Anda di halaman 1dari 6

LTM (LEMBAR TUGAS Mandiri)

PANCASILA {konstitusi rigid}

Nama : Rira Khairiah


NIM : 11190600000154

FAKULTAS DIRASAT ISLAMIYAH 2019

Konstitusi rigid
Setiap ahli hukum yang mendalami konstitusi akan bertemu konsep
untuk membeda-bedakan konstitusi. Ada konstitusi federal (mengatur
susunan Negara federal) dan konstitusi Negara kesatuan (mengatur
susunan Negara kesatuan). Ada konstitusi tertulis dan tidak tertulis.
Konstitusi tertulis dibedakan antara UUD dan yang bukan UUD (undang-
undang atau dokumen lain seperti Magna Carta). Ada yang membedakan
anatar konstitusi rigid dan fleksibel.
Perbedaan-perbedaan atau penggolongan-pengolongan tersebut
sekedar sebuah konsep, karena itu hanya bersifat akademis belaka. Dalam
wujud praktis, didapati substansi-substansi umum yanga ada apada setiap
konstitusi. Setiap Negara akan selalu memiliki sekaligus konstitusi tertulis
dan tidak tertulis. Semua konstitusi akan memuat dasar-dasar fundamental
Negara, susunan alat-alat kelengkapan Negara (constitutional organs),
kependudukan dan kewarganegaraan, bentuk Negara, bentuk
pemerintahan, dan lain-lain.
Kita akan membahas konsep konstitusi rigid (dan fleksibel), khususnya
UUD 1945 sebagai konstitusi rigid. Perbedaan antara konstitusi rigid dan
fleksibel bertolak dari cara perubahan (amandemen) konstitusi. Disebut
fleksibel kalau perubahan tidak berbeda dengan tata cara mengubah
undang-undang (statute, wet). Dikatakan rigid, apabila perubahan
mensyaratkan tata cara khusus yang berbeda dengan perubahan undang-
undang. Tata cara khusus yang berbeda tersebut dalam makna syarat yang
sulit dari perubahan undang-undang biasa.
Pandangan lain mengatakan, rigid atau fleksibel diukur dari ‘apabila
konstitusi acapkali diubah atau tidak?’ Meskipun tata cara perubahan diatur
secara khusus, tetapi jika acapkali terjadi perubahan, maka konstitusi
tersebut adalah konstitusi fleksibel. Sebaliknya, meskipun perubahan diatur
secara sederhana, sama dengan mengubah atau membuat undang-
undang, tetapi dalam kenyataan konstitusi tersebut jarang atau tidak, maka
disebut konstitusi rigid. Pandangan kedua ini diluar kerangka normatif.
Perubahan atau tidak ada perubahan adalah kehendak politik, bukan
persolana hukum.
Telah dikemukakan, pengertian rigid dan fleksibel berkaitan dengan
tata cara perubahan atau yang disebut perubahan (secara) formal. Tata
cara atau prosedur formal hanya mungkin diterapkan pada konstitusi
tertulis. Tidak ada kepastian prosedur perubahan konstitusi tidak tertulis.
Misalnya, perubahan konvensi ketatanegaraan semata-mata atas dasar
praktik ketatanegaraan. Suatu konvensi ketatanegaraan surut berangsur-
angsur (fading away) pada saat ada konvensi ketatanegaraan baru. Hukum
adat ketatanegaraan berubah sejalan dengan kehadiran hukum adat
ketatanegaraan yang baru. Menurut beberapa ahli hukum adat seperti Ter
Haar, hukum adat terbentuk melalui putusan kepala adat (dikenal sebagai
ajaran atau teori keputusan atau beslissingenieer). Ahli lain mengatakan
hukum terbentuk secara berangsur-angsur adri adat istiadat menjadi
hukum adat. Demikian pula hukum yang dibentuk hakim. Tugas utama
hakim adalah memutus suatu perkara konkret atau memutus suatu perkara
permohonan, bukan membentuk hukum, hukum yang dibentuk hakim
adalah akibat belaka dan putusan atas suatu perkara. Hukum yang
dibentuk hakim, seperti juga hukum adat yang dibentuk kepala adat bersifat
insidental, tanpa tata cara tertentu. Yang ada adalah tata cara memutus
perkara, bukan tata cara membentuk atau mengubah hukum . berdasarkan
hal-hal diatas, maka yang dimaksud konstitusi rigid atau fleksibel hanya
mengenai (hanya berlaku) untuk konstitusi tertulis (written constitution).
Telah dikekmukakan ada konstitusi tertulis yang disebut UUD
(grondwst, belanda; grundgesetz, jerman) dan konstitusi tertulis yang
bukan UUD (diatur dalam undang-undang) atau dokumen tertulis tertentu
(seperti Magna Carta).
Semua Negara memiliki secara serentak konstitusi tertulis dan tidak
tertulis. Begitu pula Negara yang mempunyai UUD, selalu disertai konstitusi
tertulis diluar UUD, dan konstitusi tidak tertulis. Selanjutnya, setiap Negara
menentukan kedudukan setiap bentuk konstitusi tertulis tersebut. UUD
hampir selalu berkedudukan paling tinggi (the highest law) di hadapan
konstitusi tertulis lainnya (undang-undang). Tetapi tidak selalu demikian
