Anda di halaman 1dari 29

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konseptual

Esensi pemerintahan daerah, berkait dengan kewenangan yang

dimiliki dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya. Kewenangan

pemerintahan daerah, berkait dengan pembagian kekuasaan dalam

penyelenggaraan pemerintahan, yang terpola dalam sistem pemerintahan

negara federal atau negara kesatuan. Sistem negara federal, terpola

dalam tiga struktur tingkatan utama, yaitu: pemerintah federal (pusat),

pemerintah negara bagian (provinsi), dan pemerintah daerah. Sedangkan

sistem negara kesatuan, terpola dalam dua struktur utama, yaitu:

pemerintah pusat dan pemerintah di daerah (provinsi, kabupaten dan

kota).1

Hakekat negara kesatuan terpola dalam dua sendi utama, yaitu

sistem pemerintahan yang cenderung bersifat sentralistik atau

desentralistik. Kedua Sifat ini, menciptakan karakter hubungan antara

pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang terkait dengan bentuk,

susunan, pembagian kekuasaan yang ada pada negara. Artinya, dari

bentuk dan susunan negara, dapat dilihat, apakah kekuasaan itu dibagi ke

1
RM. A. B. Kusuma, Lahirnya…., Op. Cit., hlm. 299. Perdebatan tentang kesatuan atau federal
dalam pendirian NKRI, terjadi pada saat sidang Panitia Hukum Dasar tanggal 11 Juli 1945 yang
dibuka pada jam 16.45 dan dipimpin oleh Syusa (Ketua) Ir. Soekarno. H. Agus Salim mengajukan
tanggapan “….perundingan tentang memilih antara unitarisme atau federalisme…… sebab itu
tergantung pada sifat dan bentuknya urusan yang kita letakkan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah….”. Hasil sidang menunjukkan setelah Soekarno (syusa) meminta pengambilan
suara, dengan 17 orang yang menyatakan mufakat untuk unitarisme (berdiri), dan 2 orang tidak
mufakat (tidak berdiri).

20
proposal penelitian
4
daerah-daerah, atau kekuasaan itu dipusatkan di pemerintah pusat. Dari

sisi pembagian kekuasaan dalam suatu negara, bisa berbentuk sistem

sentralisasi atau sistem desentralisasi. Sistem ini, secara langsung

mempengaruhi hubungan pusat dengan daerah dalam pelaksanaan

pemerintahan di daerah.

Kajian Ilmu Negara dan Hukum Tata Negara dalam

perkembangannya, bentuk dan susunan negara menjadi obyek

perdebatan sejak dahulu. Istilah bentuk negara, ditujukan pada Monarchie

dan Republik, dan istilah susunan negara ditujukan pada Kesatuan dan

Federasi. Bentuk Negara dalam ajaran Jellinek mengetengahkan dasar

untuk menentukan bentuk suatu negara dengan memakai kriteria

bagaimana cara kehendak negara itu dinyatakan. Kalau kehendak negara

ditentukan satu orang, maka berbentuk Monarchie. Sebaliknya, kalau

kehendak negara ditentukan banyak orang, maka berbentuk Republik.

Ajaran Jellinek dalam menentukan bentuk negara dikritik oleh Leon

Duguit. Menurut Duguit, bahwa kriteria yang paling tepat dalam

menentukan bentuk negara adalah, harus dilihat bagaimana caranya

kepala negara itu diangkat. Negara yang berbentuk Monarchie, kepala

negaranya diangkat berdasarkan hak waris (turun temurun), sedangkan

negara yang berbentuk republik kepala negaranya diangkat (dipilih)

melalui pemilu.

Sementara Plato dan Aristoteles dengan Teori Revolusinya,

melahirkan gagasan yang diwujudkan dalam “teori kwantitas dan teori

20
proposal penelitian
5
kwalitas” dengan menegaskan teorinya dalam gagasan, bahwa untuk

menentukan bentuk negara harus didasarkan pada jumlah orang yang

memerintah dan kecenderungan mengalami kemerosotan dalam

perkembangannya, antara lain: bentuk monarchie yang dapat merosot

kebentuk tirani, bentuk aristokrasi yang dapat merosot kebentuk oligarki,

dan bentuk demokrasi yang dapat merosot kebentuk okhlorasi. Ajaran

Aristoteles dianut juga oleh Polybios, yang memperkenalkan “Teori Siklus

Polybios” dalam menentukan bentuk negara, yaitu: monarchi, aristokrasi,

oligarchi, demokrasi, dan tyrani. Sementara Machiavelli dalam

gagasannya mengemukakan teori bentuk negara dalam dua macam, yaitu

republik dan monarki. Sedangkan Kranenburg salah satu pelopor teori

modern, sependapat dengan Leon Duguit dan Otto Koelreulter, bahwa

bentuk negara ada dua, yaitu: negara kesatuan dan negara federasi. 2

Disisi lain Kelsen sebagai penganut ajaran positivisme,

memberikan klasifikasi bentuk negara menurut kriteria yang ditetapkan

sendiri, antara lain; Negara Heteronom, Negara Autonom, Negara

Totaliter, dan Negara Liberal. Mac Iver, memberikan sistem klasifikasi

negara, yaitu; “a tri partite classification of state”, dan “a bi partite

classification of state”. Lain dengan Deverger memberikan klasifikasi

negara ke dalam bentuk, negara autokrasi dengan doktrin autoriter,

negara demokrasi dengan doktrin liberalisme, negara oligarkhi dengan

2
Utrecht memakai istilah bentuk pemerintah yang dibagi dalam 1. Monarki atau pewarisan yang
terdiri dari monarchi absolute, monarchi konstitusional, monarchi parlementer. 2. Republik yang
tediri dari republik mtlak, republik konstitutional, republik parlementer, sebagaimana terpetik dalam
E. Utrecht dan Moh. Saleh Jindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta, Ikhtiar Baru,
1983), hlm. 73.

20
proposal penelitian
6
doktrin campuran antara autokrasi dan liberalisme. Sedangkan Harold J.

Laski, meletakkan fokus gagasan dengan berdasarkan kriteria dalam

membagi dua bentuk negara, yaitu: Pertama, bila rakyat dapat atau

mempunyai kewenangan ikut campur dalam pembuatan UU, maka negara

tersebut disebut negara demokrasi. Kedua, bila rakyat tidak dapat atau

tidak mempunyai kewenangan ikut campur dalam pembuatan UU, maka

negara tersebut disebut autokrasi.3

Disisi lain, Wheare, melihat susunan negara dari sisi kekuasaan

yang ada pada masing-masing pihak dalam negara, yaitu; negara yang

bersusunan tunggal disebut negara kesatuan dan negara yang

bersusunan jamak disebut negara federasi. Sementara Hans Kelsen

menentukan dua kriteria, yaitu; sifat mengikatnya peraturan hukum yang

dibuat atau dikeluarkan oleh penguasa yang berwenang, maka lahirlah

klasifikasi negara heteronom dan negara autonom, dan sifat keleluasaan

penguasa atau pemerintah dalam mencampuri atau mengatur kehidupan

warga negara, maka lahirlah klasifikasi negara totaliter atau etatistis dan

negara liberal. John A.R. Marriot, menyamakan istilah bentuk negara

dengan susunan negara, dengan memberikan klasifikasi berdasarkan

susunan pemerintahan, yang bisa melahirkan bentuk negara kesatuan

dan negara federal. Sri Soemantri, dalam pandangannya memakai istilah

bentuk negara yaitu: negara serikat dan negara kesatuan dan persatuan.

