Anda di halaman 1dari 28

PERTEMUAN KE-7

JENIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Adapun tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, mahasiswa mampu


menjelaskan jenis-jenis peraturan perundang-undangan tingkat nasional
dan peraturan perundang-undangan tingkat daerah.

B. URAIAN MATERI

Pada pertemuan ke 7 ini kita akan berbicara berbicara tentang jenis peraturan
perundang-undangan.
Mengenai jenis peraturan perundang-undangan, secara eksplisit UUDNRI
Tahun 1945 hanya menyebut Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan
Daerah di samping Undang-Undang Dasar (UUD) sendiri, sedangkan
peraturan perundang-undangan lainnya tumbuh dan berkembang dalam praktik
ketatanegaraan dan tata pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki perundang-
undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemeritah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi;
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Di samping jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut, UU No. 12 Tahun


2011 [Pasal 8 UU ayat (1)] juga mengakui keberadaan Peraturan Perundang-
undangan lain yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
oleh Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Peraturan Perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai


kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8
UU No. 12 Tahun 2011).

Dengan adanya ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tersebut,
maka jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan dalam Pasal
7 ayat (1) menjadi sangat banyak dan mungkin menimbulkan kebingungan
karena tidak ditentukannya bentuk, jenis, materi muatan, daya ikat, dan
hierarkinya.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan UUDNRI Tahun 1945 serta keberadaan


lembaga negara dan lembaga pemerintahan bisa ditemui beberapa jenis
peraturan perundang-undangan yang tumbuh dan berkembang dalam praktek
ketatanegaraan Indonesia.

Peraturan Perundangan-undangan Tingkat Nasional

• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

• Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

• Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-


Undang;

• Peraturan Pemerintah;

• Peraturan Presiden;
• Peraturan Menteri;

• Peraturan Pimpinan LPNK; dan

• Peraturan Lembaga Pemerintahan Lainnya.

Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah

• Peraturan Daerah Provinsi;

• Peraturan Gubernur;

• Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;

• Peraturan Bupati/Walikota;

• Peraturan Desa;

• Peraturan Kepala Desa.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI TINGKAT PUSAT

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


(UUDNRI Tahun 1945)

UUDNRI Tahun 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi


dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Oleh karena itu, dalam
hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011, UUDNRI Tahun 1945 diletakkan pada urutan
pertama. Kedudukan tertinggi baik dilihat dari pembentukan peraturan
perundang-undangan maupun tindakan kenegaraan atau pemerintahan
lainnya mengandung pengertian hukum (yuridis) tertentu. Pengertian
hukum tersebut adalah bahwa baik tata cara maupun materi muatan
peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan atau maksud UUDNRI Tahun 1945.
Berdasarkan pengertian hukum tersebut, maka setiap peraturan perundang-
undangan tingkat lebih rendah yang bertentangan atau tidak sesuai dengan
ketentuan atau maksud UUDNRI Tahun 1945 dapat dinyatakan batal
(vernietigbaar). Akan tetapi sistem perundang-undangan yang berlaku tidak
menjalankan secara penuh pengertian dan konsekuensi hukum UUDNRI
Tahun 1945 sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi. Ada
pembatasan-pembatasan mengenai kemungkinan menyatakan batal
peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
UUDNRI 1945. Pasal 24C UUDNRI Tahun 1945 memberikan wewenang
kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji UU terhadap UUD NRI
1945, sedangkan berdasarkan Pasal 24A UUD NRI 1945 Mahkamah Agung
(MA) diberi wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah
UU terhadap UU.

B.Hestu Cipto Handoyo (2014: 93) mengemukakan, di antara pakar Hukum


Tata Negara, khususnya yang mendalami ilmu pengetahuan perundang-
undangan, masih terdapat anggapan yang berbeda berakitan dengan
eksistensi UUD, sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan.
Satu pihak menganggap bahwa UUD (batang tubuh) termasuk peraturan
dasar (Grundgasetz); sedangkan Pembukaan UUD dan Pancasila, termasuk
ke dalam norma dasar (Grundnorm). UUDNRI Tahun 1945 bukan
merupakan peraturan perundang-undangan, karena UUDNRI Tahun 1945
tidak memuat sanksi pidana. Oleh sebab itu, yang dapat dikategorikan
sebagai peraturan perundang-undangan tidak lain adalah UU ke bawah.

Dalam pandangan yang lain, Bagir Manan mengemukakan dalam


pandangan yang lain, Bagir Manan berpendapat bahwa pendapat tersebut
hanya melihat perwujudan sanksi yang berupa kurungan atau denda
(pidana). Padahal sanksi itu dapat pula merupakan sanksi sosial, sanksi
administratif, bahkan sanksi politik seperti yang dijumpai dalam Penjelasan
UUDNRI Tahun 1945: Presiden yang diangkat oleh Majelis
bertanggungjawab kepada Majelis. Artinya, bilamana Presiden tidak
tunduk kepada Majelis atau pertanggngjawabannya ditolak oleh Majelis,
maka Presiden akan dikenakan sanksi atau diberhentikan (B. Hestu Cipto
Handoyo, 2014: 94).
Menurut B. Hestu Cipto Handoyo (2014:93), untuk saat ini, pandangan yang
menyatakan bahwa UUDNRI Tahun 1945 bukan Peraturan Perundang-
undangan karena tidak dikenal adanya sanksi sudah tidak memiliki dasar
pijakan. Ketentuan sanksi yang terdapat di dalam UUDNRI Tahun 1945
telah memperoleh ketegasan sejak UUD tersebut diamandemen.

