Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rempah-rempah telah menjadikan Indonesia sebagai pusat perdagangan
global sejak abad ke-15. Menjual hasil perkebunan adalah cara yang baik untuk
menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang berbasis pertanian. Akibatnya,
banyak orang Eropa, khususnya Belanda, datang ke Indonesia dan melakukan
kegiatan komersial. Sistem mata pencaharian pertanian dan perkebunan tela
berkembang seiring dengan pertumbuhan sistem perdagangan, meningkatnya
minat
dan kesadaran publik terhadap sektor pertanahan. Meskipun Hukum Agraria
masih dalam masa pertumbuhan, ia mulai terbentuk pada saat ini, meskipun dalam
bentuk yang sangat primitif. Jelas bahwa hak dan kewajiban timbal balik UU
Agraria antara penguasa dan warga negara tidak diatur secara harmoni.
Di Indonesia sendiri, yang sebelumnya disebut sebagai Nusantara,
reformasi hukum agraria juga memiliki sejarah yang panjang, dimulai sejak masa
Pra Kolonial (pengembaraan, masa pertanian tetap sampai kepada masa kerajaan),
masa Kolonial Hindia-Belanda dan pada masa era kemerdekaan.
Hukum agraria berkembang sejalan dengan waktu, mengalami banyak
revisi dan pembaruan sejak awal. Untuk banyak sektor hukum, telah terjadi
perkembangan yang panjang dalam sejarah Hukum Agraria. Dalam skenario ini,
Hukum Agraria dapat kita anggap sebagai cikal bakal evolusi, yang dimulai
dengan pengetahuan dan inisiatif manusia untuk membangun kehidupan yang
harmonis melalui peraturan yang berkaitan dengan tanah.
Hukum agraria memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan
politik hukum karena masalah agraria masyarakat perlu diperbarui untuk
mengikuti pertumbuhan ekonomi negara yang pesat. Kewajiban kita sebagai
warga negara adalah saling menelaah untuk menentukan apa tujuan utama negara
dalam reformasi ekonomi. Yang penting kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
terjamin sesuai dengan UUD 1945.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, adapun yang akan dibahas dan
menjadi rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah hukum agraria zaman primitif ?
2. Bagaimana sejarah hukum agraria zaman kerajaan ?
3. Bagaimana sejarah hukum agraria zaman kolonial ?
4. Bagaimana sejara hukum agraria setelah kemerdekaan ?
5. Bagaimana pembentukan UU no 5 tahun 1960 tentang pokok agraria ?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejarah hukum agraria zaman primitif
2. Untuk mengetahui sejarah hukum agraria zaman kerajaan
3. Untuk mengetahui sejarah hukum agraria zaman kolonial
4. Untuk mengetahui sejarah hukum agraria setelah kemerdekaan
5. Untuk mengetahui pembentukan UU no 5 tahun 1960 tentang pokok agraria

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Hukum Agraria Zaman Primitif


Pertama kali hak atas tanah itu adalah hak tanah ulayat, pada awalnya
tanah adalah milik seluruh rakyat anggota persekutuan, dan barang siapa yang
mampu mengolahnya maka tanah tersebut menjadi hak miliknya. Persekutuan
tersebut pada dasarnya dibagi menjadi 2 golongan: pertama, berdasarkan
genealogis (Batak dan Minangkabau) kedua, berdasarkan kesatuan lingkungan
(teritorial) seperti marga di Palembang dan Desa di Jawa.
Hak tanah ulayat tersebut tidak hanya terbatas pada tanah yang dijadikan
kampung,sawah, ladang, kebun saja tetapi meliputi hutan belukar, padang ilalang,
rawa, sungai bahkan laut di sekitarnya. Apabila anggota persekutuan mau
mengusahakan tanah ulayat untuk sawah maka harus mendapat persetujuan kepala
adat dengan membayar untuk kas adat atau persekutuan. Apabila tanah tersebut
terus menerus dikerjakannya maka tanah tersebut akan menjadi hak milik menurut
hukum adat, yang dapat diwariskan, dijual, disewakan, digadaikan dengan syarat
hanya kepada anggota persekutuan.
Apabila tanah tersebut ditelantarkan sampai lama, maka akan diambil lagi
pada kekuasaan persekutuan, dan setiap anggota berhak untuk mengusahakan lagi,
tetapi diutamakan kepada bekas pemilik. Jangka waktu menelantarkan tanah
berbeda-beda, di Aceh untuk ladang jangkanya 1 tahun, ladang 3 tahun, kebun 5
tahun, di Jambi untuk ladang 3 tahun, sawah 5 tahun, kebun 3 tahun. Orang luar
persekutuan dilarang mempunyai hak milik atas tanah, tapi hanya hak memungut
hasil dgn membayar uang pengakuan. Di Aceh disebut uang pemasukan, di Jawa
disebut uang mesi atau sewa bumi.