Bintan R. Saragih, memakai istilah bangunan negara, yaitu; negara

3
Harold J.Laski, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta : PT. Pembangunan, 1959), hlm. 69. Lihat F.
Iswara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung : Dhiwantara, 1964), hlm. 164-165.

20
proposal penelitian
7
kesatuan, serikat, dan serikat negara-negara. Sementara penentuan

mengenai susunan negara, Jellinek memberikan istilah

“Staatenverbindungen” untuk istilah negara kesatuan, negara federal, dan

negara Konfederal. Untuk membedakan, dilihat pada letak kedaulatan,

wewenang kepada rakyat, dan wewenang membuat UU.4

Pandangan pakar di atas jelas memperlihatkan persamaan yang

mendasar walaupun dalam penekanan yang bersifat tekhnis (istilah)

terkadang berbeda dalam melihat bentuk negara, susunan negara, dan

bentuk pemerintahan. Semua pakar mendasarkan gagasan dalam aspek

pendirian negara, siapa yang memerintah dan bagaimana cara

pemilihannya, seberapa banyak orang yang memerintah dan bagaimana

proses pembagiannya, siapa yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam

negara dan bagaimana melaksanakan kekuasaan, serta kekuasaan apa

saja yang harus ada dan bagaimana metode pembagian kekuasaan

tersebut.

Teori-teori bentuk dan susunan negara yang dikembangkan para

ahli dan berkembang di zaman modern, bermuara pada dua paham yang

mendasar. Paham Pertama, paham yang menggabungkan bentuk negara

dan bentuk pemerintahan.5 Bentuk negara sama dengan bentuk

pemerintahan, dibagi dalam tiga macam bentuk, yaitu: 1. Bentuk

4
K.C.Wheare, Federal Government, (London: London University Press, 1956), hlm 27. Bentuk
Negara yang dikenal di dunia sekarang ini, yaitu : negara serikat, negara kesatuan dan persatuan.
Sementara bentuk pemerintahan, dikenal dalam negara Republik dan negara kerajaan. Kerajaan
(Monarchie) dikepalai raja dan bersifat turun temurun, dan Republik adalah negara dengan
pemerintahan rakyat yang dikepalai presiden. Untuk melihat pembagian kekuasaan antara Pusat
dengan Pemerintah yang ada di daerahnya, memakai istilah bangunan negara, yaitu : negara
kesatuan (unitaris), negara serikat (federalis), dan serikat negara-negara.
5
Bouger, Masalah-Masalah Demokrasi, (Jakarta :Yys-Pembangunan, 1952), hlm.32-33.

20
proposal penelitian
8
pemerintahan dimana terdapat hubungan yang erat antara eksekutif dan

legislatif. 2. Bentuk pemerintahan dimana terdapat pemisahan yang tegas

antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 3. Bentuk pemerintahan

dimana terdapat pengaruh atau pengawasan langsung dari rakyat

terhadap badan legislatif. Paham Kedua, membahas bentuk negara atas

golongan demokrasi atau diktator.6 Paham ini memperjelas bahwa

demokrasi dibagi dalam demokrasi konstitusional (liberal), dan demokrasi

rakyat.

Kajian penentuan bentuk dan susunan negara serta bentuk

pemerintahan suatu negara, diawali oleh “staatidee” kelahiran

(pembentukan) suatu negara. Teori kelahiran suatu negara semakin

berkembang, seiring perkembangan peradaban umat manusia, antara

lain; Pertama, Teori perseorangan (individu) yang diajarkan oleh Locke,

Hobbes (abad ke-17), Rousseau (abad ke-18), Spencer (abad ke-19), dan

Laski (abad ke-20). Inti dari ajaran ini adalah bahwa negara ialah legal

society (masyarakat hukum) yang disusun atas contract social. Kedua,

Teori Golongan (class theory) yang diajarkan oleh Marx, Engels, dan

Lenin. Inti ajarannya adalah negara sebagai alat dari sesuatu golongan.

Ketiga, Teori Integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Muller, Hegel

(abad ke-18 dan 19). Inti ajarannya adalah bahwa negara tidak untuk

6
Henry B, Mayo, An Introduction to Democratie Theory, (New York : Oxford University Press,
1960), hlm. 218. Bahwa nilai yang mendasari suatu negara demokrasi adalah : Menyelesaikan
perselisihan dengan damai dan secara melembaga, Menjamin terselenggaranya perubahan secara
damai dalam suatu perubahan, Melakukan pergantian pimpinan secara teratur, Membatasi
pemakaian kekerasan secara minimun.

20
proposal penelitian
9
menjamin kepentingan seseorang atau kelompok tetapi untuk kepentingan

seluruh masyarakat dalam bingkai persatuan.7

Teori-teori bentuk negara yang berkembang di zaman modern ini,

bermuara pada bentuk negara yang terpenting adalah Negara Kesatuan

(Unitarisme) yang dapat berbentuk sistem sentralisasi dan sistem

desentralisasi dan Negara Serikat (federalisme).8 Negara Kesatuan

apabila kekuasaan tidak terbagi (kekuasaan pemerintah pusat tidak

dibatasi oleh daerah), Negara Serikat apabila kekuasaan dibagi antara

pusat dan negara bagian. Negara Konfederasi apabila kekuasaan terletak

pada negara-negara yang berserikat. Bentuk negara, berkaitan dengan

kekuasaan tertinggi yang ada pada suatu negara. Kekuasaan adalah

kedaulatan sebagai esensi terpenting dalam menjalankan negara dan

pemerintahan. Teori kedaulatan yang terkenal sampai sekarang ini, antara

lain; Teori Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan Rakyat, Teori Kedaulatan

