Anda di halaman 1dari 3

Kedudukan SEMA dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan (“UU 12/2011”), Surat Edaran Mahkamah Agung (“SEMA”) dapat
dikategorikan sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat
berdasarkan kewenangan suatu lembaga. Pasal 7 dan Pasal 8 UU 12/2011 berbunyi:
 
Pasal 7

1. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:


a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
2. Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 
Pasal 8

1. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7


ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
2. Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.

 
Pembentukan SEMA sendiri berasal dari wewenang Mahkamah Agung (“MA”) untuk
meminta keterangan dan memberikan petunjuk kepada pengadilan di semua lingkungan
peradilan di bawahnya. SEMA menjadi suatu kebijakan untuk menjalankan fungsi
pengawasan MA dengan melihat perkembangan yang ada.
 
SEMA sendiri berkedudukan di bawah undang-undang, bukan setara atau lebih tinggi dari
undang-undang. SEMA hanya mengikat ke dalam lingkungan peradilan saja. Sedangkan
undang-undang adalah aturan hukum tertinggi di bawah  Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) serta berkekuatan mengikat terhadap
seluruh warga negara Indonesia.
 
Perubahan Undang-Undang
Lebih lanjut, perubahan dan pencabutan suatu undang-undang sendiri hanya dapat dilakukan
dengan dua cara:
1. Oleh Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) bersama Presiden dengan membuat undang-
undang baru atau melakukan perubahan terhadap undang-undang yang telah ada. Hal
ini sesuai dengan prinsip contrarius actus. Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek
Sri Djatmiati, dalam buku Argumentasi Hukum (2009), sebagaimana yang dikutip
oleh M. Lutfi Chakim dalam tulisannya Contrarius Actus yang dimuat dalam
Majalah Konstitusi (hal.78), asas contrarius actus dalam hukum administrasi negara
adalah asas yang menyatakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara dengan sendirinya juga berwenang untuk
membatalkannya.

 
Di Indonesia sendiri, wewenang pembentukan undang-undang berada di tangan Presiden dan
DPR. Menurut Pasal 20 ayat (2) UUD 1945:
 
Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama.
 
Baca juga: Perbedaan Pencabutan dan Pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara
 

2. Oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”) melalui pengujian materi/judicial review suatu


undang-undang. Pasal 9 ayat (1) UU 12/2011 berbunyi:

 
Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
 
Lebih lanjut, materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi:[1]

1.
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945;
b. perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan MK; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

 
Maka, terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tentang Gagasan
Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang (“SEMA 3/1963”)
yang Anda maksud tidak mempengaruhi keberlakuan Pasal 1238 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Hal ini sekalipun SEMA 3/1963 menyatakan bahwa
(hal. 1):
 
Mengingat kejahatan, bahwa Burgerlijk Wetboek oleh penjajah Belanda dengan sengaja
disusun sebagai tiruan belaka dari Burgerlijk Wetboek di Negara Belanda dan lagi untuk
pertama-tama diperlakukan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia, maka timbul
pertanyaan, apakah dalam suasana Indonesia Merdeka yang melepaskan diri dan belenggu
penjajahan Belanda itu, masih pada tempatnya untuk memandang Burgerlijk Wetboek ini
sejajar dengan suatu undang-undang yang secara resmi berlaku di Indonesia.
 
Dengan lain perkataan: apakah Burgerlijk Wetboek yang bersifat kolonial ini, masih pantas
harus secara resmi dicabut dulu untuk menghentikan berlakunya di Indonesia sebagai
undang-undang.
 
Berhubung dengan ini timbal suatu gagasan yang menganggap Burgerlijk Wetboek tidak
sebagai suatu undang-undang, melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya
menggambarkan suatu kelompokkan hukum tak tertulis.
 
SEMA 3/1963 kemudian menyatakan bahwa MA menganggap Pasal 1238 KUH Perdata.
yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta di muka hakim
apabila gugatan ini didahului dengan suatu penagihan tertulis, tidak belaku lagi (hal. 2).
 
Namun melihat argumentasi yang telah kami susun di atas, SEMA 3/1963 pada dasarnya
tidak memiliki kekuatan untuk mengubah atau membatalkan undang-undang, seperti
KUH Perdata. Dengan demikian, Pasal 1238 KUH Perdata tetap berlaku dan memiliki
kekuatan hukum mengikat.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
3. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tentang Gagasan Menganggap
Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang.

 
Referensi:
Majalah Mahkamah Konstitusi, diakses pada Rabu, 6 November 2019, pukul 11.15 WIB.

Anda mungkin juga menyukai