Anda di halaman 1dari 47

Bentuk Negara Pembahasan bentuk negara merupakan pembahasan tentang; dalam bentuk apa organisasi itu menjelma dalam

masyarakat. Pembahasannya dalam tulisan ini terbagi dalam tiga segi peninjauan, yaitu pembagian bentuk negara menurut Arsitoteles, pembagian dua bentuk negara menurut Machiavelli, serta menurut Strong. Secara tradisional ada tiga bentuk negara, yaitu monarki, aristokrasi, dan politea yang telah dikemukakan oleh Arisototeles. Teori yang dikemukakannya juga disebut sebagai teori revolusi bentuk negara dan banyak diikuti oleh beberapa sarjana pada saat itu, antara lain Polybios. Selanjutnya Machiavelli mengemukakan dua macam bentuk negara, yaitu monarki dan republik. Terhadap teori Machiavelli ini beberapa sarjana mengemukakan kriteria-kriteria tertentu terhadap bentuk negara monarki dan republik. Para sarjana kemudian mengadakan pembahasan masalah bentuk negara berdasar bentuk negara yang sebenarnya. Pembahasan terbagi dalam tiga sudut peninjauan, yaitu teori yang mengutamakan bentuk pemerintahan dari bentuk negara. Jadi pembahasan sudah bergeser pada masalah bentuk pemerintahan yang merupakan segi struktur atau isi dari suatu organisasi negara.. Sedangkan masalah bentuk negara merupakan peninjauan segi sosiologis, yaitu melihat negara sebagai suatu kebulatan (ganzhei). Peninjauan yang kedua menyatakan bahwa bentuk negara adalah demokrasi dan diktatur. Sedangkan yang terakhir adalah teori yang mengemukakan lima kriteria untuk bentuk negara oleh Strong.

Menurut Aristoteles Aristoteles membagi bentuk negara berdasarkan teori kuantitas, yaitu bentuk negara yang berdasarkan jumlah orang yang memerintah, serta teori kualitas yang berdasarkan kualitas orang yang memerintah. Berdasarkan teori kuantitasnya, Arsitoteles membagi bentuk negara menjadi 3, yaitu monarki/kerajaan, aristokrasi, politea. Monarki / kerajaan adalah sebuah pemerintahan oleh satu orang untuk kepentingan rakyatnya. Menurut Aristotele, bentuk pemorosotan dari pemerintahan ini adalah tirani atau diktator. Aristokrasi adalah pemerintahan oleh beberapa orang untuk kepentingan umum. Misalnya ahli-ahli filsafat, cendikiawan, serta para bangsawan. Bentuk pemerosotan dari pemerintahan ini adalah oligarki yang mendasarkan kepada golongan sendiri, serta pluktorasi di mana pemimpinnya memerintah hanya untuk kepentingan orang-orang kaya. Namun, Plato mempunyai pandangan berbeda dengan Aristoteles tentang

aristokrasi. Menurutnya, aristokrasi adalah pemerintahan yang dipegang oleh kaum cendikiawan yang dilaksanakan sesuai dengan pikiran keadilan. Politea adalah suatu pemerintahan oleh seluruh orang untuk kepentingan seluruh rakyat. Bentuk pemerosotannya adalah demokrasi di mana orang-orang yang memerintah tidak memerintah tidak tahu sama sekali tentang pemerintahan. Teori yang dikemukan oleh Arsitoteles tersebut disanggah oleh Polybios. Menurutnya, bentuk negara ideal yang ketiga bukan politea, melainkan demokrasi. Di mana bentuk pemerosotonnya adalah oklokrasi / mobokrasi yang pada akhirnya menuju anarki yakni suatu kondisi di mana pemerintahannya kacau balau. Menurutnya lagi, pada bentuk monarki apabila keturunan para penguasa telah melaksanakan tugas dengan sewenang-wenang dan mementingkan kepentingan sendiri, maka saat itu monarki telah bergeser menjadi oligarki. Demokrasi yang kacau akan berubah menjadi oklokras. Jika pemimpinnya dapat memerintah dengan baik serta mementingkan nasib rakyat, maka bentuk oklokrasi akan kembali pada bentuk awal yaitu negara monarki. Teori Dua Bentuk Negara Menurut Machiavelli Menurut Machiavelli, bentuk negara hanya ada dua, yaitu republik (respublica) dan monarki (principati). Negara dalam hal ini merupakan hal yang pokok (genus) dan spesiesnya adalah republic dan monarki. Para sarjana kemudian menentukan ukuran tertentu untuk menentukan bentuk negara monarki dan republik. Georg Jellinek mengatakan bahwa ukuran untuk menentukan bentuk negara monarki dan republic berdasar pada terjadinya kehendak negara (staatswill). Dalam perkembangannya, teori Jellinek sulit diterapkan. Karena pada jaman modern penentuan staatswill pada bentuk monarki tidak lagi ditentukan oleh satu orang. Leon Duguit menggunakan ukuran cara pengangkatan kepala negara untuk membedakan bentuk negara monarki dan republik. Apabila kepala negara diangkat secara turuntemurun maka bentuk negara adalah monarki. Sedangkan apabila kepala negara diangkat dengan cara dipilih maka bentuk negara adalah republik. Otto Koellrenter yang menggunakan ukuran berdasar atas kesamaan dan ketidaksamaan untuk membedakan bentuk negara monarki dan republik. Asas kesamaan adalah setiap warga mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin negara setelah memenuhi beberapa persyaratan. Sedangkan asas ketidaksaman artinya tidak setiap warga mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin negara, karena hanya

berdasar garis keturunan tertentu. Kriteria untuk menentukan bentuk negara sebenarnya tidak terlepas dari keadaan sekitarnya dan berdasar pada masa tertentu sehingga bersifat historis. Pada saat ini timbul beberapa pendapat yang tidak lagi berpegang pada bentuk-bentuk negara berdasar sejarah, tetapi berdasar pada bentuk negara yang sebenarnya yaitu melihat pada struktur atau isinya. Bentuk Negara Menurut Strong C.F. Strong mencoba memecahkan persoalan bentuk negara berdasarkan pada 5 kriteria. Pertama, dengan cara melihat bagaimana bangunan negaranya, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri (i) negara kesatuan yang tidak terdiri dari negara-negara bagian dan (ii) negara serikat yang terdiri dari negara-negara bagian. Pembedaan negara kesatuan dan negara serikat mempengaruhi organisasinya. Pada negara serikat, masih ada pembedaan dalam menentukan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah negara bagian. Namun, ada 2 cara penentuannya, yaitu (i) merumuskan dengan tegas wewenang negara bagian, selebihnya wewenang pemerintah pusat atau (ii) merumuskan dengan tegas wewenang pemerintah pusat, selebihnya wewenang pemerintah negara bagian.

Pada cara yang pertama, menurut Strong, negara serikat masih mendekati negara kesatuan (negara federal yang kurang murni), yaitu negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Di mana wewenang daerah swatantra sudah dirumuskan dengan tegas dan selebihnya termasuk wewenang pemerintah pusat. Kedua, dengan cara melihat bagaimana konstitusinya, apakah konsititusi itu diletakkan dalam suatu naskah tertentu atau tidak (tertulis atau tidak). Ada beberapa keuntungan konstitusi tertulis, yaitu (i) organisasi negara itu dapat terjamin, dalam arti tidak berubah sewaktu-waktu jadi tidak tunduk pada kehendak orang tertentu dan (ii) adanya pedoman tertentu untuk perkembangan lebih lanjut. Misalnya pada suatu pasal atau bab, sehingga pekembangannya bisa dikembalikan pada norma tertentu. Namun ada pula beberapa kelemahan tidak adanya naskah (konstitusi tidak tertulis). Misalnya dalam menentukan siapa yang berwenang menentukan bahwa kebiasaan yang baru dalam masyarakat yang merupakan hukum yang baru. Karena tidak adanya naskah tertentu, bagaimana kita dapat mengetahui adanya keadaan baru yang bertentangan dengan naskah itu. Di Inggris, hal ini dipecahkan dengan memberi wewenang kepada parlemen yang disebut Omnipotence, yaitu wewenang tertinggi di segala hal pada parlemen.

Ketiga, mengenai badan perwakilannya, bagaimana disusunnya, siapa yang berhak memegang kekuasaan itu. Keempat, mengenai badan eksekutif, apakah ia bertanggung jawab kepada parlemen atau tidak atau disebutkan badan eksekutif yang sudah pasti jangka waktu kekuasaannya. Kelima, bagaimana hukum yang berlaku. Republik Dalam pengertian dasar, sebuah republik adalah sebuah negara di mana tampuk pemerintahan akhirnya bercabang dari rakyat, bukan dari prinsip keturunan bangsawan. Istilah ini berasal dari bahasa Latin res publica, atau "urusan awam", yang artinya kerajaan dimilik serta dikawal oleh rakyat. Namun republik berbeda dengan konsep demokrasi. Terdapat kasus dimana negara republik diperintah secara totaliter. Misalnya, Afrika Selatan yang telah menjadi republik sejak 1961, tetapi disebabkan dasar apartheid sekitar 80% penduduk kulit hitamnya dilarang untuk mengikuti pemilu. Tentu saja terdapat juga negara republik yang melakukan perwakilan secara demokrasi. Konsep republik telah digunakan sejak berabad lamanya dengan republik yang paling terkenal yaitu Republik Roma, yang bertahan dari 509 SM hingga 44 SM. Di dalam Republik tersebut, prinsip-prinsip seperti anualiti (memegang pemerintah selama satu tahun saja) dan "collegiality" (dua orang memegang jabatan ketua negara) telah dipraktekkan. Dalam zaman modern ini, ketua negara suatu republik biasanya seorang saja, yaitu Presiden, tetapi ada juga beberapa pengecualian misalnya di Swiss, terdapat majelis tujuh pemimpin yang merangkap sebagai ketua negara, dipanggil Bundesrat, dan di San Marino, jabatan ketua negara dipegang oleh dua orang.

Republikanisme adalah pandangan bahwa sebuah republik merupakan bentuk pemerintahan terbaik. Republikanisme juga dapat mengarah pada ideologi dari banyak partai politik yang menamakan diri mereka Partai Republikan. Beberapa dari antaranya adalah, atau mempunyai akarnya dari anti-monarkisme. Untuk kebanyakan partai republikan hanyalah sebuah nama dan partai-partai ini, serta pihak yang berhubungan dengan mereka, mempunyai sedikit keserupaan selain dari nama mereka.