Negara, dan Teori Kedaulatan Hukum.9


7
W. Friedmann, Legal Theory, (London, Steven & Sons Limited, 1960), hlm. 76. Rousseau
membangun teorinya berdasarkan posisi equal manusia yang secara natural tidak dapat diabaikan.
Kebebasan dan kesamaan setiap orang merupakan pondasi dalam membangun masyarakat yang
modern. Menurut Hobbes, sifat manusia dalam posisi naturalistiknya berbakat untuk saling
menerkan, jadi untuk menghindarinya mereka harus berjanji untuk menyerahkan sebagian haknya
kepada sebuah otoritas. Lihat Jimly Asshiddigie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
(Jakarta : Mahkamah Konstitusi RI-Pusat Studi HTN FH-UI, 2004), hlm. 202-203.
8
A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Suatu Sisi Pengetahuan
Perundang-Undangan Indonesia Yang Menjelaskan dan Mencerminkan, Pidato diucapkan pada
Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia di
Jakarta, pada Tanggal 25 April 1992. Menurutnya bahwa Negara Kesatuan dengan Sistem
Sentralisasi adalah segala sesuatu dalam negara, langsung diatur/diurus pemerintah pusat.
Sedangkan Negara Kesatuan dengan Sistem Desentralisasi merupakan pemberian kesempatan
kepada daerah untuk mengurus rumah tangga dan pemerintahannya sendiri.
9
Teori Kedaulatan Tuhan (Teori Teokrasi) menganggap kekuasaan tertinggi berasal dari Tuhan,
yang dikembangkan oleh Augustinus, Thomas Aquinas. Teori Kedaulatan Rakyat (demokrasi),
kekuasaan yang ada pada negara berasal dari rakyat. Faham ini dikembangkan oleh Montesquieu
an John Locke. Teori kedaulatan Negara, kedaulatan tertinggi ada pada pemimpin negara yang
melekat sejak negara itu ada. Dikembangkan oleh Paul Laband dan George Jellinek. Teori
Kedaulatan Hukum, Kekuasaan yang dijalankan oleh pemimpin negara berdasarkan atas hukum,
dan yang berdaulat adalah hukum. Faham ini dikembangkan oleh Hugo de Groot, Krabbe,
Immanuel Kant. Teori-teori yang memberi dasar kekuasaan pada negara dalam tiga golongan

21
proposal penelitian
0
Perdebatan tentang kekuasaan yang ada pada negara, terkait

dengan sistem pemerintahan yang membicarakan, bagaimana pembagian

kekuasaan serta hubungan antar lembaga negara dalam menjalankan

kekuasaan negara, untuk kepentingan rakyat. Teori pembagian

(pemisahan) kekuasaan negara, sejak dahulu sampai sekarang menjadi

perdebatan. Locke (1690) dalam bukunya “Two Treatises on Civil

Government”10 memisahkan kekuasaan negara dalam Legislatif, Eksekutif,

dan Federatif. Senada dengan Locke, Montesquieu (1748) dalam bukunya

“L’Esprit des lois” mengemukakan tiga jenis kekuasaan, yaitu; legislative

powers, executive powers, dan (judicative powers).

Kekuasaan absolut raja di zaman kuno, terpola secara filosofis

dalam perspektif hukum alam, yang terpresentase dalam kekuasaan

Tuhan di muka bumi. Abad pertengahan, dimensi absolut hukum alam

semakin ditinggalkan secara evolusioner. Kekuasaan absolut secara

sistematis dilakukan pembatasan. Raja dipaksa berbagi kekuasaan

dengan parlemen. Sumber kekuasaan tidak lagi dikonstruksi kekuasaan

besar, antara lain : Teori Theokrasi (Theocratische Theoria), Teori Kekuasaan (Nachtattheorie), dan
Teori Yuridis (Yuridische Theorie). Teori Theokrasi dibagi lagi dalam dua, yaitu secara langsung dan
tidak langsung. Teori Kekuasaan dibagi dalam Kekuasaan Fisik dan Ekonomis. Teori Yuridis dibagi
dalam Patriarchaal, Patrimonical, dan Perjanjian. Soehino, op. cit., hlm149-150. Dua bagian
mengenai teori sumber kekuasaan, yaitu Teori Teokrasi yang berkembang pada jaman abad
pertengan (abad ke-5 sampai ke-15) dan Teori Hukum Alam (abad ke-15 sampai abd ke-19).
Mengenai teori kedaulatan dibagi atas, Teori Kedaulatan Tuhan (abad V – XV) dengan penganut
Augustinus, Aquinos, dan Marsillius. Teori Kedaulatan Negara dengan penganut Bodin dan Jellinek.
Teori Kedaulatan Hukum dengan penganut Krabbe. Teori Kedaulatan Rakyat yang diajarkan oleh
J.J. Rousseau.
10
John Locke, Two Tretises of Civil Government, (Cambridge University Press, 1998). John
Locke berpendapat, bahwa Kekuasaan Legislatif adalah untuk membuat UU, Kekuasaan Eksekutif
adalam melaksanakan UU, dan Kekuasaan Federatif adalah mengadakan perserikatan dan aliansi.
Sedangkan Montesquieu berpendapat, bahwa Kekuasaan Legislatif dilaksanakan Parlemen,
Kekuasaan Eksekutif dilaksanakan Pemerintah (presiden bersama menteri), Kekuasaan Yudikatif
dilaksanakan badan peradilan.

21
proposal penelitian
1
Tuhan, tetapi dikonstruksi berdasarkan suatu Social Contract menurut

Hobbes dan Locke, peletak dasar fondasi baru tatanan bernegara. 11

Memasuki abad ke-17, dekonstruksi absolutisme kekuasaan raja,

semakin intens dilakukan. Rousseau semakin menguatkan konsep

kontrak sosial. Kebebasan dan kesamaan setiap orang merupakan

fondasi dari pembentukan masyarakat modern. Kontrak sosial bukan fakta

historis, melainkan suatu postulat untuk melindungi kebebasan dan

kesamaan dalam masyarakat. Disamping Rousseau, Montesquieu pada

abad ke-18, berjasa meletakkan fondasi organisasi kekuasaan dengan ide

dasar dalam “Trias Politica” adalah, mencegah penumpukan kekuasaan

dalam satu tangan dan kesewenang-wenangan.12

Pada abad ke-19, Supremasi hukum bergeser menjadi supremasi

UU dalam menguatkan pertumbuhan pemikiran positivisme. Pada bidang

ketatanegaraan, kedaulatan rakyat semakin ditegaskan. Jean Bodin

misalnya, menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat.

Kedaulatan direduksi ke dalam tubuh hukum, yang mengarah kesifat

legalistik. Otoritas hukum disandarkan pada otoritas kekuasaan. Hukum

dipisahkan secara tegas dari politik, moral dan keadilan. Konsep

kedaulatan juga ditegaskan oleh Austin, mengenai keutuhan terhadap

hukum. Otoritas politik yang dimiliki oleh negara, menentukan dan

memaksakan keberlakuan hukum. Efektifitas sebuah norma hukum dalam

11
Llyoid L. Weinreb, Natural Law and Justice, (London : Harvard University Press, 1985),
hlm.10.
12
Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, (Jakarta : Mizan, 1996), hlm. 135.