3
B. Sejarah Hukum Agraria Zaman Kerajaan
Masa ini adalah zaman kekuasaan raja-raja, hukum tanah berdasarkan
sistem feodalisme, yang berlaku di beberapa daerah di Indonesia yang berdasar
pada:
a. Tanah adalah milik raja; atau raja adalah pemilik tanah dalam kerajaannya
b. Rayat adalah milik raja juga, yang dapat digunakan untuk kepentingannya
dan kehormatannya
Di beberapa daerah kerajaan seperti Surakarta dan Yogyakarta serta daerah
daerah sekelilingnya, yang dulu dinyatakan sebagai tanah kepemilikan sultan dan
sunan (kagungan dalem). Rakyat hanya sebagai pemaro (deelbouwer) dan berhak
meminjam (wewenang anggaduh).
Tanah kepemilikan raja ini diberikan kepada pegawai-pegawainya yang
dipercaya yang harus menyerahkan bukti, dan tanah itu dibagikan lagi kepada
pegawai dibawahnya untu seterusnya dikerjakan rakyat dengan ketentuan seperti
berikut:
a. Menyerahkan separo dari hasil tanah tersebut. Sebagai kebiasaan, rajauang
ditaklukkan harus mengantarkan upeti, yang dalam bahasa jawa terkenal
dengan “bulu bekti” (bulu=hasil, wulu wetu; bekti=bakti; bulu bekti= bakti
berupa hasil bumi), yang biasanya diteruskan: ngaturaken bulubekti,
penipeni raja peni, guru bakal guru dadi, glandon pengareng-areng
(mengantarkan upeti berupa buah-buah lezat, barang bahan dan yang
sudah jadi, bahan-bahan kayu yang masih gelondongan dan yang sudah
menjadi arang). Kebiasaan raja yang takluk yang harus mengantar upeti itu
menyerahkan beban kepada rakyatnya.
b. Harus bekerja untuk raja tanpa diberi upah, sebagai kewajiban yang harus
dipenuhi sebagai tanda baktinya kepada raja Heeredienst ini kemudian
oleh pemerintah Hindia Belanda di sahkan sebagai kewajiban rakyat yang
harus dilanjutkan, dengan diatur oleh undang-undang, dan lain-lain macam
kewajiban lagi yang merupakan beban rakyat kepada raja (atau kaki
tangannya). Yaitu adanya pancendiensten, janggolan, kuduran di Jawa,

4
pajak kepala (sebagai ganti dari herendienst) di Yogyakarta (sekarang
sudah dihapuskan), pajak jalan di Sumatera dan lain-lain tempat, pinontol
sawang di Minahasa dan macam-macam lagi sebagai terusan heerendienst
di jaman kekuasaan raja-raja. Kemudian di Jawa di sahkan oleh In.
Gemeente Ordonantie (Stbl.1906 No 83 yang berturut-turut diubah dan
ditambah pada tahun 1910, 1913 dan 1919). Rodi yang ditetapkan
umumnya 52 hari 1 (satu) tahun, prakteknya selalu lebih, karena tiap-tiap
pegawai untuk kepentingan dan kehormatannya selalu meminta tenaga
rakyat lagi hingga melebii ketentuan waktu itu.
Pada masa feodalisme ini merupakan masa perbudakan ekonomi, politik,
dan sosial terhadap masyarakat kerajaan. Tanah dikuasai oleh raja, rakyat hanya
mengerjakan kewajiban dan menyerahkan hasilnya. Rakyat disini sebagai alat
untuk kekuasaan dan kehormatan dari si raja. Hukum juga dipegang oleh orang
orang yang berkuasa seperti raja.

