A. TUJUAN PEMBELAJARAN
B. URAIAN MATERI
Pada pertemuan ke 7 ini kita akan berbicara berbicara tentang jenis peraturan
perundang-undangan.
Mengenai jenis peraturan perundang-undangan, secara eksplisit UUDNRI
Tahun 1945 hanya menyebut Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan
Daerah di samping Undang-Undang Dasar (UUD) sendiri, sedangkan
peraturan perundang-undangan lainnya tumbuh dan berkembang dalam praktik
ketatanegaraan dan tata pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki perundang-
undangan terdiri atas:
Dengan adanya ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tersebut,
maka jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan dalam Pasal
7 ayat (1) menjadi sangat banyak dan mungkin menimbulkan kebingungan
karena tidak ditentukannya bentuk, jenis, materi muatan, daya ikat, dan
hierarkinya.
• Peraturan Pemerintah;
• Peraturan Presiden;
• Peraturan Menteri;
• Peraturan Gubernur;
• Peraturan Bupati/Walikota;
• Peraturan Desa;
Menurut I Gde Pantja Astawa (2012: 59), terlepas dari perdebatan apakah
UUDNRI Tahun 1945 adalah bagian dari Peraturan Perundang-undangan
ataukah bukan, dalam Pasal 3 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 sendiri secara
eksplisit telah disebutkan: Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
mengubah dan menetapkan UUD. Menunjukkan bahwa esistensi UUDNRI
Tahun 1945 tetap diakui ada dalam substansi hukum di Indonesia. Demikian
pula dengan norma-norma yang terkandung dalam UUDNRI Tahun 1945
menunjukkan karakter yng bersifat rechtsnormen, naar buiten werken,
algemeenheid in ruine zin, dan dauerhaftig, sehingga dari perspektif ilmu
perundang-undangan menunjukkan bahwa UUDNRI Tahun 1945 sebagai
bagian dari Peraturan Perundang-undangan (I Gde Pantja Astawa,
(2012:59).
Di dalam Tap MPR tersebut, status Tap MPRS dan Tap MPR RI, ditentukan
sebagai berikut:
1. Tap MPRS dan Tap MPR RI yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
2. Tap MPRS dan Tap MPR RI yang dinyatakan tetap berlaku dengan
ketentuan;
3. Tap MPRS dan Tap MPR RI yang dinyatakan tetap berlaku sampai
dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004;
4. Tap MPRS dan Tap MPR RI yang dinyatakan tetap berlaku sampai
dengan terbentuknya UU;
5. Tap MPRS dan Tap MPR RI yang dinyatakan masih berlaku sampai
dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib Baru oleh MPR RI Hasil
Pemilu Tahun 2004;
6. Tap MPRS dan Tap MPR RI yang dinyatakan tidak perlu dilakukan
tindakan hukum lanjut, baik karena bersifat final (einmahlig), telah
dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.
Pertama, Tap MPRS dan Tap MPR RI yang dinyatakan tetap berlaku
dengan persyaratan-persyaratan sebagaimana tertuang di dalam Ketetapan
yang dimaksud:
Kedua, Tap MPRS dan Tap MPR RI yang tetap berlaku sampai dengan
terbentuknya UU, yakni:
Dengan adanya 2 (dua) kategori materi dan status hukum Tap MPRS dan Tap
MPR tersebut, maka walaupun setelah empat kali amandemen, UUDNRI
Tahun 1945 sudah tidak memberikan wewenang kepada MPR untuk
membentuk produk hukum Tap MPR yang bersifat mengatur (regeling) dan
mengikat umum, namun Ketetapan yang dikeluarkan oleh MPR tetap menjadi
dimasukkan sebagai jenis peraturan perundang-undangan sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 UU No.