Ketegasan itu tertuang dalam ketentuan Pasal 7A UUDNRI Tahun 1945


yang menyatakan, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbuti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.”

Kemudian dalam Pasal 7B UUDNRI Tahun 1945 ditegaskan bahwa Usul


pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya
dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Menurut I Gde Pantja Astawa (2012: 59), terlepas dari perdebatan apakah
UUDNRI Tahun 1945 adalah bagian dari Peraturan Perundang-undangan
ataukah bukan, dalam Pasal 3 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 sendiri secara
eksplisit telah disebutkan: Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
mengubah dan menetapkan UUD. Menunjukkan bahwa esistensi UUDNRI
Tahun 1945 tetap diakui ada dalam substansi hukum di Indonesia. Demikian
pula dengan norma-norma yang terkandung dalam UUDNRI Tahun 1945
menunjukkan karakter yng bersifat rechtsnormen, naar buiten werken,
algemeenheid in ruine zin, dan dauerhaftig, sehingga dari perspektif ilmu
perundang-undangan menunjukkan bahwa UUDNRI Tahun 1945 sebagai
bagian dari Peraturan Perundang-undangan (I Gde Pantja Astawa,
(2012:59).

Dengan kedudukan UUDNRI 1945 sebagai hukum dasar yang tertulis


berkedudukan sebagai sumber hukum dan dasar hukum bagi keberadaan
Peraturan Perundang-undangan yang ada di bawahnya, maka konsekuensi
bagi penegakkan hukum terhadap kaidah-kaidah hukum yang terdapat di
dalam UUD RI 1945 harus dijabarkan lebih lanjut ke dalam setiap Peraturan
Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah.

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)

Pasal 7 huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perunang-undangan memasukkan kembali Tap MPR di dalam jenis dan
hieraki peraturan perundang-undangan. Langkah seperti ini berdasarkan
atas ketentuan Pasal I Aturan Tambahan UUDNRI Tahun 1945 yang
menyebutkan:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan


kembali terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.”

Sehubungan dengan hal ini, memang dalam amandemen UUDNRI Tahun


1945, kewenangan MPR untuk membentuk produk hukum Tap MPR yang
bersifat mengatur (regeling) dan mengikat umum sudah ditiadakan. Namun
demikian, produk hukum tertulis yang sudah ada sejak sekitar tahun 1960
yang berwujud Tap MPRS sampai dengan Tap MPR di era Orde Baru,
harus tetap diputuskan kedudukan hukumnya. Hal ini mengingat produk
hukum tertulis yang dikeluarkan oleh MPR tersebut pernah menimbulkan
kontroversi kedudukan hukumnya bila dikaitkan dengan UUDNRI Tahun
1945. Oleh sebab itu, sejak amandemen Ke-empat UUD Tahun 1945
eksistensi materi dan status hukum Tap MPRS dan Tap MPR RI perlu
mendapatkan kepastian hukum apakah masih termasuk jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan ataukah tidak.

Berdasarkan perintah Pasal I Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945


tersebut, maka dikeluarkanlah Tap MPR No. I/MPR/2003 tentang
Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan
Ketetapan MPR RI Tahun 1960 Sampai dengan Tahun 2002.

Di dalam Tap MPR tersebut, status Tap MPRS dan Tap MPR RI, ditentukan
sebagai berikut:

1. Tap MPRS dan Tap MPR RI yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
2. Tap MPRS dan Tap MPR RI yang dinyatakan tetap berlaku dengan
ketentuan;
3. Tap MPRS dan Tap MPR RI yang dinyatakan tetap berlaku sampai
dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004;
4. Tap MPRS dan Tap MPR RI yang dinyatakan tetap berlaku sampai
dengan terbentuknya UU;
5. Tap MPRS dan Tap MPR RI yang dinyatakan masih berlaku sampai
dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib Baru oleh MPR RI Hasil
Pemilu Tahun 2004;
6. Tap MPRS dan Tap MPR RI yang dinyatakan tidak perlu dilakukan
tindakan hukum lanjut, baik karena bersifat final (einmahlig), telah
dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.

Sehubungan dengan hal tersebut, Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf UU


No.12 Tahun 2011 menyebutkan:

Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan


Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan
Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun
1960 sampai dengan 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Dengan demikian, Tap MPRS dan Tap MPR RI yang tetap diakui
keberadaannya, serta dimasukkan sebagai jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011, adalah:

Pertama, Tap MPRS dan Tap MPR RI yang dinyatakan tetap berlaku
dengan persyaratan-persyaratan sebagaimana tertuang di dalam Ketetapan
yang dimaksud:

a. Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI,


Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara RI
bagi PKI dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau
Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme;
dinyatakan tetap berlaku, dengan ketentuan seluruh ketentuan dalam
Tap MPRS-RI Nomor XXV/MPRS/1966 ini, ke depan diberlakukan
dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi, dan
hak asasi manusia.
b. Tap MPR-RI Nomor XVI/MPRS/1998 tentang Politik Ekonomi dalam
Rangka Demokrasi Ekonomi; dinyatakan tetap berlaku dengan
ketentuan, Pemerintah berkewajiban mendorong keberpihakan politik
ekonomi yang lebih memberikan kesempatan dukungan dan
pengembangan ekonomi, usaha kecil, menengah, dan koperasi sebagai
pilar ekonomi dalam membangkitkan terlaksananya pembangunan
nasional dalam rangka demokrasi ekonomi sesuai hakikat Pasal 33 UUD
NRI Tahun 1945.

