANG
PROVINSI BANTEN
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
BUPATI SERANG,
Menimbang: a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat: 1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
dan
BUPATI SERANG
MEMUTUSKAN:
BAB 1 ....
-2-
BAB I KETENTUAN
UMUM Pasal 1
BAB II
… Pasal
BAB …
(dan seterusnya)
Pasal . . .
Ditetapkan di Serang
pada tanggal …
BUPATI SERANG,
tanda tangan
NAMA
Diundangkan di Serang
pada tanggal …
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN SERANG,
tanda tangan
NAMA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG
TAHUN … NOMOR …
TTD
NAMA
NIP
2. PERATURAN .............
-3-
2. PERATURAN BUPATI
BUPATI SERANG
PROVINSI BANTEN
PERATURAN BUPATI SERANG
TENTANG
BUPATI SERANG
Menimbang : a. bahwa................................................;
b. bahwa................................................;
c. dan seterusnya..................................;
Mengingat : 1. ..........................................................;
2............................................................;
3. dan seterusnya..................................;
MEMUTUSKAN:
BAB I KETENTUAN
UMUM Pasal 1
BAB II Bagian
Kesatu
............................................
Paragraf 1
Pasal ..
BAB ......
-4-
BAB ...
Pasal ...
BAB ...
BAB .. KETENTUAN
Ditetapkan di Serang
pada tanggal
BUPATI SERANG,
Diundangkan di Serang
(Nama)
TTD
NAMA
NIP
3. PB. ..........
-5-
BUPATI SERANG
BUPATI ……….. (Nama Kabupaten/Kota)
PROVINSI .............. (Nama PROVINSI)
TENTANG
Menimbang : a. bahwa.................................................................;
b. bahwa.................................................................;
c. dan seterusnya....................................................;
Mengingat : 1. ...........................................................................;
2. ...........................................................................;
3. dan seterusnya...................................................;
MEMUTUSKAN:
BAB I KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bersama ini yang dimaksud dengan:
BAB II
Bagian Kesatu
............................................
Paragraf 1
Pasal ..
BAB ……….
-6-
BAB ...
Pasal ...
BAB ...
BAB .. KETENTUAN
Ditetapkan di Serang
pada tanggal
(Nama Tanpa Gelar dan Pangkat) (Nama Tanpa Gelar dan Pangkat)
(Nama) (Nama)
TTD
NAMA
NIP
4. PERATURAN ......
-7-
4. PERATURAN DPRD
PROVINSI BANTEN
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
Menimbang : a. bahwa …;
b. bahwa …;
c. dan seterusnya …;
Mengingat : 1. …;
2. …;
3. dan seterusnya …;
MEMUTUSKAN:
BAB I KETENTUAN
UMUM Pasal 1
BAB II
… Pasal
BAB. …………………………….
-8-
BAB …
(dan seterusnya)
Pasal ...
Ditetapkan di Serang
pada tanggal …
tanda tangan
NAMA
Diundangkan di Serang
pada tanggal …
tanda tangan
NAMA
TTD
NAMA
NIP
5. KEPUTUSAN ………..
-9-
5. KEPUTUSAN BUPATI
BUPATI SERANG
PROVINSI BANTEN
KEPUTUSAN BUPATI SERANG
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
(Judul Keputusan Bupati)
BUPATI SERANG,
Menimbang : a. bahwa...................................................................;
b. bahwa...................................................................;
c. dan seterusnya.....................................................;
Mengingat : 1. ............................................................................;
2. ............................................................................;
3. dan seterusnya.....................................................;
Memperhatikan : 1. .....................................................................;
2. .....................................................................;
3. dan seterusnya..............................................;
(jika diperlukan)
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU :
KEDUA :
KETIGA :
KEEMPAT :
Ditetapkan di Serang.
TTD
NAMA
NIP
6. KEPUTUSAN …………
- 10
6. KEPUTUSAN DPRD
KESATU :
KEDUA :
KETIGA :
KEEMPAT :
Ditetapkan di Serang
pada tanggal ...................
KETUA DPRD ATAU WAKIL KETUA DPRD
KABUPATEN SERANG
Menetapkan :
KESATU :
KEDUA :
KETIGA :
KEEMPAT :
KELIMA :
Ditetapkan di Serang.
pada tanggal ...................
KETUA DPRD ATAU WAKIL KETUA DPRD
KABUPATEN SERANG
8. KEPUTUSAN ………….
- 12
Menimbang : a. bahwa...................................................................;
b. bahwa...................................................................;
c. dan seterusnya.....................................................;
Mengingat : 1. ............................................................................;
2. ............................................................................;
3. dan seterusnya.....................................................;
Memperhatikan : 1. .....................................................................;
2. .....................................................................;
3. dan seterusnya..............................................;
(jika diperlukan)
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KESATU :
KEDUA :
KETIGA :
KEEMPAT :
KELIMA :
Ditetapkan di Serang
pada tanggal ...................
KETUA BADAN KEHORMATAN DPRD KABUPATEN
SERANG,
BUPATI SERANG,