Anda di halaman 1dari 3

Tugas 3 HKUM4403.

135

1. Perpu adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, yang disebutkan dalam Pasal
22 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang.

Dari pasal tersebut dapat kita simpulkan bahwa Perpu dibuat oleh Presiden. Penetapan Perpu
yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 UU 15/2019 yang
berbunyi:Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan
yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa
.
Dari bunyi kedua pasal di atas dapat kita ketahui bahwa syarat presiden mengeluarkan Perpu
adalah dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Dalam artikel berjudul Polemik Penolakan Perpu
JPSK yang ditulis Yuli Harsono, dikatakan bahwa subjektivitas Presiden dalam menafsirkan "hal ihwal
kegentingan yang memaksa" yang menjadi dasar diterbitkannya Perpu, akan dinilai DPR apakah
kegentingan yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi. Persetujuan DPR ini hendaknya
dimaknai memberikan atau tidak memberikan persetujuan (menolak). Jadi, menurut Yuli Harsono,
yang menafsirkan suatu kegentingan memaksa itu adalah dari subjektivitas Presiden. Inilah yang
menjadi syarat ditetapkannya sebuah Perpu oleh Presiden.

Kedudukan Perpu sebagai norma subjektif juga dinyatakan Jimly Asshiddiqie sebagaimana
dikutip Ibnu Sina Chandranegara dalam artikel berjudul Pengujian Perppu Terkait Sengketa
Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009:

Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan
negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang
tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang
perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada
Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undangundang (Perpu) (Asshiddiqie,
2010: 209).

Ukuran objektif penerbitan Perpu baru dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi ("MK") dalam
Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat
sebagai parameter adanya "kegentingan yang memaksa" bagi Presiden untuk menetapkan Perpu,
yaitu (hal. 19):

1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara
cepatberdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum,
atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara
prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang
mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan
Menjawab pertanyaan Anda berikutnya, berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011, Perpu harus
diajukan ke DPR dalam persidangan berikut. Yang dimaksud dengan "persidangan berikut"adalah
masa sidang pertama DPR setelah Perpu ditetapkan.[1] Jadi, pembahasan Perpu di DPR dilakukan
pada saat sidang pertama DPR dalam agenda sidang DPR setelah Perpu itu ditetapkan untuk
mendapat persetujuan atau tidak dari DPR. Perpu dapat ditetapkan menjadi undang-undang ketika
DPR menyetujuinya

Mengenai konsekuensi Perpu yang ditetapkan, Prof. Marida Farida Indrati Soeprapto, dalam
bukunya Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya mengatakan bahwa
Perpu ini jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus dimintakan
persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya. Apabila Perpu itu disetujui oleh DPR,
akan dijadikan Undang-Undang (UU). Sedangkan, apabila Perpu itu tidak disetujui oleh DPR, akan
dicabut (hal. 94). Persetujuan DPR ini sangat penting karena DPR-lah yang memiliki kekuasaan
legislatif, dan yang secara objektif menilai ada tidaknya kegentingan yang memaksa,sebagaimana
telah kami jelaskan di atas

Meskipun Perpu tersebut belum dibahas oleh DPR, konsekuensi hukum dari Perpu itu sudah ada.
Artinya, Perpu tersebut sudah berlaku, bisa dilaksanakan, dan memiliki kedudukan yang
setingkat dengan UU sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011.

Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa Perpu adalah peraturan yang ditetapkan oleh
Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dan kedudukannya setara dengan undang-
undang, namun kemudian harus mendapat persetujuan DPR agar dapat ditetapkan sebagaiundang-
undang.

Contoh Perpu yang dibuat oleh Presiden dan sudah disetujui oleh DPR dan disahkan menjadi
undang-undang adalah Perpu 1 Tahun 2016 yang sudah ditetapkan menjadi undang-undang
melalui UU 17/2016.

Sumber Referensi:

1. Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar dan


Pembentukannya.Yogyakarta: Kanisius, 1998.
2. Ibnu Sina Chandranegara. Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional
Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Jurnal Yudisial, Vol. 5No. 1,
April 2012.
1 Penjelasan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan ("UU 12/2011")
[2] Pasal 52 ayat (4) UU 12/2011

2. A. Tujuan Penyusunan NA

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU 12/2011, naskah akademik adalah naskah hasil penelitian atau
pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu
Rancangan Undang-Undang dan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

Penulisan tujuan dan kegunaan penyusunan NA disesuaikan dengan ruang lingkup permasalahan
yang akan dijelaskan dalam NA. Oleh karena itu, rumusan standar untuk tujuan penyusunan NA
adalah pertama, mengetahui perkembangan teori dan praktik empiris dari materi undang-undang;
kedua, melakukan evaluasi dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan
substansi UU; ketiga, merumuskan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis UU, serta keempat,
merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan, dan ruang lingkup

Contoh: RUU Kehutanan

C.Tujuan dan Kegunaan

Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas,


tujuan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai berikut:
1.mengetahui Segala permasalahan, perkembangan dan kebutuhan
hukum dalam penyelenggaraan dalam menjawab kebutuhan.
2.mengetahui kondisi peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan pengelolaan Kehutanan saat ini.
3.merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis, pembentukan RUU Kehutanan .
4.merumuskan sasaran, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, arah
pengaturan,m dan materi muatan dalam RUU RUU Kehutanan.
Naskah Akademik RUU Kehutanan diharapkan dapat digunakan
sebagai bahan bagi penyusunan draf RUU Kehutananyang akan
menggantikan (seluruh atau sebagian materi muatan) Undang-
Undang RI Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

Anda mungkin juga menyukai