Kedua, Tap MPRS dan Tap MPR RI yang tetap berlaku sampai dengan
terbentuknya UU, yakni:

a. Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang


Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sampai
terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut.
b. Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
c. Tap MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
d. Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN sampai
terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut.
e. Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam sampai terlaksananya seluruh
ketentuan dalam ketetapan tersebut.

Dengan adanya 2 (dua) kategori materi dan status hukum Tap MPRS dan Tap
MPR tersebut, maka walaupun setelah empat kali amandemen, UUDNRI
Tahun 1945 sudah tidak memberikan wewenang kepada MPR untuk
membentuk produk hukum Tap MPR yang bersifat mengatur (regeling) dan
mengikat umum, namun Ketetapan yang dikeluarkan oleh MPR tetap menjadi
dimasukkan sebagai jenis peraturan perundang-undangan sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 UU No.
12 Tahun 2011 tersebut.

3. Undang-Undang (UU)

Pasal 1 angka 3 UU No. 12 Tahun 2011 menegaskan bahwa Undang-Undang


adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat
dengan persetujuan bersama Presiden.

Saat ini banyak pendapat yang mengangap bahwa dengan amandemen UUD 1945,
telah terjadi pergeseran dalam kekuasaan pembentukan UU. Sebelum UUD 1945
diamandemen, kekuasaan pembentukan UU titik beratnya berada di tangan
Presiden (eksekutif), tetapi dengan amandemen UUD 1945 kekuasaan
pembentukan UU bergeser ke DPR. Hal ini diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUDNRI
Tahun 1945, yang menentukan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang.”

Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka kekuasaan pembentukan undang-


undang sekarang ada pada DPR, sedangkan Presiden bukan lagi pemegang
kekuasaan pembentukan UU, tetapi hanya berhak mengajukan RUU kepada DPR.
Meskipun demikian, dalam pembentukan UU tidak berarti DPR bisa berjalan
sendiri tanpa melibatkan Presiden (pemerintah).

Dalam hal ini, Maria Farida Indrati Soeprapto (2007: 187-189) berpendapat
berbeda. Menurutnya, ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUDNRI 1945
mempunyai makna bahwa kekuasaan membentuk UU sebenarnya dipegang secara
bersama oleh DPR dan Presiden.

Pengertian DPR “memegang kekuasaan membentuk” UU yang ditetapkan dalam


Pasal 20 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 seharusnya dapat diartikan dengan
“memegang kewenangan”, karena suatu kekuasaan (macht), dalam hal ini
kekuasaan membentuk UU (wetgevendemacht), memang mengandung
kewenangan membentuk UU. Namun demikian, rumusan dalam Pasal 20 ayat (1)
tersebut secara kajian perundang-undangan tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan
dengan ketentuan-ketentuan pada ayat-ayat selanjutnya dalam Pasal 20 UUDNRI
Tahun 1945.

Adanya ketentuan pada ayat (2) yang menyatakan: “Setiap rancangan undang-
undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.” Merupakan suatu ketentuan yang mengesampingkan
ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan tersebut masih
diperkuat dengan rumusan pada ayat (3) yang menyatakan: “Jika rancangan
undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-
undang itu tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat masa itu.”

Dari rumusan dalam Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UUDNRI Tahun 1945
menunjukkan, bahwa keberadaan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden
tersebut merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan secara “bersama”, “secara
serentak”, atau “berbarengan dengan” atau pun “pada saat yang sama“ agar
suatu UU disahkan menjadi UU.

Frasa “persetujuan bersama” dalam Pasal ini tidak selalu bermakna untuk “setuju”,
tetapi bisa juga dimaknai untuk “tidak setuju”. Makna “tidak setuju” secara tersirat
terdapat dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945, yang
menentukan “Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan
bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh dimajukan lagi dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.”

Memang dalam Pasal 20 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 tidak dirumuskan secara
tegas bahwa apabila tidak mendapat persetujuan bersama, maka RUU tersebut
ditolak menjadi UU. Namun, kalimat “rancangan undang-undang itu tidak boleh
dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu” sama
artinya bahwa RUU tersebut ditolak menjadi UU oleh DPR untuk masa
persidangan itu. Syarat “persetujuan bersama” ini berlaku, baik terhadap RUU yang
datang dari DPR maupun RUU yang datang dari Pemerintah.

Lebih lanjut, Maria Farida Indrati Soeprapto (2007: 188) menegaskan, peranan
Presiden dalam pembentukan UU terlihat lebih kuat, jika dihubungkan dengan
rumusan dalam Pasal 20 ayat (5) UUDNRI Tahun 1945, yang menyatakan:
“Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi undang-undang.”

Pendapat tersebut seringkali disangkal dengan mengajukan sanggahan berdasarkan


ketentuan dalam Pasal 20 ayat (5) UUDNRI Tahun 1945, yang menyatakan:
“Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
undang-undang dan wajib diundangkan.”

Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto (2007: 188), pendapat yang menyatakan
bahwa DPR mempunyai kewenangan yang lebih kuat dalam pembentukan UU
berdasarkan Pasal 20 ayat (5) tersebut, tidak tepat, karena sebenarnya dengan
kewenangan untuk tidak mengesahkan suatu RUU yang telah disetujui bersama
oleh DPR dan Presiden tersebut mencerminkan kewenangan Presiden yang lebih
kuat dalam pembentukan UU.

