Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

HUKUM AGRARIA

DOSEN PENGASUH : YACOB FERDINAN MARTONO,SH.MH

Disusun Oleh:

1. ERIK SOSANTO EAA 110 039


2. FERRY ERYANDI.S EAA 110 021

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
TAHUN 2011
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah.


Beberapa kajian terhadap Hukum Agraria sudah banyak dilakukan oleh berbagai
kalangan, baik dalam bentuk buku-buku referensi, jurnal ilmiah dan di dalam seminar-
seminar serta simposium yang bertajuk Agraria. Tetapi kajian-kajian tersebut tidak begitu
fokus mengkaji tentang sejarah hukum agraria, bagaimana lahirnya hukum agraria di
Indonesia sampai terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960. Bahkan wacana
untuk mengamandemen Undang-undang Pokok Agraria, yang selanjutnya dalam makalah
ini disebut UUPA, terus dilakukan guna menyesuaikan peraturan-peraturan di bidang ke-
agrariaan yang sudah dianggap tidak mengakomodir perkembangan masyarakat. Ini
membuktikan bahwa hukum , khususnya hukum agararia terus berkembang seiring dengan
perkembangan dan kebutuhan masayarakat, untuk itu diperlukan suatu kajian ilmiah tentang
bagaimana rangkaian sejarah (hukum) hukum agraria Indonesia guna mengetahui setiap
perkembangan yang terjadi di bidang agraria. Dengan demikian setidaknya dari kajian itu
dapat diperoleh bahan untuk dijadikan pegangan dalam melakukan pembaharuan (hukum)
terhadap hukum agraria.

1.2 Perumusan Masalah.


Merujuk substansi yang akan dibahas di dalam makalah ini terfokus kepada sejarah
hukum agraria sebagai salah satu bagian yang integral dari sistem hukum Indonesia yang
memainkan peranan penting dalam upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-
cita dan tujuan Negara. Dalam kajian terhadap hukum agraria ini penulis melakukan kajian
dari pendekatan sejarah.
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dikaji dalam makalah ini
adalah :

1. Bagaimana proses sejarah belakunya hukum agararia di Indonesia sampai dengan


terbentuknya UUPA 1960 ?
2. Bagaimana pengertian dan ruang lingkup hukum agrarian ?
3. Hukum agraria dan pertanahan dalam pembaruannya ?

1.3 Tujuan Penulisan.


Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :

a. Mengetahui proses sejarah dalam lintasan waktu dan kala dalam bidang sejarah
hukum Indonesia.
b. Mengetahui dan memahami perkembangan yang dialami hukum agraria Indonesia
sampai dengan saat sekarang ini.

1.4 Metode Penulisan.


Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada buku-buku
referensi yang berhubungan dengan hukum agraria dan situs internet.

1.5 Manfaat Penulisan.


Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Sebagai media untuk menambah wawasan.
b. Bahan referensi aktual .
c. Bahan bacaan dan pengetahuan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Berlakunya Hukum Agraria di Indonesia.


A. Hukum Agraria Kolonial.
Dari segi berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Hukum agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku
sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960; dan
2. Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.

Dari konsideran UUPA di bawah kata ”menimbang”, dapat diketahui beberapa ciri
dari hukum agraria kolonial pada huruf b, c dan d, sebagai berikut :
1. Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan
tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya,
hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan
revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
2. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat
di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.

Beberapa ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan sifatnya dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Sebelum tahun 1870.
a. Pada masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie).
VOC didirkan pada tahun 1602–1799 sebagai badan perdagangan sebagai
upaya guna menghindari persaingan antara pedagang Belanda kala itu. VOC tidak
mengubah struktur penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali pajak hasil dan kerja
rodi.
Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat
Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain :
1). Contingenten.
Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial
(kompeni). Petani harus menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya kepada
kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
2). Verplichte leveranten.
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang
kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya
juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-
benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka
hasilkan.
3). Roerendiensten.
Kebijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat
Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.

b. Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811).


Awal dari perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan
penjualan tanah, hingga menimbulkan tanah partikelir.
Kebijakannya itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada
orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah itulah yang kemudian
disebut tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai
sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya ialah
adanya hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke
rechten atau hak pertuanan. Hak pertuanan, misalnya :
a. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta memberhentikan
kepal-kepala kampung/desa;
b. Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja
paksa dari penduduk;
c. Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang maupun
hasil pertanian dari penduduk;
d. Hak untuk mendirikan pasar-pasar;
e. Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
f. Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput untuk
keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-
gudangnya dan sebagainya.

c. Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816).


Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government
dinyatakan sebagai eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan
pajak bumi.
Dari hasil penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa
disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai
dan menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris,
maka sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dengan
sendirinya beralih pula kepa Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang
dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik Raja Inggris.
Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris,
sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri.
Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a. Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada petani pemilik tanah, tetapi
ditugaskan kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan utnuk
menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.
b. Kepala desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada
pemilikan tanah oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna memperlancar
pemasukan pajak tanah. Dapat dikurangi luasnya atau dapat dicabut
penguasaannya, jika petani yang bersangkutan tidak mau atau tidak mampu
membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya, tanah yang bersangkutan akan
diberikan kepada petani lain yang sanggup memenuhinya.
c. Praktik pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur tentang
pemilikan tanah rakyat sebagian besarnya kekuasaan kepal desa. Seharusnya luas
pemilikan tanahlah yang menentukan besarnya pajak yang harus dibayar, tetapi
dalam praktik pemungutan pajak tanah itu justru berlaku yang sebaliknya.
Besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang menentukan luas tanah yang boleh
dikuasai seseorang.

d. Masa Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch.


Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkan kebijakan
pertanhan yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel.
Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis
tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak langsung dibutuhkan oleh pasar
internasional paa waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah
kolonial tanpa mendapat imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak
mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima
bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun.
Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan
pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping
pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas
dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan
waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu
adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yang biasa disewa adalah tanah-
tanah negara nyang masih kosong.

2. Sesudah tahun 1870 (hukum tanah administratif Belanda).


A. Agrarische Wet (AW).
Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting dari
hukum agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pemerintah masa
itu sebagai permulaan hukum agraria barat. Ide awal dikelularkannya Agrarische Wet
(AW) ini adalah sebagai respon terhadap keinginan perusahaan-perusahaan asing
yang bergerak dalam bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-
hak rakyat atas tanahnya harus dijamin.
AW ini merupakan undang-undang di negeri Belanda, yang diterbitkan pada
tahun 1870, dengan diundangkan dalam S.1870-55. dimasukkannya ke Indonesia,
dengan memasukkan Pasal 62 RR, yang pada mulanya terdiri dari 3 ayat, dengan
penambahan 5 ayat tersebut sehingga Pasal 62 RR menjadi 8 ayat, yakni ayat 4
sampai dengan ayat 8. pada akhirnya Pasal 62 RR ini menjadi Pasal 51 IS.
Pasal 51 IS ini memuat :
Ayat (1) : Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
Ayat (2) : Di dalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah
yang tidak luas, yang diperuntukan perluasan kota
dan desa serta mendirikan bangunan-bangunan
kerajinan/industri.
Ayat (3) : Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah dnegan
ketentuan yang ditetpakan dengan ordonansi. Ada
pun tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang
Indonesia asli, atau yang dipunyai oleh desa sebagai
tempat pengembalaan umum atau atas dasar lainnya
tidak boleh dipersewakan.
Ayat (4) : Menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan
ordonansi diberikan tanah dengan Hak Erfacht
selama waktu tidak lebih dari 75 tahun.
Ayat (5) : Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai ada
penberian Hak yang melanggar Hak penduduk asli.
Ayat (6) : Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-
tanah yang telah dibuka oleh orang-orang Indonesia
asli untuk keperluan mereka sendiri, atau tanah-tanah
kepunyaan desa sebagai tempatpengembalaan umum
atas dasar lainnya, kecuali untuk kepentingan umum
berdasrkan Pasal 133 dan untuk keperluan
pengusahaan tanaman yang diselenggarakan atas
perintah atasan dengan pemberian ganti rugi atas
tanah.
Ayat (7) : Tanah yang dipunyai oleh orang-orang Indonesia asli
dengan Hak Milik (hak pakai perseorangan yang
turun temurun) atas permintaan pemiliknya yang
syah diberikan kepadanya dengan hak eigendom
dengan pembatasan-pembatasan seperlunya yang
ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam
surat eigendomnya, yakni mengenai kewajiban-
kewajiban terhadap negara dan desa serta wewenang
untuk menjualnya kepada bukan orang Indonesia
asli.
Ayat (8) : Menyewakan tanah-tanah atau menyerahkan tanah
untuk dipakai oleh orang-orang Indonesia asli,
kepada bukan orang Indonesia asli dilakukan
menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan
ordonansi.

Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di


negeri Belanda yang karenan keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal,
karenanya memerlukan bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan
banyaknya persediaan tana hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu
menuntut untuk diberikannya kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan
besar. Sejalan dengan semangat liberalisme yang sedang berkembang dituntut
pengantian sisten monopoli negara dan kerja paksa dalam melaksanakan cultuur
stelse, dengna sisitem persaingan bebasa dan sistem kerja bebas, berdasarkan
konsepsi kapitalisme liberal.
Tuntutan untuk mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa dengan
tujuan bisnis tersebut, sejalan dengan tuntutan berdasarkan pertimbangan
kemanusiaan dari golongan lein di negeri Belanda, yang mellihat terjadinya
penderitaan yang sangat hebat di kalangan petani Jawa, sebagai akibat penyalah
gunaan wewenang dalam melaksanakan cuktuur stelsel oleh para pejabat yang
bersangkutan.
Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk membuka
kmeungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar
dapat berkembang di Hindi Belanda.
Selain itu AW juga bertujuan untuk :
a. Memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan jalan :
1). Memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yangberjangka waktu
lama, sampai 75 tahun.
2). Untuk memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk menyewakan
tanah adat/rakyat.
b. Memperhatikan kepentigan rakyat asli, dengan jalan :
1). Melindungi hak-hak tanah rakyat asli.
2). Memberikan kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah baru
(Agrarische eigendom).
Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai
peraturan dan keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit.

b. Agrarische Besluit (AB).


Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan
dan keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting adalah apa yang dimuat
dalam Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische
Besluit (AB), S.1870-118.
AB terdiri dari tiga bab, yaitu ;
1). Pasal 1-7 tentang hak atas tanah;
2). Pasal 8-8b tentang pelepasan tanah;
3). Pasal 19-20 tentang peraturan campuran.

Dalam Pasal 1 AB tersebut dimuat satu pernyataan yang asas yang sangat
penting bagi perkembangan dan pelaksanaan hukum tanah administratif Hindia
Belanda. Asas tersebut dinilai sebagai kurang menghargai , bahkan “memperkosa”
hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat.
Dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut :
“Behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet,
blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet anderen reght van
eigendom wordt bewezen, domein van de staat is”.
Jika diterjemahkan :
“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3
Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain
tidak dapar membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein negara
(milik) negara”.

AB hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa yang dinyatakan dalam
Pasal 1 AB tersebut, yang dikenal sebagai Domein Verklaring (Pernyataan Domein)
semula juga berlaku untuk Jawa dan Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan
domein tersebut diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa
dan Madura, dengan suatu ordonansi yang diundangkan dalam S.1875-119a.
Maksud dari adanya pernyataan domein itu adalah untuk memberikan
ketegasan sehingga tidak ada keragu-raguan, bahwa satu-satunya penguasa yang
berwenang untuk memberikan tanah-tanah kepada pihak lain adalah Pemerintah.
Dengan adanya pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindi Belanda dibagi
menjadi dua jenis, yaitu :
1). Vrijlands Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak
ada hak penduduk bumi putera.
2). Onvrijlands Domein atau tanah negara tidak bebas, yaitu tanah yang di
atasnya ada hak penduduk maupun desa.

Dalam praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi, yakni :


1). Sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan
tanah dengan hak-hak barat seperti yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya hak
eigendom, hak opstal, dan hak erfacht.
2). Untuk keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara berperkara,
maka negara tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi pihak
lainlah yang wajib membuktikan haknya.

Untuk diketahui bahwa hak rakyat Indonesia atas tanahnya adalah


berdasarkan hukum adat, sedangkan dalam hukum adat tidak ada ketentuan hukum
yang sama dengan Pasal 570 BW, maka dengan sekaligus semua tanah dari rakyat
Indonesia termasuk menjadi tanah negara (domein negara). Yang tidak termasuk
tanah negara, menurut Pemerintah Hindia Belanda, adalah tanah-tanah seperti di
bawah ini :
1). Tanh-tanah daerah swapraja;
2). Tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain;
3). Tanah-tanah partikulir;
4). Tanah-tanah eigendom agraria (Agrarische eigendom).

c. Erfacht Ordonantie.
Mengenai pemberian hak erfacht kepada para pengusaha tersebut, menurut
AW harus diataur dalam ordonansi. Maka daka dalam pelaksanaannya dijumpai
berbagai peraturan mengenai hak erfacht, yaitu :
a. Untuk Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja :
1). Agrarische Besluit (S.1870-118) Pasal 9 sampai dengan 17;
2). Ordonansi yang dimuat S.1872-237a, yang beberapa kali mengalami
perubahan, terakhir dalam tahun 1913 disusun kembali dan diundangkan
dalam S.1913-699.
b. Untuk luar Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja : semula ada
beberapa ordonansi yang mengatur hal-hal mengenai pemberian hak erfacht yang
berlaku di daerah-daerah tertentu,
1). S.1874 untuk Sumatera.
2). S.1877-55 untuk keresidenan Manado.
3). S.1888-58 untuk daerah Zuider-en Oosteradeling Borneo.
Dalam tahun 1914 diundangkan satu ordonansi untuk semua daerah pemerintahan
langsung di luar Jawa dan dimuat dalam S.1914-367 Ordonansi yang baru itu
dikenal dengan sebutan “Erfachtordonantie Buitengewesten”. Semua ordonansi
yang lama ditarik kembali kecuali Pasal 1-nya masing-masing.
c. Untuk daerah-daerah swapraja luar Jawa :
Diatur dalam S.1910-61 dengan sebutan erfachtordonantie Zelfbesturende
Landschappen Buitengewesten. Berlakunya di masing-masing swapraja menurut
petunjuk Gubernur Jenderal.
Sebelum adanya ordonansi itu di daerah-daerah swapraja di luar Jawa tidak
diberikan hak erfacht, melainkan hak konsesi untuk perusahaan kebun besar.
Persewaan tanah rakyat kepada perusahaan kebun besar diatur pula dengan
ordonansi, yang telah mengalami perubahan-perubahan menjadi :
1). Grondhuurordonantie (S.1918-88), yang berlaku di Jawa dan Madura,
kecuali Surakarta dan Yogyakarta;
2). Vordtenlands Groondhuur Reglement (S.1918-20), yang berlaku di daerah
swapraja Surakarta dan Yogyakarta.