12 Tahun 2011 tersebut.
3. Undang-Undang (UU)
Saat ini banyak pendapat yang mengangap bahwa dengan amandemen UUD 1945,
telah terjadi pergeseran dalam kekuasaan pembentukan UU. Sebelum UUD 1945
diamandemen, kekuasaan pembentukan UU titik beratnya berada di tangan
Presiden (eksekutif), tetapi dengan amandemen UUD 1945 kekuasaan
pembentukan UU bergeser ke DPR. Hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUDNRI
Tahun 1945, yang menentukan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang.”
Dalam hal ini, Maria Farida Indrati Soeprapto (2007: 187-189) berpendapat
berbeda. Menurutnya, ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUDNRI 1945
mempunyai makna bahwa kekuasaan membentuk UU sebenarnya dipegang secara
bersama oleh DPR dan Presiden.
Adanya ketentuan pada ayat (2) yang menyatakan: “Setiap rancangan undang-
undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.” Merupakan suatu ketentuan yang mengesampingkan
ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan tersebut masih
diperkuat dengan rumusan pada ayat (3) yang menyatakan: “Jika rancangan
undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-
undang itu tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat masa itu.”
Dari rumusan dalam Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UUDNRI Tahun 1945
menunjukkan, bahwa keberadaan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden
tersebut merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan secara “bersama”, “secara
serentak”, atau “berbarengan dengan” atau pun “pada saat yang sama“ agar
suatu UU disahkan menjadi UU.
Frasa “persetujuan bersama” dalam Pasal ini tidak selalu bermakna untuk “setuju”,
tetapi bisa juga dimaknai untuk “tidak setuju”. Makna “tidak setuju” secara tersirat
terdapat dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945, yang
menentukan “Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan
bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh dimajukan lagi dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.”
Memang dalam Pasal 20 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 tidak dirumuskan secara
tegas bahwa apabila tidak mendapat persetujuan bersama, maka RUU tersebut
ditolak menjadi UU. Namun, kalimat “rancangan undang-undang itu tidak boleh
dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu” sama
artinya bahwa RUU tersebut ditolak menjadi UU oleh DPR untuk masa
persidangan itu. Syarat “persetujuan bersama” ini berlaku, baik terhadap RUU yang
datang dari DPR maupun RUU yang datang dari Pemerintah.
Lebih lanjut, Maria Farida Indrati Soeprapto (2007: 188) menegaskan, peranan
Presiden dalam pembentukan UU terlihat lebih kuat, jika dihubungkan dengan
rumusan dalam Pasal 20 ayat (5) UUDNRI Tahun 1945, yang menyatakan:
“Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi undang-undang.”
Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto (2007: 188), pendapat yang menyatakan
bahwa DPR mempunyai kewenangan yang lebih kuat dalam pembentukan UU
berdasarkan Pasal 20 ayat (5) tersebut, tidak tepat, karena sebenarnya dengan
kewenangan untuk tidak mengesahkan suatu RUU yang telah disetujui bersama
oleh DPR dan Presiden tersebut mencerminkan kewenangan Presiden yang lebih
kuat dalam pembentukan UU.
Sampai saat ini dalam kepustakaan-kepustakaan yang ada masih dijumpai adanya
adanya beberapa pengertian dari UU, misalnya, “UU dalam arti formal” dan “UU
dalam arti material.”
“Undang-Undang dalam arti formal” dan “Undang-Undang dalam arti
material”
Istilah “UU dalam arti formal” dan “UU dalam arti material” ini merupakan
terjemahan secara harfiah dari wet in formele zin dan wet in materiil zin yang
dikenal di Belanda. Di Belanda wet in formele zin merupakan keputusan yang
dibuat oleh Regeling dan Staten Generaal besama-sama (gezamenlijk) terlepas
apakah isinya peraturan(regeling) atau penetapan (beschikking). Jadi dilihat dari
pembentukannya atau siapa yang membentuknya. Sementara wet in materiil zin
adalah setiap keputusan yang mengikat umum (algemeen verbindende
voorschriften), baik yang dibuat oleh Regeling dan Staten Generaal besama-sama,
atau pun yang dibuat oleh lembaga-lembaga lain yang lebih rendah, seperti
Regering/Kroon, Minister, Provincie dan Gemeente yang masing-masing
membentuk Algemene Maatregel van Bestuur, Ministeriele Verordening,
Provinciele Wetten, Gemeentelije Wetten serta peraturan lainnya yang berisi
peraturan yang mengikat umum (algemeen verbindende voorschriften).