Sampai saat ini dalam kepustakaan-kepustakaan yang ada masih dijumpai adanya
adanya beberapa pengertian dari UU, misalnya, “UU dalam arti formal” dan “UU
dalam arti material.”
“Undang-Undang dalam arti formal” dan “Undang-Undang dalam arti
material”

Istilah “UU dalam arti formal” dan “UU dalam arti material” ini merupakan
terjemahan secara harfiah dari wet in formele zin dan wet in materiil zin yang
dikenal di Belanda. Di Belanda wet in formele zin merupakan keputusan yang
dibuat oleh Regeling dan Staten Generaal besama-sama (gezamenlijk) terlepas
apakah isinya peraturan(regeling) atau penetapan (beschikking). Jadi dilihat dari
pembentukannya atau siapa yang membentuknya. Sementara wet in materiil zin
adalah setiap keputusan yang mengikat umum (algemeen verbindende
voorschriften), baik yang dibuat oleh Regeling dan Staten Generaal besama-sama,
atau pun yang dibuat oleh lembaga-lembaga lain yang lebih rendah, seperti
Regering/Kroon, Minister, Provincie dan Gemeente yang masing-masing
membentuk Algemene Maatregel van Bestuur, Ministeriele Verordening,
Provinciele Wetten, Gemeentelije Wetten serta peraturan lainnya yang berisi
peraturan yang mengikat umum (algemeen verbindende voorschriften).

Maria Farida Indrati Soeprapto (2007: 189), apabila pengertian wet di negeri
Belanda diterjemahkan dengan Undang-Undang, dan pengertian Regering dan
Staten Generaal dipersamakan dengan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat,
maka pemakaian istilah “UU dalam arti formal” dan “UU dalam arti material” tidak
tepat digunakan di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Di Indonesia
hanya “Undang-Undang” yang dapat disetarakan dengan wet, yaitu suatu keputusan
yang dibentuk oleh Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat, yang disetarakan
dengan wet in formele zin dan juga disetarakan dengan wet in materiil zin apabila
UU itu bersifat mengatur umum (algemeen verbindende voorschriften). Peraturan
perundang-undangan lainnya tidak dapat disebut sebagai UU dalam arti formal atau
UU dalam arti material, karena peraturan perundang-undangan lainnya tidak
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, tetapi dibentuk oleh
lembaga lainnya, dan jenis-jenis peraturan perundang-undangan tersebut
mempunyai nama sendiri-sendiri.

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Bagir Manan (1992: 2-3), bahwa ilmu
hukum (rechtswetenschaft) membedakan antara UU dalam arti materiil (wet in
materiil zin), dan UU dalam arti formal (wet in formele zin). Dalam arti materiil,
UU adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang
berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Inilah yang
dimaksud dengan peraturan perundang-undangan. Dalam arti formal (in formele
zin), UU adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara pemegang
kekuasaan eksekutif dan legislatif berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau
mengikat secara umum.

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Pasal 1 angka 4 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan menegaskan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal
ikhwal kegentingan yang memaksa.

Ketentuan 1 angka 4 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut sejalan dengan ketentuan


Pasal 22 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 yang menegaskan: “Dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang.”

Dari ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945, dapat simpulkan bahwa
hak Presiden untuk menetapkan Perpu hanya dapat dilakukan atau dilaksanakan
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Yang dimaksud dengan “pengganti
UU” adalah bahwa materi muatan Perpu merupakan materi muatan UU. Dalam
keadaan biasa (normal) materi muatan tersebut harus diatur dengan UU.

Perpu ditetapkan yang oleh Presiden merupakan peraturan perundang-undangan


yang bersifat darurat. Oleh karena itu, dalam Konstitusi dan UUDS 1950 disebut
“Undang-Undang Darurat”.

Menurut Bagir Manan (1992: 51-52), sebagai peraturan darurat Perpu mengandung
pembatasan-pembatasan:

Pertama, Perpu hanya dikeluarkan “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”.
Dalam praktik, “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” diartikan secara luas.
Tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau
ancaman, tetapi termasuk juga kebutuhan yang dipandang mendesak. Siapakah
yang menetapkan “kegentingan memaksa” itu? Karena kewenangan menetapkan
Perpu ada di tangan Presiden, maka Presidenlah yang secara hukum menentukan
kegentingan memaksa.

Kedua, Perpu hanya berlaku untuk jangka waktu yang terbatas. Presiden –paling
lambat dalam masa sidang DPR berikutnya- harus mengajukan Perpu ke DPR untuk
memperoleh persetujuan. Apabila disetujui DPR, Perpu berubah menjadi UU.
Kalau tidak disetujui, Perpu tersebut harus segera dicabut.

Lebih lanjut Bagir Manan (1992: 51-52) mengatakan, pembatasan jangka waktu
dan persetujuan DPR mengandung berbagai makna:

a. kewenangan membuat Perpu memberikan kekuasaan luar biasa kepada


Presiden. Kekuasaan luar biasa ini harus dikendalikan untuk menghindari
penyalahgunaan kekuasaan dengan mempergunakan Perpu sebagai sarana.
b. materi muatan Perpu harus diatur dengan UU. Karena itu harus diajukan
kepada DPR untuk memperoleh persetujuan.
c. Perpu mencerminkan suatu keadaan darurat. Keadaan darurat merupakan
pembenaran untuk, misalnya, menyimpangi pinsip-prinsip negara
berdasarkan atas hukum atau prinsip negara berkonstitusi. Dengan
pengajuan Perpu secepat mungkin kepada DPR berarti secepat mungkin
pula pengembalian pada keadaan normal yang menjamin pelaksanaan
prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum atau negara berkonstitusi.