C. Sejarah Hukum Agraria Zaman Kolonial (Sebelum Tahun 1870)


Hukum agraria di buat oleh penjajah terutama masa penjajahan Belanda,
tujuan di buatnya ialah semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan penjajah.
Hukum agrarian sendiri tersusun berdasarkan tujuan dan keinginan dari
pemerintah jajahan dan sebagian di pengaruhi olehnya. Hukum agraria sendiri
bersifat merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia.
Beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa hukum dan kebijaksanaan
agraria yang berlaku sebelum Indonesia merdeka disusun berdasarkan tujuan dan
sendi-sendi Pemerintahan Hindia Belanda, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie)
VOC yang berdiri pada tahun 1602 diberikan kekuasaan penuh oleh Pemerintah
Belanda bertindak selaku penguasa (souvereign) dan sekaligus sebagai pedagang
(koopman). Cara yang dilakukan adalah dengan menaklukkan raja-raja dari
kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Hindia Belanda (Nusantara) yang diharuskan
menandatangani perjanjian (Tractaat) bahwa mereka (raja dan rakyatnya) harus
tundukdan patu kepada VOC dengan system perdagangan Verplicte Levantie dan

5
Contengenten, yaitu menyerahkan hasil bumi dengan harga yang suda dipatok
atau ditentukan hasil bumi yang diserahkan dipandang sebagai pajak tanah.
Menurut Octroi tanggal 20 maret 1602, atas nama Pemerintah Belanda VOC
diberikan hak untuk:
a. Mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara dan raja-raja
Asia
b. Mempunyai dan memelihara tantara
c. Mempunyai hak untuk mencetak dan mengeluarkan uang sendiri
d. Mempunyai hak untuk mengangkat seorang gubenur
e. Mempunyai hak untuk mengangkat pengawai-pengawai tinggi lainnya
VOC mengadakan hukum secara Barat di daerah-daerah yang dikuasai dan
dalam hal ini tidak memperdulikan hak-hak tanah yang dipegang oleh rakyat dan
raja-raja Indonesia. Hukum adat sebagai hukumyang mempunyai cor dan system
sendiri tidak dipersoalkan oleh VOC. Bahkan membiarkan rakyat Indonesia
menurut adat kebiasaannya sendiri. Dimana pada zaman VOC ada beberapa
kebijakan yang berkaitan dengan politik pertanian yang sangat menindas rakyat
Indonesia. Beberapa kebijakan tersebut antara lain:
a. Contingenten, yaitu berupa pajak hasil pertanian yang harus diserahkan
kepada penguasa kolonial. Petani pribumi harus menyerahkan sebagaian
dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa diabayar sepeserpun.
b. Verplichten levanten, yaitu suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh
kompeni dengan para raja tentang kewajiban menyerahkan seluruh hasil
panen dengan pembayaran yang harganya sudah ditetapkan secara sepihak.
Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa.
Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
c. Roerendiensten atau yang dikenal dengan kerja rodi. Kerja rodi
dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah
pertanian dan menjual tanah-tanah yang luas kepada penguasa swasta.

6
b. Masa Pemerintahan Gubernur Herman Williem Daendles (1800-
1811)
Perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjual tanah
berawal pada masa pemerintahan gubernur Herman Willem Daendles, hingga
menimbulan tanah pertikelir.
Kebijakan dari Daendles ini adalah dengan menjual tanah-tanah milik
rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab, maupun bangsa Belanda sendiri.
Kemudian tanah itulah yang disebut sebagai tanah partikelir. Tanah partikelir
adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak yang istimewa. Yang
membedakan dengan tanah eigondom lainnya adalah adanya hak-hak pada
pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak
pertuanan. Hak pertuanan, misalnya :
a. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan epemilikan serta
memberhentikan kepala-kepala desa/kampung
b. Hak untuk memaksa kerja pasa (rodi) untuk memungut uang pengganti
dari kerja paksa dari penduduk
c. Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang
maupun hasil pertanian dari penduduk
d. Hak untuk mendirikan pasar-pasar
e. Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan-jalan dan penyeberangan
f. Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput
bagi keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu menjaga rumah atau
gudang-gudangnya dan sebagainya.
c. Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raflles (1811-1816)
Pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
sebagai Gubernur Jenderal di tanah jajahan Belanda. Dalam bidang pertanahan
Thomas Stanford Raffles mewujudkan pemikiran tentang pajak yang dikenal
dengan nama landrent (pajak tanah). Pada masa pemerintahan Rafles, semua tanah

7
yang berada di bawah government dinyatakan sebagai eigendom government.
Dengan dasar inilah setiap tanah dikenakan pajak bumi.