Maria Farida Indrati Soeprapto (2007: 189), apabila pengertian wet di negeri
Belanda diterjemahkan dengan Undang-Undang, dan pengertian Regering dan
Staten Generaal dipersamakan dengan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat,
maka pemakaian istilah “UU dalam arti formal” dan “UU dalam arti material” tidak
tepat digunakan di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Di Indonesia
hanya “Undang-Undang” yang dapat disetarakan dengan wet, yaitu suatu keputusan
yang dibentuk oleh Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat, yang disetarakan
dengan wet in formele zin dan juga disetarakan dengan wet in materiil zin apabila
UU itu bersifat mengatur umum (algemeen verbindende voorschriften). Peraturan
perundang-undangan lainnya tidak dapat disebut sebagai UU dalam arti formal atau
UU dalam arti material, karena peraturan perundang-undangan lainnya tidak
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, tetapi dibentuk oleh
lembaga lainnya, dan jenis-jenis peraturan perundang-undangan tersebut
mempunyai nama sendiri-sendiri.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Bagir Manan (1992: 2-3), bahwa ilmu
hukum (rechtswetenschaft) membedakan antara UU dalam arti materiil (wet in
materiil zin), dan UU dalam arti formal (wet in formele zin). Dalam arti materiil,
UU adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang
berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Inilah yang
dimaksud dengan peraturan perundang-undangan. Dalam arti formal (in formele
zin), UU adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara pemegang
kekuasaan eksekutif dan legislatif berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau
mengikat secara umum.
Dari ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945, dapat simpulkan bahwa
hak Presiden untuk menetapkan Perpu hanya dapat dilakukan atau dilaksanakan
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Yang dimaksud dengan “pengganti
UU” adalah bahwa materi muatan Perpu merupakan materi muatan UU. Dalam
keadaan biasa (normal) materi muatan tersebut harus diatur dengan UU.
Menurut Bagir Manan (1992: 51-52), sebagai peraturan darurat Perpu mengandung
pembatasan-pembatasan:
Pertama, Perpu hanya dikeluarkan “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
Dalam praktik, “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” diartikan secara luas.
Tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau
ancaman, tetapi termasuk juga kebutuhan yang dipandang mendesak. Siapakah
yang menetapkan “kegentingan memaksa” itu? Karena kewenangan menetapkan
Perpu ada di tangan Presiden, maka Presidenlah yang secara hukum menentukan
kegentingan memaksa.
Kedua, Perpu hanya berlaku untuk jangka waktu yang terbatas. Presiden –paling
lambat dalam masa sidang DPR berikutnya- harus mengajukan Perpu ke DPR untuk
memperoleh persetujuan. Apabila disetujui DPR, Perpu berubah menjadi UU.
Kalau tidak disetujui, Perpu tersebut harus segera dicabut.
Lebih lanjut Bagir Manan (1992: 51-52) mengatakan, pembatasan jangka waktu
dan persetujuan DPR mengandung berbagai makna:
Berkaitan dengan pembatasan waktu ini perlu diperhatikan, bahwa keadaan darurat
harus ada batas waktu. Diharapkan dalam batas waktu tersebut semua unsur
kedaruratan telah dapat dinormalkan kembali. Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) dan
ayat (3) UUDNRI Tahun 1945, Perpu yang ditetapkan oleh Presiden itu, dalam
keadaan kembali normal (dalam persidangan yang berikut) harus diajukan ke DPR
untuk mendapat persetujuan DPR atau pun sebaliknya dilakukan pencabutan jika
tidak mendapat persetujuan DPR. Dalam hal Perpu ditolak Dewan Perwakilan
Rakyat, maka Perpu tersebut harus dicabut. Pencabutan Perpu dilakukan dengan
Undang-Undang tentang Pencabutan Perpu tersebut
Perbedaan antara UU dan Perpu adalah bahwa UU dibentuk oleh DPR dengan
persetujuan bersama Presiden dalam keadaan pemerintahan normal, sedangkan
Perpu dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan DPR dalam keadaan pemerintahan
tidak normal (kegentingan memaksa).