Berkaitan dengan pembatasan waktu ini perlu diperhatikan, bahwa keadaan darurat
harus ada batas waktu. Diharapkan dalam batas waktu tersebut semua unsur
kedaruratan telah dapat dinormalkan kembali. Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) dan
ayat (3) UUDNRI Tahun 1945, Perpu yang ditetapkan oleh Presiden itu, dalam
keadaan kembali normal (dalam persidangan yang berikut) harus diajukan ke DPR
untuk mendapat persetujuan DPR atau pun sebaliknya dilakukan pencabutan jika
tidak mendapat persetujuan DPR. Dalam hal Perpu ditolak Dewan Perwakilan
Rakyat, maka Perpu tersebut harus dicabut. Pencabutan Perpu dilakukan dengan
Undang-Undang tentang Pencabutan Perpu tersebut
Perbedaan antara UU dan Perpu adalah bahwa UU dibentuk oleh DPR dengan
persetujuan bersama Presiden dalam keadaan pemerintahan normal, sedangkan
Perpu dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan DPR dalam keadaan pemerintahan
tidak normal (kegentingan memaksa).

4. Peraturan Pemerintah (PP)

Pasal 5 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 menyebutkan: “Presiden menetapkan


Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana
mestinya”. Sedangkan Pasal 1 angka 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan: “Peraturan
Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.”

Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”,


adalah penetapan PP untuk melaksanakan perintah UU atau untuk menjalankan UU
sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam UU
yang bersangkutan. Hal ini berarti, PP hanya berisi ketentuan lebih lanjut (rincian)
dari ketentuan-ketentuan yang telah terdapat dalam UU. Dengan perkataan lain,
setiap ketentuan dalam PP harus berkaitan dengan satu atau beberapa ketentuan
UU. Tidak ada PP untuk melaksanakan UUDNRI Tahun 1945, Tap MPR, atau
semata-mata didasarkan pada kewenangan mandiri (original power) Presiden
membentuk Peraturan Perundang-undangan.

Dalam Pasal 74 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 ditegaskan: “Penetapan Peraturan


Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan
pemerintahan tidak atas perintah suatu Undang-Undang dikecualikan dari
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, sehingga suatu PP dapat pula
dibentuk meskipun dalam UU tidak ditentukan secara tegas supaya diatur lebih
lanjut dalam PP.

Hamid S. Attamimi (Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007: 195) mengemukakan


beberapa karakteristika PP sebagai berikut:
a. PP tidak dapat dibentuk tanpa terlebih dahulu ada UU yang menjadi
“induknya”.
b. PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila UU yang bersangkutan
tidak mencantumkan sanksi pidana.
c. Ketentuan PP tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan UU yang
bersangkutan.
d. Untuk “menjalankan”, menjabarkan, atau merinci ketentuan UU, PP dapat
dibentuk meskipun ketentuan UU tersebut tidak memintanya secara tegas-
tegas.
e. Ketentuan-ketentuan PP berisi peraturan atau gabungan peraturan dan
penetapan. PP tidak berisi penetapan semata-mata.

5. Peraturan Presiden (Perpres)

Sebelum berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan, istilah “Peraturan Presiden” disebut dengan “Keputusan
Presiden”. Keputusan Presiden dibedakan dalam keputusan yang bersifat penetapan
dan berlaku sekali selesai (einmahlig), dan keputusan yang bersifat mengatur dan
berlaku terus menerus (dauerhaftig). Dalam hubungannya dengan Ilmu Perundang-
undangan, maka Keputusan Presiden yang menjadi bahasan adalah selalu
Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dan berlaku terus menerus
(dauerhaftig).

Dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 tersebut, istilah Keputusan Presiden


yang bersifat mengatur dan berlaku terus menerus (dauerhaftig) tidak lagi disebut
Keputusan Presiden, akan tetapi disebut Peraturan Presiden.

Pasal 1 angka 6 UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan “Peraturan Presiden adalah


Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan
perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.”

Perpres merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan


ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 yang berbunyi “Presiden
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”
Menurut UUDNRI Tahun 1945, kekuasaan Presiden dalam bidang pengaturan
beragam. Kekuasaan-kekuasaan ini diuraikan oleh A. Hamid S.Attamimi (I Gde
Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2012: 66) sebagai berikut:

“Ia mempunyai kekuasaan legislatif, yaitu membentuk undang-undang


yang dilakukannya dengan persetujuan DPR, mempunyai kekuasaan
reglementer, yaitu membentuk peraturan pemerintah untuk menjalanan
undang-undang atau untuk menjalankan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang, dan mempunyai kekuasaan eksekutif yang di dalamnya
mengandung kekuasaan pengaturan, yaitu dengan membentuk Keputusan
Presiden.”

Ditinjau dari segi wewenang, Perpres dapat dibedakan (I Gde Pantja Astawa dan
Suprin Na’a, 2012: 68):

Pertama, Perpres sebagai pelaksanaan kewenangan konstitusional, baik sebagai


Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan, Presiden berwenang
menetapkan keputusan secara mandiri yang tidak tetap batas lingkupnya, sehingga
kategori ini yang disebut Perpres Mandiri. Hal ini sesuai dengan asas umum, bahwa
salah satu ciri yang selalu melekat pada pejabat atau jabatan adalah adanya
wewenang membuat putusan. Kewenangan ini merupakan kewenangan atributif.

Kedua, Perpres dapat juga dikeluarkan sebagai peraturan delegasi. Sebagai


peraturan delegasi, Perpers ditetapkan untuk melaksanakan perintah UUD 1945,
UU/Perpu, atau PP.