Dari hasil penelitian Raffles, mengenai pemilikan tanah daerah-daerah


Swapraja di Jawa dapat disimpulkan bahwa semua tanah adalah milik para raja,
sedangkan rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan
telah berpindah kepada pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya hak
kepemilikan atas tanah-tanah tersebut dengan sendirinya beralih pula
kepada Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan
oleh rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik Raja Inggris. Oleh karena itu,
mereka wajib memberikan landrent kepada raja Inggris sebagaimana sebelumnya
diberikan kepada raja mereka sendiri. Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan
landrent dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Landrent, tidak langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah,
tetapi ditugaskan kepada para kepala desa. Para kepala desa diberi
kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap
petani.
b. Kepala desa diberi kekuasaan penu untuk mengadakan perubahan pada
pemilikan tanah oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna
memperlancar pemasukan landrent. Jika petani yang bersangkutan tidak
mau atau tidak mampu membayar landrent yang ditetapkan baginya maka
dapat dikurangi luasnya atau dicabut penguasaannya dan tanah yang
bersangkutan akan diberikan kepada petani lain yang sanggup memenuhi
ketentuan landrent.
c. Praktek landrent menjungkirbalikkan hukum yang mengatur pemilikan
tanah rakyat sebagai akibat besarnya kekuasaan Kepala Desa. Seharusnya
luas pemilikan tanahlah yang menentukan besarnya sewa yang wajib
dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan landrent itu justru berlaku yang
sebaliknya. Besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang menentukan
luas tanah yang boleh dikuasai seseorang.

8
Besarnya landrent itu sendiri pada umumnya dapat ditentukan sebagai
berikut :
1) Bagi sawah 1/2, 2/5 atau 1/3 dari hasil panen
2) Bagi tanah kering dari ¼ sampai dengan ½ dari hasil panen

d. Masa Pemerintahan Gubernur Johanes Van Den Bosch


Pada tahun 1816, pemerintah Inggris menyerahkan kembali kekuasaan
pemerintahannya di daerah jajahan kepada pemerintah Belanda. Di bawah
pemerintahan Johanes Van Den Bosch, pada tahun 1830 diadakan sistem tanam
paksa (cultuur stesel), yang merupakan politik pertanahan yang sangat menindas
rakyat.
Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis
tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak langsung dibutuhkan oleh
pasar internasional pada waktu itu Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada
pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan sepeserpun, sedangkan bagi rakyat
yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu
seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun.
Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan
pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di
samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang
cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola
tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha
swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yang biasa
disewa adalah tanah-tanah negara nyang masih kosong. Akan tetapi sejak
berlakunya Cultuur Stesel (1830) hingga tahun 1853 hampir tidak ada
lagidiadakan persewaan baru. Karena sistem ini mendatangkan kritik habis-
habisan antara lain Edward Douwes Dekker (yang lebih dikenal dengan
Multatuli), akhirnya sebagai jawabannya dikeluarkanlah paket kebijakan
Regerings Reglement, dalam Pasal 64 dinyatakan sebagai berikut:
a. Gubernur Jenderal dilarang menjual tanah
b. Dikecualikan tanah sempit bagi perluasan kota dan untuk industri

9
c. Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah berdasarkan Ordonantie
(peraturan), dikecualikan tanah milik bumi putra atau tanah hak ulayat.

Masa Sesudah Tahun 1870 ( Hukum Tanah Administratif Belanda)


a. Agrarische Wet (AW)
Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet atau yang dikenal sebagai pokok
penting dalam hukum agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan
pemerintah pada masa itu sebagai permulaan hukum agraria barat. Ide awal
dikeluarkannya Agrarische Wet ini adalahs sebagai respon terhadap keinginan
perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang pertanian untuk
berkembang di Indonesia, namun ha-hak rakyat atas tanahnya harus terjamin
Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di
negeri Belanda yang karenan keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal,
karenanya memerlukan bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan
banyaknya persediaan tana hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu
menuntut untuk diberikannya kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan
besar. Sejalan dengan semangat liberalisme yang sedang berkembang dituntut
pengantian sisten monopoli negara dan kerja paksa dalam melaksanakan cultuur
stelse, dengna sisitem persaing bebasa dan sistem kerja bebas, berdasarkan
konsepsi kapitalisme liberal.
Tuntutan untuk mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa dengan
tujuan bisnis tersebut, sejalan dengan tuntutan berdasarkan pertimbangan
kemanusiaan dari golongan lein di negeri Belanda, yang mellihat terjadinya
penderitaan yang sangat hebat di kalangan petani Jawa, sebagai akibat penyalah
gunaan wewenang dalam melaksanakan cuktuur stelsel oleh para pejabat yang
bersangkutan.
b. Agrarische Besluit (AB)
Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih lanjutan dalam
peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting adalah apa