Ditinjau dari segi wewenang, Perpres dapat dibedakan (I Gde Pantja Astawa dan
Suprin Na’a, 2012: 68):
Dalam praktik, sebelum berlakunya UU No. 10 Tahun 2004, ada Menteri yang
hanya mempergunakan bentuk Keputusan Menteri (Kepmen) dan ada pula Menteri
yang mempergunakan bentuk Peraturan Menteri (Permen) dan Kepmen. Peraturan
Menteri-sesuai dengan namanya-berisi ketentuan yang bersifat mengatur,
sedangkan Kepmen dapat berupa peraturan (regeling) atau ketetapan (beschiking).
Demikian pula, Peraturan Menteri tidak termasuk dalam jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Walaupun Peraturan Menteri tidak dicantumkan secara tegas dalam jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan, tetapi keberadaannya diakui sebagai
Peraturan Perundang-undangan.
Hal ini dipertegas dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, yang
menyatakan: “Peraturan Menteri adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri
berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam
pemerintahan.”
Dengan mendasarkan pada Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dan
Penjelasannya tersebut, Peraturan Menteri mempunyai kedudukan sebagai salah
satu jenis Peraturan Perundang-undangan.
Tujuan dari pemberian kewenangan pengaturan ini adalah sebagai alat bagi
lembaga pemerintah tersebut dalam menyelenggarakan kewenangan
pemerintahan yang diatur dalam UU yang terkait.
Selain itu, dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 8 UU No. 23 Tahun 1999
disebutkan: ”Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan
dimuat dalam Lembaran Negara.
Berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tersebut dan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Bank Indonesia merupakan salah satu jenis peraturan perundang-
undangan di tingkat Pusat.
Menurut I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a (2012: 69), Peraturan Daerah
(Perda) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk dengan persetujuan
bersama Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang
berfungsi untuk menyelenggarakan otonomi daerah, tugas pembantuan,
menampung kondisi khusus daerah, dan penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pengertian Perda ini berbeda dengan apa yang disebutkan dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
hanya melihat dari sisi institusi pemerintahan mana yang berwenang membentuk
Perda. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 3.
Dalam perspektif yuridis konstitusional, Perda diatur dalam Pasal 18 ayat (6):
Dari ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 tersebut dapat disimpulkan
bahwa Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten, dan
Pemerintah Daerah Kota berhak menetapkan Perda dan peraturan lainnya dalam
rangka melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Pasal 236
Berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 dan Pasal 236 UU No. 23
Tahu 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan Pemerintah Daerah dalam
membentuk Perda tersebut diberikan secara atribusi (attributie van
wetbevoegheid). sepanjang istilah “Pemerintahan daerah” yang terdapat dalam
Pasal 18 ayat (6) ditafsirkan sebagai “Pemerintah daerah. Pemerintahan daerah
sebagai fungsi tidak dapat menyelenggarakan hak tersebut. Hak tersebut harus
diberikan kepada lembaga.
Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan materi muatan Perda Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah, dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi. Bertolak dari ketentuan ini, pada prinsipnya Perda dapat dibentuk
berdasarkan dua sumber, yaitu: a. atribusi kewenangan (atrbutie van
wetgevingsbevoegdheid), atau. b. delegasi kewenangan (delegatie van
wetgevingsbevoegdheid).
Menurut Aan Eko Widiarto dalam B. Hestu Cipto Handoyo (2014: 131-132)
hierarki Perda Provinsi yang ditempatkan lebih tinggi dari Perda Kabupten/Kota
akan mengakibatkan hilangnya esensi otonomi yang dimilki Kabupaten/Kota.
