GURU BESAR PRODI ILMU PEMERINTAHAN FISIP UNPAD, 12 Oktober 2019 RUANG LINGKUP
MASA PENJAJAHAN BELANDA
MASA PENJAJAHAN JEPANG PASCA KEMERDEKAAN NKRI SAM- PAI 24 SEPTEMBER 1960 (SAAT BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK AGRARIA ATAU LEBIH DIKENAL DENGAN UUPA). DUALISME
Ada dua perangkat Hukum Tanah yang berlaku
bersamaan di suatu negara. Di satu pihak diatur oleh Hukum Barat in casu Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan di pihak lain diatur oleh Hukum Adat. Hukum Tanah Barat mengatur hubungan-hubungan hukum (hak-hak penguasaan) atas sebagian tanah- tanah di Indonesia (yang disebut tanah-tanah Hak Barat). Hukum Tanah Adat mengatur hak-hak penguasaan atas sisa tanah di luar Tanah Barat (yang disebut Tanah Indonesia). Politik Hukum Hindia Belanda
Berdasarkan Pasal 163 Indische
Staatsregeling (IS), penduduk yang ada di Hindia Belanda dahulu terbagi ke dalam tiga golongan yaitu: Golongan Eropa Golongan Timur Asing Golongan Indonesia Asli (Bumi Putera) Inti Pasal 131 IS (yang sebelumnya diatur dalam Pasal 75 Regeringsreglement (RR))
Untuk golongan Eropa dianut perundang-
undangan yang berlaku di Negeri Belanda (konkordansi). Untuk golongan Bumi Putera dan Timur Asing, jika ternyata kebutuhan masyarakat menghendakinya maka dapatlah peraturan- peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku baik seluruhnya maupun sebagian. Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka digunakan hukum adat yang berlaku di daerahnya. SIFAT POLITIK AGRARIA BARAT
Sifat politik agraria barat berjiwa liberal
individualis. Mengapa berjiwa liberal individualis? Karena revolusi Perancis itu adalah suatu revolusi borjuis yang berjiwa liberal individualistis. Sedangkan BW berasal dari Code Civil Perancis, maka mudah difahami pasti politik agraria barat itu berjiwa liberal individualis. Contohnya pasal 570 BW tentang hak eigendom dimana kepentingan pribadilah yang menjadi pedoman bukan kepentingan masyarakat. Sistem Hukum Adat mempunyai 4 sifat :
Religio magis. Komunal: lebih mementingkan kepentingan umum. Kontan: langsung. Konkret: kelihatan. Bushar Muhammad menyebutnya participerend kosmish
Orang Indonesia pada dasarnya berfikir serta merasa
dan bertindak didorong oleh kepercayaan (religi) pada tenaga-tenaga yang gaib (magis) yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta (dunia kosmos) dan yang terdapat pada orang, binatang, tumbuh- tumbuhan besar dan kecil, benda –lebih-lebih benda yang berupa dan berbentuk luar biasa--, dan semua tenaga-tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan. Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari kosmos, dari keseluruhan hidup jasmaniah dan rohaniah “participatie” dan keseimbangan itulah yang senantiasa harus ada dan terjaga dan apabila terganggu harus dipulihkan. Lihat Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta : Pradnya Paramita, 1986, hal.54. Sejarah Agrarische Wet (AW)
Pada zaman Belanda, politik pertanahan kolonial
tercantum dalam Agrarische Wet (S 1870 – 55), yang pada pokoknya berisi : tanah yang tersedia untuk diusahakan oleh pengusaha asing untuk memenuhi pasaran dunia, kepentingan rakyat asli jangan diganggu. Agrarische Wet (AW) dibuat di negeri Belanda pada tahun 1870 yang diundangkan dalam S 1870 –55 sebagai tambahan ayat-ayat baru pada Pasal 62 Regeling Reglement (RR) tahun 1854. Semula Pasal 62 RR terdiri dari 3 ayat, dengan tambahan 5 ayat baru oleh AW maka Pasal 62 RR jadi 8 ayat. Kemudian Pasal 62 RR ini menjadi Pasal 51 Indische Staatsregeling (IS) pada tahun 1925. Domein Verklaring
Berdasarkan Pasal 1 Agrarisch Besluit (S.