d. Agrarische Eigendom.
Agrarische eigendom adalah suatu koninklijk besluit tertanggal 16 April 1872,
Nomor : 29, mengenai hak agrarische eigendom.
Yang dimaksud dengan Agrarische eigendom adalah suatu hak yang bertujuan
untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia/pribumi,suatu hak yang kuat atas
sebidang tanah. Agrarische eigendom ini, dalam praktik untuk membedakan hak
eigendom sebgaimana yang dimaksud dalam BW.
Agrarische eigendom diatur dalam Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur lebih lanjut
dalam Pasal 4 AB kemudian diatur lebih lanjut dalam KB tanggal 16 April 1872
Nomor : 29 (S. 1872-117) dan S. 1837-38. berdasarkan KB tersbut, tata cara
memperoleh Agrarische eigendom dijelaskan di bawah ini, yaitu :
1). Apabila seseorang Indonesia asli (=bumi putera) berkeinginan agar hak milik
atas tanahnya, dirubah menjadi Hak Agrarische eigendom, maka pemohonannya
harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, agar ia ditetapkan
sebagai pemiliknya. Inilah yang disebut : uitwijzing van erfelijk individucel
gebbruikrecht. Ini hanya mungkin apabila tanahnya di luar sengketa, artinya tanpa
berperkara dengan pihak lain.
2). Untuk ini semua sebelumnya diadakan pengumuman, di desanya yang
bersangkutan untuk memberi kesempatan kepada pihak ketiga yang merasa
berkepentigan akan mengajukan keberatan-keberatan terhadap permohonan
uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht di atas.
3). Dengan berlandaskan keputusan ketua pengadilan negeri tersebut, maka
agrarische eigendom dapat diberikan kepada pemohon oleh bupati yang
bersangkutan bertindak untuk dan atas nama pemberian gubernur jenderal.
4). Agrarische eigendom yang telah diperoleh dari bupati tersebut, maka
Agrarische eigendom tersebut harus didafatarkan menurut peraturan sebagaimana
dimuat dalam S.1873-38, dan kepada pemiliknya akan mendapat surat tanda bukti
hak.
5). Setiap peralihan hak, pembebanan dengan hypotheek, harus didaftarkan di
Kantor Pengadilan Negeri.

Tujuan adanya Agrarische eigendom sebetulnya bertujuan untuk memberikan


kepada orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang kuat, yang pasti karena
terdaftar dan haknya dapat dibebani dengan hypotheek. Tetapi dalam praktiknya
kesempatan untuk menggantikan hak miliknya dengan menjadi Agrarische eigendom
tidak banyak dipergunakan.

3. Hukum Tanah Perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata).


KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan politik hukum Belanda yang
memberlakukan KUHPerdata yang berlaku di Belanda, dengan beberapa perubahan,
berdasarkan asas konkordansi] diberlakukan di Indonesia.
Kaitannya dengan pemberlakuan hukum perdata di Hindia Belanda harus juga
diperhatikan politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang diterapkan dalam
pemberlakuan hukum bagi penduduk Hindia Belanda kala itu, yaitu politik hukum
penggolongan penduduk yang membagi golongan penduduk menjadi tiga golongan
sebagaimana dimakasud dalam Pasal Pasal 163 I.S. (Indische Staatsregeling) yakni :
1). Golongan Eropa dan dipersamakan dengannya;
2). Golongan Timur-Asing; yang terdiri dari Timur Asing Golongan Tionghoa dan
bukan Tionghoa seperti Arab, India, dan lain-lain;
3). Golongan Bumi Putera, yaitu golongan orang Indonesia asli yang terdiri atas
semua suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia.
Dengan demikian di Indonesia terdapat hukum perdata yang beragam (pluralistis).
Pertama, terdapat hukum yang disesuaikan untuk segala golongan warga negara seperti
yang sudah diuraikan di atas :
1). Untuk bangsa Indonesia asli, berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang sejak
dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis,
tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mangenai segala soal dalam
kehidupan masyarakat.
2). Untuk warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku
Kitab Undang-udang Hukum Perdata (BW) dan Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (WvK), dengan pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai BW
tersebut ada sedikit penyimpangan yaitu bagain 2 dan 3 dari Titel IV Buku I
(mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan”
pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula
“Burgirlijk Stand” tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal
pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam BW.