Republik dan konsep demokrasi Banyak yang berpendapat negara republik adalah lebih demokratik dari negara monarki. Namun itu semuanya sebenarnya bergantung kepada siapa yang memegang kuasa eksekutif. Pada hampir setengah negara-negara monarki, raja hanyalah sekedar lambang kedaulatan negara, dan perdana menteri lebih berkuasa dari raja. Monarki biasanya

bertakhta seumur hidup dan kuasanya akan diberi kepada saudara atau anak, atau dipilih mengikut peraturan yang ditetapkan. Banyak negara monarki adalah demokratik. Dari segi mana yang lebih demokratik, memang tak ada perbedaan yang jelas antara republik dan monarki. Di negara monarki, sering Perdana Menteri mempunyai kuasa eksekutif lebih besar dibanding rajanya, yang berkuasa dari segi adat istiadat saja. Dan ada juga kasus di beberapa republik dimana Presidennya memerintah secara totaliter. Misalnya, negara di bawah pimpinan Bokassa di Republik Afrika Tengah. Walau begitu, biasanya republik sering disamakan dengan demokrasi. Amerika Serikat misalnya dianggap sebagai simbol demokrasi. Monarki Monarki, berasal dari bahasa Yunani monos () yang berarti satu, dan archein () yang berarti pemerintah. Monarki merupakan sejenis pemerintahan di mana Raja menjadi Kepala Negara. Monarki atau sistem pemerintahan kerajaan adalah sistem tertua di dunia. Pada awal kurun ke-19, terdapat lebih 900 buah tahta kerajaan di dunia, tetapi menurun menjadi 240 buah dalam abad ke-20. Sedangkan pada dekade kelapan abad ke20, hanya 40 takhta saja yang masih ada. Dari jumlah tersebut, hanya empat negara mempunyai raja atau monarki yang mutlak dan selebihnya terbatas kepada sistem konstitusi. Perbedaan diantara raja dengan presiden sebagai kepala negara adalah raja menjadi kepala negara sepanjang hayatnya, sedangkan presiden biasanya memegang jabatan ini untuk jangka waktu tertentu. Namun dalam negara-negara federasi seperti Malaysia, raja atau agong hanya berkuasa selama 5 tahun dan akan digantikan dengan raja dari negeri lain dalam persekutuan. Dalam zaman sekarang, konsep monarki mutlak hampir tidak ada lagi dan kebanyakannya adalah monarki konstitusional, yaitu raja yang terbatas kekuasaannya oleh konstitusi. Monarki juga merujuk kepada orang atau institusi yang berkaitan dengan Raja atau kerajaan di mana raja berfungsi sebagai kepala eksekutif. Monarki demokratis atau dalam bahasa Inggris Elective Monarchy, berbeda dengan konsep raja yang sebenarnya. Pada kebiasaannya raja itu akan mewarisi tahtanya (hereditary monarchies). Tetapi dalam sistem monarki demokratis, takhta raja akan bergilir-gilir di kalangan beberapa sultan. Malaysia misalnya, mengamalkan kedua sistem yaitu kerajaan konstitusional serta monarki demokratis. Bagi kebanyakan negara, raja merupakan simbol kesinambungan serta kedaulatan negara tersebut. Selain itu, raja biasanya ketua agama serta panglima besar angkatan bersenjata sebuah negara. Contohnya di Malaysia, Yang di-Pertuan Agong merupakan ketua agama

Islam, sedangkan di Britania Raya dan negara di bawah naungannya, Ratu Elizabeth II adalah ketua agama Kristen Anglikan. Meskipun demikian, pada masa sekarang ini biasanya peran sebagai ketua agama tersebut adalah bersifat simbolis saja. Selain raja, terdapat beberapa jenis kepala pemerintahan yang mempunyai bidang kekuasaan yang lebih luas seperti Maharaja dan Khalifah.

NEGARA DAN KONSEP NEGARA MASA YUNANI KUNO Oleh : Agung Nugroho

Negara sebagai sebuah konsep dan ilmu begitu dinamis sepertihalnya ilmu-ilmu lain yang terus mengalami perubahan serta perkembangan. Seiring dengan perkembangan masyarakat, sebagai sebuah konsep atau ilmu, negara tak pernah terdefinisikan secara konstan dan pasti. Diantara para ilmuwan, atau bahkan ahli ilmu negara (ahli tata negara), definisi tentang negara selalu berbeda-beda. Semua bergantung dari cara pandang masing-masing pemikir (ahli). Ruang dan waktu juga mempengaruhi pengertian atau terminologi mengenai negara.

Perubahan-perubahan dalam masyarakat, mempengaruhi cara pandang pemikiran di seputar negara atau teori-teori mengenai negara, apakah sebagai sebuah entitas politik maupun kekuasaan. Meskipun demikian, diantara berbagai pendapat dan teori mengenai negara dari para ahli, tetap ada satu benang merah yang bisa ditarik sebagai unsur pokok dari sebuah negara. Secara sederhana ialah adanya variabilitas yang bersifat integratif atau satu-kesatuan utuh, bahwa unsur-unsur negara yang paling pokok ialah menyangkut dimensi geografis-teritorial, bahwa negara harus meliputi sebuah wilayah, kemudian

dimensi politik-kekuasaan, yakni adanya pemerintahan, serta dimensi demografis, penduduk atau warga negara.

Dimensi yuridis, seperti pengakuan (de facto dan de jure) secara internasional, merupakan faktor keempat yang pada perkembangan sejarah masyarakat dunia kekinian, hal itu menjadi salah satu unsur yang juga menjadi penting (pokok) bagi Negara. Pada masa kini, terbentuknya negara baru harus memperoleh pengakuan internasional, secara de fakto maupun de jure.

Konsep atau pemikiran mengenai negara yang kita ketahui sekarang ini, juga sebenarnya sudah dirintis sejak 4.000 tahun lalu. Dilihat dari usianya, maka sebagai sebuah pemikiran, teori negara berusia sangat tua, yakni mulai muncul dan menjadi pusat kegelisihan para pemikir (intelektual) pada masa Yunani Kuno (Ancient Greek).

Sejak masa Yunani Kuno, pemikiran mengenai negara (sebagai konsep (teori) maupun ilmu) terus berkembang. Secara singkat kemudian memasuki masa-masa kekuasaan Romawi Kuno (Ancient Rome). Dan seiring perubahan-perubahan atau proses sejarah dalam masyarakat, negara sebagai teori dan ilmu terus mengalami pencanggihan (berkembang disesuaikan dengan situasi dan kondisi) yang melingkupi proses perubahan dalam masyarakat. Lalu memasuki masa klasik atau pra-modern yang di Eropa ditandai dengan abad pertengahan atau abad kegelapan, masa peralihan yang ditandai dengan Rennaisance (masa pencerahan/Aufklarung di awal abad 16), masa modern sampai masa pasca-modern atau masa sekarang.

*****

MASA YUNANI KUNO :

Diskursus atau wacana ilmiah mengenai negara selalu diwarnai pertanyaan mengenai legitimasi kekuasaan negara yang besar atas rakyat. Pemikiran mengenai hal ini telah jauh dirintis para pemikir sejak jaman Yunani kuno (Ancient Greek) atau masa Yunani Purba dengan sejumlah nama besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan sederet pemikir besar lainnya.

Munculnya banyak pemikiran dan gagasan itu tidak lepas dari tradisi ilmiah yang berkembang pesat pada masyarakat Yunani Kuno. Berbagai hal menjadi pemikiran, beragam ilmu dirintis para cerdik pandai sebuah negara kuno di kawasan Laut Tengah, Eropa, dari mulai ilmu humaniora seperti ilmu sosial, filsafat, politik, ekonomi dan budaya sampai pada ilmu alam, matematika, biologi bahkan kedokteran.

*****

SOCRATES (470 309 SM)

Untuk ilmu atau teori negara sendiri, secara lebih konseptual sebenarnya muncul sejak masa Plato dan Aristoteles. Hanya saja, sebagai sebuah wacana, hal itu lebih dulu dirintis oleh pemikir besar yang menjadi maha guru keduanya, yakni Socrates (470 309 SM). Pada masa Socrates, ide-ide mengenai beragam ilmu sudah menjadi diskursus publik di kalangan masyarakat Yunani.

Sampai datanglah gelombang intelektual dari Asia Kecil yang disebut dengan Kaum Sophis yang membawa aliran dan gaya hidup Sophisme. Orang-orang Sophis ini dikenal sebagai cerdik pandai, hanya saja keilmuannya digunakan untuk hal-hal pragmatis yang kesemuanya bermuara pada kepentingan sesaat pribadi. Orang-orang Sophis ini pengertiannya hampir mirip dengan sebutan K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) mengenai Intelektual Tukang ketika menyindir para intelektual yang berada di sekitar kekuasaan Soeharto, penguasa Orba.

Dorongan kepentingan pribadi yang lebih besar menjadikan pemikiran dan ajaran kaum Sophis dinilai dekaden (perusak moral). Kaum Sophis cenderung oportunistik dan menjilat para penguasa sehingga pemikirannya tidak orisinil dan otentik, akan tetapi lebih pada bagaimana gagasan dan pemikirannya memuaskan para penguasa, dengan demikian mereka memperoleh kemudahan-kemudahan dalam menjalani praksis kehidupan kesehariannya.

Diantara pemikiran kaum Sophis mengenai negara ialah pentingnya negara ditentukan oleh para penguasa. Konsep keadilan itu subyektif dan hanya merupakan hak para penguasa. Karenanya, bentuk-bentuk kekuasaan negara apapun bagi penguasa

adalah syah dan merupakan jalan terbaik. Jalankan kebatilan, meskipun harus bertopeng keadilan, demikian pendapat kaum Sophis.

Sebagai seorang pemikir yang mengagungkan ide-ide kebenaran, Socrates begitu muak dengan dominasi pemikiran kaum Sophis. Apalagi negara Yunani menjadi kacau balau setelah kedatangan kaum Sophis. Socrates ini lalu memberanikan menyampaikan gagasan-gagasannya yang terkesan revolusioner atau melawan mainstream pemikiran ketika itu.

Berbeda dengan kaum Sophis, Socrates menyampaikan pemikirannya yang egaliter. Misalnya soal konsep keadilan, bila kaum Sophis berpandangan bahwa keadilan hanya milik penguasa dan bersifat subyektif, Socrates sebaliknya. Dia mengatakan bahwa keadilan itu bersikap obyektif dan dapat dimiliki setiap warga negara. Negara atau penguasa berkewajiban mewujudkan keadilan bagi semua orang.

Socrates berpandangan, manusia memiliki rasa kebenaran dan keadilan. Hanya saja, rasa keadilan dan dorongan kebenaran terkubur nafsu duniawi, ketamakan dan nafsu berkuasa. Dia berpandangan, untuk jadi makmur dan adil, negara harus dikuasai oleh orang-orang yang didorong perasaan keadilan sejati, keadilan otentik.

