Disusun Oleh :
Nur Adzant Aulia (H1A122067)
Sheila Natasha (H1A122233)
Aprilia Rahmawati (H1A122125)
Valerini Febriana (H1A122409
Anjar Wijaya (H1A122121)
Muhammad Bayu Saputra Puamimi (H1A122348)
1
Maria SW. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi,
Jakarta, Penerbit Buku Kompas, hal 38-39
jenis tanah, tidak hanya tanah agraris/pertanian, tetapi juga tanah
perkotaan, hutan, sawah, perkebunan, pertambangan, dan juga perairan.
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) ini menolak konsep staatsdomein
atau hak milik negara atas tanah. Dalam Penjelasan Umum Bagian II (2)
UUPA, dijelaskan bahwa pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak memberikan
hak pada negara untuk memiliki tanah, tetapi hanya memberikan hak
menguasai atas tanah. Menurut Penjelasan Umum tersebut, negara diberi
wewenang atau mandat oleh bangsa Indonesia untuk menguasai bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Pasal 2 ayat (2) UUPA mendefinisikan hak menguasai negara atas tanah
ini sebagai kewenangan negara untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkas.
UUPA memang mengakui bahwa hukum yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa di Indonesia adalah hukum adat sebagai hukum asli
rakyat Indonesia (pasal 5 dan Penjelasan Umum Bagian III (1) UUPA).
Dengan demikian, UUPA juga menerima konsep hak adat atas tanah yang
disebut sebagai hak ulayat. Hak ulayat menurut UUPA sama dengan
beschikkingsrecht yang menurut Van Vollenhoven dan para ahli hukum
adat lainnya dimaksudkan sebagai hak komunal/bersama dari masyarakat
adat untuk mengatur dan mengolah tanah mereka seisinya.2 Walau
demikian, perlu dicatat bahwa penerimaan hukum adat dan hak ulayat
dalam UUPA ini tidak dilakukan dengan sepenuh hati, melainkan dengan
persyaratan, yaitu hukum adat dan hak ulayat tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara, serta harus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah
Indonesia (pasal 2 ayat (4), pasal 3, pasal 5, Penjelasan Umum Bagian II
(3) UUPA).
UUPA mengatur bahwa hak atas tanah memiliki fungsi sosial (pasal
6). Hal ini menunjukkan sifat sosialisme dari Undang-undang ini. Oleh
karena itu, segala hak atas tanah dapat dicabut oleh negara untuk
kepentingan umum, bangsa dan negara dengan ganti rugi yang layak dan
menurut undang-undang.
2
Ibid, hal. 10
3
Nurhasana Ismail.1994. Mengkaji Ulang Konsep Tanah Negara, Hal. 4
bawah ini diberikan beberapa contoh regulasi pertanahan yang
memperluas kewenangan negara untuk memiliki tanah di Indonesia.
4
Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutan, pasal 2
5
Undang-undang Dasar 1945
Dengan Peraturan Pemerintah ini, Pemerintahan Soeharto memberikan
perlindungan yang luas kepada pemegang HPH, termasuk perlindungan
dari kemungkinan konflik yang muncul dari masyarakat adat yang
menguasai atau memiliki hutan ulayat. Pasal 6 ayat (3) Peraturan
Pemerintah No. 21/1970 bahkan membekukan hak ulayat masyarakat atas
hutan mereka yang sedang dikerjakan oleh pemegang HPH. Pembekuan
hak ulayat oleh pemerintah ini jelas melanggar mandat Hak Menguasai
Negara yang diberikan oleh Konstitusi.
6
Et Al Saafroedin Bahar, 1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei
1945- 22 Agustus 1945], edisi ke-3, Jakarta, Sekretariat Negara Republik Indonesi, Hal. 18
7
Tom G Palmer, 2012, The Origins of State and Government, Cato’s Letter, Vol. 10, No. 4, USA:
CATO Institute, Hal. 1-5
18 UUPA yang memberikan kewenangan kepada negara untuk mencabut
hak-hak rakyat atas tanah, dengan ganti rugi yang layak, untuk
kepentingan bangsa dan negara.
9
Elita Rahmi, 2010, Eksistensi Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) dan Realitas Pembangunan
Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 3
10
Urip Santoso, 2012, Kewenangan Pemerint ah Daerah Terhadap Hak Penguasaan Atas Tanah,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1, Hal 194
11
Parlindungan, A.P.,1993, Tanah yang Dikuasai oleh Negara, Hal 4
12
Urip Santoso, loc. Cit.