Sebagai akibat politik hukum tersebut, maka sebagaimana halnya hukum perdata,
hukum tanah pun berstruktur ganda atau dulaistik, dengan berlakunya bersamaan
perangkat peraturan-peraturan hukum tanah adat, yang bersumber pada hukum adat yang
tidak tertulis dan hukum tanah barat yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam
buku II KUHPerdata yang merupakan hukum tertulis.
Ini berarti, bahwa hubungan-hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa hukum di
kalangan orang-orang dari golongan bumi putera diselesaikan menurut ketentuan-
ketentuan hukum adatnya masing-masing. Demikian pula dengan kalangan orang-orang
dari golongan yang lain. Hukum yang ditetapkan adalah hukum yang berlaku untuk
golongan masing-masing.
Adapun hubungan-hubungan hukum antara orang-orang pribumi dan orang-orang
non pribumi diselesaikan apa yang disebut Hukum Antar Golongan atau hukum
intergentiel. Dalam peristiwa hubungan hukum semacam itu timbul pertanyaan hukum
mana yang berlaku. Pertanyaan itu timbul karena pemerintah Hindia Belanda menganut
apa yang disebut asas persamaan derajat atau persamaan penghargaan bagi stelse-stelsel
hukum yang berlaku, baik hukum barat, hukum adat golongan pribumi maupun hukum
adat golongan timur asing bukan Cina. Tidak ada salah satu di antaranya yang superior
atau dihargai lebih tinggi dari yang lain. Maka dalam menyelesaikan peristiwa hukum
antar golongan tidak musti salah satu stelsel hukum tertentu yang harus diberlakukan.
Perihal peraturan hukum yang mengatur tentang hukum agraria dalam
KUHPerdata adalah Buku II KUHPerdata selama menyangkut tentang bumi, air dan
ruang angkasa.
Dalam buku II KUHPerdata tersebut terdapat beberapa jenis hak atas tanah barat
yang dikenal yaitu :
1) Tanah eigendom, yaitu suatu hak atas tanah yang pemiliknya mempunyai
kekuatan mutlak atas tanah tersebut;
2) Tanah hak opstal, yaitu suatu hak yang memberikan wewenang kepada
pemegangnya untuk memiliki sesuatu yang di atas tanah eigendom, pihak lain yang
dapat berbentuk rumah atau bangunan, tanaman dan seterusnya di samping hak opstal
tersebut memberikan wewenang terhadap benda-benda tersebut kepada pemegang
haknya juga diberikan wewenang-wewenang yaitu :
a). Memindah-tangankan benda yang menjadi haknya kepada pihak lain;
b). Dapat dijadikan jaminan utang;
c). Dapat diwariskan.
Dengan catatan hak opstal tersebut belum habis waktunya menurut perjanjian yang
telah ditetapkan bersama.
3) Tanah hak erfacht, yaitu hak untuk dapat diusahakan/mengolah tanah orang lain
dan menarik atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut, keweangangan
pemegang hak erfacht hampir sama dengan kewewnangan hak opstal.
4) Tanah hak gebruis, yaitu tanah hak pakai atas tanah orang lain.
Di samping hak atas tanah barat tersebut di atas, juga ada tanah-tanah dengan hak
Indonesia, seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah hak adat. Ada pula
tanah-tanah dengan hak ciptaan pemerintha Hindia Belanda seperti agararische
eigendom, landerijn bezitrecht. Juga dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja,
seperti grant sultan. Tanah-tanah dengan hak-hak adat dan hak-hak ciptaan pemerintahan
Hindia Belanda dan swapraja tersebut, bisa disebut tanah-tanah hak Indonesia, yang
cakupannya lebih luas dari tanah-tanah hak adat.
Tanah-tanah hak barat dapat dikatakan hampir semuanya terdaftar pada Kantor
Overschrijvings Ambtenar menurut Overschrijvings Ordonantie S. 1834-27 dan
dipetakan oleh Kantor Kadaster menurut peraturan-peraturan kadaster. Tanah hak barat
ini tunduk pada hukum tanah barat. Artinya hak-hak dan kewajiban pemegang haknya,
persyaratan bagi pemegang haknya, hal-hal mengenai tanah yang dihaki, serta
perolehannya, pembebanannya diatur menuurut ketentuan-ketentuan hukum tanah barat.
Tanah-tanah hak adat hampir semuanya belum didaftar. Tanah-tanah itu tunduk pada
hukum adat yang tidak tertulis. Tanah-tanah hak adat, yang teridiri atas apa yang disebut
tanah ulayat masyarakat-masayarakat hukum adat dan tanah perorangan, seperti hak
milik adat, merupakan sebagian terbesar ranah Hindi Belanda.
Untuk tanah-tanah hak ciptaan pemerintah swapraja, di daerah-daerah swpraja
Sumatera Timur dipunyai dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja. Di daerah
Kesultanan Deli misalnya dikenal tanh-tanah yang dipunyai dengan apa yang disebut :
1) Grant Sultan semacam hak milik adat, diberikan oleh pemrintah swapraja, khusus
bagi para kaula swapraja, didaftar di kantor pejabat swapraja;
2) Grant Controleu, diberikan oleh pemerintah swapraja bagi bukan kaula swapraja,
didaftar di kantor Controleur (pejabat pangreh praja Belanda);
3) Grant Deli Maatschappij, terdapat di kota Medan dan diberikan oleh Deli
Maatschappaij, juga didaftar di kantor perusahaan tersebut. Deli Maatschappaij
adalah suatu perusahaan yang mempunyai usah perkebunan besar tembakau dan
bergerak juga di bidang pelayanan umum dan tanah, memperoleh tanah yang luas dari
pemerintah swapraja Deli dengan Grant. Tanah tersebut dipetak-petak dan diberikan
kepada yang memerlukan oleh Deli Maatschappaij kepada juga dengan grant yang
merupakan “sub-grant” dikenal dengan sebutan “grant D”, singkatatan dari grant Deli
Maatschappaij.
4) Hak konsesi untuk perusahaan perkebunan besar, diberikan oleh pemerintah
swapraja dan didaftar di kantor residen.

4. Sesudah Tahun 1942.


Pada periode sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :
a. Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan
pemanfaatana tanah dan penguasaan tanah tidak tertib;
b. Tujuan utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;
c. Permulaan akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar;
d. Usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda;
e. Kerusakan fisik tanah karena politik bumihangus dan penggunaan tanah
melampaui batas kemampuannya.

Pada masa penjajahan tersebut di atas keadaan hukum agraria Indonesia


menurut hukum adat tidak terlepas dari hukum adat daerah setempat antara lain,
perangkat hukumnya tidak tertulis, bersifat komunal, bersifat tunai dan bersifat langsung.
Sedangakan mengenaihak atas tanah mengenal peristilahan yang lain ;
a. Hak persekutuan atas tanah yaitu hak ulayat;
b. Hak perorangan atas tanah :
1) Hak milik, hak yayasan;
2) Hak wenang pilih, hak mendahulu;
3) Hak menikmati hasil;
4) Hak pakai;
5) Hak imbal jabatan;
6) Hak wenang beli.

Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada
hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya,
sehingga secara yuridis formal bukan sebagai pembuktian hak.
5. Hukum Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.
Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh
Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia
memperoleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh
masyarakt sudah menjadi hal yang sangat komplek karena masyarakat yang belum
berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk
menduduki tanah.
Sejak pengakuan keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah
pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-
hal berikut :
a. Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang mengusahakan
tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian. Di daerah Malang luasnya tanah
perkebunan ± 20.000 Ha. pendudukan oleh rakyat seluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri
luas tanah perkebunan ± 23.000 Ha. pendudukan oleh rakyat seluas ± 13.000 Ha. dan
menurut perkiraan dari luas tanah perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000 Ha.
telah diduduki rakyat seluas ± 80.000 Ha.
b. Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan
lambat laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi
yang penting bagi negara serta memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil
perkebunan yang sangat diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di
daerah pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu
ditertibkan.
c. Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut
dikuatirkan akan menimbulkan bahaya erosi dan penyerapan air.
d. Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan
dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.

Untuk itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954 tentang


: Penyelesaian soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaian akan
diusahakan bertingkat 2 (dua) sebagai berikut :
a. Tahap pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala sesuatu
dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik perkebunan
dengan rakyat/penggarap;
b. Tahap kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu)
tidak berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah perkebunan
tersebut akan mengambil kebijakan sendiri dengan memperhatikan :
1) Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan
yangbersangkutan;
2) Kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomuian negara.

Agar pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat berjalan dengan sebaik-baiknya,


maka diatur ketentuan sebagai berikut :
a. Kemungkinan pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan milik para
pengusaha, baik sebagian meupun seluruhnya, jika mereka dengan sengaja
menghalangi upaya penyelesaian;
b. Ancaman hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi;
c. Ancaman hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik
perkebunan, masih terus memakai tanah perkebunan sesudah tuntutan ini
diberlakukan;
d. Ketentuan tentang harus mengadakan pengosongan.

Untuk mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka


pemerintah megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin yang
berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.
Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan
pemerintah telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-
undangan sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan
Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap
Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.
3. Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan
Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4. Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara
Belanda yang kembali ke negerinya.

2.2 Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Agraria.