Bersama dengan pendapatnya itu, Socrates menguraikan tentang negara menurut pemikirannya. Negara bagi Socrates harus diarahkan pada tujuan untuk mewujudkan keadilan yang harus bisa dinikmati semua orang, bukan hanya milik penguasa yang pada

masa Yunani Kuno sering berganti-ganti. Pada masa Socrates, gagasam-gagasan demokrasi mulai tumbuh. Pemikiran Socrates jelas tidak diterima penguasa. Puncaknya, Socrates diseret ke pengadilan dengan tuduhan mengajarkan ide-ide yang bisa menganggu keamanan, ketertiban dan keselamatan negara. Melalui sebuah pengadilan manipulatif, Socrates akhirnya diminta untuk meminum racun. Tragedi minum racun merupakan bentuk konsistensi Socrates bahwa gagasan dan pemikirannya merupakan kebenaran. Para penguasa, melalui kaum Sophis meminta Socrates untuk menenggak racun ular sebagai bukti bahwa gagasannya itu merupakan kebenaran. Socrates yang meyakini bahwa gagasannya itu benar, memilih mati dengan keyakinannya (membuktikannya dengan berani minum racun), daripada hidup dengan keyakinan yang diragukan.

Socrates telah berusaha melakukan perubahan, mengajak orang berbicara dengan mengedepankan akal. Penghormatan akal diekspresikan Socrates sampai pada hukuman mati atas dirinya . Socrates melihat hukuman mati hanya salah satu bentuk rasionalitas yang harus ditanggung. Murid-muridnya sempat mencoba membebaskan Sang Guru dengan menyogok sipir penjara. Tapi Socrates malah menolak tegas dengan bertanyaMana yang lebih agung, Aku atau Athena ?. Dia akhirnya memilih mati dengan cara yang dianggapnya bersifat rasional.

*****

PLATO (429 347 SM)

Gagasan Plato tentang negara hampir senada dengan Aristoteles. Murid terbaik Socrates itu menyatakan bahwa negara memerlukan kekuasaan mutlak untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang rasional. Hanya saja, kekuasaan mutlak (absolutisme) negara itu harus diarahkan pada moral-hazard kekuasaan, yakni melindungi warga negara, menjamin kesetaraan hukum, keadilan dan kemakmuran ekonomi seluruh warganya.

Plato lahir dari keturunan bangsawan di Athena yang menjadi pusat peradaban Yunani. Latar belakang pendidikannya yang tinggi, dan persentuhannya dengan Socrates menjadikan Plato sebagai pemikir yang gelisah dengan perkembangan masyarakat Yunani ketika itu. Politik kacau balau, para penguasa sewenang-wenang dan korupsi merajalela menggiring Plato pada kecemasan-kecemasan intelektual. Karena merasa muak dengan kondisi sekelilingnya, Plato lalu lebih memusatkan pada dunia pemikiran, mengikuti jejak gurunya, Socrates.

Bedanya, Socrates mengemukakan gagasan dan pemikirannya secara lisan, melalui diskusi dan pidato-pidato, Plato lebih konseptual. Pemikirannya dituangkan dalam tulisan dan dibukukan. Diantaranya yang menyangkut negara dan kekuasaan ialah Politea atau The Republic yang membahas tentang negara, lalu Politicon atau The Statemens membahas tentang negarawan dan Nomoi atau The Law berisi tentang peraturan dan undang-undang.

Lewat buku Politea, ajaran Plato tentang negara didasarkan pada aliran idealisme, filsafatnya juga digolongkan dengan filsafat idealisme. Buku itu mengurai tentang konsep negara sempurna (ideal state) yang berbentuk ide-ide atau cita-cita. Dalam Politea, Plato membagi dua dunia, yakni dunia ide, cita atau pikiran yang merupakan kenyataan sejati dan dunia alam, bersifat materil atau dunia fana yang bersifat palsu. Untuk mencapai tatanan negara yang sempurna, maka dunia alam harus disamakan dengan dunia ide. Yakni negara yang memenuhi tiga jenis ide, yakni ide tentang kebenaran, keindahan atau seni (estetika) dan kesusilaan (etika).

Pada jaman yang sama, gagasan bahwa rakyat dapat menentukan kebijakan negara yang dikenal dengan nama demokrasi mulai lahir dengan bentuk masih sangat sederhana. Sistem demokrasi di negara kota (polis atau city state) Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM) merupakan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu pemerintahan di mana hak membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasar prosedur mayoritas. Walaupun pengambilan keputusan secara kolektif telah mulai diselenggarakan, pelembagaannya belum dikenali secara utuh, karena pemikiran mengenai teori negara baru muncul.

Plato sebenarnya mengritik demokrasi langsung di negara kota atau Polis. Ini karena praktek demokrasi seperti itu, berpotensi memunculkan praktek kekeliruan dalam memilih penguasa. Sebagai alternatif, Plato berargumen manusia perlu diatur oleh orang yang punya akal sehat, merekalah yang pantas jadi pemimpin. Pembiaran kepada semua orang untuk berkuasa melalui proses demokrasi langsung ala Polis tidak benar hingga Plato menginginkan terbentuknya pemerintahan segelintir orang (oligarki) terdiri dari orang-orang terpelajar (philospher king). Yang dipikirkan Plato sebetulnya sebuah

oligarki yang bisa melawan demokrasi ala Polis yang setiap saat berpeluang melahirkan otokrasi atau kekuasaan tergenggam di satu tangan penguasa.

Plato berpendapat, untuk mencapai tatanan sempurna, negara harus memenuhi tiga syarat utama. Pertama, negara harus diperintah para cerdik pandai, pemerintahan harus ditujukan pada kepentingan umum dan rakyat harus berdaulat atau mencapai kesusilaan sempurna. Sesuai sifat manusia (kebenaran, keberanian dan kebutuhan), Plato membagi kelas-kelas dalam negera, para penguasa (the rulers), para pengawal negara (the guardian) dan pekerja (the artisans).

Sejumlah bentuk negara pun mengalami pembagian pada pemikiran Plato. Disebutlah bentuk negara Aristokrasi (kekuasaan cerdik pandai), Oligarki (kekuasaan segelintir orang tanpa memperhatikan aspek keadilan umum), Timokrasi/Plutokrasi (pemerintahan segelintir orang kaya), demokrasi (pemerintahan rakyat banyak), tirani (pemerintahan satu tangan).

Plato juga pernah dipercaya memimpin negara, namun gagal. Lalu dia menulis buku keduanya, Politicon (The Statemens) yang membedakan bentuk-bentuk negara. Yakni Monarki (pemerintahan satu tangan oleh raja), Aristokrasi dan Demokrasi.

Dari Plato ini, pemikiran demokrasi berawal. Dalam perkembangannya kemudian memunculkan berbagai konsep tentang negara dan demokrasi. Hanya saja, seluruh konsep itu hancur dalam perang Philopo antara Sparta dan Athena. Hancurnya Athena ikut menenggelamkan Yunani yang pada abad-abad berikutnya munculan kekuasaan

Romawi. Yang menarik, Yunani tidak mengenal individualitas dalam demokrasi. Hakhak individual tidak dikenal dalam demokrasi Athena. Masyarakatnya adalah masyatakat kolektif yang disebut community yang maknanya sama dengan Polis. Jadi Polis itu gabungan negara yang di dalamnya ada pemerintahan (Condominium), ada banyak polis termasuk di dalamnya Athena dan Sparta yang kemudian mengembangkan konsep militerisme Dasar konsep negara (state) dan kewarganegaraan lahir pada masyarakat Yunani kuno dengan filsuf Plato sebagai pencetus gagasannya dan sebelumnya dirintis Socrates Di dalam negara Polis (kota), kepentingan negara mengatasi kepentingan individu, dan tidak ada satu pun yang boleh dirahasiakan. Pengorganisasian polis juga menyebabkan setiap warga negara sederajat, tiap warga negara bisa mengambil bagian dalam urusan negara, namun ada perkecualiannya. Hak kewarganegaraan itu terbatas atas kelompok minoritas, yakni kaum pendatang, para budak dan perempuan. Mereka dianggap tidak berhak mengambil bagian dalam urusan negara. Plato dalam karyanya The Republic (Politea) memaparkan, dalam negara polis, rasa kebersamaan (kolektivitas) harus ditumbuhkan. Pemikiran Plato mengenai kedudukan perempuan, belakangan menuai kritik tajam dari para aktifis gerakan emansipasi perempuan. Kedudukan perempuan yang subordinan dalam khasanah pemikiran Plato, digugat para aktifis perempuan yang menyuarakan perlunya kesetaraan gender dalam berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali politik dan kenegaraan. Di Indonesia, antitesa dari pemikiran Plato di lapangan politik mulai tumbuh dan berkembang semenjak era reformasi bergulir. Bahkan melalui amandemen, posisi perempuan mulai dihargai dengan adanya keterwakilan dengan margin prosentase minimal kedudukan perempuan sebesar 30 persen baik di lembaga kenegaraan seperti DPR maupun kepengurusan di dalam partai-partai politik. ARISTOTELES (382 322 SM)

Gagasan negara Aristoteles tidak jauh berbeda dengan gurunya, Plato. Prinsipnya kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal sepatutnya. Individu akan menjadi liar dan tak terkendali (anarki) bila negara tidak memiliki kekuasaan besar. Latar belakang dari pemikiran itu berdasar pada kekhasan individu memiliki kecenderungan keras untuk bertindak atas dasar kepentingan sendiri. Oleh karena itu, agar keadaan masyarakat tidak menjadi kacau, harus ada lembaga kuat untuk mengarahkan individu-individu dalam masyarakat. Arah dan tujuan negara yang dimaksud Aristoteles (dan juga Plato) adalah penegakan moral dalam masyarakat. Berdasarkan pemikiran tersebut, Aristoteles kemudian mengemukakan konsepnya tentang siapa yang harus menyelenggarakan kekuasaan tersebut. Sampai disini, Aristoteles mengekor pada gurunya (Plato), menurutnya negara harus dikuasai oleh para filsuf karena hanya filsuf yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya dalam kehidupan dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan demikian para filsuf memiliki kewenangan mutlak dalam negara atas dasar kapasitas pribadinya. Bentuk pemerintahan ini dinamakan "Aristokrasi Para Cendekia". Aristoteles dilahirkan di kota Stagira, Macedonia, 384 SM. Ayahnya seorang ahli fisika kenamaan. Pada umur tujuh belas tahun Aristoteles pergi ke Athena belajar di Akademi Plato. Dia menetap di sana selama dua puluh tahun hingga tak lama Plato meninggal dunia. Dari ayahnya, Aristoteles mungkin memperoleh dorongan minat di bidang biologi dan "pengetahuan praktis". Di bawah asuhan Plato dia menanamkan minat dalam hal spekulasi filosofis. Pada tahun 342 SM Aristoteles pulang kembali ke Macedonia, menjadi guru seorang anak raja umur tiga belas tahun yang kemudian dalam sejarah terkenal dengan Alexander Yang Agung (Alexander The Great). Aristoteles mendidik Alexander muda dalam beberapa tahun. Di tahun 335 SM, sesudah Alexander naik tahta kerajaan, Aristoteles kembali ke Athena dan di situ dibukanya sekolahnya sendiri, Lyceum.