Perpres mandiri muncul dari alasan sistem ketatanegaraan Indonesia yang


menempatkan Presiden sebagai penyelenggara pemerintah negara tertinggi. Oleh
karena itu, dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung
jawab ada di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the
President). Sehingga Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan negara
diberikan kewenangan mandiri yang pengaturannya direalisasikan melalui bentuk
hukum Perpres “mandiri”.

6. Peraturan Menteri (Permen)

Sebelum berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan, istilah “Peraturan Menteri” disebut dengan “Keputusan
Menteri”. Keputusan Menteri dibedakan dalam keputusan yang bersifat penetapan
dan berlaku sekali selesai (einmahlig), dan keputusan yang bersifat mengatur dan
berlaku terus menerus (dauerhaftig). Dalam hubungannya dengan Ilmu Perundang-
undangan, maka Keputusan Menteri yang menjadi bahasan adalah selalu
Keputusan Menteri yang bersifat mengatur dan berlaku terus menerus
(dauerhaftig).

Dalam praktik, sebelum berlakunya UU No. 10 Tahun 2004, ada Menteri yang
hanya mempergunakan bentuk Keputusan Menteri (Kepmen) dan ada pula Menteri
yang mempergunakan bentuk Peraturan Menteri (Permen) dan Kepmen. Peraturan
Menteri-sesuai dengan namanya-berisi ketentuan yang bersifat mengatur,
sedangkan Kepmen dapat berupa peraturan (regeling) atau ketetapan (beschiking).

Dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 tersebut, istilah Keputusan Menteri


yang bersifat mengatur dan berlaku terus menerus (dauerhaftig) tidak lagi disebut
Keputusan Menteri, akan tetapi disebut Peraturan Menteri.

UUDNRI Tahun 1945 tidak mencantumkan “secara tegas”, baik mengenai


kewenangan Menteri membuat Peraturan Menteri (Permen) maupun kedudukan
Permen sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan.

Demikian pula, Peraturan Menteri tidak termasuk dalam jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Walaupun Peraturan Menteri tidak dicantumkan secara tegas dalam jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan, tetapi keberadaannya diakui sebagai
Peraturan Perundang-undangan.

Pengakuan bahwa Peraturan Menteri termasuk dalam jenis Peraturan Perundang-


undangan, dapat dijumpai dalam Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi
sebagai berikut:

(1)Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal


7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,. atau komisi yang setingkat yang
dibentuk oleh Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-
Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa
atau yang setingkat.

(1) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui


keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.

Hal ini dipertegas dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, yang
menyatakan: “Peraturan Menteri adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri
berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam
pemerintahan.”

Dengan mendasarkan pada Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dan
Penjelasannya tersebut, Peraturan Menteri mempunyai kedudukan sebagai salah
satu jenis Peraturan Perundang-undangan.

Berkaitan dengan kedudukan Peraturan Menteri ini, Bagir Manan mengatakan


bahwa dalam sistem ketatanegaraan di mana pun, wewenang Menteri membuat
peraturan (adminstratif) diakui dan mempunyai sifat peraturan perundang-
undangan.

7. Peraturan Pimpinan Lembaga Pemerintah NonKementerian (LPNK)

Lembaga Pemerintah NonKementerian (LPNK) dahulu bernama Lembaga


Pemerintah NonDepartemen (LPND) adalah lembaga negara di Indonesia yang
dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari Presiden. Kepala
LPNK berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui
Menteri/pejabat setingkat Menteri yang mengoordinasikan.

Pada saat ini terdapat 30 (tiga puluh) Lembaga Pemerintah NonKementerian


(LPNK), antara lain ANRI, BEK, BIG, BIN, Bakamla, BKN, BKKBN, BKPM,
BMKG, BNN, BNPB, BNPT, BNP2TKI, BPKP, Bapeten, BPOM, BPPT,
Bappenas, BPN, BPS, Basarnas, BSN, Batan, LAN, LIPI, LKPP, Lemhanas, Lapan,
Lemsaneg, Perpusnas. Setiap LPNK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
mempunyai kewenangan.

8. Peraturan Lembaga Pemerintahan Lainnya

Peraturan lembaga pemerintahan lainnya (State Auxiliary Bodies) adalah


peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga tersebut
berdasarkan atas atribusi kewenangan pengaturan dari UU kepada lembaga itu.

Tujuan dari pemberian kewenangan pengaturan ini adalah sebagai alat bagi
lembaga pemerintah tersebut dalam menyelenggarakan kewenangan
pemerintahan yang diatur dalam UU yang terkait.

Misalnya: Peraturan Bank Indoesia (PBI) yang merupakan peraturan


perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan atribusi kewenangan
pengaturan dari UU No23/1999 kepada BI dalam menyelenggarakan
kewenangan pemerintahan yang diatur dalam UU tersebut.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia


disebutkan:

(1) Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia.


(2) Bank Indonesia adalah lembaga negarayang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangam
Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas
diatur dalam Undang-Undang.
(3) Bank Indonesia adalah badanhukum berdasarkan Undan-Undang ini.

Selain itu, dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 8 UU No. 23 Tahun 1999
disebutkan: ”Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan
dimuat dalam Lembaran Negara.
Berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tersebut dan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU No
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Bank Indonesia merupakan salah satu jenis peraturan perundang-
undangan di tingkat Pusat.