Nasional No. 9/ 1999, Peraturan Pemerintah No. 24/1997 tentang
Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah No. 40/1966, Peraturan
Pemerintah No. 36/1997, dan Undang-undang No. 21/1997 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Dalam peraturan-peraturan
tersebut hak pengelolaan atas tanah dimaksudkan sebagai hak publik yang
merupakan bagian dari hak menguasai negara atas tanah. Oleh karena itu,
walaupun peraturan-peraturan tersebut membolehkan pemerintah untuk
melibatkan pihak-pihak privat dalam mengelola dan mendayagunakan
tanah, akan tetapi tanah tersebut tetap harus digunakan untuk melayani
kepentingan umum, bukan untuk melayani kepentingan pribadi dari pihak-
pihak yang terlibat dalam pengelolaan tanah negara tersebut.
13
Urip Santoso, loc. Cit.
Sebagian besar tanah di Jawa, terutama di daerah perkotaan, telah
dialihkan ke perusahaan pengembang swasta oleh pemerintah daerah atau
lembaga pemerintah yang memegang hak pengelolaan atas tanah tersebut.
Sebagai contoh, pemegang hak atas 80 persen tanah di kota Tangerang
Selatan, yang termasuk kawasan Jakarta Raya, adalah perusahaan
pengembang privat atau perorangan. Tanah-tanah tersebut digunakan oleh
perusahaan pengembang untuk meningkatkan keuntungan perusahaan
mereka. Akhir-akhir ini, terjadi lonjakan harga rumah dan bangunan yang
tidak lagi terjangkau oleh rakyat banyak sebagai akibat praktek spekulan
atau investor yang menaikkan harga rumah secara tidak wajar. Perumahan
tidak lagi dibangun oleh perusahaan pengembang untuk kepentingan
publik tetapi untuk kepentingan investasi dan spekulasi guna meraup profit
yang setinggi-tingginya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa di era Reformasi, pemerintahan
Reformasi masih menggunakan interpretasi yang sama dengan
pemerintahan sebelumnya tentang hak negara atas tanah. Pemerintahan
Reformasi dalam prakteknya masih menginterpretasikan negara sebagai
pemilik atas tanah. Hal ini terbukti dari sejak era otonomi daerah banyak
pemerintah daerah yang secara masif mengambil tanah atau hutan dari
masyarakat adat di daerahnya dan memberikan izin atau konsesi kepada
perusahaan swasta untuk menggunakan tanah atau hutan tersebut guna
menghasilkan pendapatan daerah yang diperlukan pemerintah daerah yang
berkuasa. Hal ini mengakibatkan konflik pertanahan dan pelanggaran
HAM yang meluas di seluruh Indonesia. Selain itu, pemerintah di Jawa
sering mengalihkan tanah di bawah hak pengelolaan mereka kepada
perusahaan pengembang swasta yang membangun perumahan untuk
kepentingan para spekulan dan investor, bukan untuk kepentingan rakyat
umum.di era ini juga membuktikan bahwa tanah-tanah yang harusnya di
bawah hak negara yang bersifat publik telah berganti menjadi tanah di
bawah hak privat untuk kepentingan sektor privat dan bukan lagi untuk
kepentingan umum.
B. Konsep Hak Menguasai Negara dan Hubungan Hukum Antara Negara
dengan Bumi, Air, dan Ruang Angkasa
Sampai saat ini pengertian konsep hak menguasai negara tidak mempunyai
pengertian yang jelas dan tegas sehingga mepunyai penafsiran sesuai dengan
kepentingan yang berpetensi menimbulkan komplik dalam implementasinya.
Hal ini sebagimana dinyatakan oleh Ida Nurlinda bahwa:
Pengertian ”di kuasai” negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33
ayat (3) UUD 1945, tidak dijelaskan lebih rinci dalam penjelasan, baik
penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal . Hal ini
memungkinkan hak menguasai negara itu ditafsirkan atas berbagai
pemahaman, tergantung dari sudut padang dan kepentingan yang menafsirkan.
Hal senada dikemukakan pula oleh Abrar Saleng bahwa: HPN sebagai
konsep sampai saat ini belum mempunyai konsep serta makna yang jelas dan
tegas yang dapat diterima oleh semua pihak dalam hubungannya dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional, sehingga
mengundang banyak penafsiran yang berimplikasi kepada implementasinya.
Perbedaan implementasi ini baik dalam peraturan perundang-undangan
maupun dalam pelaksanaannya oleh departemen/instansi pemerintah terkait.
Akibatnya sering terjadi benturan atau komplik kepentingan dan kewenangan
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional14.
Sedangkan pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
”menguasai” berarti kedudukan berkuasa atas sesuatu atau memegang
15
kekuasaan atas sesuatu . Dengan demikian hak menguasai negara jika
dimaknai menurut pengertian kamus adalah kekuasaan negara atas sumber
daya alam Indonesia. Sehingga bila dihubungkan dengan penjelasan Pasal 2
ayat (1) UUPA yang secara khusus memberikan pengertian hak menguasai
atas tanah adalah dinyatakan : sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas
perkataan ”dikuasai”, dalam pasal ini akan tetapi adalah pengertian, yang
14
Abrar Saleng, 2007, Hukum Pertambangan, UII Press, Jakarta, hal. 2.
