Anda di halaman 1dari 3

1. a).

Proses Pembentukan Hukum Adat secara sosiologis pada masyarakat suku


Batak adalah proses bagaimana bisa muncul dan berkembang sebuah peraturan yang di
anut oleh sekelompok masyarakat Batak yang kebanyakan hukum tersebut tidak tertulis
namun masyarakat Batak tersebut bisa tunduk dan patuh terhadap peraturan tersebut, dan
juga berasal dari kebiasaan-kebiasaan nenek moyang terdahulu yang tetap di anut oleh
masyarakat sekarang.

b). Secara Yuridis Hukum Adat Masyarakat Batak diwujudkan oleh ketentuan-ketentuan
atau aturan-aturan hukum yang saling berhubungan dan saling menentukan; Menata,
menyusun, mengatur tata tertib kehidupan masyarakat tertentu; Sah, berlaku dan juga
dibuat serta ditetapkan atas daya penguasa (authority, gezag) masyarakat yang
bersangkutan.

2. a). Berdasarkan hasil penelitian di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur,


menunjukkan bahwa hak mewaris anak angkat di dalam pewarisan menurut hukum adat
Sasak adalah sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Keadaan ini tidak berubah apabila
setelah diadakan pengangkatan anak dilahirkan anak kandung.
b). Menurut saya tidak, karena Kedudukan anak angkat dalam keluarga orang tua
angkatnya adalah sebagai anak kandung, sehingga berfungsi sebagai pelanjut keturunan
dan berkedudukan sebagai pewaris dan disejajarkan kedudukannya dengan anak
kandung. Dengan ketentuan anak angkat mewarisi harta warisan orang tua angkatnya
termasuk harta pusaka.

3. a). Tanah Ulayat Minangkabau dalam konsep kepemilikan termasuk dalam arti sempit
yaitu berupa harta kekayaan yang tergolong pusaka tinggi yang mempunyai kekuatan
berlaku ke dalam maupun keluar baik dapat dimanfaatkan oleh anggota masyarakatnya
ataupun diluar masyarakatnya dengan pemberian berupa “adat diisi limbago dituang”
dengan asas utama tanah ulayat tidak dapat dijual dan digadai kecuali dengan persetujuan
seluruh anggota adat dalam keadaan tertentu seperti “Mait terbujur di tengah rumah”,
“Rumah gadang ketirisan”, “Gadih gadang indak balaki”, atau “Membangkik batang
terandam”.
b). Dalam pengadaan tanah di wilayah ulayat yang diperuntukan untuk kepentingan
pembangunan jaringan pipa gas yang akan diselenggarakan oleh pemerintah dalam hal ini
bisa pemerintah pusat ataupun BUMN dan juga yang diselenggarakan oleh swasta
kesemua hal tersebut harus menilik pada peratuan perundang-undangan yang ada. Dalam
Pasal 18 UUPA yang berbunyi untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa
dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,
dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-
undang.