A. Pengertian Agraria.
Boedi Harsono membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif, yakni arti
agraria dalam arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian agraria berdasarkan
Undang-undang Pokok Agraria. Pertama dalam perspektif umum, agraria berasal dari bahasa
Latin ager yang berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan,
pertanian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, Edisi Kedua Cetakan Ketiga,
Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Maka
sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris agrarian selalu dairtikan dengan tanah dan
dihubungakan dengan usaha pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan seringkali digunakan
untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan
pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan
pemilikannya.
Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai
dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian.
Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan administrasi
pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan
landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan.
Maka perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari hukum administrasi negara.
Sebutan agrarische wet, agrarische besluit, agrarische inspectie pada departemen
Van Binnenlandsche Bestuur, agrarische regelingan dalam himpunan Engelbrecht, bagian
agraria pad kementerian dalam negeri, menteri agraria, kementerian agraira, departemen
agraria, menteri pertanian dan agraria, departemen pertanian dan agraria, direktur jenderak
agraria, direktorat jenderal agraria pada departemen dalam negeri, semuanya menunjukan
pengertian demikian.
Dalam tahun 1988 Badan Pertanahan Nasional dengan Keputusan Presiden Nomor :
26 Tahun 1988, yang sebagai Lembaga Pemerintahan Non Departemen bertugas membantu
Presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan. Pemakaian sebutan
pertanahan sebagai nama badan tersebut tidak mengubah ataupun mengurangi lingkup tugas
dan kewenangan yang sebelumnya ada pada departemen dan direktorat jenderal agraria.
Sebaliknya justru memberikan kejelasan dan penegasan mengenai lingkup pengertian agraria
yang dipakai di lingkungan administrasi pemerintahan. Adapun administrasi pertanahan
meliputi baik tanah-tanah di daratan maupun yang berada di bawah air, baik air daratan
maupun air laut.
Adanya jabatan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam
Kabinet Pembagnuan VI, juga tidak mengubah lingkup pengertian agraria. Sebutan jabatan
tersebut tampaknya untuk menunjukkan, bahwa tugas kewenangan Menteri Negara Agraria
adalah lebih luas dari dan tidak terbatas pada lingkup tugasnya sebagai Kepala Badan
Pertanahan Nasional, yang disebut dalam KEPRES Nomor : 26 Tahun 1988.
Dalam Kepres Nomor : 44 Tahun 1993 ditentukan, bahwa Menteri Negara Agraria
bertugas pokok mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keagrariaan dan
menyelenggarakan antar lain fungsi : c. Mengkoordinasi kegiatan seluruh Instansi
Pemerintah yang berhubungan dengan keagrariaan dalam rangka pelaksanaan program
pemerintah secara menyeluruh. Dengna adanya fungsi koordinasi Menteri Agraria dulu yang
memimpin Departemen Agraria, yang dalam tata susunan Kabinet Pembanguan VI ada pada
Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Biarpun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantum dalam
Konsiderans, pasal-pasal dan penjelasannya, dapatlah disimpulkan, bahwa pengertian agraria
dan hukum agraria dalam UUPA dipakai dalam arti yang sangat luas.
Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga
ruang angkasa. Yaitu ruang di atas bumi dan air yang mengandung : tenaga dan unsur-unsur
yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan
bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang
bersangkutan dengan itu.
Pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di
bawahnya serta yang berada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo.Pasal 4 ayat(1)). Dengan
demikian pengertian tanah meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan
bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut.
Sehubungan dengan itu bumi meliputi juga apa yang dikenal dengan sebutan
Landas Kontinen Indonesia (LKI). LKI ini merupakan dasar laut dan tubuh bumi di
bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia yang ditetapkan dengan Undang-
undang Nomor : 4 Prp Tahun 1960, sampai kedalaman 200 meter atau lebih, di mana masih
memungkin diselenggarakan eksplorasi dan sksploitasi kekayaan alam. Penguasaan penuh
dan hak ekslusif atas kekayaan alam di LKI tersebut serta pemilikannya ada pada Negara
Kesatuan Republik Indonesia (Undang-undang Nomor :1 Tahun 1973)(LN. 1973-1, TLN
2994).
Pengertian air meliputi baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia
(Pasal 1 ayat (5)). Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang : Pengairan (LN
1974-65) pengertian air tidak dipakai dalam arti yang seluas itu. pengertiannya meliputi air
yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang meliputi air yang
terdapat di laut (Pasal 1 angka 3).
Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi sidebut bahan-bahan galian, yaitu
unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan-
batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam. Undang-undang Nomor :11 Tahun
1967 tentang : Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (LN 1967-227, TLN 2831).
Kekayaan alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan lain-lain kekayaan
alam yang berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia. (Undang-undang
Nomor : 9 Tahun 1985 tentang : Perikanan, LN. 1985-46).
Dalam hubungan dengan kekayaan alam di dalam tubuh bumi dan air tersebut perlu
dimaklumi adanya pengertian dan lembaga Zone Ekonomi Eksklusif, yaitu meliputi jalur
perairan dengan batas terluar 200 mili laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
Dalam ZEE ini hak berdaulat untuk melakukamn eksplorasi, eksploitasi dan lain-lainnya atas
segala sumber daya alam hayati dan non hayati yang terdapat di dasar laut serta tuuh bumi di
bawahnya dan air di atasnya, ada pada Negara Republik Indonesia. (Undang-undang Nomor :
5 Tahun 1983 tentang : Zone Ekonomi Eksklusif LN. 1983-44).
Sementara, A.P. Parlindungan menyatakan bahwa pengertian agraria mempunyai
ruang lingkup, yaitu dalam arti sempit, bisa terwujud hak-hak atas tanah, atupun pertanian
saja, sedangkan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA telah mengambil sikap dalam pengertian yang
meluas, yakni bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Dari batasan agraria yang diberikan UUPA dalam ruang lingkupnya di atas mirip
dengan pengertian ruang dalam undang-undang Nomor : 24 Tahun 1992 tentang : Penataan
Ruang. Menurut Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang
daratan, ruang lautan, dan ruang udata sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Dari uraian pengertian agraria di atas, maka dapat disimpulkan pengertian agraria
dengan membedakan pengertian agraria dalam arti luas dan pengertian agraria dalam arti
sempit. Dalam arti sempit, agraria hanyalah meliputi bumi yang disebut tanah, sedangkan
pengertian agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini adalah bukan
dalam arti fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria
yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian agraria dalam arti luas.

B. Pengertian Hukum Agraria.


Beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan
hukum agraria, antara lain beberapa disebutkan di bawah ini.
Subekti dan Tjitro Subono, hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan yang
hukum perdata, tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan antara orang dan
bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan mengatur pula wewenang
yang bersumber pada huungan tersebut. Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum
agraria adalah menjadai bagian dari hukum tata usaha negaram karena mengkaji hubungan-
hubungan hukum antara orang, bumi, air dan ruang angkasa yang meliatakan pejabat yang
bertugas mengurus masalah agraria.
Daripada itu, sesuai dnegan Pasal 2 ayat (1) UUPA, maka sasaran Hukum Agraria
meliputi: bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, sebagaimana lazimnya disebut sumber daya alam. Oleh karenanya pengertian
hukum agraria menurut UUPA memiliki pengertian hukum agraria dalam arti luas, yang
merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas
sumber-sumber daya alam yang meliputi :

1. Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan
bumi;
2. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
3. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang
dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan;
4. Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang
terkandung di dalam air;
5. Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil hutan;
6. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space law),
mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang
dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.

Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup Hukum
Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.
Yang dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah
permukaan tanah, yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh bumi,
air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunan tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan
peraturan-perturan hukum lain yang lebih tinggi.

C. Hukum Tanah.
Dalam pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling luar
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini buakan mengatur
tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya saja yaitu
aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak penguasaan atas tanah.
Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu yang nyata yaitu berupa permukaan fisik
bumi serta apa yang ada di atasnya buatan manusia yang disebut fixtures. Walaupun
demikian perhatian utamanya adalah bukan tanahnya itu, melainkan kepada aspek
kepemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek perhatiannya adalah hak-
hak dan kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam
berbagai bentuk hak penguasaan atas tanah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam artu yuridis adalah permukaan bumi,
sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu permukaan bumi, yang berbatas,
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
pemegangnya untuk mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang
dihakinya. Atas ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepda pemegang hak atas tanah diberikan
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan
air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan
hukum lain yang lebih tinggi.
Hirarki hak-hak atas penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional adalah :
1. Hak bangsa Indonesia atas tanah;
2. Hak menguasai negara atas tanah;
3. Hak ulayat masyarakat hukum adat;
4. Hak-hak perseorangan, meliputi :
a. Hak-hak atas tanah, meliputi :
1). Hak milik atas;
2). Hak guna usaha;
3). Hak guna bangunan;
4). Hak pakai;
5). Hak sewa;
6). Hak membuka tanah;
7). Hak memungut hasil hutan;
8). Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai
yang disebutkan dalam Pasal 53 (UUPA).
b. Wakaf tanah hak milik;
c. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan);
d. Hak milik atas satuan rumah susun.

Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis maupun


tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum
konkrit, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis,
hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan suatu sistem.
Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi 2 (dua),
yaitu :
1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum;
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan
hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang hak.
2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkrit;
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai obyeknya
dan atau orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek pemegang haknya.

Dalam kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas
tanahnya, ada 2 (dua) macam asas dalam dalam hukum tanah, yaitu : asas pemisahan
horisontal dan asas pelekatan vertikal.
Asas pemisahan horisontal yaitu suatu asas yang mendasrkan pemilikan tanah
dengan memisahakan tanah dari segala benda yang melekat pada tanah tersebut. Sedangkan
asas pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasrkan pemilikan tanah san segala benda yang
melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi satu.
Asas pemisahan horisontal merupakan alas atau dasar yang merupakan latar
belakang peraturan yang konkrit yang berlaku dalam bidang hukum pertanahan dalam
pengaturan hukum adat dan asas ini juga dianut oleh UUPA. Sedangkan asas pelekatan
vertikal merupakan alas atau dasar pemikiran yang melandasi hukum pertanahan dalam
pengaturan KUHPerdata.
Dalam bukunya, Djuhaendah Hasan mengemukakan bahwa sejak berlakunya
KUHPerdata kedua asas ini diterapkan secara berdampingan sesuai dengan tata hukum yang
berlaku dewasa itu (masih dualistis) pada masa sebelum adanya kesatuan hukum dalam
hukum pertanahan yaitu sebelum UUPA. Sejak berlakunya UUPA, maka ketentuan Buku II
KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan di dalamnya telah dicabut,
kecuali tentang hipotik. Dengan demikian pengaturan tentang hukum tanah dewasa ini telah
merupakan satu kesatuan hukum (unifikasi hukum) yaitu hanya ada satu hukum tanah saja
yang berlaku yaitu yang diatur dalam UUPA dan berasaskan hukum adat (lihat Pasal 5
UUPA).

D. Sumber Hukum Agraria.


1. Sumber Hukum Tertulis.
a. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 33 ayat (3). Di mana dalam
Pasal 33 ayat (3) ditentukan :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

b. Undang-undang Pokok Agraria.


Undang-undangg ini dimuat dalam Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang :
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24 September 1960 diundangkan
dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1960-140, dan penjelasannya dimuat
dalam Tambahan Lembaran Negara nomor 2043.
c. Peraturan perundang-undangan di bidang agraria :
1). Peraturan pelaksanaan UUPA
2). Pertauran yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi diperlukan
dalam praktik.
d. Peraturan lama, tetapi dengan syarat tertentu berdasarkan peraturan/Pasal
Peralihan, masih berlaku.