A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI TINGKAT DAERAH


1. Peraturan Daerah

Menurut I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a (2012: 69), Peraturan Daerah
(Perda) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk dengan persetujuan
bersama Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang
berfungsi untuk menyelenggarakan otonomi daerah, tugas pembantuan,
menampung kondisi khusus daerah, dan penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pengertian Perda ini berbeda dengan apa yang disebutkan dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
hanya melihat dari sisi institusi pemerintahan mana yang berwenang membentuk
Perda. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 3.

Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang


dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan
persetujuan bersama Gubernur.

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-


undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

Secara a contrario Phillipus M. Hardjon, dkk memberikan definisi Peraturan


Daerah adalah:
a. tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan
perundang-undangan, peraturan perundang-undangan atau peraturan
daerah yang lebih tinggi tingkatannya;
b. tidak boleh mengatur sesuatu hak yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan atau peraturan daerah yang lebih tinggi
tingkatannya;
c. tidak boleh mengatur sesuatu hal yang termasuk urusan rumah tangga
daerah tingkat bawahnya.

Definisi ini hanya melihat dari sisi restriksi (batasan-batasan) Perda.

Dalam perspektif yuridis konstitusional, Perda diatur dalam Pasal 18 ayat (6):

Pemerintah Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-


peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Dari ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 tersebut dapat disimpulkan
bahwa Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten, dan
Pemerintah Daerah Kota berhak menetapkan Perda dan peraturan lainnya dalam
rangka melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Kewenangan Pemerintah Daerah untuk menetapkan Perda dalam hukum positif


diatur dalam Pasal 236 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang
berbunyi:

Pasal 236

(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah


membentuk Perda.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan
persetujuan bersama kepala Daerah.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:
a. penyelenggaran Otonomi daerah dan Tugas Pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat
memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUDNRI Tahun 1945 dan Pasal 236 UU No. 23
Tahu 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan Pemerintah Daerah dalam
membentuk Perda tersebut diberikan secara atribusi (attributie van
wetbevoegheid). sepanjang istilah “Pemerintahan daerah” yang terdapat dalam
Pasal 18 ayat (6) ditafsirkan sebagai “Pemerintah daerah. Pemerintahan daerah
sebagai fungsi tidak dapat menyelenggarakan hak tersebut. Hak tersebut harus
diberikan kepada lembaga.

Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan materi muatan Perda Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah, dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi. Bertolak dari ketentuan ini, pada prinsipnya Perda dapat dibentuk
berdasarkan dua sumber, yaitu: a. atribusi kewenangan (atrbutie van
wetgevingsbevoegdheid), atau. b. delegasi kewenangan (delegatie van
wetgevingsbevoegdheid).

UU No. 12 Tahun 2011 mengubah penjenjangan Perda, tidak lagi menggunakan


terminologi meliputi yang artinya berkedudukan sama, tetapi menghierarkikan
dengan ketentuan bahwa kedudukan Perda Provinsi lebih tinggi dari Perda
Kabupaten/Kota. Sebagai konsekuensinya adalah Perda Kabupaten/Kota tidak
boleh bertentangan dengan Perda Provinsi sesuai dengan hierarkinya sehingga
menyebabkan Perda Kabupten/Kota bergantung pada Perda Provinsi.

Menurut Aan Eko Widiarto dalam B. Hestu Cipto Handoyo (2014: 131-132)
hierarki Perda Provinsi yang ditempatkan lebih tinggi dari Perda Kabupten/Kota
akan mengakibatkan hilangnya esensi otonomi yang dimilki Kabupaten/Kota.
Kabupaten/Kota tidak leluasa mengatur dan mengurus urusannya karena harus
selalu memperhatikan otonomi yang dimiliki Provinsi dalam bentuk Perda Provinsi
yang ada.
Selain itu, menurut B. Hestu Cipto Handoyo (2014: 132), dari sisi konsep otonomi,
hierarki Perda tersebut juga tidak logis. Hal ini disebabkan pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya. Dengan demikian logika hukumnya adalah ketiga pemerintahan
daerah itu mempunyai urusan rumah tangga sendiri sehingga tidak saling
mencamputi urusan atau kewenangan masing-masing. Dengan ditempatkannya
Perda Provinsi lebih tinggi dari Perda Kabupaten/Kota berarti secara langsung
provinsi ikut campur tangan urusan daerah otonom yang lain (Kabupaten/Kota).

Menurut Bagir Manan, Pemerintahan daerah yang dimaksud dalam UUD


mengandung makna sebagai kegiatan atau aktivitas menyelenggarakan
pemerintahan dan lingkungan jabatan, yaitu DPRD dan dan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah yang dimaksud adalah Kepala Daerah beserta perangkatnya di
daerah. DPRD bersama Kepala Daerah adalah subyek hukum yang berwenang
membentuk Perda, sedangkan Kepala Daerah adalah subyek hukum yang
berwenang membentuk peraturan lain (dhi, Peraturan Kepala Daerah).

Selain bersumber pada UUDNRI Tahun 1945, kewenangan membentuk Perda


secara atributif juga diberikan oleh UU Pemerintahan Daerah (Pasal 236 UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah). Atas dasar ketentuan UU ini, DPRD
dan Kepala Daerah dapat membentuk Perda tanpa harus menunggu pendelegasian
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Batasan dalam pelaksanaan
kewenangan ini adalah sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan (Pasal 250 ayat (1) UU
No. 23 Tahun 2014).