4. A) . Dalam menggunakan hukum adat sebagai rujukan oleh hakim dalam memutuskan suatu
perkara dengan melakukan konstruksi melalui nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat sebagaimana disebutkan oleh Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.
Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan nilai hukum
dan rasa keadilan masyarakat. Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Maka dari itu, hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan memiliki kekuatan untuk menggunakan hukum tidak
tertulis sebagai dasar memutus. Dalam putusan hakim atau jurtisprudensi, kriteria/ukuran ini
menjadi bahan pertimbangan para hakim dalam memberikan suatu putusan apakah hukum adat
itu sudah berubah berkembang atau masih tetap seperti hukum adat asli seperti apa yang
digambarkan di dalam literatur (doktrin) lama. Hal ini sangat berperan dalam menciut dan
berkembangnya hukum adat, oleh karena itu, penelitian terhadap perkembangan hukum adat
sebagai hukum yang hidup perlu dijadikan pedoman dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa
di pengadilan. Kalau dalam hukum adat juga berlaku secara prespektif, hukum adat menjadi
dasar bagi keputusankeputusanbadan-badanperadilanresmiatauperaturan perundang-
undangan, yang mengakui hukum adat sebagai dasarnya. Namun,sebaliknya juga membatasi
berlakunya hukum adat, misalnya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 atau dikenal dengan
undangUndang Pokok Agraria yang merupakan seperangkat kaidah hukum tertulis yang sah
secara yuridis, tetapi masih menjadi pernyataan tentang keefektifannya dalam masyarakat.
Hukum adat masih bersifat deksriptif, karena peraturan dalam hukum adat seperti
perundangundangan yang berlaku secara yuridis formal belum tentu dianggap adil, meskipun
hukum adat dianggap sebagai hukum yang hidup.Sebab, ada hukum adat yang diberlakukan
secara paksa oleh penguasa adat, ada hukum yang diberlakukan secara kolektif, ada yang secara
sukarela mentaati hukum adat oleh masyarakat.
b) . Suatu desa dapat memiliki kewenangan untuk membentuk aturan yang disesuaikan dengan
hukum adat. Pembentukan Peraturan Desa oleh Desa Adat dilaksanakan berdasarkan hak asal
usul dan hak tradisional yang diberikan oleh Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan
Pasal 110 UU Nomor 6 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa Peraturan Desa Adat disesuaikan
dengan hukum adat dan norma adat istiadat yang berlaku di Desa Adat sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dapat membuka peluang
pembatalan Peraturan Desa Adat secara sepihak oleh Pemerintah. Materi muatan Peraturan
Desa Adat yang sesuai dengan hukum adat, tidak menutup kemungkinan terdapat pertentangan
dengan perundang-undangan di atasnya. Perlu pengaturan mengenai parameter pengujian
Peraturan Desa Adat guna menghindari kesewenangan Pemerintah menggunakan kekuasaannya
membatalkan Peraturan Desa Adat. Pengakuan terhadap kesatuan Masyarakat Hukum Adat
(selanjutnya disingkat MHA) di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945) maupun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun
1945). Pasal 18 UUD 1945 tidak secara tegas mengatur tentang kesatuan Masyarakat Hukum
Adat. Pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat terdapat dalam UUD 1945, hanya terdapat
dalam Penjelasan Pasal 18 UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa: “Dalam teritoir Negara
Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen,
seperti marga, desa, dan negeri, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun
dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. “Negara Republik Indonesia
menghormati kedudukan daerah-daeraha istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang
mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut.” Terdapat
Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen dalam teritorial Indonesia yang pada
waktu itu disebutkan jumlahnya di Indonesia lebih kurang 250 daerah, seperti desa di jawa dan
bali, nagari di minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu
mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat
istimewa. Desa yang merupakan kesatuan masyarakat hukum, memiliki hak asal usul dan hak
tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan
mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. Atas dasar itu, kemudian
dibentuklah Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (disingkat UU No. 6 Tahun
2014). Dalam UU No. 6 Tahun 2014 diatur adanya Desa dan Desa Adat atau yang disebut dengan
nama lain. Dalam UU 6 Tahun 2014, Desa Adat diatur dalam Pasal 1 angka 1 yang menunjukan
bahwa desa sebagai kesatuan MHA dengan otonominya, memiliki kewenangan untuk
menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan berdasarkan susunan asli dan hak asal
usulnya. Pengaturan mengenai Desa Adat secara khusus berkaitan dengan hak asal usul
terutama dalam kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan hak asal usul
di dalamnya termasuk kewenangan untuk membentuk Peraturan Desa Adat. Kewenangan
membentuk Peraturan Desa ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 110 Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa (UU Nomor 6 Tahun 2014) sebagai kewenangan berskala lokal Desa,
yang menyatakan: “Peraturan Desa Adat disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat
istiadat yang berlaku di Desa Adat sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.” Frasa ‘sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan’ berdasarkan ketentuan Pasal 110 UU Nomor 6 Tahun 2014 di atas
bermakna bahwa Desa Adat berhak untuk membentuk Peraturan Desa Adat sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga untuk itu, maka Peraturan
Desa Adat perlu diawasi agar tidak bertentangan dengan peraturan perundangan.

Anda mungkin juga menyukai