21
proposal penelitian
2
suatu sistem hukum, ditentukan oleh sanksi yang dipaksakan oleh

negara.13

Efektifitas norma hukum disandarkan pada aspek keberlakuan

hukum itu sendiri, berkaitan dengan aspek demokrasi, keadilan, serta

hukum yang berporos pada hati nurani rakyat. Keberlakuan hukum

menyentuh pemahaman Pound mengenai tujuan dalam menerapkan

hukum ditengah-tengah masyarakat. Pound hadir dengan konsep “law as

a tool social control and engenering”. Kondisi sosial masyarakat

termanifestasikan dalam konteks kesejahteraan. Dimensi hukum dalam

konteks ini, menyentuh perubahan-perubahan sosial yang terjadi

ditengah-tengah masyarakat.14 Namun hukum yang didiskripsikan, belum

menyentuh dimensi totalitas antara aspek hukum, karena lebih banyak

menekankan fungsi sosial hukum. Hukum dalam kekuasaan negara,

diharapkan menjadi penetrasi kesewenang-wenangan, yang dapat

menciptakan nilai demokrasi, keadilan, dan HAM.

Perkembangan teori-teori zaman modern mengenai hukum,

kekuasaan dan negara berdasarkan corak masyarakat. Tipologi suatu

masyarakat, menjadi determinasi konsep kekuasaan dalam suatu negara.

Durkheim, membangun teorinya dalam pandangan sosiologis, dan Weber

mengaitkan struktur politik suatu masyarakat dan sistem hukum. Konsep

dominasi dan legitimasi dikedepankan. Format hukum, dibuat berdasarkan

13
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, (Berkley : Univ. of California Press, 1978), hlm. 5.
14
Rouscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, (London : Transaction Publisher,
1999), hlm. 52. Lihat juga Roman Tomasic, The Sociology of Law, (London : Sage Publication,
1978), hlm. 99.

21
proposal penelitian
3
standar kehidupan sosial masyarakat. Pelaksanaan hukum yang dapat

diprediksi oleh masyarakat, merupakan faktor yang menentukan

kepatuhan dan pentaatan terhadap hukum. Format hukum

terpresentasekan dalam tipologi masyarakat, dalam menjelaskan

keberlakuan hukum yang efektif. Keberlakuan yang dimaksudkan,

berkaitan dengan aspek demokrasi, keadilan, serta hukum yang berporos

pada hati nurani rakyat. Hukum yang didiskripsikan, menyentuh dimensi

totalitas antara aspek postulat aturan hukum dengan penekanan fungsi

sosial hukum. Hukum dalam kekuasaan negara, diharapkan menjadi

penetrasi kesewenang-wenangan. Hukum diharapkan membawa andil

dalam menciptakan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan implementasi Hak

Asasi Manusia.

Menjelang abad ke-20, faham demokrasi menjadi sandaran

perkembangan tipologi negara modern. Hukum dan faham demokrasi,

menjadi elemen integratif dalam menata corak masyarakat plural diseluruh

pelosok daerah. Kekuasan dalam suatu negara tersebar, baik antar

lembaga maupun hubungan pusat dan daerah. Pembagian kekuasaan

dalam suatu negara,15 dilandasi dalam dua teori. Pertama, teori secara
15
Ditinjau dari segi pembagian kekuasaan, dibagi menurut garis horisontal dan vertikal. Secara
horisontal didasarkan atas sifat tugas yang berbeda-beda jenisnya, yang menimbulkan berbagai
macam lembaga di dalam suatu negara. Sedangkan secara vertikal melahirkan dua garis
hubungan antara pusat dan daerah dalam sistem desentralisasi dan dekonsentrasi. Menurut teori
Ivor Jennings sebagai sanggahan Teori Trias Politica Montesquieu. Teorinya untuk melihat dan
menilai apakah suatu UUD menganut pemisahan atau pembagian kekuasaan. Pemisahan
kekuasaan (separation of powers) dapat dilihat dari sudut materil dan formil. Sudut materil berarti
pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang
secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan dalam tiga bagian, yaitu;
Legislatif, Eksekutif, Yudikatif disebut sebagai pemisahan kekuasaan. Sebaliknya dari sudut formil,
pembagian kekuasaan tidak dipertahankan secara tegas, disebut pembagian kekuasaan.
Pembagian kewenangan yang dimaksudkan adalah bukan distribusi kekuasaan yang berupa
pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara, yaitu :
bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif seperti teori “trias politica” yang dipopulerkan oleh

21
proposal penelitian
4
vertikal, melahirkan garis hubungan pusat dan daerah yang berwujud

dalam sistem desentralisasi dan dekonsentrasi. Kedua, teori secara

horisontal, didasarkan pada sifat tugas yang berbeda jenisnya, yang

diwujudkan dalam kekuasaan berbagai macam lembaga dalam suatu

negara.

Pembagian kekuasaan ini, diharapkan bisa mengantar dalam

merubah kondisi pemerintahan dan sosial masyarakat. Kondisi sosial

masyarakat termanifestasikan dalam konteks kesejahteraan, yang

menyentuh dimensi perubahan-perubahan sosial yang terjadi ditenga-

tengah masyarakat.16 Perubahan yang terjadi, mengaitkan elemen hukum,

ekonomi, dan politik dalam satu sistem, yang saling mempengaruhi dalam

aplikatifnya, sehingga hukum dapat diposisikan sebagai elemen integratif

dari elemen lainnya. Kekuasaan sebagai implementasi konsep kedaulatan

yang ada dalam negara, diwujudkan melalui sejauhmana luas atau lingkup

(scope of power) kekuasaan itu sendiri dan sejauhmana jangkauan yang

dimilikinya (domain of power). Nagel17 membahas kedaulatan dalam

pendekatan, bahwa luas atau lingkup kedaulatan menyentuh soal

kegiatan yang tercakup dalam kedaulatan, sedangkan jaungkauan

kedaulatan menyentuh soal siapa yang menjadi pemegang kedaulatan.

Mountesqiue, tetapi distribusi kekuasaan yang dimaksud adalah berupa pembagian kompetensi
mengatur dan mengurus, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang pada hakekatnya
adalah perihal penentuan hal apakah (matters) yang termasuk wewenang pemerintah pusat dan
hal apakah yang termasuk wewenang pemerintah daerah”. Sementara Carl J. Friedrich memakai
istilah pembagian kekuasaan secara territorial (territorial division of power) atau pembagian
kekuasaan secara vertikal.
16
Roman Tomasic, The Sociology of Law, (London : Sage Publication, 1978), hlm. 99.
17
Jack H. Nagel, The Discriptive Analisis of Power, (New Haven : Yale University Press, 1975),
hlm. 14.

21
proposal penelitian
5
Lingkup kedaulatan yang dimaksud meliputi proses pengambilan

keputusan untuk mengukur seberapa besar kekuatan keputusan yang

ditetapkan, sementara jangkauan kedaulatan terkait pada siapa yang

memegang kekuasaan tertinggi dan apa yang menjadi objek sararan

dalam pengambilan keputusan atau wewenang apa yang dimiliki

pemegang kekuasaan tersebut. Pembagian kekuasaan dalam negara,

dibahas lebih lanjut oleh Friedrich dalam paham konstitusionalismenya.