dihadapan konstitusi tidak tertulis, khususnya konvensi dan putusan hakim.
Tidak jarang, konvensi (sebagai kaidah etik) mereduksi kaidah hukum
konstitusi. Meskipun menurut kaidah hukum konstitusi, kepala Negara
dapat menolak mengesahkan RUU yang sudah disetujui parlemen, dalam
praktik (atas dasar konvensi), penolakan tidak pernah dilakukan
(dibandingkan dengan Indonesia yang secara hukum mewajibkan presiden
mengesahkan RUU yang sudah disepakati DPR dan pemerintah). Begitu
pula putusan hakim. Tidak jarang putusan hakim member pengertian lain
(baru) terhadap ketentuan UUD. Namun, perlu dicatat, pergeseran-
pergeseran kaidah hukum konstitusi oleh konvensi atau putusan hakim
semata-mata dimaksudkan untuk memperkuat sendi-sendi konstitusi atau
menjamin konstitusi tetap actual sebagai the living constituton. Bukan
sebaliknya, mematikan konstitusi.
Bagaimana dengan konstitusi tertulis di luar UUD (c.q. undang-
undang)? Apakah dapat menggeser sendi-sendi UUD? Sama sekali tidak
boleh. Seperti dikatakan Rudolf Von Jhering, setiap hukum bersumber pada
tujuan tertentu. UUD selain dibaut atas dasar sendi-sendi tertentu, juga
mempunyaihukum tertulis diluar UUD (seperti undang-undang) yang
menyimpangi sendi-sendi dan tujuan UUD, akan menyebabkan UUD
menjadi konstitusi mati (the dead constitution), bukan UUD yang actual (the
living constitution).
Secara akademis, ada yang disebut undang-undnag organik
(organic law). Undang-undang organik adalah undnag-undang yang
dibentuk atas perintah UUD. Disebut “organik” karena merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari UUD, tidak boleh bertentang dengan
UUD. UUD 1945 Tergolong dalam Konstitusi yang Bersifat Kaku (rigid)
Sebelum UUD 1945 di amandemen sebanyak empat kali, persyaratan yang
ditetapkan untuk mengubah UUD 1945 adalah “cukup berat”. Hal ini bisa
dilihat dari bunyi pasal 37. Ada dua syarat yang ditentukan dalam pasal
yaitu:
1. syarat kehadiran atau forum: sekurang-kurangnya 2/3 dari seluruh
jumlah anggota MPR harus hadir;
2. syarat sahnya keputusan: sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah yang
hadir harus menyetujui.
Setelah melalui proses amandemen, Undang-Undang Dasar 1945
tergolong konstitusi yang semakain rijid, karena selain tata cara
perubahannya yang tergolong sulit, juga dibutuhkan suatu prosedur
khusus . Melihat realitas dan kondisi Undang-Undang Dasar 1945,
sekalipun termasuk katagori konstitusi yang sulit dilakukan perubahan
tetapi apabila dicermati, terdapat peluang untuk melakukan suatu
perubahan terhadap Undang-Undang Dasar meskipun harus
menempuh jalan yang berat. Berikut ini merupakan prosedur dan
proses dalam melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar
1945 yang terdapa dalam Pasal 37 yang menyebutkan:
1. Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat
diagendakan dalam siding Majelis Permusyawaratan Rakyat
apabila diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar
diajukan secara tertulis dan ditunjukan dengan jelas bagian yang
diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3. Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, siding
Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat,
4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar
dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh
persen ditambah satu anggoota dari seluruh anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
5. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak dapat dilakukan perubahan.
Pasal 37 Undang-Undang Dasar tersebut mengandung 4 (Empat)
norma dasar, yaitu;
1. Bahwa yang berwenang untuk melakukan perubahan Undang-
Undang Dasar adalah berada pada lembaga negara yang
bernama Majellis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
2. Perubahan hanya dapat dilakukan pada pasal-pasalnya saja
dalam arti selain pasalnya tidak dapat dilakukan perubahan
misalnya tentang pembukaaan dan bentuk negara (Pasal 37 ayat
5)
3. Usul perubahan dilakukan secara tertulis oleh sekurang-
kurangnya 1/3 jumlah dari anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
4. Untuk mengubah sekurang-kurangnya dihadiri oleh 2/3 jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan putusan unntuk
perubahan dilakukan dengan persetujuan lima puluh persen
ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
UUD 1945 PASCA AMANDEMEN