15
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Jakarta, 1988, hal. 467
memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa
Indonesia.
Dengan berpedoman pada penjelasan hak menguasai negara atas tanah
yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (1) UUPA negara sebagai organisasi
kekuasaan tertinggi seluruh rakyat Indonesia diberikan wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persedian dan
pemeliharaan;
b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari)
bumi, air dan ruang angkasa itu;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang
angkasa.
Maka secara filosofi dari makna hak menguasai negara atas sumber daya
agraria (tanah), memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur
pemanfaatan hak-hak atas tanah termasuk yang dikuasai oleh masyarakat.
Artinya kedudukan negara dalam mengurus dan mengatur hak-hak atas tanah
masyarakat terkait dengan kedudukan sebagai penguasa bukan sebagai
pemilik. Sebab pengertian antara dikuasai dengan ”dimiliki” mempunyai
konsekwensi yuridis sebagai pernah terjadi sebelum berlakunya UUPA.
Makna dimiliki mempunyai konsekwensi sama dengan pemaknaan asas
domein pada jaman penjajahan Belanda. Sehingga masyarakat dalam konsep
ini tidak ada yang dapat mempunyai hak milik, melainkan hanya hak pakai
saja. Dengan demikian akan bertentangan dengan asas hukum adat sebagai
dasar berlakunya hukum agraria (ingat pasal 5 UUPA). Sehingga tepat apa
yang ditegaskan oleh Boedi Harsono;
19
Maria SW. Soemardjono, 1998, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep
Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fajultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 5.
pengakuan terhadap hak orang lan itu harus dirumuskan secara tegas. didalam
peraturan perundangundangan.
20
. Maria SW. Soemardjono, Ibid hal. 6-7.
Konsekwensi dari hak menguasai negara, sebagaimana diatur dalam Pasal
2 UUPA tidak lain untuk mewujudkan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat
demi tercapainya kesejahteraan sosial sebagaimana cita-cita bangsa dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Jika tidak untuk mencapai
kesejahteraan rakyat, negara tidak mempunyai hak untuk menguasai tanah
sebagai hak bangsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 UUPA. Sehingga
tepat apa yang dinyatakan oleh Ida Nurlinda bahwa;
1. Segala bentuk pemanfaatn bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkadung didalamnya, harus secara nyata dapat meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;
2. Melindungi dan menjamin segala hak rakyat yang terdapat didalam dan
diatas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, dapat menghasilkan secara langsung atau dinikmati langsung
oleh rakyat;
3. Mencegah segala tindakan dari pihak mana punyang akan
menyebabkanrakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan
akses terhadap bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya21.
Ketiga aspek diatas harus selalu menjadi arahan atau acuan dalam
menentukan dan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi, air,
ruang angkasa, dan kekayaan alam yang etrkandung didalamnya. Hal ini
menyangkut segala kegiatan dari hulu sampai ke hilir sebagai satu kesatuan,
bukan sesuatu yang dapat dipilah-pilah. Tidak ada satu bagian yang terpisah
dari pengertian “dikuasai negara” dan “dipergunakan untuksebesarbesar
kemakmuran rakyat” bahkan semakin kehilir kegiatan itu akan semakin
21
Ida Nurlinda, Op Cit, hal. 63
menyentuh kepentingan rakyat banyak secara lebih nyata, yang memerlukan
jaminan dan perlindungan yang nyata pula22.
Terhadap hak menguasai Negara atas tanah yang mendapat amanah berupa
kewenangan mengatur pemanfaatan tanah sebagai hak bangsa, bahwa segala
tindakannya harus dapat mempertanggung jawabkan secara hukum. Sebagai
Negara hukum, hak menguasai Negara atas tanah kaitannya dengan tujuan
Negara memberikah hak dan kewenangan kepada Negara menguasai tanah
dalam rangka;
22
Bagir Manan dalam ida Nurlinda, Ibid,
sebagai hak bangsa terhadap tanah-tanah yang terdapat dalam suatu pulau
bukan hanya hak dari rakyat atau masyarakat dipulau tersebut.
2. Negara hendak mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia;
konsep ini berkaitan dengan hak penguasaan Negara atas tanah berkaitan
erat dengan Negara kesatuan Republik Indonesia, jika tanah tidak dalam
penguasaan Negara, maka masyarakat disuatu pulau akan mengklain
sebagai miliknya dan tidak dapat diganggu gugat oleh masyarakat (rakyat)
dari pulau lainnya.
3. Negara yang berkedaulatan rakyat; dalam konteks ini Negara sebagai
personifikasi dari seluruh rakyat berwenang mengatur penggunaan dan
pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Buku
Undang-Undang
Rahmi, Elita, 2010, Eksistensi Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) dan Realitas
Pembangunan Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 3.
Surat Kabar
Palmer, Tom G., 2012, The Origins of State and Government, Cato’s Letter, Vol.
10, No. 4, USA: CATO Institute.