Sedangkan Maass, melihat pembagian kekuasaan dalam dua hal, yaitu :

Capital Division of Power sebagai pembagian kekuasaan secara

horisontal atau sering dipersamakan dengan pemisahan kekuasaan

(Separation of Power) dan Areal Division of Power sebagai pembagian

kekuasaan secara vertikal.18

Smith melihat bahwa tujuan dalam areal division of power,

dibedakan dalam dua kategori, yaitu sudut pandang pemerintah pusat

meliputi empat tujuan utama yang diharapkan, yaitu : 1. pendidikan politik.

2. pelatihan kepemimpinan. 3. penciptaan stabilitas politik; serta 4.

mewujudkan demokratisasi sistim pemerintahan di daerah. Konsep

kekuasaan pemerintah daerah, menyangkut tentang struktur hukum yang

bisa berwujud format bentuk dan susunan negara, pemerintahan di

daerah, lembaga pemerintahan pusat dan daerah, serta aparatur

pemerintahan pusat dan daerah. Dari sisi substansi hukum tercermin,

18
Carl J. Friedrich, Constituional Government and Democracy : Theory and Practice in Europe
and America, 5 th ed. (Weltham Mass : Blaisdel Publishing Company, 1967), hlm. 5. Lihat juga
Arthur Maass, Area and Power : A Theory of Local Government, (Glencoe, Illinois : The Free Press,
1959), hlm. 10.

21
proposal penelitian
6
apresiasi pemerintah dan daerah terhadap aturan-aturan formal,

mengenai perwujudan sendi pelaksanaan pemerintahan di daerah.

Sementara sudut pandang pemerintah di daerah meliputi tiga tujuan

utama: 1. Sarana dalam mewujudkan political equality (sarana partisipasi

dibidang politik). 2. Sarana dalam mewujudkan local accountability

(sarana dalam pertanggungjawaban wewenang yang dimiliki). 3. Sarana

dalam mewujudkan local responsiveness (sarana bagi pemerintah daerah

dalam menanggapi secara cepat masalah yang muncul ditengah

masyarakat di daerah).

Kewenangan pemerintah daerah dalam konteks negara kesatuan,

bukan hanya berkenaan dengan pembagian kekuasaan tetapi yang lebih

penting adalah bagaimana proses dan mekanisme pendelegasian

kewenangan itu. Beberapa teori yang menaruh perhatian terhadap kaitan

antara elemen ini adalah, masalah legalitas kewenangan yang

didapatkan, serta dari mana sumber kewenangan tersebut, dan bagimana

proses penyerahan atau pelimpahan kewenangan itu. Asas legalitas yang

dimaksudkan adalah bahwa setiap tindakan badan atau pejabat tata

usaha negara, harus berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku positif (UU formal). Asas legalitas ini, menjadi dasar

kewenangan dalam menyelenggarakan pemerintahan, baik ditingkat

pemerintah pusat maupun ditingkat pemerintah daerah. Kewenangan

pemerintahan bersumber dari originale legislator yang diartikan sebagai

kekuasaan atau kewenangan yang bersumber dari pembuat UU asli.

21
proposal penelitian
7
Kewenangan pemerintahan, baik pada pemerintahan pusat

maupun pemerintahan daerah, dapat diperoleh melalui “atribusi, delegasi

dan mandat”. Pembentuk UU menentukan suatu organ pemerintahan

berikut wewenangnya baik kepada organ yang sudah ada maupun yang

baru dibentuk. Delegasi kewenangan Atribusi (atributive), hanya dapat

dilakukan oleh pembentuk undang-undang orisinil. Sedangkan Delegasi

(delegative) merupakan penyerahan wewenang dari badan atau pejabat

pemerintahan yang satu kepada badan atau pejabat pemerintahan

lainnya. Wewenang yang diperoleh dari delegasi itu dapat pula disub-

delegasikan kepada sub-delegataris, berlaku sama dengan proses

delegasi. Jadi wewenang yang diperoleh dari atribusi dan delegasi dapat

dimandatkan kepada organ atau pegawai-pegawai bawahan bilamana

organ atau pejabat yang secara resmi memperoleh wewenang itu tidak

mampu melaksanakan sendiri wewenang tersebut.

Sementara Mandat (mandaat) mengandung pengertian perintah

(opdracht), yang didalam pergaulan hukum, baik pemberian kuasa

(lastgeving) maupun kuasa penuh (volmacht). Ciri pokok mandat adalah

suatu bentuk perwakilan, mandataris berbuat atas nama yang diwakili.

Hanya saja pada mandat, mandans tetap berwenang untuk menangani

sendiri wewenangnya bila ia menginginkannya. Mandans juga dapat

memberi segala petunjuk kepada mandataris yang dianggap perlu.

Mandans beratangung jawab sepenuhnya atas keputusan yang diambil

21
proposal penelitian
8
berdasarkan mandat, sehingga secara yuridis-formal bahwa mandataris

bukan orang lain dari mandans.19

Menurut Lubberdink, bahwa pertanggungjawaban untuk

pelaksanaan wewenang tetap pada pemberi kuasa, sebab pemberi kuasa

yang memberikan petunjuk baik yang umum maupun petunjuk khusus

kepada mandataris. Berbagai kemungkinan suatu badan atau pejabat

administrasi negara memperoleh wewenangnya melalui atribusi, delegasi

dan mandat. Untuk itu, dalam pengembangan studi atas penulisan dan

pembahasan disertasi ini, akan dihubungkan keterkaitan masalah-

masalah yang akan dibahas dan dicarikan jawaban dengan teori yang

dipergunakan sebagai pisau analisis. Pisau analisis yang akan dipakai

sebagai landasan teori pembedahan, yaitu digunakan konsep legalitas

dan kewenangan (atribusi, delegasi, mandat) sebagai teori utama (grand

theory), konsep bentuk dan susunan negara, konsep pembagian

kekuasaan dan konsep negara hukum serta konsep negara demokrasi

sebagai teori madya atau teori pendamping (middle range theory). Teori

yang dimaksudkan disini, mengacu pada pengertian: “bahwa teori adalah

sekumpulan pemahaman-pemahaman, titik-tolak, dan asas-asas yang

saling berkaitan, memungkinkan pemahaman kearah yang lebih baik

terhadap sesuatu yang akan didalami”.

19
Delegasi selalu dituntut adanya dasar hukum, karena bila delegans ingin menarik kembali
wewenang yang telah didelegasikannya, maka harus dengan peraturan perundang-undangan yang
sama. Mandat mengenai kewenangan penguasaan diartikan dengan pemberian kuasa (biasanya
bersamaan dengan perintah) oleh alat perlengkapan pemerintah yang memberi wewenang ini
kepada yang lain, yang akan melaksanakannya atas nama tanggungjawab alat pemerintah yang
pertama tersebut. Pada mandat tidak ada penciptaan ataupun penyerahan wewenang.