• Peraturan Kepala Daerah (Perkada)

Peraturan Kepala Daerah (Perkada) adalah peraturan perundang-undangan di


Daerah yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah, yang
dibentuk berdasarkan Pasal 246 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Pasal 246 UU No. 23 Tahun 2004 menyebutkan “Untuk
melaksanakan Perda dan dan atas kuasa peraturan perudang-undangan, kepala
daerah menetapkan Perkada.”
Dari segi jenisnya, Perkada terdiri atas:

• Peraturan Gubernur, adalah peraturan perundang-undangan di Daerah yang


merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Provinsi, yang
dibentuk berdasarkan Pasal 246 UU ayat (1) No. 23 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Peraturan Perundang-undangan di Daerah yang
ditetapkan oleh Gubernur; dan
• Peraturan Bupati/Walikota, adalah peraturan perundang-undangan di Daerah
yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Provimsi, yang
dibentuk berdasarkan Pasal 246 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.

Jika ketentuan Pasal 246 (1) UU No. 23 Tahun 2004 tersebut dikaitkan dengan teori
perundang-undangan, maka kemunculan Perkada (Peraturan Gubernur, Peraturan
Bupati/Walikota) bersumber dari atribusi kewenangan maupun delegasi
kewenangan. Jadi, Perkada dapat merupakan Peraturan Otonom maupun Peraturan
Pelaksana. Dapat dikatakan sebagai Peraturan Otonom yang bersumber dari
delegasi kewenangan, karena keberadaannya ditetapkan oleh Kepala Daerah atas
kuasa peraturan perundang-undangan yang tidak ditegaskan jenisnya, maka bisa
jadi peraturan perundang-undangan yang dimaksud Pasal ini berjenis UU.
Sedangkan sebagai Peraturan Pelaksana yang bersumber dari delegasi kewenangan,
karena kemunculan Perkada dipergunakan untuk melaksanakan UU.

9. Peraturan Desa

UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak


mengatur secara tegas mengenai keberadaan Peraturan Desa (Perdes), namun oleh
UU tersebut yang diatur justru Peraturan Kepala Desa. Setelah berlakunya UU No.6
Tahun 2014 tentang Desa, eksistensi Peraturan Desa, walaupun tidak ditegaskan
dalam UU No. 12 Tahun 2012 dimunculkan kembali. Di dalam Pasal 1 angka 7
disebutkan bahwa Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan
Permusyawaratan Desa. Kemudan menurut Pasal 69 ayat (1) dinyatakan bahwa
Perturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa, dan
Peraturan Kepala Desa.

Di dalam Pasal 69 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa ditentukan:

a. Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala
Desa, dan Peraturan Kepala Desa.
b. Peraturan Desa dilarang bertentangan dengan kepentingan kepentingan umum
dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
c. Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati
bersama Badan Permusyawararan Desa.
d. Raperdes tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata
ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi dari
Bupati/Walikota.
e. Hasil evaluasi tersebut diserahkan oleh Bupati/Walikota paling lama 20 (dua
puluh hari) kerja terhitung sejak diterimanya rancangan tersebut oleh
Bupati/Walikota.
f. Dalam hal Bupati/Walikota telah memberikan hasil evaluasi tersebut Kepala
Desa wajib memperbaikinya.
g. Kepala Desa diberi waktu paling lama 20 (dua puluh hari) kerja sejak
diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi.
h. Dalam hal Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam waktu 20
(dua puluh hari) kerja terhitung sejak diterimanya rancangan tersebut oleh
Bupati/Walikota, Peraturan Desa tersebut berlaku dengan sendirinya.
i. Raperdes wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa.
j. Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Raperdes.
k. Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa diundangkan dalam Lembaran Desa
dan Berita Desa oleh Sekretaris Desa.
l. Dalam pelaksaan Peraturan Desa, Kepala Desa menetapakan Peraturan Kepala
Desa sebagai aturan pelaksanaannya.

A. LATIHAN SOAL/TUGAS
1. Tepatkah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Ketetapan MPR disebut sebagai peraturan perundang-undangan?
Jelaskan!
2. Mengapa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus
berkedudukan sederajat dengan Undang-Undang? Jelaskan!
3. Apakah perbedaan antara Peraturan Pemerintah dengan Peraturan
Presiden? Jelaskan!
4. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan kedudukan Perda Provinsi lebih tinggi dari Perda
Kabupaten/Kota. Bagaimanakah konsekuensinya?
B. DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi


Press.

Astawa, I Gde Pantja dan Na’a, Suprin. 2012. Dinamika Hukum dan Ilmu
Perundang-undangan di Indonesia. Bandung: Alumni.

Hestu Cipto. 2014. Prinsip-Prinsip Legal Drafting & Desain Naskah


Akademik. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Huda, Ni’matul & R. Nazriyah. 2011. Teori & Pengujian Peraturan


Perundang-undangan. Bandung: Nusa Media.

Huda, Ni’matul (Ed.). 2015. Problematika Ketetapan MPR dalam


Perundang-undangan Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press.

Manan, Bagir. 1992. Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia.


Jakarta: Ind-Hill.Co.

Manan, Bagir. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu


Negara. Bandung: Mandar Madju.

Manan, Bagir. 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia.


Bandung: Alumni.
Ranggawidjaja, Rosjidi. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan
Indonesia. Bandung: Mandar Madju.

Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan: Jenis,


Fungsi,dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius.

Sri Soemantri, Martosuwignjo. 2014. Hukum Tata Negara Indonesia


Pemikiran dan Pandangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Media Massa

Majalah Hukum dan Pembangunan No. 3 Tahun 1979.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketetapan MPR RI Peraturan MPR RI No. 1/MPR/2014 tentang Peraturan


Tata Tertib MPR RI

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2006 tentang Pedoman


Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa.

Anda mungkin juga menyukai