2. Sumber Hukum Tidak Tertulis.


a. Kebiasaan baru yang timbul sesudah berlakunya UUPA, misalnya :
1). Yurisprudensi;
2). Praktik agraria.
b. Hukum adat yang lama, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu cacat-cacatnya telah
dibersihkan.
2.3 Hukum Agraria dan Pertanahan dalam Pembaruannya.
A. Upaya Penyusunan Hukum Agraria Nasional.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang dicetuskan pada tanggal 17
Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia merupakan suatu tonggak
sejarah sebagai simbol terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan
berdaulat. Secara yuridis, proklamasi tersebut memiliki makna terputusnya atau tidak
berlakunya hukum kolonial dan saat mulai berlakunya hukum nasional, sedangkan secara
politis, proklamasi kemerdekaan mengandung arti bahwa bangsa Indonesia terlepas dari
penjajahan menjadi bangsa yang merdeka.
Proklamasi kemerdekaan tersebut memberi arti penting terhadap upaya penyusunan
hukum agraria nasional. Pertama dengan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia
memutuskan hubungan dengan hukum agraria kolonial sekaligus, yang kedua, bangsa
Indonesia berupaya membentuk hukum agraria nasional.
Meskipun demikian, dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia ternyata
tidak serta merta pemerintah dapat dengan mudah membentuk hukum agraria nasional, hal
itu membutuhkan waktu yang cukup lama sampai terbentuknya hukum agraria yang bersifat
nasional. Dengan demikian, guna mencegah adanya kekosongan hukum (reccht vacuum),
maka sambil menunggu terbentuknya hukum agraria nasional diberlakukanlah Pasal II
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu : “Segala badan negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru berdasarkan Undang-
Undang Dasar ini”.
Dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut, maka segala badan maupun
peraturan yang ditetapkan dan merupakan produk kolonial dinyatakan masih tetap berlaku
selama hal tersebut belum dicabut, belum diubah atau belum diganti dengan hukum yang
baru.
Dasar politik hukum agraria nasional dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 yang menyebutkan :
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Ketentuan tersebut bersifat imperatif, artinya berbentuk perintah kepada negara agar
bumi, air dan kekayaan alamyang terkandung di dalamnya diletakkan di bawah penguasaan
negara harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan Hukum
Agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia merdeka, yaitu :
1. Menggunakan kebijaksanaan dan penafsiran baru.
Dalam pelaksanaan hukum agraria didasarkan atas kebijaksanaan baru dengan memakai
tafsir yang baru pula yang sesuai dengan jiwa Pancasila dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
tafsir baru di sini, contohnya adalah mengenai hubungan domein verklaring, yaitu negara
tidak lagi sebagai pemilik tanaah, melainkan negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat Indonesia hanya menguasai tanah.
2. Penghapusan hak-hak konversi.
Salah satu warisan feodal yang sangat merugikan rakyat adalah lembaga konversi yang
berlaku di karasidenan Surakarta dan Yogyakarta. Di daeran ini semua tanah dianggap
milik raja. Rakyat hanya sekedar memakainya, yang diwajibkan menyerahkan sebagian
dari hasil tanah itu kepada raja, jika tanah itu tanah pertanian atau melakukan kerja paksa,
jika tanahnya tanah perkarangan. Kepada anggota keluarganya atau hamba-hambanya
yang berjasa atau setia kepada raja diberikan tanah sebagai nafkah, dan pemberian tanah
ini disertai pula pelimpahan hak raja atau sebagian hasil tanah tersebut di atas. Mereka
pun berhak menuntut kerja paksa. Stelsel ini dinamakan setelsel apanage.
Tanah-tanah tersebut oleh raja atau pemegang apanage disewakan kepada pengusaha-
pengusaha asing unutk usaha pertanian, berikut hak untuk memungut sebagian dari hasil
tanaman rakyat yang mengusahakan tanah itu. berdasarkan S.1918-20, para pengusaha
asing tersebut kemudian mendapatkan hak atas tanah oleh raja yang disebut hal konversi
(beschikking konversi). Keputusan raja, pada hakikatnya merupakan suatu keputusan
penguasa untuk memakai dan mengusahakan tanah tertentu.
Berdasrkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1948 yang mencabut Stb.1918-20. dan
ditambah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, yang secara tegas dinyatakan
bahwa lembaga konversi, begitu juga hak-hak konversi serta hypotheek yang
membebaninya menjadi hapus.
3. Pengahapusan tanah pertikelir.
Pada masa penjajahan dikeluarkan kebijaksanaan di bidang pertanahan oleh Pemerintah
Hindia Belanda berpa tanah partikelir yang di dalamnya terdapat hak pertuanan. Dengan
adanya hak pertuanan ini, seakan-akan tanah-tanah partikelir tersebut merupakan negara
dalam negara. Tuan-tuan tanah yang mempunyai hak kekuasaan yang demikian besar
banyak yang menyalahgunakan haknya, sehingga banyak menimbulkan penderitaan dan
kesengsaraan rakyat yang ada atau berdiam di wilayahnya.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia melakukan pembelian tanah-tanah
partikelir, namun hasilnya tidak memuaskan dikarenakan tidak tersedianya dan yang
cukup juga karena tuan-tuan tanah yang bersangkutan menuntut harga yang tinggi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah
Partikelir, 24 Januari 1958, hak-hak milik partikelir atas tanahnya dan hak-hak
pertuanannya hapus, dan tanah bekas apartikelir itu karena hukum seluruhnya serentak
menjadai tanah negara.
Undang-unang Nomor 1 Tahun 1958 pada hakikatnya merupajan pencabutan hak, dan
kepada pemilik tanah partikelir diberikan ganti kerugian. Tanah partikelir dinyatakan
hapus jika pembayaran ganti kerugian telah sesuai.
4. Perubahan peraturan persewaan tanah rakyat.
Praturan tentang persewaan tanah rakyat kepada perusahaan perkebunan beda khususnya
dan orang-orang bukan Indonesia asli pada umumnya sebagai yang dimaksudkan dalam
Pasal 51 ayat (8) I.S. untuk Jawa dan Madura diatur dalam dua peraturan, yaitu
Grondhuur Ordonantie S.1918-88 untuk daerah pemerintahan langsung dan
Voerstenlands Grondhuureglement S.1918-20 untuk Surakarta dan Yogyakarta (daerah-
daerah swapraja). Menurut ketentuan ini persewaan tanah dimungkinkan berjangka waktu
paling lama 21,5 tahun.
Setelah Indonesia merdeka, kedua peraturan tersebut diubah dengan ditambahkan Pasal
8a dan 8b serta Pasal 15a dan 15b oleh Undang-undang Darurat Nomor 6 Tahun 1951.
undang-undang Darurat ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 6
Tahun 1952. Dengan penambahan pasal-pasal tersebut, maka persewaan tanah rakyat
untuk tanaman tebu dan lain-lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian hanya
diperbolehkan paling lama 1 tahun atau 1 tahun tanaman. Adapun besar sewanya
ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri, kemudian oleh Menteri Agraria. Dengan
demikian, rakyat tidak lagi dirugikan karena besar dan jumlah sewanya disesuaikan
dengan tingkat perkembangan harga pada saat itu dan waktunya hanya untuk 1 tahun
tanaman.
5. Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah.
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1954 yang menetapkan Undang-undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang Pemindahan Tanah-tanah dan Barang-barang Tetap
Lainnya yang Tunduk Pada Hukum Eropa, dinyatakan bahwa sambil menunggu
pengaturan lebih lanjut unutk sementara untuk setiap serah pakai lebih dari 1 tahun dan
perbuata-perbuatan yang berwujud pemindahan hak mengenai hak tanah-tanah dan
barang-barang tetap lainnya yang tunduk pada hukum Eropa hanya dapat dilakukan
setelah mendapat ijin dari Menteri Kehakiman (dengan Undang-undang Nomor 76 Tahun
1957 izinnya dari Menteri Agraria).
Semua perbuatan yang dilakukan di luar izin menteri tersebut dengan sendirinya batal
menurut hukum, artinya tanah/rumahnya kembali pada penjual, uangnya kembali kepada
pembeli jika perbuatan berbentuk jual beli. Peraturan mengenai perizinan ini
dimaksudkan untk mencegah atau paling tidak mengurangi kemungkinan jatuhnya tanah-
tanah Eropa, termasuk rumah atau bangunan yang ada di atasnya ke tangan orang-orang
dan badan-badan hukum asing.
Ketentuan di atas dilengkapi dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang
Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak-hak Atas Tanah Perkebunan Erfacht, Eigendom,
dan lain-lain Hak Kebendaan. Dikeluarkan juga peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun
1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-tanh Perkebunan
Konsesi, yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1959.
Menurut ketentuan di atas, setiap perbuatan yang berwujud pemindahan hak dan setiap
serah pakai untuk lebih dari satu tahun mengenai tanah erfacht, eigendom, dan hak-hak
kebendaan lainnya atas tanah perkebunan, demikian tanah-tanah konsesi untuk
perkebunan dari bangsa Belanda dan bangsa-bangsa asinglein serta badan-badan hukum
hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri Kehakiman (dengan Undang-undang Nomor
76 Tahun 1957 izinnya dari Menteri Agraria dengan persetujuan Menteri Pertanian).
Maksud peraturan tersebut di atas adalah untuk mengadakan pengawasan serta jaminan
bahwa peneriman haknya mampu mengusahakan perusahaan perkebunan yang
bersangkutan dengan baik dan bahwa kebun itu tidak akan dijadikan objek spekulasi
belaka.
6. Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan.
Atas dasar Undang-undang Nomor 29 Tahun 1956, Menteri Agraria dan Pertanian
berwenanga melakukan tidakan-tindakan agar tanah-tanah perkebunan yang mempunyai
sifat sangat penting dalam perekonomian negara diusahakan dengan baik. Dalam undang-
undang ini juga ditetapkan bahwa pemegang erfacht, eigendom dan hak kebendaan
lainnya yang sudah mengusahakan kembali perusahaan-perusahaan, wajib melakukan
segala sesuatu yang perlu untuk memulai atau meneruskan usahanya secaa layak menurut
ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian.
Jika pemegang hak tersebut belum memenuhi kewajibannya, maka atas pertimbangan
Menteri Pertanian, hak erfacht yang bersangkutan dapat dibatalkan oleh Menteri Agraria.
Hak erfacht juga dapat dibatalkan, jika menurut pertimbagnan Menteri Agraria dan
Menteri Pertanian sikap pemegang hak selama waktu yang ditentukan tidak berniat
mengusahakan perusahaan perkebunannya sebagaimana mestinya.
Tanaman dan bangunan di atas tanah tersebut yang menurut keputusan Menteri Pertanian
diperlukan untuk kelangsungan atau memulihkan pengusahaan yang layak dikuasai oleh
negara dengan pemberian ganti kerugian.
7. Kenaikan Canon dan Cijn.
Canon adalah uang yang wajib dibayar oleh pemgang hak erfacht setiap tahunnya kepada
negara, sedangkan cijn adalah uang yang wajib dibayar oleh pemegang konsesi
perusahaan perkebunan besar. Pada umumnya, canon dan cijn dulu tidak besar
jumlahnya, karena terutama dianggap sebagai tanpa pengakuan hak pemilik tanah yang
dikuasainya dengan hak erfacht atau konsesi.
Setelah Indonesia merdeka, sebgaian besar tanah-tanah perkebunan sudah dibuka dan
diusahakan, sehingga uang wajib yang harus dibayar setiap tahunnya itu fungsi atau
sifatnya lain, yaitu sebagai sewa pemakaian tanah.
Dalam Undang-undang Nomor 78 Tahun 1957 tentang Perubahan Canon dan Cijn Atas
Hak-hak Erfacht dan Konsesi guna perkebunan besar ditetpkan bahwa selambat-
lambatnya 5 tahun sekali uang wajib tahunan ini harus ditinjau kembali.
8. Larangan dan penyelesaian soal pemakaiantanah tanpa izin.
Untuk mencegah meluasnya pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh rakyat tanpa izin
pengusahanya dan untuk menyelesaikan soal pemakaian tanah yang sudah ada, maka
dikeluarkanlah Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal
Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat. Undang-undang darurat ini diubah dan
ditambah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961.
Ketentuan mengenai larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya
diatur oleh Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960. undang-undang ini kemudian
diganti dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961.
Dalam Pasal 2 jo. Pasal 6 Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 dinyatakan bahwa
pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan hukuman pidana, tetapi tidak selalu penunutan pidana.
Menurut Psal 3 jo. Pasal 5, dapat dilakukan penyelesaian melalui cara dengan mengingat
kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan rencana peruntukan dan penggunaan
tanah yang dipai itu.
9. Peraturan perjanjian bagi hasil.
Perjanjian bagi hasil adalah salah satu bentuk perjanjian antara pemilik tanah dengan
pihak lain sebagai penggarap, di mana penggarap diperkenankan untuk mengusahakan
tanah itu dengan pembagaian hasilnya menurut imbagan yang telah disetujui oleh kedua
belah pihak.
Perjanjian bagai hasil semula diatur menurut hukum adat setempat. Imbangan pembagian
hasilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak. Pada umumnya, pembagian hasil
tersebut tidak menguntungka pihak penggarap, karena tanah yang tersedia untuk
dibagihasilkan tidak seimbang dengan jumlah petani yang memerlukan tanah garapan.
Mengingat bahwa golongan penggarap bagi hasil itu biasanya golongan ekonomi lemah
dan selalu dirugikan, maka dalam rangka melindungi mereka, dikeluarkan Undang-
undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Undang-undang ini
mengharuskan agar pihak-pihak yang membuat perjanjian bagi hasil dibuat secara
tertulis, dengan maksud agar mudah mengawasi dan mengadakan tindakan-tindakan
terhadap mperjanjian bagi hasil yang merugikan penggarapnya.
10. Peralihan tugas dan wewenang agraria.
Setelah Indonesia merdeka sampai dengan 1955 urusan agraria berada dalam lingkungan
Kementrian Dalam Negeri. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955
dibentuk Kementerian Agraria yang berdiri sendiri yang terpisah dari Kementerian
Dalam Negeri. Dalam Keputusna Presiden Nomor 190 Tahun 1957 ditetapkan bahwa
Jawatan Pendafataran Kehakiman semula masuk dalam lingkungan Kementerian
Kehakiman dialihkan dalam lingkungan Kementrian Agraria.
Berdasarka Undang-undang Nomor 7 Tahun 1958 ditetapkan pengalihan tugas dan
wewenang agraria dari Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Agraria, serta pejabat-
pejabat di daerah. Dengan keluarnya undang-undang tersebut, maka lambat laun
terbentuklah aparat agraria di tingkat provinsi, karasidenan, dan kabupaten/kotamadya.

