Anda di halaman 1dari 3

Opening: Dibatalkannya 3.

143 Perda yang telah diumumkan oleh Presiden menimbulkan pertanyaan


yang begitu mengganggu. “apa yang mendasari pemerintah membatalkan ribuan perda?”

JUDUL: POLEMIK PEMBATALAN PERDA OLEH PEMERINTAH PUSAT (BAGIAN I): Sebuah Hukum Positif
Yang Telah Berlaku

Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) secara umum berpedoman dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 11 Tahun 2012). Undang-
undang ini mengatur secara garis besar tentang materi muatan perda, perencanaan perda, penyusunan
perda, pembahasan dan penetapan raperda, dan mekanisme pengundangannya. Lebih lanjut
pembentukan perda juga diatur dalam BAB IX Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Secara umum pasal-pasal dalam BAB IX Undang-Undang Pemda
merupakan pengulangan dari pasal-pasal UU No. 11 Tahun 2012. Namun ada beberapa pasal yang lebih
spesifik mengatur tentang hal-hal yang belum diatur oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2012.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tidak mengatur tentang evaluasi rancangan perda dan pembatalan
perda. Namun keduanya secara khusus diatur oleh Undang-Undang Pemda. Pasal 245 UU Pemda
mengatur tentang Evaluasi Rancangan Perda. Ayat 1 pasal ini menyebutkan bahwa rancangan peraturan
daerah (raperda) provinsi yang mengatur tentang RPJP, RPJMD, APBD, perubahan APBD,
pertanggungjawaban APBD, pajak daerah, dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi dari Menteri
Dalam Negeri sebelum ditetapkan oleh gubernur. Sementara raperda kabupaten/kota yang mengatur
tentang hal-hal tersebut diatas, harus mendapat evaluasi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
sebelum ditetapkan oleh bupati/wali kota. Maka hanya perda yang mengandung substansi diatas yang
perlu melalui proses evaluasi, sementara perda yang mengatur diluar substansi diatas ditak disebutkan
apakah dapat dilakukan evaluasi atau tidak perlu dilakukan evaluasi sama sekali.
Out put atau tindak lanjut dari evaluasi raperda ini yang disebutkan dalam pasal 245 ayat 5 UU Pemda
hanya berupa pemberian nomor register jika evaluasi tersebut disetujui. Sementara konsekuensi hukum
tidak disetujuinya evaluasi terhadap raperda (sebagaimana dimaksud pasal 245 ayat 1 dan 3), tidak
disebutkan dalam Undang-Undang ini, termasuk di bagian penjelasan. Sehingga tidak bisa dipastikan
bagai mana nasib raperda yang belum disetujui. Apakah gugur begitu saja, atau masih memiliki peluang
untuk dilakukan revisi agar bisa disetujui pada proses evaluasi yang kedua dan memperoleh nomor
register. Mekanisme ini tidak diatur dalam UU Pemda.
Selain mengatur mengenai evaluasi raperda, UU Pemda juga memberikan kewenangan kepada gubernur
untuk membatalkan perda kabupaten/kota dan mendagri untuk membatalkan perda provinsi dan perda
kabupaten/kota yang tidak dibatalkan oleh gubernur. Perda yang dapat dibatalkan adalah perda yang
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum (Pasal 250
ayat 2 UU Pemda), dan/atau kesusilaan. Pembatalan perda kabupaten/kota oleh gubernur ditetapkan
dengan keputusan gubernur, sementara pembatalan perda yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri
ditetapkan dengan keputusan Menteri.
Pemerintah daerah Provinsi yang perdanya dibatalkan memiliki kesempatan dalam jangka waktu 14
(empat belas hari) sejak keputusan pembatalan Perda diterima untuk mengajukan keberatan kepada
Presiden. Sementara Perda kabupaten/Kota memiliki waktu yang sama untuk mengajukan keberatan
kepada Menteri dalam Negeri. Namun, kelanjutan dari keberatan yang dajukan oleh pemda ini tidak
diatur dalam UU Pemda. Bagai mana konsekuensi Hukum Jika keberatan yang diajukan diteria atau
ditolak. Pengaturan lebih lanjut mengenai evalusi ini juga tidak didelegasikan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan lainnya seperti pp, permen, ataupun perpres. Sehingga mekanismenya
sesungguhnya msaih belum terstruktur dengan jelas.