10
yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan nama
Agrarische Besluit (AB), S.1870-118.
AB terdiri dari tiga bab yaitu:
1. Pasal 1-7 tentang hak atas tanah
2. Pasal 8-8b tentang pelepasan tanah
3. Pasal 19-20 tentang peraturan campuran

c. Erfacht Ordonantie
Menganai pemberian hak erfacht kepada para pengusaha tersebut, menurut
AW harus diatur dalam ordonansi. Maka dalam pelaksanaannya dijumpai
berbagai peraturan mengenai hak erfacht tersebut yaitu :
a. Untuk jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja:
1. Agrarische Besluit (S.1870-118) Pasal 9 sampai dengan 17;
2. Ordonasi yang dimuat S.1872-237a, yang beberapa kali mengalami
perubahan, terakhir dalam tahun 1913 disusun kembali dan
diundangkan dalam S.1913-699.
b. Untuk luar jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja semula ada
beberapa ordonasi yang mengatur hal-hal mengenai pemberian hak erfacht
yang berlaku di daerah-daerah tertentu.
1. S.1874f untuk Sumatera
2. S. 1877-55 untuk kerasidenan Manado
3. S.1888-58 untuk daerah Zuider-en Oosteradelling Borneo.
Dalam tahun 1914 diundangkan satu ordonansi utnuk semua daerah
pemerintahan langsung di luar Jawa dan dimuat dalam S.1914-367
Ordonansi yang baru itu dikenal dengan sebutan “Erfachtordonantie
Buitengewesten”. Semua ordonansi yang lama ditarik kembali kecuali
Pasal 1-nya masing-masing.
c. Untuk daerah-daerah Swapraja luar jawa:
Diatur dalam S.1910-61 dengan sebautan Erfachtordonantie
Zelfbesturende Landschappen Buitengewesten. Berlakunya di masing-
masing Swapraja menurut petunjuk Gubernur jenderal.

11
Sebelum adanya ordonansi itu di daerah-daerah swapraja di luar
Jawa tidak diberikan hak erfacht, melainkan hak konsesi untuk perusahaan
kebun besar.
Persewaan tanah rakyat kepada perusahaan kebun besar diatur pula
dengan ordonansi, yang telah mengalami perubahanperubahan menjadi :
1. Grondhuurordonantie (S.1918-88), yang berlaku di jawa dan Madura,
kecuali Surakarta dan Yogyakarta;
2. Vordtenlands Groondhuur Reglement (S.1918-20), yang berlaku di
daerah Swapraja Surakarta dan Yogyakarta.
d. Agrarische Eigendom
Agrarische Eigendom adalah suatu koninklijk besluit tertanggal 16 April
1872, Nomor : 29, mengenai hak agrarische eigendom.
Yang dimaksud dengan Agrarische eigendom adalah suatu hak yang
bertujuan untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia/Pribumi. Suatu hak
yang kuat atas sebidang tanah. Agrarische eigendom ini, dalam praktik untuk
membedakan hak eigendom sebagaimana yang dimaksud dalam BW.
Agrarische eigendom diatur dalam Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur lebih lanjut
dalam Pasal 4 AB kemudian diatur lebih lanjut dalam KB tanggal 16 April 1872
Nomor : 29 (S. 1872-117) dan S. 1837-38. berdasarkan KB tersbut, tata cara
memperoleh Agrarische eigendom dijelaskan di bawah ini, yaitu :
1. Apabila seseorang Indonesia asli (bumi putera) berkeinginan agar hak
milik atas tanahnya, dirubah menjadi Hak Agrarische eigendom, maka
pemohonannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat,
agar ia ditetapkan sebagai pemiliknya. Inilah yang disebut : uitwijzing van
erfelijk individucel gebbruikrecht. Ini hanya mungkin apabila tanahnya di
lkuar sengketa, artinya tanpa berperkara dengan pihak lain.
2. Untuk ini semua sebelumnya diadakan pengumuman, di desanya yang
bersangkutan untuk memberi kesempatan kepada pihak ketiga yang
merasa berkepentigan akan mengajukan keberatan keberatan terhadap
permohonan uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht di atas.

12
3. Dengan berlandaskan keputusan ketua pengadilan negeri tersebut, maka
agrarische eigendom dapat diberikan kepada pemohon oleh bupati yang
bersangkutan bertindak untuk dan atas nama pemberian gubernur jenderal.
4. Agrarische eigendom yang telah diperoleh dari bupati tersebut, maka
Agrarische eigendom tersebut harus didafatarkan menurut peraturan
sebagaimana dimuat dalam S.1873-38, dan kepadapemiliknya akan
mendapat surat tanda bukti hak.
5. Setiap peralihan hak, pembebanan degnan hypotheek, harus didaftarkan di
Kantor Pengadilan Negeri.
Tujuan adanya Agrarische eigendom sebetulnya bertujuan untuk
memberikan kepada orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang kuat,
yang pasti karena terdaftar dan haknya dapat dibebani dengan hypotheek. Tetapi
dalam praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak miliknya dengan menjadi
Agrarische eigendom tidak banyak dipergunakan.