Dia berada di Athena dua belas tahun, satu masa yang berbarengan dengan karier penaklukan militer Alexander. Alexander tidak minta nasehat kepada bekas gurunya, tetapi dia berbaik hati menyediakan dana buat Aristoteles untuk melakukan penyelidikanpenyelidikan. Mungkin ini merupakan contoh pertama dalam sejarah seorang ilmuwan menerima jumlah dana besar dari pemerintah untuk maksud-maksud penyelidikan dan sekaligus merupakan yang terakhir dalam abad-abad berikutnya. Walau begitu, pertaliannya dengan Alexander mengandung pelbagai bahaya. Aristoteles menolak secara prinsipil cara kediktatoran Alexander dan tatkala si penakluk Alexander menghukum mati sepupu Aristoteles dengan tuduhan menghianat, Alexander punya pikiran pula membunuh Aristoteles. Di satu pihak Aristoteles kelewat demokratis di mata Alexander, dia juga punya hubungan erat dengan Alexander dan dipercaya oleh orangorang Athena. Tatkala Alexander mati tahun 323 SM golongan anti-Macedonia memegang tampuk kekuasaan di Athena dan Aristoteles pun didakwa kurang ajar kepada dewa. Teringat nasib yang menimpa Socrates 76 tahun sebelumnya, Aristoteles lari meninggalkan kota sambil berkata dia tidak akan diberi kesempatan kedua kali kepada orang-orang Athena berbuat dosa terhadap para filosof. Aristoteles meninggal di pembuangan beberapa bulan kemudian di tahun 322 SM pada umur enam puluh dua tahun. Meski sebagai murid Plato, namun gagasan dan pemikiran Aristoteles memiliki perbedaan prinsip. Bila Plato dikenal dengan ajaran Idealisme, Aristoteles sebaliknya, dia melandasi pemikirannya pada aliran Realisme. Realisme menjadi dasar dari seluruh pemikiran Aristoteles, baik mengenai negara, politik termasuk juga filsafat. Sebagaimana realisme, pemikiran Aristoteles didasarkan pada kenyataan. Metode berpikirnya juga berbeda dengan Plato yang deduktif-idealis. Aristoteles banyak menggunakan silogisme berpikir induktif-empiris, menarik (abstraksi) hal-hal khusus untuk dijadikan kaidah-kaidah yang lebih bersifat umum

(general). Metode berpikir seperti itu menjadikan Arostoteles sebagai Bapak Ilmu Empiris. Berbeda dengan Plato, Aristoteles tidak mengakui adanya dualisme dunia (antara ide dan alam). Baginya yang ada adalah alam realitas atau dunia kenyataan yang bersifat materil dan bisa diamati dengan pancaindra. Pemikiran filsafatnya yang realis juga menjadi nafas dalam penyusunan konsep mengenai negara dan demokrasi, kendatipun dalam banyak hal tidak jauh berbeda dengan pemikiran Plato. Sepanjang hidupnya, Aristoteles menulis banyak buku yang kemudian menjadi warisan amat berharga dari perkembangan pemikiran dunia. Antaranya yang terkenal ialah Nicomechean Ethics atau Ethica dan Politica. Dalam Ethica Aristoteles yang juga ahli botani, biologi dan kedokteran, membahas pengertian-pengertian sejumlah hal abstrak seperti kesusilaan dan keadilan. Buku Ethica merupakan pengantar untuk buku berikutnya dari Aristoteles, yakni Politica yang banyak membahas tentang hal-hal lebih konkrit mengenai negara, bentuk-bentuk negara, peraturan, undang-undang, hubungan sosial dan banyak lagi. Pertemuan ide, gagasan atau pemikiran Aristoteles dengan Plato banyak terdapat dalam Politica. Misalnya soal tujuan negara, menurut Aristoteles, negara adalah lembaga penyelenggara segala bentuk kepentingan warga dan berusaha supaya warga negara hidup makmur serta sejahtera. Bandingkan dengan Plato, nyaris tidak ada perbedaan prinsipil menyangkut konsep dan tujuan negara. Baik Aristoteles dan Plato sama-sama setuju kalau negara memiliki kekuasaan mutlak untuk mengatur prinsip-prinsip umum mengenai keadilan, kesejahteraan dan

kemakmuran seluruh warga negara. Keduanya sama-sama penganjur gagasan perlunya negara dipimpin para filosof atau cerdik pandai yang memiliki pemikiran cerdas, didorong oleh perasaan kebenaran serta berkepribadian paripurna.

Aristoteles beranggapan, bahwa negara terjadi karena adanya kebutuhan-kebutuhan manusia (warga negara) sebagai mahluk politik atau Zoon Politicon, berbeda secara fundamental dengan hewan dan tumbuhan. Masyarakat manusia ialah mahluk sosial yang membutuhkan hubungan atau interaksi-interaksi sosial satu sama lain. Untuk itu membutuhkan keteraturan dan wadah yang disebut dengan negara. Kedudukan negara sama pentingnya dengan warga negara, karenanya Aristoteles berpendapat bila negara terjamin dengan sendirinya kebutuhan warga negara otomatis akan ikut pula terjamin. Pemerintah harus melindungi kepentingan umum dengan berlandaskan pada keadilan yang merupakan keseimbangan kepentingan bersama. Aristoteles juga penganjur universalisme dan kolektivisme. Selama mengembangkan pemikirannya mengenai negara, Aristoteles pernah menyelidiki 150 sampai 200 buah kontitusi polis-polis (negara kota) di Yunani. Dari konstiusikonstitusi itu, diambil kesimpulan mengenai bentuk-bentuk negara. Yakni bentuk cita (ideal form), meliputi, Monarki (pemerintahan satu orang atau kerajaan), Aristokrasi (pemerintahan sekelompok orang) dan Republik katau Politea (pemerintahan orang banyak untuk tujuan kepentingan umum). Kemudian bentuk pemerosotan (corruption form), antaranya Tirani/Despotie (negara yang tujuannya hanya untuk kepentingan satu orang secara diri sendiri) dan Oligarki/Plutokrasi (suatu pemerintahan dimana pimpinan negara berada pada segolongan orang kaya, kekayaan sebagai dasar penghormatan). Bentuk ketiga ialah Demokrasi, pemerintahan rakyat banyak yang belum tentu menjalankan kepentingan-kepentingan rakyat banyak Aristoteles mengemukakan, bentuk-bentuk negara itu dalam kenyataannya tidak ada. Yang ada ialah pemerintahan sistim campuran (mixed form) dan Monarki, Aristokrasi dan Politea (Republik) dalam kenyataaannya adalah gabungan bentuk cita dan pemerosotan. Aristoteles berkesimpulan, bentuk negara sebenarnya hanya ada dua, yakni bentuk campuran (mixed form) dan pemerosotan (corruption form).

Dari sederet nama filsuf atau pemikir Yunani Kuno, Aristoteles bisa disebut sebagai pemikir yang memberi kontribusi besar pada perkembangan ilmu politik. Karyanya yang berjudul Politica memiliki peran besar dalam perkembangan dasar-dasar ilmu politik hingga saat ini. Tak heran jika Alexander Agung terpana dengan pandangan-pandangan politiknya tentang negara.

Politica mengulas seluk beluk persoalan negara secara mendasar. Berisi banyak pertanyaan yang sederhana hingga memunculkan jawaban-jawaban yang tidak sederhana, bahkan menimbulkan efek berdebatan intelektual yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Inilah kelebihan dari Aristoteles yang bisa dibilang memiliki pemikiran kritis, mendalam, holistik, dan visioner. Selain memberikan sumbangan pemikiran pada politik dan Negara, sumbangsih pemikiran Aristoteles juga pada gagasan mengenai etika dan metafisika, dia juga peletak dasar ilmu logika. Pemikirannya yang realistis adalah antitesa dari Plato yang idealis. Ia lebih mengagumi penggunaan nalar yang rasional dan terukur. Setiap negara adalah kumpulan masyarakat dan setiap masyarakat dibentuk dengan tujuan demi kebaikan, karena manusia bertindak untuk mencapai sesuatu yang mereka anggap baik. Namun, jika seluruh masyarakat bertujuan pada kebaikan, negara atau masyarakat politik memiliki kedudukan tertinggi dari yang lain dan meliputi elemenelemen penunjang lainnya, serta bertujuan pada kebaikan yang tertinggiitulah sepenggal inti ajaran Aristoteles tentang Negara dalam bab pertama Politica. Selain Socrates, Plato dan Aristoteles, Yunani Kuno sebenarnya mengenal banyak pemikir yang gagasannya tidak kalah cerdas. Antaranya Epicurus (341 270 SM), Zeno (300 SM) dan Polybios (204 122 SM). Pemikiran ketiganya juga mewarnai perkembangan dunia pemikiran pada abad-abad berikutnya. Para pemikir dan intelektual jaman tengah atau abad pertengahan Eropa banyak terpengaruh oleh para pemikir Yunani

Kuno, tak terkecuali para intelektual Islam pada kekhalifahan Dinasti Abbasiyah dimana karya-karya pemikir Yunani Kuno banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Asimilasi antara bangsa Arab (Persia) dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada berabad-abad masa pemerintahan Bani Abbasiyah 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M)., bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat. Pada masa inilah, karya-karya Socrates, Plato, Aristoteles dan pemikir besar Yunani Kuno lainnya diterjemahkan oleh pemikir Islam. Gerakan terjemahan pemikiran Yunani Kuno dalam masa Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq (logika). Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas termasuk juga penulisan kembali gagasan dan pemikiran yang berkembang pada masa Yunani Kuno. Transfer pemikiran Yunani Kuno ke seluruh dunia kemudian dilakukan para pemikir di masa kejayaan Islam yang kemudian menjadi pijakan pemikir Eropa pada abad pertengahan, masa renaissance sampai pada pemikir-pemikir di sampai masa modern seperti sekarang ini. Pemikiran dan gagasan Socrates, Plato dan Aristoteles, baik tentang

filsafat, politik maupun negara, bersifat abadi, tak lekang di makan jaman. Sampai hari ini. Bentuk-bentuk legitimasi kekuasaan menurut para ahli filsuf