1870 – 118), “semua tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai hak eigendom, adalah tanah milik (domein) negara”. Pernyataan ini disebut sebagai Algemeen Domeinbeginsel atau Algemeen Domeinverklaring yang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia menjadi Asas Umum tanah negara atau pernyataan umum tanah negara. Pendirian Pemerintah kolonial, yang dianggap tidak termasuk tanah negara : 1. tanah-tanah derah Swapraja; 2.tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain menurut Pasal 570 BW ; misalnya pekarangan-pekarangan eigen-dom di kota-kota; 3.tanah-tanah partikelir (particuliere land- erijen); 4.tanah-tanah hak eigendom agraria (agra- risch eigendom). Pernyataan Cornelis van Vollenhoven
Pernyataan Pemerintah itu tidak adil
terhadap Bangsa Indonesia. Memang dalam realisasinya tanah-tanah bangsa Indonesia seperti tanah komunal, yasan, sawah-sawah dan lain-lain yang menurut Wet termasuk Tanah Negara, namun Negara tidak menguasai tanah-tanah itu. Sedangkan yang dapat diberikan oleh Negara kepada orang lain hanyalah tanah kosong. DUA ALIRAN
Aliran pertama adalah Leidshce School yang dipelopori
oleh Prof. Mr. C. van Vollenhoven dan di lain pihak terdapat aliran Utrechtse School, terkenal karena paham- paham kolonialnya. Kedua aliran ini berpusat pada masing- masing universitas yang terdapat di dua kota Negeri Belanda. Rechtshoge school di Jakarta ternyata telah mengikuti jejak dari Leidshce School, karena Ter Haar adalah murid dari van Vollenhoven. Aliran van Vollenhoven mempertahankan bahwa hak-hak adat juga terdapat pada tanah-tanah liar tersebut, sedangkan aliran Utrechtse School mengatakan sebaliknya. Teori domein ternyata tidak mengakui adanya hak-hak masyarakat desa (hak ulayat) untuk mengusahakan tanah hutan dan tanah liar dalam daerahnya masing-masing. Tanah-tanah Negara dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
tanah negara yang bebas (vrij
landsdomein), artinya tanah yang tidak terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia. Contoh : hak ulayat. tanah negara yang tidak bebas (onvrij landsdomein), artinya tanah yang terikat dengan hak- hak bangsa Indonesia. Politik Agraria Masa Penjajahan Jepang.
Menurut A.P. Parlindungan, pendudukan Jepang
atas bumi Indonesia pada kenyataannya telah mempercepat proses reorientasi dari hukum pertanahan di Indonesia. Walaupun disadari status quo yang ada tidak mengubah sama sekali dualisme yang sedang berjalan, tetapi ada satu hal yang cukup penting dilakukan Jepang saat itu, yaitu pengawasan peralihan hak yang hanya dapat dilakukan dengan suatu izin tertentu. Dan kelihatannya karena ada dimensi pengawasannya, masalah izin inilah yang sampai sekarang dalam berbagai hal masih dipertahankan. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1972. Politik Agraria dari Tahun 1945 – 1960.
Menurut Iman Soetiknjo, antara tahun 1945 –
1960 dapat dikatakan belum ada politik agraria nasional, walaupun PPKI pada tanggal 18-8-1945 menetapkan berlakunya”UUD RI”. Sekalipun sudah jelas bahwa politik agraria kolonial harus dirubah secara total dan diganti dengan politik agraria nasional, namun dalam kurun waktu antara 1945-1960 hal demikian itu belum mungkin diadakan, sebab pada waktu itu pemerintah RI menghadapi dua masalah pokok yang harus diselesaikan berbarengan, yaitu : Keluar harus mempertahankan kedaulatan negara terhadap usaha Belanda yang ingin kembali menjajah, sekaligus memperjuangkan pengakuan kedaulatan Negara RI dari dunia internasional. Kedua harus menyusun aparatur dan administrasi pemerintahan menurut UUD; menjalankan roda pemerintahan supaya keadaan tetap tertib, teratur dan tidak timbul kekacauan, di samping melancarkan kehidupan ekonomi negara yang menjadi tulang punggung perjuangan. Pendek kata, semua tenaga, pikiran dan dana dikerahkan untuk kepentingan perjuangan yang bersifat fisik maupun diplomatik dalam menghadapi musuh-musuh dari luar.