Opening: Peraturan Daerah merupakan instrument bagi pemerintah darah dalam menjalankan otonomi
seperti yang diamanatkan oleh UUD NRI 1945. Dibatalkannya 3.143 peraturan daerah dan peraturan
kepala daerah oleh Pemerintah pusat sontak menimbulkan pertayaan “masihkah daerah memiliki
otonomi dalam menjalankan daerahnya?”
JUDUL: POLEMIK PEMBATALAN PERDA OLEH PEMERINTAH PUSAT (BAGIAN II): Sebuah Kritik terhadap
kebijakan pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat
Pembatalan 3.143 Peraturan daerah yang diumumkan oleh Presiden, tentunya menjadi perbincangan
yang hangat dan menarik untuk dikaji oleh para penggiat hukum. Peristiwa ini merupakan suatu
peristiwa besar dalam era otonomi daerah saat ini. Pasal 18 ayat 5 dan 6 UUD NRI 1945 memberikan
kewenangan bagi daerah dalam menjalankan otonomi daerah yang seluas-luasnya termasuk dalam hal
membuat peraturan daerah. Meskipun demikian, otonomi daerah sudah selayaknya dilakukan dengan
tetap memperhatikan peraturan perudang-undangan diatasnya dan tetap berada pada koridor NKRI.
Maka dari itu sesungguhnya peranan pemerintah pusat diperlukan dalam hal ini. Namun peranan yang
diambil oleh pemerintah pusat juga selayaknya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang telah ada.
Munculnya mekanisme evaluasi rancangan peraturan daerah (raperda) dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah (UU Pemda) sesungguhnya suatu pilihan yang tepat, guna
menjaga agar peraturan daerah yang berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah
ada. Melalui upaya preventif ini peraturan daerah yang bertentangan dengan ketentuan perundang-
undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum (Pasal 250 ayat 2 UU Pemda), dan/atau kesusilaan
seharusnya tidak ada yang sampai pada proses penetapan. Karena telah melalui penyempurnaan dalam
proses evaluasi ini. Sehingga pembatalan derhadap perda untuk kedepannya sangat minim dilakukan.
Namun sayang UU Pemda belum mengatur secara matang mengenai judicial preview ini.
Pembatalan sebuah peraturan daerah merupakan hal yang sangat krusial karena peraturan daerah
merupakan salah satu wujud otonomi daerah. Terlebih lagi suatu peraturan daerah merupakan
instrument hukum yang sah dan mengikat yang secara hirarki berada dibawah undang-undang. Maka
peraturan daerah yang diduga bertentangan dengan undang-undang sudah selayaknya mengikuti
ketentuan pasal 9 ayat 2 UU No. 11 Tahun 2012, yakni pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
sesungguhnya perlu dipertanyakan, apa konsep yang mendasari sehingga Menteri dalam negeri ataupun
gubernur berwenang membatalkan peraturan daerah yang telah sah? (jika ada sahabat CSH yang tahu
mengenai konsep ini, silahkan berbagi di kolom koentar). Jika tidak ada konsep yang jelas mengenai
kewenangan pemerintah pusat dalam mebatalkan peraturan daerah yang telah sah, maka tindakan
pembatalan sepihak yang dilakukan oleh pemerintah bisa menjadi wujud penyanderaan terhadap
otonomi daerah di era reformasi ini.
Permasalahan ini menjadi menarik karena pada konsideran (mengingat) UU Pemda tidak
mencantumkan UU No. 11 Tahun 2012 Sebagai pertimbangan hukumnya. Namun secara substansial UU
Pemda justru juga mengatur tentang pembentukan perda yang telah diatur oleh UU No 11 Tahun 2012.
Jika UU pemda ingin mengatur mengenai pembentukan perda, maka sudah selayaknya UU No. 11 Tahun
2012 menjadi pertimbangan hukum dalam pembentukan UU Pemda. Termasuk pula mengenai proses
pembatalannya. Sehingga tidak memunculkan kewenangan absurd bagi mendagri atau gubernur untuk
membatalkan perda. Padahal Pasal 9 ayat 2 UU No 11 Tahun 2012 sudah jelas mengatur bahwa
peraturan perundang-undnagan dibawah undang-undang yang diduga bertentangan dengan undang-
undang, pengujiannya dilakukan oleh mahkamah agung. Agar tidak menimbulkan kekacauan hukum dan
tumpang tindih kewenangan, maka pengaturan pembatalan perda sudah selayaknya mengacu pada UU
No 11 Tahun 2011.

Anda mungkin juga menyukai