Undang-Undang Dasar 1945 adalah keseluruhan naskah yang


terdiri dari embukaan dan pasal-pasal (sesuai pasal II Aturan Tambahan
UUD 1945.Konsekuensinya, penjelasan tidak lagi menjadi bagian dari
UUD.Meskipun demikian, penjelasan memiliki fungsi yang penting dalam
rangka menjelaskan tentang norma yang terdapat dalam UUD 1945
sehingga seharusnya mengandung norma yang baru.
Penjelasan Umum, disebutkan bahwa UUD 1945 merupakan hukum
dasar. Dikaitkan dengan teorinya Hans Kelsen, “Stufentheorie”, atau
theorie vom Stufenaufbau-nya Hans Nawiasky Pembukaan mengandung
sejumlah tujuan negara dan dasar falsafah bernegara yaitu Pancasila.
Posisi Pancasila dalam UUD adalah sebagai norma dasar suatu negara
(Staatsfundamentalnorm), yang memberikan landasan bagi Aturan Dasar.
Sedangkan materi yang terdapat dalam pasal-pasal UUD 1945 merupakan
Grundgezetze, norma dasar yang memiliki kekuatan mengikat kepada
norma-norma hukum peraturan perundang-undangan, atau menggariskan
tatacara membentuk peraturan perundang-undangan secara Umum. Hal ini
ditunjukkan dalam pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004. Dengan demikian, UUD
1945 memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada peraturan perundang-
undangan yang lainnya.
Dalam pasal 3, mengatur tentang kewenangan MPR baik tentang
kewenangan mengubah dan menetapkanUUD. Meskipun MPR bukan
lembaga tertinggi Negara lagi namun MPR merupakan lembaga perwakilan
(parlemen) yang oleh konstitusi diberi wewenang untuk mengubah dan
menetapkan UUD. Pembentukan UUD kewenangannya tidak diberikan
kepada lembaga legislatif karena lembaga legislatif hanya memiliki
kewenangan dalam membentuk UU dan kedudukan UU di bawah UUD.
Sedangkan untuk prosedur amandemen yang diatur dalam pasal 37
terdapat prosedur khusus dengan ketentuan yang lebih kompleks. Dalam
hal substansi perubahan/amandemen masih terdapat kesamaan dengan
UUD 1945 pra amandemen, yaitu mutlak tidak diperbolehkan untuk
merubah/mengamandemen pembukaan UUD 1945, karena didalamnya
terdapat falsafah negara yang merupakan dasar Negara. Selain itu, ada hal
lain yang tidak boleh diganti yaitu bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia (pasal 37 ayat 5)). Dan ketentuan yang lebih spesifik diatur
dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
UUD 1945 pasca amandemen lebih bersifat rigid. Hal ini
dikarenakan persepsi penguasa yang sepakat untuk lebih mengkultuskan
UUD 1945 sebagai kesatuan pemikiran dari mayarakat untuk memilih
sesuatu yang ideal dalam hal-hal tertentu yang direfleksikan didalamnya.
Selain itu, nilai historis yang terkandung dalam UUD 1945 membuatnya
sebagai konstitusi memiliki kandungan rigiditas. UUD 1945 tidak lg
dipandang sebagai peraturan perundang-undangan saja melainkan
merupakan wibawa daripada suatu bentuk Hukum tertinggi dari suatu
negara.Berdasarkan uraian di atas, UUD 1945 pasca amandemen bersifat
conditional, superior dan rigid.

DAFTAR PUSTAKA

Copyright 2013 By varia hukumhttp://variahukum.blogspot.com/2014/08/konstitusi-rigid-dan-


fleksibel.html konstitusi rigid dan fleksibel.

Naskah UUD 1945 pasal 37 Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai