Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH HUKUM AGRARIA

“HAK MENGUASAI NEGARA ATAS TANAH”


Dosen pengampuh:
Jumiati Ukkas, S.H., M.H.

Disusun Oleh :
Nur Adzant Aulia (H1A122067)
Sheila Natasha (H1A122233)
Aprilia Rahmawati (H1A122125)
Valerini Febriana (H1A122409
Anjar Wijaya (H1A122121)
Muhammad Bayu Saputra Puamimi (H1A122348)

Jurusan Ilmu Hukum


Fakultas Hukum
Universitas Halu Oleo
2022
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Konsep Hak Menguasai Negara Atas Tanah


Sebelum dan Sesudah Era Reformasi
1. Sebelum Kemerdakaan dan Sebelum Era Reformasi
Sebelum kemerdekaan Indonesia, negara Hindia Belanda memiliki
hak milik bersifat privat (domain) atas tanah. Tanah-tanah yang dimiliki
secara privat oleh negara Hindia Belanda dikategorikan sebagai tanah
negara. Di tahun 1870-an, pemerintah kolonial Hindia Belanda
mengundangkan beberapa perundangan di bidang agraria (Agrarisch
Besluit) yang mendeklarasikan kepemilikan negara atas tanah atau
Domeinverklaring. Agrarisch Besluit yang berisi Domeinverklaring ini
diundangkan seiring meningkatnya pembukaan usaha perkebunan
komersial Belanda, seperti perkebunan kopi, tembakau, teh, dan
sebagainya, di Hindia Belanda.
Dengan adanya Domeinverklaring tersebut, negara Hindia Belanda
menjadi pemegang hak milik atas tanah-tanah yang tidak berada di bawah
hak privat menurut hukum Belanda. Dengan kata lain, tanah yang tidak
ada alat bukti haknya menjadi tanah negara, termasuk tanah masyarakat
adat. Agrarisch Besluit yang berisi Domeinverklaring ini jelas melanggar
prinsip hukum adat yang memang tidak memiliki konsep bukti tertulis
untuk kepemilikan komunal atas tanah adat 1. Sebagai akibatnya, seluruh
tanah adat jatuh menjadi hak milik negara Hindia Belanda sehingga
pemerintah Hinda Belanda dapat menggunakannya untuk kepentingan
kolonialisme mereka.
Setelah kemerdekaan, berdasarkan pasal 33 ayat (3) Undang-
undang Dasar 1945, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno
mengundangkan Undang-undang No. 5/1960 tentang Undang-undang
Pokok Agraria untuk mengatur penggunaan dan kepemilikan atas seluruh

1
Maria SW. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi,
Jakarta, Penerbit Buku Kompas, hal 38-39
jenis tanah, tidak hanya tanah agraris/pertanian, tetapi juga tanah
perkotaan, hutan, sawah, perkebunan, pertambangan, dan juga perairan.
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) ini menolak konsep staatsdomein
atau hak milik negara atas tanah. Dalam Penjelasan Umum Bagian II (2)
UUPA, dijelaskan bahwa pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak memberikan
hak pada negara untuk memiliki tanah, tetapi hanya memberikan hak
menguasai atas tanah. Menurut Penjelasan Umum tersebut, negara diberi
wewenang atau mandat oleh bangsa Indonesia untuk menguasai bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Pasal 2 ayat (2) UUPA mendefinisikan hak menguasai negara atas tanah
ini sebagai kewenangan negara untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkas.

Singkatnya, menurut UUPA, hak menguasai negara atas tanah berarti


hak negara untuk mengatur dan mengelola tanah, bukan hak untuk
memiliki tanah. Konsep UUPA ini dipengaruhi oleh konsep hukum adat
yang tidak mengakui hak milik individual yang absolut/mutlak atas tanah,
dan hanya mengakui hak komunal atas tanah.

UUPA memang mengakui bahwa hukum yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa di Indonesia adalah hukum adat sebagai hukum asli
rakyat Indonesia (pasal 5 dan Penjelasan Umum Bagian III (1) UUPA).
Dengan demikian, UUPA juga menerima konsep hak adat atas tanah yang
disebut sebagai hak ulayat. Hak ulayat menurut UUPA sama dengan
beschikkingsrecht yang menurut Van Vollenhoven dan para ahli hukum
adat lainnya dimaksudkan sebagai hak komunal/bersama dari masyarakat
adat untuk mengatur dan mengolah tanah mereka seisinya.2 Walau
demikian, perlu dicatat bahwa penerimaan hukum adat dan hak ulayat
dalam UUPA ini tidak dilakukan dengan sepenuh hati, melainkan dengan
persyaratan, yaitu hukum adat dan hak ulayat tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara, serta harus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah
Indonesia (pasal 2 ayat (4), pasal 3, pasal 5, Penjelasan Umum Bagian II
(3) UUPA).

UUPA mengatur bahwa hak atas tanah memiliki fungsi sosial (pasal
6). Hal ini menunjukkan sifat sosialisme dari Undang-undang ini. Oleh
karena itu, segala hak atas tanah dapat dicabut oleh negara untuk
kepentingan umum, bangsa dan negara dengan ganti rugi yang layak dan
menurut undang-undang.

Enam tahun setelah UUPA diundangkan, pemerintahan Presiden


Soekarno digantikan oleh pemerintahan militer di bawah Jendral Soeharto.
Untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia yang tidak
berkembang di bawah Soekarno, pemerintahan Soeharto memperluas
peranan negara dari hanya sebagai “pemegang kuasa” menjadi “pemilik”
atas tanah, khususnya tanah-tanah yang tidak memiliki sertifikat atau tidak
memiliki alat-alat bukti alas hak lainnya. Pemerintah menyebut tanah-
tanah ini sebagai Tanah Negara Bebas3 yang berarti dapat digunakan
dengan bebas oleh negara, terutama untuk kepentingan pembangunan.

Walaupun mereka selalu menyatakan menjunjung Konstitusi dan


UUPA, akan tetapi pemerintahan Soeharto sering menerbitkan regulasi
yang secara implisit maupun eksplisit memperluas kewenangan negara
untuk memiliki tanah di Indonesia. Hal ini bisa terjadi dengan mudah
mengingat pemerintahan Soeharto mendapat dukungan militer yang
menguasai perlemen maupun pemerintahan dari pusat sampai daerah. Di

2
Ibid, hal. 10
3
Nurhasana Ismail.1994. Mengkaji Ulang Konsep Tanah Negara, Hal. 4
bawah ini diberikan beberapa contoh regulasi pertanahan yang
memperluas kewenangan negara untuk memiliki tanah di Indonesia.

Pada tahun 1967 pemerintahan Soeharto mengundangkan Undang-


undang No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.
UU Pokok Kehutanan ini menggunakan istilah “Hutan Negara” untuk
hutan-hutan yang berada di atas tanah yang tidak dapat dibuktikan hak
miliknya (hak milik privat). Di samping itu, UU Pokok Kehutanan ini juga
memasukkan hutan ulayat milik masyarakat hukum adat ke dalam kategori
Hutan Negara4. Hal ini menurut penulis disebabkan Pemerintah
menganggap hak milik komunal tidak sama kedudukan hukumnya dengan
hak milik privat yang dikenal dalam sistem hukum perdata Barat.
Sehingga Pemerintah lebih memberikan perlindungan hukum kepada hak-
hak privat, termasuk hak milik, daripada hak komunal (beschikkingsrecht
atau hak ulayat) yang tidak dikenal dalam sistem hukum perdata Barat.
Setelah kemerdekaan, hukum Indonesia memang lebih didominasi oleh
hukum peninggalan pemerintah Hindia Belanda sebagai akibat dari
pelaksanaan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang berbunyi “Segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.5

Pada tahun 1970, pemerintahan Soeharto menerbitkan peraturan


pelaksana dari UU Pokok Kehutanan No. 5/1967, yaitu Peraturan
Pemerintah No. 21/1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak
Pemungutan Hasil Hutan. Sesuai judulnya, Peraturan Pemerintah ini
menerbitkan alas hak baru atas tanah yang disebut “Hak Pengusahaan
Hutan” dan “Hak Pemungutan Hasil Hutan”. Kedua hak atas tanah ini oleh
masyarakat biasanya disingkat sebagai HPH. Menurut Peraturan
Pemerintah ini, negara dapat memberikan HPH kepada perusahaan milik
negara, perusahaan swasta, dan perusahaan joint-venture.

4
Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutan, pasal 2
5
Undang-undang Dasar 1945
Dengan Peraturan Pemerintah ini, Pemerintahan Soeharto memberikan
perlindungan yang luas kepada pemegang HPH, termasuk perlindungan
dari kemungkinan konflik yang muncul dari masyarakat adat yang
menguasai atau memiliki hutan ulayat. Pasal 6 ayat (3) Peraturan
Pemerintah No. 21/1970 bahkan membekukan hak ulayat masyarakat atas
hutan mereka yang sedang dikerjakan oleh pemegang HPH. Pembekuan
hak ulayat oleh pemerintah ini jelas melanggar mandat Hak Menguasai
Negara yang diberikan oleh Konstitusi.

Dalam hal ini jelas pemerintahan Soeharto telah mengabaikan fakta


bahwa masyarakat adat dengan hak ulayat mereka telah ada dan eksis jauh
sebelum negara Indonesia terbentuk. Sewaktu mereka dimasukkan
menjadi bagian dari negara Indonesia, hak mereka yang sudah eksis
sebelum Indonesia terbentuk tidak dapat dihapus dengan sewenang-
wenang oleh negara Indonesia. Para bapak pendiri bangsa telah mengakui
serta memberikan perlindungan atas keberadaan masyarakat adat dalam
sidang-sidang persiapan kemerdekaan Indonesia. Dukungan dan
perlindungan mereka atas keberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya
terekam dengan baik dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)6 dan juga dalam
Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Oleh karena itu, seharusnya Pemerintah
tidak dapat mencabut hak ulayat dan tanah masyarakat adat secara
sepihak.7

Selanjutnya, di tahun 1993 Pemerintahan Soeharto menerbitkan


Keputusan Presiden No. 55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Keputusan
Presiden ini diterbitkan sebagai peraturan pelaksana bagi pasal 6 UUPA
yang mengatur bahwa hak milik atas tanah berfungsi sosial, dan bagi pasal

6
Et Al Saafroedin Bahar, 1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei
1945- 22 Agustus 1945], edisi ke-3, Jakarta, Sekretariat Negara Republik Indonesi, Hal. 18
7
Tom G Palmer, 2012, The Origins of State and Government, Cato’s Letter, Vol. 10, No. 4, USA:
CATO Institute, Hal. 1-5
18 UUPA yang memberikan kewenangan kepada negara untuk mencabut
hak-hak rakyat atas tanah, dengan ganti rugi yang layak, untuk
kepentingan bangsa dan negara.

Banyak ahli hukum yang mengkuatirkan Keputusan Presiden


(Keppres) ini akan melegitimasi kedudukan negara sebagai pemilik atas
tanah di Indonesia. Pemerintahan militer Soeharto, baik di tingkat provinsi
atau daerah selalu memiliki posisi tawar yang lebih kuat dibandingkan
rakyat pemegang hak atas tanah untuk memutuskan jenis dan jumlah ganti
rugi atas pengambil-alihan tanah demi pembangunan. Kekuatiran para ahli
hukum ini dikarenakan Keppres tersebut merujuk kepada Undang-undang
No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-Benda
yang Ada Diatasnya. UU Pencabutan Hak Atas Tanah yang masih berlaku
sampai sekarang ini menentukan bahwa ganti rugi kepada pemegang hak
atas tanah ditetapkan sepihak oleh pemerintah walaupun pemerintah
diwajibkan untuk melakukan perundingan dengan para pemegang hak atas
tanah tersebut. Menurut UU ini para pemegang hak atas tanah yang tidak
bersedia menerima ganti rugi yang ditetapkan oleh pemerintah dapat
mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, walaupun proses banding
tersebut tidak akan menghentikan pencabutan hak atas tanah mereka oleh
pemerintah.

Dalam prakteknya, setelah pemerintah melakukan pencabutan hak atas


sebidang tanah dan benda-benda di atasnya, pemerintah memasang tanda
bertuliskan “Tanah Ini Milik Negara” di atas tanah tersebut 8. Tanda yang
bertuliskan “Tanah Ini Milik Negara” menunjukkan bahwa pemerintahan
Soeharto masih memiliki konsep staatsdomein atas tanah di Indonesia,
seperti pemerintahan Hindia Belanda.

Tanah-tanah yang telah dicabut haknya oleh pemerintah dan diambil


oleh pemerintah ini statusnya berubah menjadi “Tanah Negara”. Tanah
negara ini pada umumnya kemudian dikelola oleh instansi atau lembaga
8
Nurhasana Ismail, loc. cit
pemerintah yang diberi “hak pengelolaan” untuk menjadikan tanah
tersebut bermanfaat bagi kepentingan publik seperti jalan tol, perumahan
rakyat, pelabuhan, dan sebagainya. Akan tetapi dalam kenyataannya
banyak lembaga pemerintah yang memiliki hak pengelolaan atas tanah
negara tersebut tidak dapat menjalankan hak pengelolaannya karena
berbagai alasan9, salah satunya tidak adanya anggaran pemerintah 10,
ditambah tidak mendaftarkan tanah-tanah tersebut sebagai tanah di bawah
11
hak pengelolaan pemerintah . Sebagai akibatnya, tanah-tanah tersebut
berubah statusnya menjadi tanah terlantar. Hal ini menunjukkan bahwa
pemerintah telah mengabaikan mandat yang diberikan oleh pasal 33 UUD
1945 untuk mengurus dan mengatur tanah demi kemakmuran rakyat.

Walau pasal 11 UU Pencabutan Hak Atas Tanah No. 20/1961


menyebutkan bahwa pemerintah harus mengembalikan tanah yang sudah
dibebaskan kepada pemegang hak asal jika tidak dapat menggunakan
tanah sesuai rencana pembangunannya, akan tetapi dalam kenyataannya
banyak lembaga pemerintah yang memilih untuk mengalihkan hak
pengelolaan tanah mereka kepada perusahaan-perusahaan swasta yang
dapat mengusahakan tanah tersebut untuk menghasilkan keuntungan.
Pengalihan tanah dari lembaga pemerintah ke perusahaan-perusahaan
swasta pada umumnya dilakukan berdasarkan kontrak keperdataan seperti
kontrak jual-beli, Build Operate Transfer12, atau ruislag.

Hak Pengelolaan memang tidak dikenal dalam UUPA No. 5/1960.


Akan tetapi Presiden Soeharto beserta menteri-menterinya sering
menerbitkan peraturan-peraturan terkait Hak Pengelolaan atas tanah,
seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6/1972, Peraturan Menteri
Agraria No. 1/1966, Peraturan menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan

9
Elita Rahmi, 2010, Eksistensi Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) dan Realitas Pembangunan
Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 3
10
Urip Santoso, 2012, Kewenangan Pemerint ah Daerah Terhadap Hak Penguasaan Atas Tanah,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1, Hal 194
11
Parlindungan, A.P.,1993, Tanah yang Dikuasai oleh Negara, Hal 4
12
Urip Santoso, loc. Cit.
Nasional No. 9/ 1999, Peraturan Pemerintah No. 24/1997 tentang
Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah No. 40/1966, Peraturan
Pemerintah No. 36/1997, dan Undang-undang No. 21/1997 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Dalam peraturan-peraturan
tersebut hak pengelolaan atas tanah dimaksudkan sebagai hak publik yang
merupakan bagian dari hak menguasai negara atas tanah. Oleh karena itu,
walaupun peraturan-peraturan tersebut membolehkan pemerintah untuk
melibatkan pihak-pihak privat dalam mengelola dan mendayagunakan
tanah, akan tetapi tanah tersebut tetap harus digunakan untuk melayani
kepentingan umum, bukan untuk melayani kepentingan pribadi dari pihak-
pihak yang terlibat dalam pengelolaan tanah negara tersebut.

Hanya saja dalam prakteknya, dengan alasan bahwa mereka tidak


sanggup untuk mengelola tanah yang berada di bawah hak
pengelolaannya, banyak lembagalembaga pemerintahan yang mengalihkan
tanah-tanah tersebut ke pihak privat dan selanjutnya mengizinkan pihak
privat, seperti perusahaan real estate untuk memiliki hak
privat/keperdataan atas tanah-tanah tersebut. Dengan demikian, di era
Pemerintahan Soeharto hak pengelolaan yang seharusnya bersifat hak
publik berubah menjadi hak privat bagi kepentingan pihak yang
menggunakan tanah tersebut.

Hal ini mengakibatkan sebagian besar tanah terutama di perkotaan alas


haknya dipegang oleh perusahaan-perusahaan swasta. Christianto
Wibisono, ahli ekonomi Indonesia, mencatat bahwa 10 (sepuluh)
konglomerat menguasai sekitar 600 kilometer persegi tanah di kota atau
area sekitar Jakarta. Sepuluh konglomerat ini membangun komplek
perumahan mewah termasuk padang golf yang jelas-jelas bukan untuk
kepentingan umum.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terjadi evolusi atau


perkembangan konsep hak negara atas tanah mulai dari zaman Hinda
Belanda. pemerintahan Soekarno dan selanjutnya pemerintahan Soeharto.
Di zaman Hindia Belanda, negara mempunyai hak milik (domein) atas
tanah. Setelah kemerdekaan di zaman Pemerintahan Soekarno, UUD 1945
dan UUPA menghapus konsep staatsdomein atas tanah dan hanya
memberikan kepada negara hak menguasai atas tanah. Akan tetapi
sewaktu Presiden Soeharto menggantikan Presiden Soekarno,
pemerintahannya memperluas peranan negara dari “pemegang hak
menguasai” menjadi “pemilik” atas tanah-tanah yang tidak memiliki alat
bukti hak.

Uraian di atas juga membuktikan bahwa hak menguasai negara atas


tanah telah dimaknai secara keliru oleh pemerintah, dan hak menguasai
negara atas tanah semakin tereduksi di Indonesia, digantikan dengan hak
privat individual atas tanah karena pemerintah lalai dalam menjalankan
hak pengelolaannya atas tanah negara.

2. Setelah Era Reformasi


Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto di tahun 1998, Indonesia
memasuki era pemerintahan Reformasi yang ditandai terutama dengan
iklim kebebasan sosial dan politik, berkurangnya dominasi pemerintah
pusat, dan berkembangnya otonomi daerah. Sudah ada 4 (empat) presiden
selama era pemerintahan Reformasi ini. Walaupun telah banyak peraturan
perundang-undangan tentang tanah yang diterbitkan selama era
pemerintahan Reformasi, baik yang baru maupun yang bersifat
amandemen, konsep pemerintah tentang hak negara atas tanah masih
serupa dengan konsep pemerintahan sebelum era Reformasi.
Perbedaannya hanyalah di era pemerintahan Reformasi, yang
melaksanakan hak menguasai negara atas tanah adalah pemerintah-
pemerintah daerah (pemda) di Indonesia. Hal ini sebagai akibat dari
pelaksanaan otonomi daerah di bidang pemerintahan dan keuangan setelah
era Reformasi (lihat UU No. 22/1999 yang telah diganti dengan UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25/1999 yang telah
diganti dengan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah).
Untuk meningkatan pendapatan daerah, sebagian besar pemda di Indonesia
memaksimalkan penggunaan tanah di daerah mereka untuk mengambil
sumber daya alam mereka, seperti mineral, tambang, dan minyak kelapa
sawit. Pada umumnya, pendapatan yang diperoleh dari sumber daya alam
tersebut digunakan untuk mendukung kepentingan politik pemerintah
daerah yang sedang berkuasa.
Mengingat banyak penduduk di pulau-pulau di luar Jawa terdiri
dari masyarakat adat, maka tanah dan hutan mereka hanya dilindungi
dengan hak ulayat saja, bukan dengan sertifikat atau alat bukti lainnya.
Oleh karena itu, sebagian besar tanah dan hutan di luar Jawa jatuh menjadi
tanah atau hutan negara bebas.
Berdasarkan hak menguasai negara atas tanah, maka baik
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat memberikan izin atau
konsesi kepada perusahaan-perushaan swasta untuk menggunakan tanah
dan hutan negara tersebut. Pemerintah daerah di Indonesia pada umumnya
menerbitkan kuasa pertambangan mineral dan batu-bara, serta izin lokasi
dan izin usaha perkebunan kelapa sawit kepada perusahan-perusahaan
swasta, sedangkan pemerintah pusat biasanya menerbitkan izin
pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan.
Sementara itu di Jawa, tanah-tanah yang berada di bawah hak
pengelolaan pemerintah daerah atau lembaga pemerintah sering dialihkan
ke perusahaan swasta dengan memberikan alas hak keperdataan seperti,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, kepada mereka.13 Dengan
mengalihkan tanah-tanah yang seharusnya berada di bawah hak
pengelolaan pemerintah kepada perusahaan swasta, pemerintah telah
membuat tanah milik publik menjadi tanah privat yang digunakan untuk
kepentingan perusahaan privat, bukan untuk kepentingan publik.

13
Urip Santoso, loc. Cit.
Sebagian besar tanah di Jawa, terutama di daerah perkotaan, telah
dialihkan ke perusahaan pengembang swasta oleh pemerintah daerah atau
lembaga pemerintah yang memegang hak pengelolaan atas tanah tersebut.
Sebagai contoh, pemegang hak atas 80 persen tanah di kota Tangerang
Selatan, yang termasuk kawasan Jakarta Raya, adalah perusahaan
pengembang privat atau perorangan. Tanah-tanah tersebut digunakan oleh
perusahaan pengembang untuk meningkatkan keuntungan perusahaan
mereka. Akhir-akhir ini, terjadi lonjakan harga rumah dan bangunan yang
tidak lagi terjangkau oleh rakyat banyak sebagai akibat praktek spekulan
atau investor yang menaikkan harga rumah secara tidak wajar. Perumahan
tidak lagi dibangun oleh perusahaan pengembang untuk kepentingan
publik tetapi untuk kepentingan investasi dan spekulasi guna meraup profit
yang setinggi-tingginya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa di era Reformasi, pemerintahan
Reformasi masih menggunakan interpretasi yang sama dengan
pemerintahan sebelumnya tentang hak negara atas tanah. Pemerintahan
Reformasi dalam prakteknya masih menginterpretasikan negara sebagai
pemilik atas tanah. Hal ini terbukti dari sejak era otonomi daerah banyak
pemerintah daerah yang secara masif mengambil tanah atau hutan dari
masyarakat adat di daerahnya dan memberikan izin atau konsesi kepada
perusahaan swasta untuk menggunakan tanah atau hutan tersebut guna
menghasilkan pendapatan daerah yang diperlukan pemerintah daerah yang
berkuasa. Hal ini mengakibatkan konflik pertanahan dan pelanggaran
HAM yang meluas di seluruh Indonesia. Selain itu, pemerintah di Jawa
sering mengalihkan tanah di bawah hak pengelolaan mereka kepada
perusahaan pengembang swasta yang membangun perumahan untuk
kepentingan para spekulan dan investor, bukan untuk kepentingan rakyat
umum.di era ini juga membuktikan bahwa tanah-tanah yang harusnya di
bawah hak negara yang bersifat publik telah berganti menjadi tanah di
bawah hak privat untuk kepentingan sektor privat dan bukan lagi untuk
kepentingan umum.
B. Konsep Hak Menguasai Negara dan Hubungan Hukum Antara Negara
dengan Bumi, Air, dan Ruang Angkasa
Sampai saat ini pengertian konsep hak menguasai negara tidak mempunyai
pengertian yang jelas dan tegas sehingga mepunyai penafsiran sesuai dengan
kepentingan yang berpetensi menimbulkan komplik dalam implementasinya.
Hal ini sebagimana dinyatakan oleh Ida Nurlinda bahwa:
Pengertian ”di kuasai” negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33
ayat (3) UUD 1945, tidak dijelaskan lebih rinci dalam penjelasan, baik
penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal . Hal ini
memungkinkan hak menguasai negara itu ditafsirkan atas berbagai
pemahaman, tergantung dari sudut padang dan kepentingan yang menafsirkan.
Hal senada dikemukakan pula oleh Abrar Saleng bahwa: HPN sebagai
konsep sampai saat ini belum mempunyai konsep serta makna yang jelas dan
tegas yang dapat diterima oleh semua pihak dalam hubungannya dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional, sehingga
mengundang banyak penafsiran yang berimplikasi kepada implementasinya.
Perbedaan implementasi ini baik dalam peraturan perundang-undangan
maupun dalam pelaksanaannya oleh departemen/instansi pemerintah terkait.
Akibatnya sering terjadi benturan atau komplik kepentingan dan kewenangan
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional14.
Sedangkan pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
”menguasai” berarti kedudukan berkuasa atas sesuatu atau memegang
15
kekuasaan atas sesuatu . Dengan demikian hak menguasai negara jika
dimaknai menurut pengertian kamus adalah kekuasaan negara atas sumber
daya alam Indonesia. Sehingga bila dihubungkan dengan penjelasan Pasal 2
ayat (1) UUPA yang secara khusus memberikan pengertian hak menguasai
atas tanah adalah dinyatakan : sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas
perkataan ”dikuasai”, dalam pasal ini akan tetapi adalah pengertian, yang

14
Abrar Saleng, 2007, Hukum Pertambangan, UII Press, Jakarta, hal. 2.
15
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Jakarta, 1988, hal. 467
memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa
Indonesia.
Dengan berpedoman pada penjelasan hak menguasai negara atas tanah
yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (1) UUPA negara sebagai organisasi
kekuasaan tertinggi seluruh rakyat Indonesia diberikan wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persedian dan
pemeliharaan;
b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari)
bumi, air dan ruang angkasa itu;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang
angkasa.

Maka secara filosofi dari makna hak menguasai negara atas sumber daya
agraria (tanah), memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur
pemanfaatan hak-hak atas tanah termasuk yang dikuasai oleh masyarakat.
Artinya kedudukan negara dalam mengurus dan mengatur hak-hak atas tanah
masyarakat terkait dengan kedudukan sebagai penguasa bukan sebagai
pemilik. Sebab pengertian antara dikuasai dengan ”dimiliki” mempunyai
konsekwensi yuridis sebagai pernah terjadi sebelum berlakunya UUPA.
Makna dimiliki mempunyai konsekwensi sama dengan pemaknaan asas
domein pada jaman penjajahan Belanda. Sehingga masyarakat dalam konsep
ini tidak ada yang dapat mempunyai hak milik, melainkan hanya hak pakai
saja. Dengan demikian akan bertentangan dengan asas hukum adat sebagai
dasar berlakunya hukum agraria (ingat pasal 5 UUPA). Sehingga tepat apa
yang ditegaskan oleh Boedi Harsono;

Mencarikan sumber dan landasan tugas bagi kewenangan negara dalam


melaksanakan tugas kenegaraannya pada hak kepemilikan negara atas tanah
bukanlah konsepsinya hukum tata negara modern. Melainkan kerupakan
konsepsi hukum tata negara feodal, yang sudah lama ditinggalkan, baik dalam
praktik maupun dalam teori hukum16.

Berdasarkan pendapat tersebut, maka negara Indoesia sebagai sebuah


negara hukum modern mengakui adanya hak penguasaan negara dalam rangka
melaksanakan hubungan hukum langsung antara negara dengan bumi, air dan
ruang angkasa sebagaimana dimaknai oleh Notonegoro yang menetapkan
adanya tiga macam bentuk hubungan sebagai berikut:

1. Negara sebagai subjek, diberi kedudukan tidak sebagai perorangan tetapi


sebagai negara. Dengan demikian, negara sebagai badan kenegaraan,
badan yang publiekrechtelijk. Dalam bentuk ini negara tidak mempunyai
kedudukan yang sama dengan perorangan.
2. Negara sebagai obyek, yang dipersamakan dengan perorangan sehingga
hubungan antara negara dengan bumi dan lain sebagainya itu ”sama”
dengan hak perorangan atas tanah.
3. Hubungan antara negara ”langsung” dengan bumi dan sebagainya tidak
sebagai subjek perorangan dan tidak dalam kedudukannya sebagai negara
yang memiliki, tetapi sebagai negara yang menjadi personifikasi dari
seluruh rakyat sehingga dalam konsep ini negara tidak lepas dari rakyat.
Negara hanya menjadi pendiri dan pendukung kesatuan-kesatuan rakyat.17

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sudah jelas bahwa makna dikuasai


oleh negara pengertiannya berbeda dengan dimiliki serta tidak serupa dengan
asas domein sebagamana era penjajahan Belanda. Hak mengauasai negara atas
sumber daya agraria sebagaiman dinyatakan dalam UUPA merupakan
pemberian wewenang kepada negara sebagai personifikasi dari seluruh rakyat
Indonesia, berkuasa untuk mengatur pemanfaatan hak-hak atas tanah untuk
memberikan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

C. Makna Substansi Hak Menguasai Tanah Oleh Negara


16
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undangundang Pokok
Agraria, Isi Dan pelaksanaannya, Jembatan, Jakarta, hal. 268
17
Ida Nurlinda , 2009, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, Hal 55-56
Makna hakikat menguasai Negara atas tanah sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, telah memberikan kewenangan pengaturan
pemanfaatan hak-hak atas tanah baik secara luas maupun secara terbatas pada
hak-hak tertentu (hak milik). Artinya dalam hal-hal khusus Negara berperan
aktif sebagai penguasa mengatur dan mengurus penggunaan tanah sesuai
dengan wewenangnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Iman Soetiknjo
bahwa Negara mempunyai kewenangan baik kedalam maupun keluar yaitu ;
a. Membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan
penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya untuk keperluan yang bersifat politis, ekonomis,
dan sosial (Pasal 14 ayat (1) UUPA), sedangkan pemerintah daerah juga
harus membuat perencanaannya sesuai dengan rencana pemerintah pusat
(Pasal 14 ayat (2) UUPA).
b. Menentukan adanya macammacam hak atas permukaan bumi yang dapat
diberikan dan dipunyai oleh perorangan (baik sendiri maupun
bersamasama)/badan hukum (Pasal 4 UUPA). Hal ini berarti bahwa bagi
perorangan/ badan hukum tertentu dimungkinkan mempunyai hak milik
atas tanah.
c. Berusaha agar sebanyak mungkin orang mempunyai hubungan dengan
tanah, dengan menentukan luas maksimum tanah yang boleh
dimiliki/dikuasai perorangan (Pasal 7 dan 17 UUPA), mengingat tiap-tiap
WNI mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak
atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri
maupun keluarganya (Pasal 9 ayat (2) UUPA).
d. Menentukan bahwa setiap orang/badan hukum yang mempunyai suatu hak
atas tanah, mengusahakan tanah itu sendiri, dengan beberapa perkecualian
(Pasal 10 UUPA). Hal ini untuk menjaga jangan sampai ada tanah absente.
e. Berusaha agar tidak ada tanah telantar dengan menegaskan bahwa semua
hak atas tanah berfungsi sosial, dan mencegah kerusakannya merupakan
kewajiban siapa saja yang mempunyai hak atas tanah (Pasal 6 dan Pasal 15
UUPA).
f. Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Misalnya hak
guna usaha, hak guna bangunan, sewamenyewa, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 16 UUPA.
g. Mengatur pembukaan tanah, pemungutan hasil hutan (Pasal 46 UUPA)
dan penggunaan air dan ruang angkasa (Pasal 47,48 UUPA).
h. Mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air,
dan ruang angkasa (Pasal 8 UUPA).
i. Mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia,
untuk menjamin kepastian hukum (Pasal 19 UUPA).

Selanjutnya kewenangan negara keluar dapat melakukan sebagai berikut :

a. Menegaskan bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan


ruang angkasa dalam wilayah Indonesia sebagai kaeunia Tuhan Yang
Maha Esa, dan karenanya bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3) UUPA). Hal ini
berarti hubungan tersebut tidak dapat diputus oleh siapa pun.
b. Menegaskan bahwa orang asing (bukan WNI) tidak dapat mempunyai
hubungan penuh dan kuat dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di wilayah Indonesia. Hanya WNI yang dapat
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dan terkuat di seluruh wilayah
Indonesia (Pasal 21 UUPA)18

Sedangkan menurut SW. Soemardjono bahwa :

“...di Indonesia, dalam konsep negara menguasai, negara yang


memperoleh kewenangan dari seluruh rakyat (bangsa) Indonesia, diberi
kedudukan sebagai badan penguasa yang pada tingkatan tertinggi berwenang
untuk mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan
mengatur hubungan pemenfaatan dan perbuatan hukum berkenaan dengan
tanah. Sebagai penerima kuasa, maka segala tindakan negara yang berkaitan
dengan pembuatan kebijakan dan pengawasan atas terlaksananya segala
18
Iman Soetiknjo, 1994, Politik Agraria Nasional (Hubungan Manusia Dengan Tanah Yang
Berdasarkan Pancasila, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 51- 52
peraturan dan kebijaksanan itu harus dipertanggungjawabkan kepada
masyaraka19.

Melihat pendapat kedua pakar hukum tersebut, maka dapat dimaknai


bahwa hak menguasai oleh negara atas tanah, merupakan pendelegasian
kewenangan oleh seluruh rakyat kepada negara sebagai organisasi kekuasaan
tertinggi untuk mendapatkan pengaturan dan pelayanan. Pendelegasian
wewenang tersebut merupakan asas dalam hukum adat yang diangkat pada
tingkatan tertinggi dalam hukum positif, khususnya hukum tanah nasional
dengan mengingat asas hukum tanah berdasarkan pada asas hukum adat.
Dalam hukum adat penguasaan hak atas tanah diserahkan kepada ketua adat
untuk memelihara dan mengatur pemanfaatan dan penggunaan tanah dalam
wilayah ulayatnya.

Perwujudan hak menguasai negara atas tanah, maka negara (pemerintah)


dalam melakukan kewenangannya harus berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Karena tindakan yang dilakukan negara yang tidak
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
dianggap sebagai pemilik atas tanah bukan lagi sebagai memegang mandat
hak menguasai negara. Sehingga sangat tepat apa yang dinyatakan oleh Maria
SW Soemardjono bahwa;

Kewenangan negara mengatur itu dibatasi oleh dua hal:

Pertama, pembatasannya oleh Undang-undang dasar. Pada prinsipnya hal-


hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hak-
hak dasar manusia yang dijamin oleh undangundang dasar. Misalnya, suatu
peraturan tidak boleh bias terhadap kepentingan suatu pihak, terlebih jika hal
tersebut menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Bahwa apabila karena
sesuatu hal seseorang harus melepaskan hak atas tanahnya, maka ia berhak
memperoleh perlindungan hukum yang adil atas pengorbanannya itu. Prinsip

19
Maria SW. Soemardjono, 1998, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep
Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fajultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 5.
pengakuan terhadap hak orang lan itu harus dirumuskan secara tegas. didalam
peraturan perundangundangan.

Kedua, pembatasan yang bersifat substantib. Dalam kaitan ini pertanyaan


yang harus dijawab adalah, apakah peraturan yang dibuat itu relevan dengan
tujuannya?. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) UUPA, maka semua peraturan
pertanahan harus ditujukan untuk terwujudnya sebesar-besar kemakmuran
rakyat, sedangkan ruang lingkup pengaturan pertanahan dibatasi oleh Pasal 2
ayat (2) UUPA. Samping relevansi, maka kewenangan pembuatan kebijakan
tidak dapat didelegasikan kepada organisasi swasta. Mengapa demikian ?.
Karena yang diatur itu berkaitan dengan kesejahteraan umum yang syarat
dengan misi pelayanan. Pihak swasta merupakan bagian dari masyarakat yang
ikut diwakili kepentingannya dan oleh karena itu tidak dimungkinkan untuk
mengatur karena hal itu akan menimbulkan komplik kepentingan20.

Pandangan diatas telah memberikan pemaknaan yang jelas mengenai hak


menguasai negara atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA adalah untuk
memberikan pelayanan kepada seluruh masyarakat yang membuthkan akses
terhadap tanah. Tanah sebagai sumber daya alam langkah jika tidak diatur
oleh negara dalam hal pemanfaatan dan pengelolaannya akan banyak
menimbulkan persoalan-persoala dalam masyarakat. Mengingat tanah
dibutuhkan oleh semua orang yang keberadaannya sangat-sangat terbatas akan
menjadi sumber komplik jika tidak ada kewenangan untuk mengatur yang
dimiliki. negara. Negara sebagai pemilik kewenangan akan mengatur
pemilikan dan penguasaan hak-hak atas tanah dalam masyarakat. Agar hak-
hak atas tanah yang di miliki maupun dikuasai oleh masyarakat dalam
pemenfaatannya tidak membawa atau berdampak merugikan pihakatau
masyarakat lainnya, justru sebaliknya yang dikehendaki pemilikan dan
penguasaan tanah diharapkan memberikan sebesar-besarnya manfaat kepada
sebanyak-banyaknya orang.

20
. Maria SW. Soemardjono, Ibid hal. 6-7.
Konsekwensi dari hak menguasai negara, sebagaimana diatur dalam Pasal
2 UUPA tidak lain untuk mewujudkan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat
demi tercapainya kesejahteraan sosial sebagaimana cita-cita bangsa dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Jika tidak untuk mencapai
kesejahteraan rakyat, negara tidak mempunyai hak untuk menguasai tanah
sebagai hak bangsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 UUPA. Sehingga
tepat apa yang dinyatakan oleh Ida Nurlinda bahwa;

Keterkaitan kaidah ”hak menguasai negara” dengan ”sebesar-besarnya


kemakmuran rakyat” akan menimbulkan kewajiban negara sebagai berikut:

1. Segala bentuk pemanfaatn bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkadung didalamnya, harus secara nyata dapat meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;
2. Melindungi dan menjamin segala hak rakyat yang terdapat didalam dan
diatas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, dapat menghasilkan secara langsung atau dinikmati langsung
oleh rakyat;
3. Mencegah segala tindakan dari pihak mana punyang akan
menyebabkanrakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan
akses terhadap bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya21.

Sedangkan Bagir Manan menyatakan bahwa:

Ketiga aspek diatas harus selalu menjadi arahan atau acuan dalam
menentukan dan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi, air,
ruang angkasa, dan kekayaan alam yang etrkandung didalamnya. Hal ini
menyangkut segala kegiatan dari hulu sampai ke hilir sebagai satu kesatuan,
bukan sesuatu yang dapat dipilah-pilah. Tidak ada satu bagian yang terpisah
dari pengertian “dikuasai negara” dan “dipergunakan untuksebesarbesar
kemakmuran rakyat” bahkan semakin kehilir kegiatan itu akan semakin

21
Ida Nurlinda, Op Cit, hal. 63
menyentuh kepentingan rakyat banyak secara lebih nyata, yang memerlukan
jaminan dan perlindungan yang nyata pula22.

Dalam konteks pernyataan diatas, khusus yang berkaitan dengan


permasalahan pertanahan, maka sifat dan hakikat hak menguasai Negara atas
tanah adalah berkaitan dengan membangun, mengatur, memelihara dan
memanfaatkan tanah dalam rangka memberikan manfaat sebesarbesarnya dan
sebanyak-banyaknya untuk kepentingan rakyat. Mengingat keterbatasan tanah
dan banyaknya yang membutuhkan tanah, sehingga Negara dengan hak
menguasai dapat memanfaatkan semaksimal dan se-efisien mungkin sesuai
dengan tujuan dan ketentuan UUPA. Sebagai wujud hak menguasai Negara
atas tanah, Negara dituntut kewenangannya untuk mewujudkan kesejahteraan
dan keadilan bagi seluruh rakyat dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Kewenangan Negara dalam memanfaatkan hak menguasai Negara atas


tanah, akan terlaksana apabila Negara tidak menyalahgunakan kewenangan
yang diberikan oleh rakyat. Sebagai Negara hukum, dalam menjalankan
kekuasaan yang diemban dan dipercayakan rakyat selalu berlandaskan pada
aturan hukum. Sehingga rakyat juga selalu akan taat dan patuh pada aturan
hukum yang berlaku atas segala aktivitas dalam pemanfaatan hak-hak atas
tanah yang dikuasinya.