21
proposal penelitian
9
Signifikansi teori ini, terletak pada faktor-faktor berikut. Pertama,

kemunculan, perkembangan dan formulasi sistem otonomi daerah

kewenangan pemerintah daerah tidak terlepas dari cita bernegara,

konstitusi sebagai norma hukum dasar negara, dan peraturan organik

lainnya, serta sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak pra-kemerdekaan

sampai pasca-kemerdekaan. Kedua, rumusan kewenangan pemerintah

daerah berlangsung dalam tatanan sosial yang dipenuhi dengan nilai,

orientasi, dan harapan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat.

Kekuatan tersebut saling mempengaruhi. Ketiga, konsep pelaksanaan

pemerintah daerah, tidak terlepas dari proses demokratisasi pemerintahan

yang berlandaskan hukum, implementasi hak-hak asasi manusia,

pemberdayaan potensi dan aspirasi masyarakat dalam pemerintahan, dan

pemberian keleluasaan dan kebebasan masyarakat di daerah untuk

berinisiatif dan berkreasi untuk mengembangkan daerahnya.

B. Konsep Kajian Penelitian.

Konsepsi pelaksanaan pemerintahan di daerah, merupakan salah

satu sarana dalam mewujudkan pemerintahan yang bersifat demokratis,

yang melibatkan seluruh potensi masyarakat untuk ikut serta memikirkan

dan mengurus pemerintahan di daerah. Kekuasaan pada negara kesatuan

terletak pada pemerintah pusat sehingga cenderung bersifat sentralistik,

walaupun sisi lainnya bisa berbentuk desentralistik. Bentuk sentralisasi

bermakna bahwa segala garis kebijaksanaan dilaksanakan secara

terpusat, dan bentuk desentralisasi bermakna bahwa segala garis

22
proposal penelitian
0
kebijaksanaan dalam penyelenggaraan dipencarkan, memberikan

kewenangan “zelfwetgeving” (membuat perda) dan kewenangan

“zelfbestuur” (penyelenggaraan pemerintahan).20

Ditinjau dari sudut kedaulatan yang terdapat dalam negara

kesatuan tidak dapat dibagi-bagi, pelimpahan wewenang dari pemerintah

pusat kepada daerah-daerah otonom, bukanlah karena hal itu ditetapkan

dalam konstitusinya, melainkan disebabkan oleh hakekat daripada negara

kesatuan itu sendiri. Prinsip pada negara kesatuan ialah, bahwa yang

memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah

pemerintah pusat (central government) tanpa adanya gangguan oleh

suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah

(local government). Berkaitan dengan hal tersebut, Van den Berg 21

mengatakan: “dat in een gedecentraliseerde eenheidstaat steeds een

spanning tussen centralisatie een decentralisatie zalblijven bestaan”.

Pengaturan pelaksanaan kekuasaan negara mempunyai dua

bentuk, yaitu dipusatkan atau dipencarkan. Jika kekuasaan negara

dipusatkan terjadi sentralisasi, demikian pula kalau kekuasaan negara

dipencarkan terjadi desentralisasi. Dalam berbagai perkembangan

pemerintahan, dijumpai arus balik yang kuat kearah sentralistik, yang

20
Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, (Bandung : Alumni, 1982), hlm. 7.
Kewenangan “zelfwetgeving” diberikan batasan pengertian sebagai kewenangan daerah
membentuk peraturan perundang-undangan sendiri. Kewenangan “zelfbestuur” diartikan sebagai
salah satu usaha pemerintah dalam mengambil tindakan buat melayani kesejahteraan umum, atau
sebagai kewenangan untuk melakukan pemerintahan sendiri,
21
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta:Sinar
Harapan,1994), hlm. 17.

22
proposal penelitian
1
disebabkan faktor-faktor tertentu:22 Negara kesatuan ialah suatu negara

yang merdeka dan berdaulat, dimana diseluruh negara yang berkuasa

hanyalah satu pemerintah (pusat) yang mengatur seluruh daerah.

Kecenderungan perkembangan kearah sentralisasi dalam suatu negara

kesatuan, tidak dapat menghilangkan bentuk desentralisasi, karena

kegiatan-kegiatan pemerintahan tidak hanya dilakukan dipusat saja, tetapi

juga pada tiap daerah.23

Masalah sentralisasi dan desentralisasi di dalam negara kesatuan,

tergantung pada banyak hal. Seringkali falsafah politik bangsa tertentu,

memberikan pencerminan pada tata cara penyelenggaraan pemerintahan.

Banyak negara-negara dengan pandangan sosialis yang tradisional dan

dengan cara perencanaan terpusat yang konprehensif dan ketat, lebih

melaksanakan dentralisasi. Perbedaan antara asas sentralisasi dan asas

desentralisasi, terletak pada wewenang memutuskan tentang masalah-

masalah urusan negara, diantara jabatan-jabatan yang ada. Makna

22
Pertama ; secara umum sentralisasi mengandung berbagai kebaikan, antara lain:
Sentralisasi meletakkan dasar kesatuan politik masyarakat (de politieke eenheid van
degemeenschap); Sentralisasi dapat merupakan alat untuk memperkokoh perasaan persatuan
(versterking van hesaamhorigheidsgefoel); Sentralisasi mendorong kesatuan dalam pelaksanaan
hukum (de eenheid van rechts bedeling); Sentralisasi membawa kepada penggalangan kekuatan
(bundeling van krachten); Dalam keadaan tertentu sentralisasi dapat lebih efesien. Kedua;
Kecenderungan sentralisasi yang timbul sebagai akibat perkembangan negara kesejahteraan,
didorong oleh faktor-faktor, yaitu : Untuk menjamin keseragaman pelayanan (equal treatment)
terhadap semua warga negara atau penduduk. Perbedaan-perbedaan ini dapat dapat dirasakan
sebagai ketidak-adilan. Untuk menghindarinya, maka pusat akan membuat berbagai aturan dan
kebijaksanaan yang akan menjamin pelaksanaan pelayanan itu. Dengan demikian, daerah akan
kehilangan atau setidak-tidaknya dikurangi haknya dalam mengatur dan mengurus urusan
tersebut;
23
Tujuan desentralisasi adalah : 1. Mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan
tentang masalah-masalah kecil pada tingkat lokal. Demikian pula memberikan peluang untuk
koordinasi pelaksanaan pada tingkat lokal. 2. Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan
mereka terhadap usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada tingkat lokal, dapat
merasakan keuntungan dari pada kontribusi kegiatan mereka itu. 3. Penyusunan program-program
untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal, sehingga dapat lebih realistis. 4. Melatih rakyat
untuk bisa mengatur urusannya sendiri (self government). 5. Pembinaan kesatuan nasional.