B. UUPA Sebagai Hukum Agraria Nasional.


1. Sifat Nasional UUPA.
UUPA mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama, tidak
memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua, membangun
hukum agraria nasional. Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya UUP, maka
terjadilah perubahan yang fundamental pada hukum agraria di Indonesia, terutama
hukum di bidang pertanhan. Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur
perangkat hukum, konsepsi yang mendasari maupun isinya.
UUPA juga merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan agraria
karena di dalamnya memuata program yang dikenal dengan Panca Program Agraria
Reform Indonesia, yang meliputi :
1) Pembaharuan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasioanl
dan pemberian jaminan kepastian hukum;
2) Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
3) Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
4) Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-hubungan
hukum yang berhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan
pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenal dengan program
landreform;
5) Perncanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya serta penggunaan secara terencana, sesuai dengan daya
dukung dan kemampuannya.

Sebagai undang-undang nasional, UUPA memiliki sifat nasional material dan


formal. Sifat nasional material berkenaan dengan substansi UUPA. Sedangkan nasional
formal berkenaan dengan pembentukan UUPA.
a. Sifat Nasional Material UUPA.
Sifat nasional materian UUPA menunjuk kepada substansi UUPA yang
harus mengandung asas-asas berikut :
1) Berdasarkan hukum tanah adat;
2) Sederhana;
3) Menjamin kepastian hukum;
4) Tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama;
5) Memberi kemungkinan suapya bumi, air dan ruang angkasa dapat mencapai
fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur;
6) Sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia;
memenuhi keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman dalam segala
soal agraria;
7) Mewujudkan penjelmaan dari Pancasila sebagai asas kerohanian negara dan cita-
cita bangsa seperti yang tercantum dalam undang-undang;
8) Merupakan pelaksanaan GBHN (dulu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Manifesto
Politik;
9) Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
b. Sifat Nasional Formal UUPA.
Sifat nasional formal UUPA menunjuk kepada pembentukan UUPA yang
memenuhi sifat sebagai berikut :
1) Dibuat oleh pembentuk undang-undang naisonal Indonesia, yaitu DPRGR;
2) Disusun dalam bahasa nasional Indonesia;
3) Dibentuk di Indonesia;
4) Bersumber pada UUD 1945;
5) Berlaku dalam wilayah negara Republik Indonesia.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan.

Untuk lebih mendorong berperannya hukum di dalam penegakan hak-hak dasar


rakyat, Pemerintah harus secara aktif melahirkan peraturan perundang-undangan yang
“pro rakyat” dan tegas dalam pengimplementasiannya. Untuk itu hukum atau peraturan
perundang-undangan yang dibentuk sedikitnya memenuhi tiga kualitas: stabilitas,
kepastian dan adil. Pertama, hukum harus menciptakan stabilitas dengan mengakomodir
atau menyeimbangkan kepentingan yang saling bersaing di lingkungan masyarakat.
Kedua, menciptakan kepastian, sehingga setiap orang dapat memperkirakan akibat dari
langkah-langkah atau perbuatan yang diambilnya. Dan ketiga, hukum harus menciptakan
rasa adil dalam bentuk persamaan di depan hukum, perlakuan yang sama dan adanya
standar yang tertentu. Maka dengan diundangkannya Undang-undang Nomor : 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960,
maka dengan demikian Indonesia memiliki hukum agraria baru yang bersifat nasional
yan tentunya lepas dari sifat-sifat kolonial dan disesuaikan dengan pribadi dan jiwa
bangsa Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat

3.2 Saran

Akhir kata kami penyusun makalah ini mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak dan rekan-rekan teman-teman yang telah bekerjasama dalam menyelesaikan
makalah ini sehingga selesai tepat pada waktunya. Dan kami berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi teman-teman yang mengikuti mata kuliah hukum agraria dan
menjadi bahan referensi yang menambah wawasan bagi siapa saja yang membacanya.

DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang RI No.5 Tahun 1950 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok


Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999.

Bachtiar Effendie,SH, Pendaftaran tanah di Indonesia dan peraturan pelaksanaannya, Alumni,


Bandung, 1993.

Prof.boedi Harsono , sejarah pembentukan undang-undang pokok agraria, ,isi dan


pelaksanaannya, Djambatan , edisi revisi 1999.

Prof.boedi Harsono , Himpunan peraturan-peraturan hukum tanah , Djambatan , edisi revisi


2002.

ALHAKIM050181’BLOG

Anda mungkin juga menyukai