Guru Besar Hukum Tata Negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi,
Jimly Asshiddiqie berpendapat ada dua tipe Perppu dalam sistem konstitusi
Indonesia, yaitu (1) perppu sebagai undang-undang biasa yang bersifat sementara,
karena kegentingan yang memaksa belum mendapat persetujuan DPR sesuai Pasal
22 UUD 1945; dan (2) Perppu untuk dan dalam kondisi negara dalam keadaan
darurat atau keadaan bahaya menurut Pasal 12 juncto Pasal 22 UUD 1945.
Namun, perdebatan para ahli biasanya fokus pada alasan ‘kegentingan yang
memaksa’. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009 telah menentukan
tiga syarat untuk terpenuhinya hal ihwal kegentingan yang memaksa, yaitu (a)
adanya kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara
cepat berdasarkan Undang-Undang; (b) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut
belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi
tidak memadai; dan (c) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara
membentuk Undang-Undang menurut prosedur biasa karena akan memerlukan
waktu cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian
untuk diselesaikan.