Bentuk-bentuk Legitimasi Kekuasaan Negara Menurut Para Ahli Filsuf

Niccolo Machiavelli Saat Niccolo menulis pemikirannya tentang filsafat politik, ia menyaksikan terpecahnya kekuasaan di Italia dengan muncul banyak negara-negara kota yang rapuh, sehingga dapat dipahami bahwa ajarannya mengandung sinisme yang keras terhadap moralitas di dalam kekuasaan. Ia sesungguhnya merindukan suatu keadaan dimana negara merupakan pusat kekuasaan yang didukung sepenuhnya oleh rakyat banyak sehingga roda pemerintahan berjalan lancar. Untuk itu pemimpin harus punya kekuatan dalam mempertahankan kekuasaannya. Kaidah etika politik yang dianut oleh Machiavelli ialah bahwa apa yang baik adalah sesuatu yang mampu menunjang kekuasaan negara.. namun Machiavelli bergerak terlalu jauh ketika mengatakan bahwa tindakan yang jahat pun dapat dimaafkan oleh masyarakat asal penguasa mencapai sukses. Tampak bahwa Niccolo ingin mengadakan pemisahan yang tegas antara prinsip moral dan prinsip ketatanegaraan. Selain itu, ia tidak memperhitungkan bagaimana sikap-sikap masyarakat terhadap legitimasi kekuasaan. Namun demikian, ia telah berhasil menyuarakan penderitaan rakyat yang tercerai-berai karena intrik politik yang berkepanjangan.

Jean-Jacques Rousseau Ditinjau dari titik tolak ajaran yang dikemukakannya Rousseau termasuk pemikir utopis, seperti Plato, yang berusaha menggambrkan negara ideal dengan tujuan mengajarkan perbaikan cita-cita rakyat. Rousseau memandang ketertiban dihasilkan sebagai akibat dari hak-hak yang sama. Rousseau berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Negara dibentuk karena adanya niat-niat baik untuk melestarikan kebebasan dan kesejahteraan individu. Dia mengandaikan bahwa keinginan umum dan semua kesejahteraan individu akan muncul bersamaan. Menurutnya segala

bentuk kepentingan individu yang menyimpang dari kepentingan umum adalah salah, karena justru orang harus melihat kebebasan itu pada kesamaan yang terbentuk dalam komunitas. Rousseau terlalu idealis dalam memandang manusia, ia lupa bahwa tidak setiap individu mempunyai iktikad baik serta bersedia menyerahkan kebebasan individu demi kebaikan umum. Selain itu dia mengatakan bahwa kepentingan publik kolektif senantiasa memperkuat kebebasan individu sambil menguraikan bahwa setiap pribadi bukan sebagai kesatuan melainkan bagian dari kesatuan yang disebut komunitas. Namun pada dasarnya Rousseau sangat mencintai kesamaan dan ketenangan yang dijamin oleh negara melalui keutuhan masyarakat yang organis.

Thomas Hobbes Dasar dari ajaran Hobbes adalah tinjauan psikologi terhadap motivasi tindakan manusia. Dia menemukan bahwa manusia selalu memiliki harapan dan keinginan yang terkadang licik dan emosional. Semua itu akan berpengaruh apabila seorang manusia menggenggam kekuasaan. Hobbes mengaitkan masalah tersebut dengan legitimasi kekuasaan politik. Hobbes mengatakan bahwa untuk menertibkan tindakan manusia, negara harus membuat supaya manusia itu takut dan perkakas utama yang harus digunakan adalah tatanan hukum. Negara harus benar-benar kuat agar mampu memaksakan hukum melalui ancaman yang paling ditakuti manusia., yaitu hukuman mati. Pembentukan undang-undang digariskan dengan tujuan untuk mencegah anarki. Oleh karena itu, negara harus berkuasa jika tidak ingin keropos karena banyaknya anarki. Hobbes adalah orang pertama yang menyatakan paham positivisme hukum, bagi dia hukum di atas segala-galanya. Namun Hobbes lupa bahwa tindakan manusia tidak hanya ditentukan oleh emosi, karena manusia dikaruniai akal budi. Dan pendirian suatu negara juga bukan hanya atas pertimbangan emosional tapi juga pemikiran rasional. Kesimpulan dari Hobbes bahwa pembatasan konflik dilakukan melalui saran hukum,

Plato

Plato adalah pemikir yang pertama berbicara mengenai negara ideal. Dia bermaksud membangun suatu masyarakat dimana orang banyak menyumbang kepada kemakmuran komunitas tanpa adanya kekuasaan kolektif yang merusak. Dalam model distribusi kekuasaan antara penguasa dan yang dikuasai, Plato mengandaikan bahwa para penguasa memperoleh hak memakai kekuasaan untuk mencapai kebaikan publik dari kecerdasan mereka. Oleh sebab itu, dengan merujuk pada sistem monarki yang lazim pada waktu itu, Plato merumuskan bahwa pemerintahan akan adil jika raja yang berkuasa adalah seorang yang bijaksana. Kebijaksanaan kebanyakan dimiliki oleh seorang filsuf. Maka konsepsi tentang filsuf raja atau raja filsuf banyak disebut sebagai inti dari teori Plato mengenai kekuasaan negara.selain itu Plato mengatakan bahwa kebaikan publik akan tercapai jika setiap potensi individu terpenuhi. Teori Plato memang masih mengandung banyak kelemahan karena adanya beberapa pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Jika dibandingkan dengan kondisi negaranegara modern sekarang ini, model Plato terasa sangat utopis. Untuk menerima model ini kita perlu menerima pemikiran bahwa kualitas dasar individu secara alamiah berbeda. Pemikiran Plato sudah mampu menjadi peletak dasar sistem kenegaraan modern. Legitimasi negara tidak harus selalu dikaitkan dengan hal-hal supernatural dan masalahmasalah sakral yang ada di luar jangkauan pemikiran manusia.

Thomas Aquinas Masalah keadila diterjemahkan oleh pemikir ini ke dalam dua bentuk, yaitu pertama, keadilan yang timbul dari transaksi-transaksi seperti pembelian penjualan yang sesuai dengan asas-asas distribusi pasar, dan kedua, menyangkut pangkat bahwa keadilan yang wajar terjadi bila seorang penguasa atau pemimpin memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya berdasarkan pangkat. Kemudian Thomas Aquinas membahas tentang hukum melalui pembedaan jenis-jenis hukum menjadi tiga, yaitu: a. Hukum Abadi (Lex Externa) Kebenaran hukum ini ditunjang oleh kearifan Ilahi yang merupakan landasan dari segala ciptaan. Manusia merupakan salah satu makhluk yang mencerminkan kebijaksanaan Sang Pencipta. Makhluk itu ada, berbentuk/berkodrat sebagaimana yang dikehendakinya. Oleh sebab itu, manusia sebagai makhluk yang berakal wajib memenuhi setiap kehendak Tuhan dan mempertanggungjawabkannya. b. Hukum Kodrat (Lex Naturalis)

Hukum ini dijadikan dasar dari semua tuntutan moral. Tampak dia bukan hanya membuat pembahasan yang berkaitan dengan etika religius tanpa menjawab pertanyaanpertanyaan tentang mengapa Tuhan menghendaki keadilan. Menurut Aquinas, Tuhan menghendaki agar manusia hidup sesuai kodratnya. Itu berarti bahwa manusia hidup sedemikian rupa sehingga ia dapat berkembang, membangun dan menentukan identitasnya, serta mencapai kebahagiaan. c. Hukum Buatan Manusia (Lex Humana) Hukum ini untuk mengatur tatanan sosial sesuai dengan nilai-nilai kebajikan dan keadilan. Norma hukum berlaku karena adanya perjanjian antara penguasa dengan rakyatnya. Di dalamnya tersirat rakyat akan taat pada penguasa, dan penguasa berjanji akan mempergunakan kekuasaannya demi kepentingan masyarakat umum. Namun Aquinas menekankan bahwa isi hukum buatan manusia hendaknya sesuai dengan hukum kodrat.kekuasaan harus memiliki legitimasi etis. Dia menegaskan bahwa hukum yang bertentangan dengan hukum kodrat merupaka penghancur hukum. Untuk itu Aquinas menggolongkan dua corak pemerintah, yaitu: pemerintahan berdasarkan kekuasaan (despotik), dan pemerintahan yang sesuai dengan kodrat masyarakat sebagai individu yang bebas (politik).

Bentuk-bentuk legitimasi kekuasaan menurut para ahli filsuf

Bentuk-bentuk Legitimasi Kekuasaan Negara Menurut Para Ahli Filsuf

Niccolo Machiavelli Saat Niccolo menulis pemikirannya tentang filsafat politik, ia menyaksikan terpecahnya kekuasaan di Italia dengan muncul banyak negara-negara kota yang rapuh, sehingga dapat dipahami bahwa ajarannya mengandung sinisme yang keras terhadap moralitas di dalam kekuasaan. Ia sesungguhnya merindukan suatu keadaan dimana negara merupakan pusat kekuasaan yang didukung sepenuhnya oleh rakyat banyak sehingga roda pemerintahan berjalan lancar. Untuk itu pemimpin harus punya kekuatan

dalam mempertahankan kekuasaannya. Kaidah etika politik yang dianut oleh Machiavelli ialah bahwa apa yang baik adalah sesuatu yang mampu menunjang kekuasaan negara.. namun Machiavelli bergerak terlalu jauh ketika mengatakan bahwa tindakan yang jahat pun dapat dimaafkan oleh masyarakat asal penguasa mencapai sukses. Tampak bahwa Niccolo ingin mengadakan pemisahan yang tegas antara prinsip moral dan prinsip ketatanegaraan. Selain itu, ia tidak memperhitungkan bagaimana sikap-sikap masyarakat terhadap legitimasi kekuasaan. Namun demikian, ia telah berhasil menyuarakan penderitaan rakyat yang tercerai-berai karena intrik politik yang berkepanjangan.

Jean-Jacques Rousseau Ditinjau dari titik tolak ajaran yang dikemukakannya Rousseau termasuk pemikir utopis, seperti Plato, yang berusaha menggambrkan negara ideal dengan tujuan mengajarkan perbaikan cita-cita rakyat. Rousseau memandang ketertiban dihasilkan sebagai akibat dari hak-hak yang sama. Rousseau berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Negara dibentuk karena adanya niat-niat baik untuk melestarikan kebebasan dan kesejahteraan individu. Dia mengandaikan bahwa keinginan umum dan semua kesejahteraan individu akan muncul bersamaan. Menurutnya segala bentuk kepentingan individu yang menyimpang dari kepentingan umum adalah salah, karena justru orang harus melihat kebebasan itu pada kesamaan yang terbentuk dalam komunitas. Rousseau terlalu idealis dalam memandang manusia, ia lupa bahwa tidak setiap individu mempunyai iktikad baik serta bersedia menyerahkan kebebasan individu demi kebaikan umum. Selain itu dia mengatakan bahwa kepentingan publik kolektif senantiasa memperkuat kebebasan individu sambil menguraikan bahwa setiap pribadi bukan sebagai kesatuan melainkan bagian dari kesatuan yang disebut komunitas. Namun pada dasarnya Rousseau sangat mencintai kesamaan dan ketenangan yang dijamin oleh negara melalui keutuhan masyarakat yang organis.

Thomas Hobbes Dasar dari ajaran Hobbes adalah tinjauan psikologi terhadap motivasi tindakan manusia. Dia menemukan bahwa manusia selalu memiliki harapan dan keinginan yang terkadang licik dan emosional. Semua itu akan berpengaruh apabila seorang manusia menggenggam kekuasaan. Hobbes mengaitkan masalah tersebut dengan legitimasi kekuasaan politik. Hobbes mengatakan bahwa untuk menertibkan tindakan manusia, negara harus membuat supaya manusia itu takut dan perkakas utama yang harus

digunakan adalah tatanan hukum. Negara harus benar-benar kuat agar mampu memaksakan hukum melalui ancaman yang paling ditakuti manusia., yaitu hukuman mati. Pembentukan undang-undang digariskan dengan tujuan untuk mencegah anarki. Oleh karena itu, negara harus berkuasa jika tidak ingin keropos karena banyaknya anarki. Hobbes adalah orang pertama yang menyatakan paham positivisme hukum, bagi dia hukum di atas segala-galanya. Namun Hobbes lupa bahwa tindakan manusia tidak hanya ditentukan oleh emosi, karena manusia dikaruniai akal budi. Dan pendirian suatu negara juga bukan hanya atas pertimbangan emosional tapi juga pemikiran rasional. Kesimpulan dari Hobbes bahwa pembatasan konflik dilakukan melalui saran hukum,

Plato Plato adalah pemikir yang pertama berbicara mengenai negara ideal. Dia bermaksud membangun suatu masyarakat dimana orang banyak menyumbang kepada kemakmuran komunitas tanpa adanya kekuasaan kolektif yang merusak. Dalam model distribusi kekuasaan antara penguasa dan yang dikuasai, Plato mengandaikan bahwa para penguasa memperoleh hak memakai kekuasaan untuk mencapai kebaikan publik dari kecerdasan mereka. Oleh sebab itu, dengan merujuk pada sistem monarki yang lazim pada waktu itu, Plato merumuskan bahwa pemerintahan akan adil jika raja yang berkuasa adalah seorang yang bijaksana. Kebijaksanaan kebanyakan dimiliki oleh seorang filsuf. Maka konsepsi tentang filsuf raja atau raja filsuf banyak disebut sebagai inti dari teori Plato mengenai kekuasaan negara.selain itu Plato mengatakan bahwa kebaikan publik akan tercapai jika setiap potensi individu terpenuhi. Teori Plato memang masih mengandung banyak kelemahan karena adanya beberapa pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Jika dibandingkan dengan kondisi negaranegara modern sekarang ini, model Plato terasa sangat utopis. Untuk menerima model ini kita perlu menerima pemikiran bahwa kualitas dasar individu secara alamiah berbeda. Pemikiran Plato sudah mampu menjadi peletak dasar sistem kenegaraan modern. Legitimasi negara tidak harus selalu dikaitkan dengan hal-hal supernatural dan masalahmasalah sakral yang ada di luar jangkauan pemikiran manusia.

Thomas Aquinas

Masalah keadila diterjemahkan oleh pemikir ini ke dalam dua bentuk, yaitu pertama, keadilan yang timbul dari transaksi-transaksi seperti pembelian penjualan yang sesuai dengan asas-asas distribusi pasar, dan kedua, menyangkut pangkat bahwa keadilan yang wajar terjadi bila seorang penguasa atau pemimpin memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya berdasarkan pangkat. Kemudian Thomas Aquinas membahas tentang hukum melalui pembedaan jenis-jenis hukum menjadi tiga, yaitu: a. Hukum Abadi (Lex Externa) Kebenaran hukum ini ditunjang oleh kearifan Ilahi yang merupakan landasan dari segala ciptaan. Manusia merupakan salah satu makhluk yang mencerminkan kebijaksanaan Sang Pencipta. Makhluk itu ada, berbentuk/berkodrat sebagaimana yang dikehendakinya. Oleh sebab itu, manusia sebagai makhluk yang berakal wajib memenuhi setiap kehendak Tuhan dan mempertanggungjawabkannya. b. Hukum Kodrat (Lex Naturalis) Hukum ini dijadikan dasar dari semua tuntutan moral. Tampak dia bukan hanya membuat pembahasan yang berkaitan dengan etika religius tanpa menjawab pertanyaanpertanyaan tentang mengapa Tuhan menghendaki keadilan. Menurut Aquinas, Tuhan menghendaki agar manusia hidup sesuai kodratnya. Itu berarti bahwa manusia hidup sedemikian rupa sehingga ia dapat berkembang, membangun dan menentukan identitasnya, serta mencapai kebahagiaan. c. Hukum Buatan Manusia (Lex Humana) Hukum ini untuk mengatur tatanan sosial sesuai dengan nilai-nilai kebajikan dan keadilan. Norma hukum berlaku karena adanya perjanjian antara penguasa dengan rakyatnya. Di dalamnya tersirat rakyat akan taat pada penguasa, dan penguasa berjanji akan mempergunakan kekuasaannya demi kepentingan masyarakat umum. Namun Aquinas menekankan bahwa isi hukum buatan manusia hendaknya sesuai dengan hukum kodrat.kekuasaan harus memiliki legitimasi etis. Dia menegaskan bahwa hukum yang bertentangan dengan hukum kodrat merupaka penghancur hukum. Untuk itu Aquinas menggolongkan dua corak pemerintah, yaitu: pemerintahan berdasarkan kekuasaan (despotik), dan pemerintahan yang sesuai dengan kodrat masyarakat sebagai individu yang bebas (politik).

Demokrasi Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan. Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih). Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang

tak

memliki

catatan

kriminal

(misal,

narapidana

atau

bekas

narapidana).

1 Sejarah dan Perkembangan Demokrasi 2 Demokrasi di Indonesia 3 Lihat pula 4 Pranala luar Sejarah dan Perkembangan Demokrasi Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada

mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.

Demokrasi di Indonesia Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.

ISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA Pembukaan UUD 1945 Alinea IV menyatakan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan, sedangkan bentuk pemerintahannya adalah republik. Selain bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Hal itu didasarkan pada Pasal 4 Ayat 1 yang berbunyi, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial.

Apa yang dimaksud dengan sistem pemerintahan presidensial? Untuk mengetahuinya, terlebih dahulu dibahas mengenai sistem pemerintahan.

I. Pengertian Sistem Pemerintahan Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata system dan pemerintahan. Kata system merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. kata-kata itu berarti: a. Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatau b. Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara. c. Pemerintahan adalaha perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah

Maka dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan legislative, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit, pemerintaha adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintahan diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut Montesquieu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan; Kekuasaan Legislatif yang berati kekuasaan membentuk undang-undang; Dan Kekuasaan Yudikatif yang berati kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif. Jadi, system pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antar lembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan. Tujuan pemerintahan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Lembaga-lembaga yang berada dalam satu system pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia. Dalam suatu negara yang bentuk pemerintahannya republik, presiden adalah kepala negaranya dan berkewajiban membentuk departemen-departemen yang akan melaksakan

kekuasaan eksekutif dan melaksakan undang-undang. Setiap departemen akan dipimpin oleh seorang menteri. Apabila semua menteri yang ada tersebut dikoordinir oleh seorang perdana menteri maka dapat disebut dewan menteri/cabinet. Kabinet dapat berbentuk presidensial, dan kabinet ministrial. a. Kabinet Presidensial Kabinet presidensial adalah suatu kabinet dimana pertanggungjawaban atas kebijaksanaan pemerintah dipegang oleh presiden. Presiden merangkap jabatan sebagai perdana menteri sehingga para menteri tidak bertanggung jawab kepada perlemen/DPR melainkan kepada presiden. Contoh negara yang menggunakan sistem kabinet presidensial adalah Amarika Serikat dan Indonesia b. Kabinet Ministrial Kabinet ministrial adalah suatu kabinet yang dalam menjalankan kebijaksaan pemerintan, baik seorang menteri secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama seluruh anggota kebinet bertanggung jawab kepada parlemen/DPR. Contoh negara yang menggunakan sistem kabinet ini adalah negara-negara di Eropa Barat. Apabila dilihat dari cara pembentukannya, cabinet ministrial dapat dibagi menjadi dua, yaitu cabinet parlementer dan cabinet ekstraparlementer. Kabinet parlementer adalah suatu kabinet yang dibentuk dengan memperhatikan dan memperhitungkan suara-suara yang ada didalam parlemen. Jika dilihat dari komposisi (susunan keanggotaannya), cabinet parlementer dibagi menjadi tiga, yaitu kabinet koalisi, kabinet nasional, dan kabinet partai. Kabinet Ekstraparlementer adalah kebinet yang pembentukannya tidak memperhatikan dan memperhitungkan suara-suara serta keadaan dalam parlemen/DPR. II. Sistem Pemerintahan Parlementer Dan Presidensial Sistem pemerintahan negara dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu:

1. sistem pemerintahan presidensial; 2. sistem pemerintahan parlementer.

Pada umumnya, negara-negara didunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut. Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari

dua sistem pemerintahan diatas. Negara Inggris dianggap sebagai tipe ideal dari negara yang menganut sistem pemerintahan parlemen. Bhakan, Inggris disebut sebagai Mother of Parliaments (induk parlemen), sedangkan Amerika Serikat merupakan tipe ideal dari negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Kedua negara tersebut disebut sebagai tipe ideal karena menerapkan ciri-ciri yang dijalankannya. Inggris adalah negara pertama yang menjalankan model pemerintahan parlementer. Amerika Serikat juga sebagai pelopor dalam sistem pemerintahan presidensial. Kedua negara tersebut sampai sekarang tetap konsisten dalam menjalankan prinsip-prinsip dari sistem pemerintahannya. Dari dua negara tersebut, kemudian sistem pemerintahan diadopsi oleh negara-negara lain dibelahan dunia. Klasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan disebut parlementer apabila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan legislatif. Sistem pemerintahan disebut presidensial apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan legislatif. Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan parlementer. Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut : 1. Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif. 2. Anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemiihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen. 3. Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksakan kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari parlemen. 4. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktuwaktu parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet. 5. Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya berperan sebgai symbol kedaulatan dan keutuhan negara.

6. Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran dari perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru. Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:

Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai. Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas. Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.

Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer :


Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen. Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar. Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen. Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.

Dalam sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah. Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan presidensial. Ciri-ciri dari sistem pemerintaha presidensial adalah sebagai berikut. 1. Penyelenggara negara berada ditangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis. 2. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangungjawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.

3. Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen. 4. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer. 5. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat. 6. Presiden tidak berada dibawah pengawasan langsung parlemen. Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial :

Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun. Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya. Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.

Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial :


Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak. Sistem pertanggungjawaban kurang jelas. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.

III. Pengaruh Sistem Pemerintahan Satu Negara Terhadap Negara-negara Lain Sistem pemerintahan negara-negara didunia ini berbeda-beda sesuai dengan keinginan dari negara yang bersangkutan dan disesuaikan dengan keadaan bangsa dan negaranya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer merupakan dua model sistem pemerintahan yang dijadikan acuan oleh banyak negara. Amerika Serikat dan Inggris masing-masing dianggap pelopor dari sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Dari dua model tersebut, kemudian dicontoh oleh negara-negar lainnya. Contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial: Amerika Serikat, Filipina, Brasil, Mesir, dan Argentina. Dan contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan parlemen: Inggris, India, Malaysia, Jepang, dan Australia. Meskipun sama-sama menggunakan sistem presidensial atau parlementer, terdapat

variasi-variasi disesuaikan dengan perkembangan ketatanegaraan negara yang bersangkutan. Misalnya, Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial tidak akan sama persis dengan sistem pemerintahan presidensial yang berjalan di Amerika Serikat. Bahkan, negara-negara tertentu memakai sistem campuran antara presidensial dan parlementer (mixed parliamentary presidential system). Contohnya, negara Prancis sekarang ini. Negara tersebut memiliki presiden sebagai kepala negara yang memiliki kekuasaan besar, tetapi juga terdapat perdana menteri yang diangkat oleh presiden untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari. Sistem pemerintahan suatu negara berguna bagi negara lain. Salah satu kegunaan penting sistem pemerintahan adalah sistem pemerintahan suatu negara menjadi dapat mengadakan perbandingan oleh negara lain. Suatu negara dapat mengadakan perbandingan sistem pemerintahan yang dijalankan dengan sistem pemerintahan yang dilaksakan negara lain. Negara-negara dapat mencari dan menemukan beberapa persamaan dan perbedaan antarsistem pemerintahan. Tujuan selanjutnya adalah negara dapat mengembangkan suatu sistem pemerintahan yang dianggap lebih baik dari sebelumnya setelah melakukan perbandingan dengan negara-negara lain. Mereka bisa pula mengadopsi sistem pemerintahan negara lain sebagai sistem pemerintahan negara yang bersangkutan. Para pejabat negara, politisi, dan para anggota parlemen negara sering mengadakan kunjungan ke luar negeri atau antarnegara. Mereka melakukan pengamatan, pengkajian, perbandingan sistem pemerintahan negara yang dikunjungi dengan sistem pemerintahan negaranya. Seusai kunjungan para anggota parlemen tersebut memiliki pengetahuan dan wawasan yang semakin luas untuk dapat mengembangkan sistem pemerintahan negaranya. Pembangunan sistem pemerintahan di Indonesia juga tidak lepas dari hasil mengadakan perbandingan sistem pemerintahan antarnegara. Sebagai negara dengan sistem presidensial, Indonesia banyak mengadopsi praktik-praktik pemerintahan di Amerika Serikat. Misalnya, pemilihan presiden langsung dan mekanisme cheks and balance. Konvensi Partai Golkar menjelang pemilu tahun 2004 juga mencontoh praktik konvensi di Amerika Serikat. Namun, tidak semua praktik pemerintahan di Indonesia bersifat tiruan semata dari sistem pemerintahan Amerika Serikat. Contohnya, Indonesia mengenal adanya lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat, sedangkan di Amerika Serikat tidak ada lembaga semacam itu. Dengan demikian, sistem pemerintahan suatu negara dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau model yang dapat diadopsi menjadi bagian dari sistem pemerintahan negara lain. Amerika Serikat dan Inggris masing-masing telah mampu membuktikan diri sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial dan parlementer seara ideal. Sistem pemerintahan dari kedua negara tersebut selanjutnya banyak ditiru oleh negara-negara lain di dunia yang tentunya disesuaikan dengan negara yang bersangkutan.

IV. Sistem Pemerintahan Indonesia a. Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Diamandemen. Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). Sistem Konstitusional. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat. 5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 6. Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 7. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas. Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Hampir semua kewenangan presiden yang di atur menurut UUD 1945 tersebut dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan atau persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Karena itu tidak adanya pengawasan dan tanpa persetujuan DPR, maka kekuasaan presiden sangat besar dan cenderung dapat disalahgunakan. Mekipun adanya kelemahan, kekuasaan yang besar pada presiden juga ada dampak positifnya yaitu presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan pertentangan antar pejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam diri presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang didapatkanya. Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi 1. adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif, 2. jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.

Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintaha Indonesia sekarang ini. b. Sistem pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Setelah Diamandemen Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan baru diharapkan berjalan mulai tahun 2004 setelah dilakukannya Pemilu 2004. Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia adalah sebagai berikut. 1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi. 2. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial. 3. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket. 4. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. 5. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan. 6. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya. Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut; 1. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung. 2. Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.

3. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR. 4. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran) Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.

Kesimpulan Sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga yang bekerja dan berjalan saling berhubungan satu sama lain menuju tercapainya tujuan penyelenggaraan negara. Lembaga-lembaga negara dalam suatu sistem politik meliputi empat institusi pokok, yaitu eksekutif, birokratif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, terdapat lembaga lain atau unsur lain seperti parlemen, pemilu, dan dewan menteri. Pembagian sistem pemerintahan negara secara modern terbagi dua, yaitu presidensial dan ministerial (parlemen). Pembagian sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dalam sistem parlementer, badan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari legislatif. Sebaliknya, apabila badan eksekutif berada diluar pengawasan legislatif maka sistem pemerintahannya adalah presidensial. Dalam sistem pemerintahan negara republik, lembaga-lembaga negara itu berjalan sesuai dengan mekanisme demokratis, sedangkan dalam sistem pemerintahan negara monarki, lembaga itu bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip yang berbeda. Sistem pemerintahan suatu negara berbeda dengan sistem pemerintahan yang dijalankan di negara lain. Namun, terdapat juga beberapa persamaan antar sistem pemerintahan negara itu. Misalnya, dua negara memiliki sistem pemerintahan yang sama. Perubahan pemerintah di negara terjadi pada masa genting, yaitu saat perpindahan kekuasaan atau kepemimpinan dalam negara. Perubahan pemerintahan di Indonesia terjadi antara tahun 1997 sampai 1999. Hal itu bermula dari adanya krisis moneter dan krisis ekonomi.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia membagi kekuasaan menjadi tiga kekuasaan terdiri dari Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Yang ketiganya biasa disebut dengan Trias Politika.

Badan legislatif adalah lembaga yang legislate atau membuat undang-undang. Anggotaanggotanya dianggap mewakali rakyat, maka dari itu lembaga ini disebut DPR. Nama lain yang sering dipakai adalah parlemen. Dalam sistem ketatanegaraan badan legislatif meliputi MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Yang semuanya mempunyai tugas, fungsi dan wewenang masing-masing. Mereka me mpunyai peranan yang bertujuan melaksanakan fungsi perwakilan, perundangundangan dan pengawasan.

Kekuasaan eksekutif menurut w.Ansley wynes adsalah kekuasaan negara yang melaksanakan undang-undang,menyelenggarakan urusan pemerintahan dan mempertahankan tata tertib dan keamanan baik didalam maupun diluar negeri.

Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan atau lembaga eksekutif. Dinegara demokratis badan eksekutif biasanya terdiri dari Kepala Negara seperti raja atau presiden bersama menteri-menterinya. Badan eksekutif yang luas mencakup para pegawai sipil dan militer.

Sedangkan kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan mengadili yang dibagi menjadi tiga kamar yakni; Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).

Berdasarkan uraian di atas, ketiga kekuasaan tersebut mempunyai tugas, fungsi dan wewenang yang berbeda-beda. Selain itu untuk menjadi pejabat dalam lembagalembaga di atas harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh undang-undang yang telah disesuaikan dengan karakter jabatan masing-masing. Seperti Presiden, Menteri, DPR, Hakim dan lain-lain.

Negara indonesia adalah negara kesatuan yakni kekuasaannya terdiri dari pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pemerintahan pusat merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara dan tidak ada saingannya dari badan legislatif pusat dalam membentuk undang-undang. Dalam UU RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menyebutkan bahwa:

pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan rumusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai dimaksud dalam UUD negara Indonesia Tahun 1945. Sedangkan pemeritah daerah adalah kepala daerah dan dewan perwakilan rakyak daerah. Kepala daerah memimpin badan eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif. Kepala daerah (Residen, bupati dan walikota) adalah pejabat pemerintahan yang diangkat oleh pemerintahan pusat. Mereka masing-masing menurut berbagai peraturan yang berlaku mempunyai tugas menjalankan wewenang pemerintah pusat dilingkungan wilayah jabatannya. Dalam diri kepala daerah mempunyai dua fungsi yaitu sebagai kepala daerah otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggungjawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah dan fungsi sebagai kepala wilayah yang memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum menjadi tugas pemerintahan pusat di daerah. Dengan demikian antara lembaga legislatif dengan kepala daerah sebagai badan eksekutif mepunyai hubungan kerja dalam merumuskan kebijaksanaan dalam rangka menjalankan roda pemerintahan. Diantara keduanya mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda. Akan tetapi setiap pelaksanaan kegiatan dan pembangunan haruslah merupakan suatu kebulatan yang utuh dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat dan terbina kestabilan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam arti luas. Oleh karena itu antara legislatif dan eksekutif sebagai unsur pemerintahan, perlu dijalin hubungan kerja sama yang baik demi kepentingan bangsa. Dalam proses dan kegiatan memilih pejabat publik dalam pemerintahan, dilakukan dengan cara pemilihan umum yang melibatkan seluruh rakyat untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pejabat publik dalam pemerintahan. Pemilihan ini biasanya disebut pemilihan umum atau pemilu. Pemilu merupakan bagian dari proses rakyat yang memilih pemimpin negara. Selain memilih kepala negara sebagai lembaga eksekutif juga memilih DPR sebagai lembaga legislatif dan kepala daerah sebagai eksekutif daerah. Pada sistem politik telah merubah cara pemilihan umum anggota legislatif dan eksekutif yang semula secara perwakilan akhirnya dilakukan secara langsung. Ini berarti Indonesia telah melaksanakan demokratisasi.

Agar dapat diikutkan dalam pemilihan, maka harus mencalonkan diri ke KPU dengan syarat-syarat atau kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh undang-undang. Akan tetapi banyak calon yang dikeluarkan dari daftar pemilihan, karena salah satu syarat yang tidak dipenuhi yaitu syarat tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karana melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Dengan adanya syarat tersebut banyak calon yang merasa dirugikan oleh undangundang tersebut. Calon yang merasa dirugikan itu adalah seorang warga negara Indonesia yang ingin mencalonkan diri sebagai calon legislatif dalam pemilu 2009, dia bernama Robertus Adji. Karena merasa undang-undang berlaku tidak adil pada mantan napi, maka dilakukan uji materi terhadap undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Pemohon pada uji materi ini adalah Robertus, calon legislator untuk DPRD kabupaten Lahat Sumatra Selatan dari PDI Perjuangan yang gagal karena terganjal kasus pidana. Ia gagal menjadi caleg, karena pernah dipidana selama 9 Tahun karena kasus penyimpanan senjata api, perampokan dan penganiayaan berat pada tahun 1976 silam. Undang-undang yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji materi adalah UU No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu DPR , DPD dan DPRD pasal 12 huruf g pasal 50 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemda, pasal 58 huruf f. Menurut pemohon undangundang tersebut tidak memberikan kesempatan kepada mantan narapidana untuk menduduki jabatan lagislatif dan kepala daerah. Dita Indah Sari menyebut DPR telah bertindak diskriminatif. Menurut dia hak-hak politik mantan narapidana yang telah menjalani hukuman seharusnya dipulihkan kembali. Sedangkan menurut pakar hukum Universitas Indonesia, Rudi Satriyo Mukantarjo, menilai rumusan yang dihasilkan DPR masih kurang tepat. Mestinya bukan tidak pernah atau sedang menjalani pidana penjara, tapi sama sekali tidak terlibat dalam kasus pidana . Selain itu banyak kalangan masyarakat yang menganggap UU tersebut telah merugikan hak Konstitusional, karena masih memposisikan para terpidana sebagai warga kelas dua karena tidak diberikan kedudukan hukum yang sama. Padahal pada UUD 1945 pasal 27 (1) menyebutkan bahwa Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya Berarti pasal tersebut menjelaskan setiap warga negara Indonesia mempunyai hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum, pemerintahan dan hak politik.

Yakni hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih) dalam pemilihan umum. Jadi setiap warga negara Indonesia berhak untuk memilih dan diplih tanpa ada pengecualian. Dengan alasan dan berbagai pertimbangan hukum akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan bersyarat permohonan pengujian pasal 12 huruf g, pasal 50 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, dan pasal 58 huruf f UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah, dengan putusan MK NO.4/ PUU-VII/ 2009. Dengan adanya keputusan tersebut maka peluang mantan narapidana untuk mengikuti perebutan kursi Dewan Perwakilan Rakyat, menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden serta Kepala Daerah terbuka lebar. Sekarang Robertus bisa bernafas lega karena upayanya berhasil dalam memperjuangkan hak mantan narapidana untuk ikut andil dalam pemerintahan. Dalam pemerintah Islam, Badan Legislatif atau Lembaga Perwakilan sudah ada, istilah yang populer dipakai yaitu ahl al-h}alli wa al al-qdi, dan Kepala Daerah juga pernah dijumpai, yakni dengan sebutan Amir yang dipakai untuk menyebut penguasa di daerah, gubernur atau komandan militer. Istilah ahl al-h}alil wa al-aqdi mulai muncul dalam kitab-kitab para ahli tafsir dan ahli us}ul fiqih setelah masa Rasulullah SAW. Mereka berada di antara orang-orang yang dinamakan As-s}ahabah. Istilah ini dirumuskan oleh ulama fiqih untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka. Tugasnya antara lain memilih khalifah, imam, kepala negara secara langsung. Karena itu ahl al-h}alli wa al-aqdi juga disebut oleh al-Mawardi sebagai ahl al- ikhtiyar.

Walaupun istilah ahl al-h}alli wa al-aqdi belum mucul pada masa Rasul, namun dalam praktiknya rasul selalu melakukan musyawarah dengan beragam gambaran dan peristiwa yang semuanya mengukuhkan akan komitmen penguasa dalam Islam untuk bermusyawarah dengan dewan permusyawaratan. Dewan inilah yang disebut dengan ahl al-h}alli wa al-aqdi yang anggotanya terdiri dari para sahabat. Merekalah yang diserahi tugas-tugas keamanan dan pertahanan serta urusan lain yang berkaitan dengan kemaslahatan umat.

Pada masa Khulafa ar-Rasyidin tidak jauh berbeda dari masa Nabi. Golongan ahl al-h}alli wa al-aqdi adalah para pemuka sahabat yang sering diajak musyawarah oleh khalifah

khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Hanya pada masa Umar, ia membentuk Team Formatur yang beranggotakan enam orang untuk memilih khalifah sesudah ia wafat . Ulama fiqih menyebut anggota formatur tersebut sebagai ahl al -h}alli wa alaqdi. Dari sinilah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam menentukan jumlah anggota ahl al-h}alli wa al-aqdi. Ada beberapa Ahli Tafsir yang megidentikkan ahl al-h}alli wa al-aqdi dengan ulil amri seperti Muhammad Rasyid Ridha menjelaskan bahwa ulil amri ialah ahl al-h}alli wa alaqdi yang mendapat kepercayaan umat, yang ketetapannya diikuti. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT pada surat An- Nisa:83 :

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkan. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri (yang mereka pilih) diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). (surat An- Nisa: 83) Al-Mawardi menentukan syarat-syarat mutlak yang harus dimilki oleh ahl al-h}alli wa alaqdi adalah adil, ilmu yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi imam, dan berwawasan serta sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa yang paling tepat menjadi imam dan paling efektif serta paling ahli mengelola semua kepentingan. Tugas mereka tidak hanya bermusyawarah dalam perkara umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang belum diatur dalam al-Quran dan hadis serta yang berkaitan dengan kemaslahatan dan melaksanakan peran Konstitusional dalam memilih pemimpin saja. Akan tetapi tugas mereka juga mencakup pengawasan terhadap penguasa untuk mencegah mereka dari tindakan pelanggaran. Para pakar perbandingan undang-undang modern dan fiqih politik Islam menyatakan bahwa dewan-dewan parlementer sama dengan majelis permusywaratan atau Ahl asSyura dalam Islam. Sedang Kepala Daerah dalam pemerintahan Islam menggunakan istilah amir sebagai pemimpin pemerintahan daerah atau imarah.

Dalam sejarah periode Islam, yakni zaman Rasulullah SAW dan Khulafa ar -Rasyidin

istilah amir sering dipakai untuk menyebut penguasa di daerah, atau sebagai gubernur atau juga sebagai komandan militer Amir Al-Jaysi atau Amir Al-Jund. Kata amir tidak digunakan oleh al-Quran, yang ada ulil amri. Tapi dalam teks-teks hadis Nabi banyak digunakan kata amir. Hadis-hadis dimaksud menggambarkan pentingnya peranan pemimpin dalam kehidupan masyarakat, dan pemimpin harus benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Para pemegang kekuasaan sering juga disebut wulat al-Amri, waliyul amri, dan ulil amri. Yang pertama berarti pemerintah, yang kedua bermakna orang yang memiliki wewenang dan kekuasaan untuk mengemban suatu urusan atau tugas. Dan yang terakhir diartikan dengan para pemimpin dan ahli ilmu pengetahuan.Waliyul amri oleh para ulama disamakan dengan istilah ulil amr. Hal tersebut disebutkan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 59: Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul, dan taatlah kepada ulil amri diantara kamu. Dan apabila datang kepada mereka berita tentang keamanan atapun ketakutan ,mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin tahu kebenarannya ( akan dapat) mengetauinya dari mereka ( Rasul dan ulil amri ). (surat an-Nisa: 59) Awal pemerintahan Islam, tugas utama amir pada mulanya sebagai penguasa daerah yaitu pengelola administrasi politik, pengumpulan pajak, dan sebagai pemimpin agama. Kemudian tugasnya bertambah meliputi memimpin ekspedisi-ekspedisi militer, menandatangani perjanjian damai, memelihara keamanan daerah taklukan Islam, membangun masjid, Imam dalam shalat khatib dalam shalat jumat, mengurus administrasi pengadilan dan ia bertanggungjawab kepada khalifah di Madinah. Setelah ditarik ke pemerintahan Islam, ternyata praktek yang telah dilaksanakan oleh Indonesia sudah mengalami perkembangan dan pengaruh barat.jadi praktek yang selama ini berlaku di Indonesia hampir sama dengan pemerintahan Islam, akan tetapi Indonesia sudah mengalami perkembangan pemikiran dalam mengatur pemerintahannya.

Hal itu akan memjadi pertanyaan besar, apakah perkembangan tersebut bertolak belakang dengan konsep Islam ataukah tidak. Serta akan menjadi topik yang menarik jika perpolitikan Indonesia khususnya mengenai mantan narapidana jadi calon legislatif

dan kepala daerah yang akan dibahas secara mendalam berdasarkan analisis fiqih siyasah sehingga nantinya dapat menghasilkan konsep baru yang musdah-mudahan bermanfaat bagi diri sendiri dan seluruh umat manusia. Untuk itu penulis memilih judul Analisis Fiqih Siyasah Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU-VII/2009 Tentang Pencalonan Mantan Narapidana Menjadi Anggota Legislatif, DPD Dan Kepala Daerah. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana latar belakang dan dasar hukum putusan MK No. 4/PUU VII/2009? 2. Bagaimana implikasi hukum putusan MK No. 4/PUUVII/2009 terhadap UU No. 10 Tahun 2008 tentang lembaga legislatif dan UU No. 12 tahun 2008 tentang Pemda? 3. Bagaimana Tinjauan fiqh siyasah terhadap putusan MK No. 4/PUUVII/2009?

Anda mungkin juga menyukai