Kabupaten/Kota tidak leluasa mengatur dan mengurus urusannya karena harus
selalu memperhatikan otonomi yang dimiliki Provinsi dalam bentuk Perda Provinsi
yang ada.
Selain itu, menurut B. Hestu Cipto Handoyo (2014: 132), dari sisi konsep otonomi,
hierarki Perda tersebut juga tidak logis. Hal ini disebabkan pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya. Dengan demikian logika hukumnya adalah ketiga pemerintahan
daerah itu mempunyai urusan rumah tangga sendiri sehingga tidak saling
mencamputi urusan atau kewenangan masing-masing. Dengan ditempatkannya
Perda Provinsi lebih tinggi dari Perda Kabupaten/Kota berarti secara langsung
provinsi ikut campur tangan urusan daerah otonom yang lain (Kabupaten/Kota).
Jika ketentuan Pasal 246 (1) UU No. 23 Tahun 2004 tersebut dikaitkan dengan teori
perundang-undangan, maka kemunculan Perkada (Peraturan Gubernur, Peraturan
Bupati/Walikota) bersumber dari atribusi kewenangan maupun delegasi
kewenangan. Jadi, Perkada dapat merupakan Peraturan Otonom maupun Peraturan
Pelaksana. Dapat dikatakan sebagai Peraturan Otonom yang bersumber dari
delegasi kewenangan, karena keberadaannya ditetapkan oleh Kepala Daerah atas
kuasa peraturan perundang-undangan yang tidak ditegaskan jenisnya, maka bisa
jadi peraturan perundang-undangan yang dimaksud Pasal ini berjenis UU.
Sedangkan sebagai Peraturan Pelaksana yang bersumber dari delegasi kewenangan,
karena kemunculan Perkada dipergunakan untuk melaksanakan UU.
9. Peraturan Desa
a. Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala
Desa, dan Peraturan Kepala Desa.
b. Peraturan Desa dilarang bertentangan dengan kepentingan kepentingan umum
dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
c. Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati
bersama Badan Permusyawararan Desa.
d. Raperdes tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata
ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi dari
Bupati/Walikota.
e. Hasil evaluasi tersebut diserahkan oleh Bupati/Walikota paling lama 20 (dua
puluh hari) kerja terhitung sejak diterimanya rancangan tersebut oleh
Bupati/Walikota.
f. Dalam hal Bupati/Walikota telah memberikan hasil evaluasi tersebut Kepala
Desa wajib memperbaikinya.
g. Kepala Desa diberi waktu paling lama 20 (dua puluh hari) kerja sejak
diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi.
h. Dalam hal Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam waktu 20
(dua puluh hari) kerja terhitung sejak diterimanya rancangan tersebut oleh
Bupati/Walikota, Peraturan Desa tersebut berlaku dengan sendirinya.
i. Raperdes wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa.
j. Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Raperdes.
k. Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa diundangkan dalam Lembaran Desa
dan Berita Desa oleh Sekretaris Desa.
l. Dalam pelaksaan Peraturan Desa, Kepala Desa menetapakan Peraturan Kepala
Desa sebagai aturan pelaksanaannya.
A. LATIHAN SOAL/TUGAS
1. Tepatkah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Ketetapan MPR disebut sebagai peraturan perundang-undangan?
Jelaskan!
2. Mengapa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus
berkedudukan sederajat dengan Undang-Undang? Jelaskan!
3. Apakah perbedaan antara Peraturan Pemerintah dengan Peraturan
Presiden? Jelaskan!
4. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan kedudukan Perda Provinsi lebih tinggi dari Perda
Kabupaten/Kota. Bagaimanakah konsekuensinya?
B. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Astawa, I Gde Pantja dan Na’a, Suprin. 2012. Dinamika Hukum dan Ilmu
Perundang-undangan di Indonesia. Bandung: Alumni.
Media Massa
Peraturan Perundang-Undangan