D. Sejarah Hukum Agraria Setelah Kemerdekaan


Sejak pengakuan keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah
pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan
melakukan hal-hal berikut:
a. Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang
mengusahakan tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian. Di daerah
Malang luasnya tanah perkebunan ± 20.000 Ha. Pendudukan oleh rakyat
seluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah perkebunan ± 23.000 Ha.
pendudukan oleh rakyat seluas ± 13.000 Ha. dan menurut perkiraan dari
luas tanah perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000 Ha. Telah diduduki
rakyat seluas ± 80.000 Ha
b. Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua
perkebunan lambat laun akan menghambat usaha pembangunan kembali
suatu cabang produksi yang penting bagi negara serta memperlambat
pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan yang sangat
diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di daerah

13
pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu
ditertibkan.
c. Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan
tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air.
d. Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan
ketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban
umum.

E. Pembentukan UU no. 5 tahun 1960 Tentang Pokok Agraria


Terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria melalui proses yang panjang
(Harsono, 1970:94 dan seterusnya). Pada 12 Mei 1948 dengan Surat Penetapan
Presiden No. 16, Soekarno menetapkan dibentuknya Panitia Agraria Yogyakarta
(PAY) yang bertugas untuk menyusun hukum agraria baru dan menetapkan
kebijaksanaan politik agraria negara.
Panitia ini diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo, dengan anggota yang
terdiri dari penjabat utusan dari kementerian dan jawatan-jawatan, wakil
organisasi-organisasi petani yang juga anggota KNIP, wakil dari Serikat Buruh
Perkebunan dan ahli-ahli hukum, khususnya ahli hukum adat. PAY hanya dapat
menghasilkan karyanya dalam sebuah laporan yang disampaikan kepada Presiden
3 Februari 1950. Atas dasar pertimbangan perpindahan kekuasaan negara ke
Jakarta, kemudian PAY dibubarkan pada 9 Maret 1951 oleh Soekarno, melalui
SK Presiden No. 36 tahun 1951, dan diganti dengan Panitia Agraria Jakarta
(PAJ). Panitia ini mempunyai tugas yang hampir sama dengan PAY. PAJ juga
diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo.
Melalui Keputusan Presiden tanggal 29 Maret 1955, No. 55 tahun 1955,
dibentuk Kementerian Agraria. Yakni di masa kabinet Ali Sastroamidjojo I.
Kementerian ini ditugaskan antara lain untuk memperjuangkan pembentukan
undang-undang agraria nasional yang sesuai dengan pasal 38 ayat 3, dan pasal 25
dan 37 ayat 1 Undang-undang Dasar Sementara.
Panitia Agraria Jakarta tetap bekerja, walaupun ketuanya kemudian diganti
oleh Singgih Praptodihardjo. Akhirnya, PAJ juga dibubarkan karena dianggap

14
tidak mampu menyusun Rancangan Undang-undang. Melalui Keputusan
Presiden RI 14 Januari 1956, No. 1 tahun 1956, kemudian dibentuklah Panitia
Negara Urusan Agraria yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo (sekretaris
jenderal Kementerian Agraria) dan beranggotakan pejabat-pejabat berbagai
Kementerian dan Jawatan, ahli-ahli hukum adat dan wakil beberapa organisasi
petani. Dengan menggunakan semua bahan hasil panitia-panitia agraria
sebelumnya, Panitia Negara Urusan Agraria (Panitia Soewahjo) berhasil
menghasilkan RUU pada 6 Februari 1958, yang diserahkan pada Menteri
Agraria. Pada tahun ini juga Panitia Soewahjo dibubarkan, karena tugasnya telah
selesai.
Dengan beberapa perubahan sistematika dan perumusan sejumlah pasal,
maka rancangan Panitia Soewahjo tersebut dijadikan dokumen yang dikenal
sebagai rancangan Soenarjo. Rancangan ini diajukan oleh Menteri Agraria
Soenarjo kepada Dewan Menteri pada 15 Maret 1958. Rancangan ini disetujui
oleh Dewan Menteri pada sidangnya yang ke-94 pada 1 April 1958, untuk
selanjutnya diajukan kepada DPR dengan Amanat Presiden tanggal 24 April
1958 No. 1307/HK.
Pembahasan di DPR dilakukan dalam beberapa tahap. Jawaban terhadap
pandangan umum DPR terhadap Rancangan Soenarjo ini diberikan oleh Menteri
Agraria Soenarjo, pada sidang pleno DPR tanggal 16 Desember 1958.
Selanjutnya, diputuskan bahwa DPR memandang perlu mengumpulkan bahan-
bahan yang lebih lengkap. DPR membentuk panitia adhoc yang diketuai oleh
AM. Tambunan. Panitia adhoc ini banyak memperoleh masukan dari Seksi
Agraria Universitas Agraria (yang diketuai oleh Prof. Notonagoro) dan Ketua
Mahkamah Agung, Wirjono Prodjodikoro. Namun, pembicaraan sidang pleno
selanjutnya menjadi tertunda-tunda.
Sehubungan dengan Dekrit Presiden 51 juli 1959, tentang berlakunya
kembali UUD 1945, maka Rancangan Undang-undang Pokok Agraria Soenarjo,
yang memakai dasar UUDS, ditarik kembali dengan surat Pejabat Presiden
tanggal 23 Mei 1960 No. 1532/HK/1960. Setelah disesuaikan dengan Undang-
undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Indonesia (yaitu pidato Presiden