22
proposal penelitian
2
desentralisasi pada negara kesatuan, adalah sebagai wujud amanat

konstitusi dan hakekat negara kesatuan, dalam hal pemberian

kewenangan untuk melaksanakan urusan-urusan yang bisa menjadi

urusan rumah tangga daerah. Sementara dalam arti ketatanegaraan, yang

dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan

dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi

urusan rumah tangganya.

Philipus M. Hadjon berpandangan, bahwa wewenang untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, tidak semata-mata

dilakukan oleh pemerintah pusat. Melainkan, dilakukan juga oleh satuan-

satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam satuan territorial

maupun fungsional. Satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah,

diserahi dan dibiarkan mengatur sendiri sebagian urusan pemerintahan.

Kekuasaan pemerintah pusat, tidak terganggu adanya kewenangan pada

daerah-daerah otonom. Walaupun daerah-daerah otonom diberikan

otonomi yang luas, sama sekali tidak bermakna untuk mengurangi

kekuasaan pemerintah pusat.24 Jadi kewenangan yang melekat pada

daerah, tidaklah berarti bahwa pemerintah daerah itu berdaulat, sebab

kekuasaan tertinggi masih tetap terletak di tangan pemerintah pusat.

Kajian Hukum Tata Negara menggambarkan, bahwa pemerintah

yang berdasarkan asas desentralisasi disebut “staatskundige

decentralisatie”, atau desentralisasi politik, dimana rakyat melalui wakil-

24
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Indonesia, (Yokyakarta : Gadjah Mada Press, 1994),
hlm. 112.

22
proposal penelitian
3
wakilnya turut serta dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah, dalam

batas wilayah daerah masing-masing. Dekonsentrasi merupakan

“ambtelijke decentralisastie” atau “delegatie van bevoegdheid”, yakni

pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan negara di pusat kepada

instansi bawahan, guna melaksanakan pekerjaan tertentu dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah pusat tidak kehilangan

kewenangannya, karena instansi bawahan melaksanakan tugas atas

nama pemerintah pusat. Suatu “delegatie van bevoedgheid” bersifat

instruktif. Pelimpahan kewenangan (delegation of authority) dalam

“staatskundige decentralisatie”, berakibat beralihnya kewenangan

pemerintah pusat secara tetap kepada pemerintah daerah.

Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan urusan dari

pemerintah pusat kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.

Bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan, keuangan serta

sebagai usaha pendemokratisasian pemerintahan, untuk

mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan

pemerintahan di daerah. Adanya pelimpahan kewenangan kepada

pemerintah daerah, tidak sebagai sesuatu yang harus ditakuti oleh

pemerintah pusat, karena pemberian kewenangan tidak akan terlepas dari

kordinasi dan pengawasan pemerintah pusat. Pemberian otonomi kepada

daerah, hanya sebagai salah satu usaha untuk lebih melancarkan tugas

dan tanggungjawab pemerintah pusat, dalam penyelenggaraan

pemerintahan, pembangunan dan pelayanan di setiap daerah.

22
proposal penelitian
4
Mengenai konsep kewenangan pemerintah daerah, sering terjadi

perbedaan penafsiran dikalangan para pakar. Otonomi daerah merupakan

esensi pemerintahan desentralisasi. Namun, dalam perkembangan

otonomi daerah, selain mengandung arti “zelfwetgeving“ (membuat

perda), juga mencakup “zelfbestuur” (pemerintahan sendiri). Van Der Pot

memahami konsep otonomi daerah sebagai “eigen huishouding”

(menjalankan rumah tangga sendiri dan berhak mengatur sendiri

daerahnya). Daerah mempunyai kebebasan inisiatif dalam

penyelenggaraan rumah tangga dan pemerintahan di daerah. Otonomi

adalah kebebasan dan kemandirian satuan pemerintahan lebih rendah,

untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan

pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu,

menjadi tanggungjawab satuan pemerintahan yang lebih rendah. Format

otonomi yang seluas-luasnya, mengundang perdebatan dikalangan pakar.

Satu sisi, konsep otonomi daerah yang seluas-luasnya, berkonotasi untuk

membangun “image” bakal munculnya ide negara bagian dalam federal

state.

Sementara sisi lainnya menganggap, bahwa hal tersebut

beralasan, karena dengan mewujudkan otonomi daerah yang seluas-

luasnya, rakyat cenderung tidak lagi membayangkan negara federal.

Dalam gagasan Laica, bahwa konsep otonomi yang seluas-luasnya,

merupakan salah satu upaya untuk menghindari ide negara federal.

Sekalipun ide negara federal tidak dapat dipandang secara apriori,

22
proposal penelitian
5
sebagai hal yang tabu dalam membangun kehidupan bernegara bagi

rakyat banyak. Soehino melihat, bahwa cakupan otonomi seluas-luasnya

bermakna, penyerahan urusan sebanyak mungkin kepada daerah untuk

menjadi urusan rumah tangga sendiri. Disisi lain, M. Nasroen

berpandangan, bahwa otonomi daerah yang seluas-luasnya bukan tanpa

batas, sehingga meretakkan negara kesatuan. Otonomi daerah tidak

boleh meretakkan apalagi memecah belah negara kesatuan. Teramat

pentinglah dasar kesatuan ini dalam mendudukannya dengan dasar

otonomi seluas-luasnya. Kaitan antara negara kesatuan dengan otonomi

daerah yang seluas-luasnya, Nasroen lebih jauh berpendapat, bahwa

teramat pentinglah dasar kesatuan ini dalam mendudukkannya dengan

dasar otonomi seluas-luasnya. Otonomi seluas-luasnya, tentunya tidak

boleh bertentangan dengan dasar kesatuan, dan dasar kesatuan

sebaliknya tentulah tidak boleh melenyapkan wujud dari otonomi seluas-

luasnya.25

Di dalam negara kesatuan, seluas-luasmya sistem otonomi,

dibatasi oleh kekuasaan pemerintah negara kesatuan. Negara Kesatuan

(eenheidstaat) tidak dapat meniadakan otonomi daerah. Betapapun

luasnya otonomi daerah, tidak menghilangkan ikatan dalam wadah negara

kesatuan. Dasar otonomi yang seluas-luasnya, pemerintah pusat hanya

25
Soehino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, (Yokyakarta : Liberty, 1980), hlm 50.
Urusan rumah tangga daerah mencakup beberapa hal, antara lain : 1. Segenap urusan
pemerintahan yang tidak termaktub sebagai kewenangan pemerintah pusat beralih menjadi urusan
rumah tangga daerah otonom. 2. Urusan penyelenggaraan rumah tangga sebanyak mungkin
diserahkan kepada daerah otonom, kecuali apa yang secara tegas dimaktub sebagai kewenangan
pemerintah pusat. 3. Betapapun luasnya cakupan otonomi daerah, keluasan dimaksud tetap dalam
lingkup Negara Kesatuan. Lihat M.Nasroen, Masalah Sekitar Otonomi Daerah, (Jakarta : J.B.
Wolters, 1951), hlm. 28.

22
proposal penelitian
6
akan mengatur hal-hal dan masalah-masalah yang harus diatur

pemerintah pusat itu sendiri, dan segala sesuatu yang tidak termasuk

keharusan itu, pada pokoknya harus diatur oleh pemerintah daerah. Agar

tidak terdapat pelbagai penafsiran otonomi yang seluas-luasnya dalam

sistem ketatanegaraan kita, sudah selayaknya dalam UU pemerintahan

daerah dirumuskan ketentuan hukum yang memberikan batasan

penafsiran dan pengertian yang sah, bahwa mengurus dan mengatur

rumah tangga otonomi yang seluas-luasnya, meliputi segala sesuatu

kepentingan umum masyarakat di daerah, sepanjang tidak termasuk atau

ditarik ke dalam pengurusan pusat atau daerah yang lebih atas.

Prinsip otonomi daerah dalam sejarah ketatanegaraan, didasari

pada landasan hukum yang berbeda-beda. Pada orde lama lain dengan

pada orde baru, demikian pula pada orde reformasi. Pada prinsipnya

otonomi daerah harus mencerminkan 3 (tiga) hal, yaitu: 1. Harus serasi

dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa. 2. Harus dapat menjamin

hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar

keutuhan negara kesatuan. 3. Harus dapat menjamin perkembangan dan

pembangunan daerah. Jika dirangkaikan secara sistematik, tujuan dan

cita-cita pelaksanaan pemerintahan desentralisasi, sebagai sumber

pemerintahan yang demokratis, secara langsung melibatkan seluruh

masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Keterlibatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan

22
proposal penelitian
7
di Indonesia tidak bisa ditawar, karena kedudukan rakyat menjadi sentral

dalam kehidupan bernegara.

Otonomi daerah memberi kewenangan mengatur dan mengurus

rumah tangga sendiri. Untuk itu, apabila sungguh-sungguh diinginkan

untuk meralisasi cita-cita otonomi daerah, maka pembenahan dan

perhatian perlu diberikan untuk mengantisipasi faktor yang

mempengaruhinya. Disadari bahwa, permasalahan otonomi daerah

sebagai suatu bentuk, bukan terletak pada konsep itu sendiri, tetapi

bagaimana merealisasikannya. Begitupula dalam realisasinya,

membutuhkan berbagai prasyarat dan instrumen hukum yang bisa

dijadikan sebagai landasan gerak, tidak saja bersifat struktural, melainkan

kultural bahkan kesungguhan penyelenggara negara. Disinilah

relefansinya untuk menguji dan mengungkap bagaimana tafsir historis,

yang kemudian dari tafsir tersebut otonomi daerah dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia direalisasikan.

22
proposal penelitian
8
Gambar 1: Diagram Kerangka Pikir

UUD NRI TAHUN 1945


UU PEMERINTAHAN DAERAH

PENATAAN HUKUM HAKEKAT KONSEP OTONOMI


DAERAH DALAM MEWUJUDKAN KEPEMERINTAHAN
YANG BAIK DI INDONESIA

LANDASAN PENYELENGGARAAN MODEL OTONOMI


PEMBERLAKUAN OTONOMI
OTONOMI

Landasan Filosofis Hub. Kewenangan Simetris


Landasan Yuridis Hub. Keuangan Asimetris
Landasan Sosiologis Pemberdayaan masyarakat
Landasan Politis Kepemerintahan yang baik

TERWUJUDNYA MODEL OTONOMI DAERAH


UNTUK KEPEMERINTAHAN YANG BAIK DI
INDONESIA

22
proposal penelitian
9
DIAGRAM KONSEPTUAL
Cita dan Idea
Konstitusi
Bernegara
UU, PP, Per.
Lainnya PENDIRIAN NKRI

Negara Kesatuan/Republik
Negara Hukum/Demokrasi

Pergantian UUD Pergantian UU


Pemerintahan PUSAT PEMDA
Pemerintahan Daerah

Landasan Teori Landasan Hukum


OTONOMI DAERAH

ATRIBUSI DESENTRALISASI
DELEGASI DEKONSENTRASI
MANDAT TUGAS PEMBANTUAN

PELAKSANAAN PEMERINTAHAN NKRI


YANG EFISIEN DAN EFEKTIF

23
proposal penelitian
0
C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang permasalahan,

maka hipotesis yang dapat disusun yaitu sebagai berikut:

1. Hakekat Pelaksanaan Pemerintahan Daerah di NKRI tentunya menjadi

perdebatan Para Pendiri Bangsa dalam pendiriaannya yang senantiasa

terpolarisasi dalam pandangan antara lain: Kelompok Pertama,

menghendaki pendirian Negara Federal dan Monarchie, sementara

Kelompok Kedua menghendaki pendirian Negara Kesatuan dan

Republik. Polarisasi pandangan kedua kelompok menjadi perdebatan

sengit, yang akhirnya menerima kesepakatan bahwa Negara Indonesia

didirikan dalam susunan Kesatuan dan bentuknya republic.

2. Penyusunan hukum dasar negara, memberikan justifikasi konstitusional

bahwa pelaksanaan pemerintahan sesuai dengan kaidah pasal 18 UUD

RI 1945, memberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk

melaksanakan kewenangan dalam hal mengatur dan mengurus

daerahnya.

3. Pelaksanaan sistem otonomi daerah, merupakan cerminan dari kaidah

konstitusi sesuai dengan cita dan idea bernegara serta filisofi pendirian

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Penafsiran kaidah otonomi daerah yang termaktub dalam hukum dasar

Negara, disesuaikan dengan visi dan misi pemerintah yang sementara

berkuasa serta perubahan kaidah dalam UU yang menjadi landasan

pelaksanaan PEMDA.

23
proposal penelitian
1
5. Pelaksanaan otonomi daerah dalam hukum dasar negara dan

peraturan yang (pernah) berlaku positif, mengatur mengenai prosedur

dan mekanisme pendelegasian kewenangan dalam mewujudkan

pelaksanaan pemerintahan yang efektif di Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

6. Kaidah yang termaktub dalam hukum dasar negara dan peraturan

perundangan-undangan yang (pernah) berlaku positif, mengatur secara

eksplisit jenis dan besaran kewenangan yang didelegasikan dalam

pelaksanaan otonomi daerah dalam mengatur dan mengurus

pelaksanaan pemerintahan di daerah.

7. Kaidah dan norma otonomi daerah yang termaktub dalam hukum dasar

negara dan peraturan perundangan-undangan, mengalami pergeseran

makna dan kaidah dari waktu ke waktu dalam wujud politik hukum

pemerintah.

23
proposal penelitian
2

Anda mungkin juga menyukai