Terhadap hak menguasai Negara atas tanah yang mendapat amanah berupa
kewenangan mengatur pemanfaatan tanah sebagai hak bangsa, bahwa segala
tindakannya harus dapat mempertanggung jawabkan secara hukum. Sebagai
Negara hukum, hak menguasai Negara atas tanah kaitannya dengan tujuan
Negara memberikah hak dan kewenangan kepada Negara menguasai tanah
dalam rangka;

1. “Negara” melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah


Indonesia, dengan berdasar pada persatuan; ini artinya sumber daya tanah

22
Bagir Manan dalam ida Nurlinda, Ibid,
sebagai hak bangsa terhadap tanah-tanah yang terdapat dalam suatu pulau
bukan hanya hak dari rakyat atau masyarakat dipulau tersebut.
2. Negara hendak mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia;
konsep ini berkaitan dengan hak penguasaan Negara atas tanah berkaitan
erat dengan Negara kesatuan Republik Indonesia, jika tanah tidak dalam
penguasaan Negara, maka masyarakat disuatu pulau akan mengklain
sebagai miliknya dan tidak dapat diganggu gugat oleh masyarakat (rakyat)
dari pulau lainnya.
3. Negara yang berkedaulatan rakyat; dalam konteks ini Negara sebagai
personifikasi dari seluruh rakyat berwenang mengatur penggunaan dan
pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Tujuan hak penguasaan Negara sebagaimana dituangkan dalam Pasal 2


UUPA dalam rangka memberikan sebesar-besarnya kemakmuran untuk
sebanyak-banyak orang, dapat dimaknai bahwa kemakmuran dalam hal ini
bukan hanya dalam artian materil tetapi dimaknai bahwa pemilikan dan
penguasaan tanah oleh orang perorang tidak saling melanggar hak masing-
masing. Sehingga hak kekuasaan Negara merupakan kekuasaan yang dimiliki
oleh Negara atau kekuasaan yang dijalankan oleh Negara, merupakan tugas
khusus yang dimiliki Negara sebagai pemilik kewenangan.

Kekuasaan atau tugas Negara sebagai pemilik kewenangan mengatur


sehubungan dengan hak tersebut oleh Ronald Z Titahelu disimpulkan sebagai
berikut:

a. Hubungan antara Negara dengan tanah adalah berupa:


1. Kekuasaan yang lahir berdasarkan kedaulatan, yang terutama
dilaksanakan terhadap pihak luar Indonesia baik pribadi maupun
Negara;
2. Kekuasan yang lahir berdasarkan kekuasaan dari rakyat, dimana
Negara sebagi “terriroriaale publiekerechtsgemeenshcapvan everheid
en onderdanen” memiliki karakter sebagai suatu lembaga sehingga
terhadapnya diberi wewenang atau kekuasaan untuk mengatur secara
intern.
3. Kekuasaan yang dijalankan oleh Negara adalah kekuasaan yang
didasarkan pada keyakinan dan moral terhadap Tuhan dan terhadap
manusia, khusus warganya, didalam keluhuran harkat dan
martabatnya, secara hukum, kekuasaan yang dijalankan oleh Negara
melalui pemerintah adalah kekuasaan yang didasarkan pada asasasas
hukum umum yakni keseimbangan hak dan kewajiban;
4. Kekuasaan yan dijalankan Negara member dasar bagi tercapainya
tujuan-tujuan hukum yaitu:
a. adil, dalam arti keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia;
b. Bermanfaat memenuhi kebutuhan manusia secara damai dan adil;
c. Kepastian hukum, karena kepentingan dan kamanfaatan secara
formal diwujudkan dalam hukum, sehingga menjadi hukum
Negara, cara-cara perwujudan secara formal mengartikan dua hal
yitu pengakuan materiil terhadap nilai keamanusian, dan perlakuan
secara formal melalui permusyawaratan perwakilan berlandaskan
hikmakebijaksaan.
b. Hubungan antara orang perseorangan, keluarga dan masyarakat dengan
tanah adalah berupa:
1. Hubungan kepunyaan (bukan milik), sebab tanah merupakan karunia
Tuhan;
2. kekuasaan untuk menjalankan hubungan kepunyaan itu dilakukan
dalam hak dan kewajiban yang berimbang; hak yang diartikan sebagai
kemampuan dan kecakapan untuk melakukan apa yang secara bebas
boleh dilakukannya, juga diimbangi dengan kewajiban yaitu
kemampuan dan kecakapan untuk melakukan apa yang harus
dilakukan.
Tanpa adanya pengaturan hak menguasai Negara sebagaimana dalam
Pasal 2 UUPA, maka hak dan penguasaan tanah akan terjadi monopoli dari
sebagian orang saja (tidak terkendali). Dimana Negara dengan kekuasaan
yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dapat membuat regulasi-
regulasi yang mengatur pemilikan dan penguasaan tanah oleh masyarakat
baik perorangan maupun badan hukum. Dengan demikian penguasaan dan
pemilikan hak atas tanah tidak terjadi penumpukan pada masyarakat tertentu
saja (masyaraka ekonomi kuat), sebab ada pembatasan oleh hukum berlaku.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bahar, Saafroedin, et al. (edit).1995.Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-


Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945- 22 Agustus 1945]. edisi ke-
3. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Harsono, Boedi, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-


undang Pokok Agraria, Isi Dan pelaksanaannya. Jembatan: Jakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan


Republik Indonesia, Jakarta.

Nurlinda, Ida. 2009. Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum.


Rajawali Pers: Jakarta.

Saleng, Abrar,2007. Hukum Pertambangan. UII Press: Yogyakarta.

Soetiknjo, Iman. 1994. Politik Agraria Nasional (Hubungan Manusia Dengan


Tanah Yang Berdasarkan Pancasila. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.

Sumardjono, Maria S.W.. 2005. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan


Implementasi. Penerbit Buku Kompas: Jakarta.

Undang-Undang

Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok


Agraria.

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok


Kehutanan

Undang-Undang Dasar 1945


Jurnal

Rahmi, Elita, 2010, Eksistensi Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL) dan Realitas
Pembangunan Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 3.

Santoso, Urip, 2012, Kewenangan Pemerint ah Daerah Terhadap Hak


Penguasaan Atas Tanah, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1.

Surat Kabar

Ismail, Nurhasan, Mengkaji Ulang Konsep Tanah Negara, KOMPAS, 21 Juni


1994.

Parlindungan, A.P., Tanah yang Dikuasai oleh Negara, KOMPAS, 24 September


1993

Palmer, Tom G., 2012, The Origins of State and Government, Cato’s Letter, Vol.
10, No. 4, USA: CATO Institute.

Sumardjono, Maria S.W .1998, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam


Konsep Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 12 April,
Yogyakarta, 1998.

Anda mungkin juga menyukai