15
Soekarno pada 17 Agustus 1959), dalam bentuk yang lebih sempurna dan lengkap
diajukan Rancangan Undang-undang Pokok Agraria yang baru oleh Menteri
Agraria Sadjarwo. “Rancangan Sadjarwo” itu disetujui oleh Kabinet Inti dalam
sidangnya pada 22 Juli 1960 dan oleh Kabinet Pleno dalam sidang pada 1 Agustus
1960. Dengan Amanat Presiden tanggal 1 agustus 1960 No. 2584/HK/60
rancangan tersebut diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR).
Setelah selesai dilakukan pemeriksaan pendahuluan, pembahasan di
sidang-sidang komisi yang bersifat tertutup, pemandangan umum, sidang-sidang
pleno pada 14 September 1960 dengan suara bulat DPR-GR menerima baik
rancangan UUPA itu. Semua golongan di DPR-GR, baik Golongan Nasionalis,
Golongan Islam, Golongan Komunis, dan Golongan Karya, menyetujuinya.
Pada hari Sabtu, 24 September 1960, rancangan undang-undang yang telah
disetujui oleh DPR-GR itu disahkan oleh Presiden menjadi Undang-undang No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang menurut
diktumnya yang kelima dapat disebut, dan selanjutnya memang lebih terkenal
sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA diungkapkan di dalam
Lembaran Negara tahun 1960 No. 104, sedang penjelasannya dimuat di dalam
Tambahan Lembaran Negara No. 2043.
Dengan ditetapkannya UUPA, maka sistem hukum kolonial yang
menyangkut hukum agraria seluruhnya dicabut, peraturan-peraturan itu
adalah AgrarischeWet (S.1870-55), Domein-verklaring, Algemene
Domeinenberklaring, Koninkljk Besluit serta Buku II Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, khususnya mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan Hypotheek.
Sebagai pengganti, UUPA meletakkan nilai-nilai baru yang merupakan
dasar-dasar utama penjabaran pasal 33 ayat 2 UUD 1945. Pengaturan dalam
UUPA sebenarnya tidaklah terlalu banyak, hanya meliputi 70 pasal, 4 bab, 5
bagian. Sedikitnya, pengaturan pasal-pasal dalam UUPA menempatkan UUPA
sebagai undang-undang yang singkat dan terbatas, dan membutuhkan undang-
undang pendukungan atau pun pelabagai peraturan pelaksana yang bersifat

16
melengkapi atau menjabarkan kehendak pasal-pasal UUPA. Dengan demikian,
UUPA berfungsi sebagai sumber dan dasar hukum tertinggi. Kebutuhan
penjabaran lebih lanjut dalam peraturan-peraturan lain juga disebabkan karena
posisi UUPA yang oleh pembentuk undang-undang memang dimaksudkan untuk
menjadi peraturan yang inti yang hanya berfungsi mengatur hal-hal pokok tentang
dasar-dasar hukum agraria nasional, yang akan merubah sistem serta politik
hukum agraria kolonial.
Sebagai suatu sistem dan tata hukum agraria baru, nilai-nilai yang terdapat
dalam UUPA diambil dari Hukum Adat, yang pada masa kolonial direndahkan
posisinya dan dianggap hukum kaum tidak beradab. Pasal 5 UUPA menyatakan
bahwa hukum adat yang digunakan sebagai sumber hukum UUPA adalah hukum
adat yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, persatuan
bangsa, sosialisme Indonesia, serta tidak bertentangan dengan UUPA itu sendiri
atau undang-undang lainnya, dan terakhir bersandar pada hukum agama. Ini
berarti bahwa sumber hukum adat yang diakui dalam UUPA adalah nilai-nilai
yang sesuai dengan tujuan fungsi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, berupaya
meningkatkan kesejahteraannya, memerdekakan masyarakat dalam arti ekonomi
maupun politik, serta menganut paham kebangsaan yang menolak penguasaan dan
pemilikan tanah di tangan segelintir masyarakat saja, penggunaan tanah lebih
ditujukan untuk rakyat, khususnya rakyat petani. Hukum adat dipandang akan
lebih sesuai dengan kesadaran hukum rakyat, lebih sederhana dan lebih mampu
menjamin kepastian hukum.
Dari UUPA dapat dilihat adanya upaya untuk merealisasikan kehendak
memerdekakan dan mensejahterakan rakyat dan menghapuskan praktek-praktek
eksploitatif pemerintah kolonial, baik kaum kapitalis asing maupun kaum feodal.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Pertama kali hak atas tanah itu adalah hak tanah ulayat, pada awalnya tanah
adalah milik seluruh rakyat anggota persekutuan, dan barang siapa yang
mampu mengolahnya maka tanah tersebut menjadi hak miliknya. Persekutuan
tersebut pada dasarnya dibagi menjadi 2 golongan: pertama, berdasarkan
genealogis (Batak dan Minangkabau) kedua, berdasarkan kesatuan
lingkungan (teritorial) seperti marga di Palembang dan Desa di Jawa.
2. Masa ini adalah zaman kekuasaan raja-raja, hukum tanah berdasarkan sistem
feodalisme, yang berlaku di beberapa daerah di Indonesia yang berdasar pada:
a. Tanah adalah milik raja; atau raja adalah pemilik tanah dalam
kerajaannya
b. Rayat adalah milik raja juga, yang dapat digunakan untuk
kepentingannya dan kehormatannya
3. Hukum agraria di buat oleh penjajah terutama masa penjajahan Belanda,
tujuan di buatnya ialah semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan
penjajah. Hukum agrarian sendiri tersusun berdasarkan tujuan dan keinginan
dari pemerintah jajahan dan sebagian di pengaruhi olehnya. Hukum agraria
sendiri bersifat merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia. Kebijakan
hukum agraria yang berlaku dibawah pemerintah Hindia Belanda oleh tiga
penguasa yaitu:
1) VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie)
2) Masa Pemerintahan Gubernur Herman Williem Daendles (1800-1811)

18
3) Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raflles (1811-1816)
4) Masa Pemerintahan Gubernur Johanes Van Den Bosch.

4. Pada hari Sabtu, 24 September 1960, rancangan undang-undang yang telah


disetujui oleh DPR-GR itu disahkan oleh Presiden menjadi Undang-undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang
menurut diktumnya yang kelima dapat disebut, dan selanjutnya memang lebih
terkenal sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

B. Saran
Berdasarkan pemaparan kesimpulan di atas, berikut saran yang dapat
penulis berikan yaitu:
1. Institusi pertanhan dalam hal ini aparat pelaksana agar lebih profesionalisme,
disiplin, jujur dan cermat dalam menafsirkan data fisik dan data yuridis yang
diperoleh dari anggota masyarakat.
2. Perlunya kesadaran hukum bagi masyarakat akan pendaftaran hak milik atas
tanah (sertifikat). Disamping itu, untuk mencega terjadinya masalah dalam
hal kepemilikan maka diperlukan adanya kejujuran dalam memberikan
informasi yang benar dan jelas atas obyek yang didaftarkan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :
Ahmadin. (2013). Sejarah Agraria: Sebuah Pengantar. Makassar: Rayhan
Intermedia.

Harsono, B. (2003). Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi


dan Pelaksanaannya. Djambatan, Jakarta.

Muchsin, D. K. K., & Koeswahyono, I. (2007). Hukum Agraria Indonesia Dalam


Perspektif Sejarah. Bandung: Refika Aditama.

Hartaji, Santoso, Urip. (2005). Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta:
Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, cet. Ke-2.

Sumber Internet :
https://insistpress.com/2011/09/28/proses-pembentukan-uu-pokok-agraria-no-5-
tahun-1960/

20

Anda mungkin juga menyukai