Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH HUKUM AGRARIA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN
Ada 4 Masa Perkembangan Hukum Agraria di Masa Belanda

I. Beberapa aspek masalah dan perkembangan hukum pertanahan/Agraria di


Indonesia dapat diajukan pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah gambaran awal mula munculnya peraturan-peraturan
tentang pertanahan di Indonesia?
2. Siapa sajakah yang memegang kekuasaan pada saat itu dan kebijakan
apasajakah yang pernah diberlakukan?
3. Bagaimanakah proses terbentuknya UUPA?

II. Ada beberapa yang perlu kita kaji berkaitan dengan makalah ini sebagai
berikut:

A. Hukum Agraria Pada Masa Kolonial.

1. Berdirinya Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun


1602.
Sejarah Hukum Agraria Kolonial yang pernah berlaku di Nusantara berawal
dari berdirinya sebuah perkumpulan dagang yang dikenal dengan sebutan
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602. VOC ini oleh
pemerintah Belanda diberi hak dan wewenang eksklusif untuk berdagang,
berlayar dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan
Kepulauan Solomon.[1] Perkumpulan dagang ini dimaksudkan untuk mencegah
persaingan antar pedagang-pedagang Belanda, mendapat monopoli di Asia
Selatan (Bersaing dengan orang-orang Portugis, Spanyol, dll.), membeli murah
dan menjual mahal rempah-rempah yang diperoleh dari Indonesia sehingga
memperoleh keuntungan yang melimpah. Bahkan, sejak saat itu pula VOC
diberi hak yag seluas-luasnya dan seolah-olah merupakan badan yang berdaulat
oleh Pemerintah Belanda.[2]
Pada awalnya, armada VOC datang ke Indonesia untuk melakukan pembelian
rempah-remapah dengan mengadakan kontrak jual beli dengan pihak penguasa
Pribumi. Namun pada perkembangan selanjutnya, VOC berambisi menguasai
perdagangan di Indonesia dengan menyingkirkan pedagang-pedagang asing
lainnya dan memaksa penguasa-penguasa pribumi di Indonesia untuk
mengadakan perjanjian kerjasama jual-beli dengan mereka. Untuk melancarkan
ambisinya tersebut, usaha VOC selanjutnya yaitu; membangun pangkalan laut,
pusat gudang perdagangan dan pusat pemerintahan yang menjadi basis aksi
perang , diplomasi dan perdagangan.
Dalam hal kegiatan transaksi di Indonesia, VOC mengambil sikap
menyesuaikan diri dengan pola dan sistem perdagangan yang berlaku, seperti
dalam hal peraturan jual-beli, tawar-menawar dan penentuan harga. Namun di
balik itu semua, dalam upaya menguasai perdagangan Indonesia mereka
mengambil beberapa jalan, yaitu; melalui upaya penaklukan dengan kekuasaan,
melalui kontrak monopoli dan melakukan persetujuan atas perdagangan bebas.
Perlu diketahui, setelah VOC menaklukan suatu daerah, VOC tidak mengambil
alih kekuasaan para raja yang berkuasa pada saat itu. Tetapi, VOC lebih
menekankan pengakuan kekuasaannya dalam bentuk penyerahan wajib produk
atau pajak berupa hasil pertanian dari penduduk yang dikuasainya melaui raja
atau kepala pribumi yang diakuinya. Dalam hal ini, yang drugikan bukanlah
raja,bupati, ataupun bangsawan lainnya, karena raja-raja dan penguasa pribumi
menyerahkan lagi kewajibannya kepada rakyat petani yang harus menyediakan
kebutuhan VOC. Dan seringkali dalam praktiknya bayaran atau upah atas
penyediaan kebutuhan dari VOC kepada para penguasa tidak dibagikan kepada
rakyat petani karena usaha petani dipandang sebagai kewajiban bakti pada raja
dalam sistem feodal (kerajaan).[3]
Beberapa kebijakan politik pertanian yang diberlakukan oleh VOC dan
membuat rakyat Indonesia sangat tertindas dan menderita pada saat itu
adalah[4]:
1. Contingenten, yaitu berupa pajak atas hasil pertanian yang harus
diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani pribumi harus
menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar
sepeserpun.
2. Verplichte Leveranten, yaitu suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh
kompeni dengan para raja tentang kewajiban menyerahkan seluruh hasil panen
dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak.
Dengan ketentuan ini, rakyat petani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa.
Mereka tidak berkuasa atas apa yang telah mereka hasilkan.
3. Roereiensten atau yang dikenal dengan kerja Rodi. Kebijakan ini
dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak memiliki tanah pertanian dan
menjual tamnah-tanah yang luas kepada pengusaha swasta (cultuur
stelsel).Sistem kerja Rodi meliputi pembukaan lahan, penggarapan lahan,
penanaman biji kopi, pemeliharaan dan pemanenan serta pengangkutan hasil
produksi.
Disamping beberapa kebijakan politik pertanian tersebut, ada pula kebijakan
politik mengenai pertanahan. Sejak tahun 1627, VOC juga menjual tanah
kepada orang-orang partikelir (swasta) pemilik modal besar.
Dan pada akhirnya VOC dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada
tanggal 31 Desember 1799 karena mengalami kebangkrutan. Ada beberapa
faktor penyebab bangkrutnya VOC, antara lain; kecurangan pembukuan,
korupsi, pegawai yang lemah, sistem monopoli, sistem serah wajib dan kerja
paksa yang membawa kemerosotan moral para penguasa dan penderitaan
penduduk.[5]
Menurut Kukuh Achmadi, sebab-sebab kebangkrutan VOC yaitu:
1. VOC kerap kali berperang.
2. Para pegawainya banyak yang melakukan kecurangan.
3. Kas kosong, bahkan banyak mempunyai kekurangan .
4. Adanya persaingan Inggris dan Perancis.[6]
2. Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811)
Pada masa ini, kebijakan yang diberlakukan oleh Daendles adalah
menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada pemilik modal besar, terutama
kepada orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri yang kemudian tanah-
tanah tersebut dikenal sebagai “tanah partikelir”[7]. Tanah partikelir tanah
eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan
dengan tanah eigendom lainnya adalah hak-hak pada pemiliknya yang bersifat
kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak
pertuanan yang dimaksudkan disini adalah:
1. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta
memberhentikan kepala kampung / desa;
2. Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti
kerja paksa dari penduduk;
3. Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa uang
ataupun hasil pertanian para penduduk;
4. Hak untuk mendirikan pasar-pasar;
5. Hak utuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan;
6. Hak untuk mengharuskan penduduk tiga kali sehari memotog rumput bagi
keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau
gudang-gudangnya dan sebagainya.
Penjualan tanah partikelir didasarkan atas hukum hak milik tanah di bawah
feodalisme, dimana raja sebagai pemilik tanah mutlak termasuk penduduk di
dalamnya. Dengan penjualan tanah kepada orang-orang partikelir, beralih pula
kekuasaan atas tanah beserta penduduknya ke tangan orang-orang partikelir itu
yang kemudian menjadi tuan-tuan tanah, atau dengan kata lain, penduduknya
boleh dijadikan sebagai budak untuk penggarapan tanah. Sehingga rakyat yang
hidup dalam wilayah partikelir keadaannya semakin tertindas dan hanyut dalam
penderitaan.

3. Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816)


Pada zaman ini, penguasaan hak atas tanah lebih diposisikan sebagai alat untuk
menarik pajak bumi demi kepentingan pemerintahan jajahan Belanda.
Sebelumnya pemerintahan Hindia Belanda gagal merealisasikan sistem
administrasi pertanahan dengan baik, maka setelah pemerintah Hindia Belanda
digantikan oleh pemerintah jajahan Inggris, administrasi pertanahan mulai
ditata.
Salah satu pembaruan terpenting dalam masa ini adalah pengenalan sistem
pemungutan pajak tanah oleh Raffles. Menurut Raffles, sistem penyerahan
wajib dan kerja paksa akan memberikan peluang penindasan, dan penduduk
petani tidak akan terdorong semangatnya untuk bekerja. Maka, sistem
penyerahan wajib dan kerja paksa harus digantikan dengan sistem pemungutan
pajak tanah, yang dianggap akan menguntungkan pihak pemerintah maupun
penduduk. Sistem ini dikenal dengan istilah Landrent. Sistem seperti ini
sebelumnya juga pernah diberlakukan oleh Raffles di tanah jajahan lainnya,
yaituIndia. Di India, pemerintah kolonial Inggris menarik pajak bumi melalui
sistem pengelolaan agraria yang sebenarnya merupakan warisan dari sistem
pemerintahan kekaisaran Mughal atau Mongol (1526-1707).[9]
Penerapan pajak tanah tersebut diklasifikasikan atas kesuburan tanah masing-
masing yaitu yang terbaik (I), sedang (II), dan kurang (III). Adapun rinciannya
sebagai berikut:
Pajak Tanah Sawah:
Pajak Tanah Tegalan:
- Golongan I, ½ dari hasil panen.
- Golongan II, 2/5 dari hasil panen.
- Golongan III, 1/3 dari hasil panen.
- Golongan I, 2/5 dari hasil panen.
- Golongan II, 1/3 dari hasil panen.
- Golongan III, ¼ dari hasil panen.
Pajak dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk padi dan beras,
yang ditarik secara perseorangan dari petani penduduk tanah jajahan dan
dilakukan oleh petugas pemungut pajak.
Adapun ketentuan dari pajak tanah yang dipelopori oleh Raffles, yaitu:
a. Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah,
tetapi ditugaskan kepada kepala desa. Para kepala desa diberikan kekuasaan
untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh petani.
b. Kepala desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan
pada pemilikan tanah oleh para petani. Jika hal itu dipergunakan guna
memperlancar pemasukan pajak tanah. Dapat dikurangi luasnya atau dicabut
penguasaannya, jika petani yang bersangkutan tidak mau atau tidak mampu
membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya, tanah yang bersangkutan akan
diberikan kepada petani lain yang sanggup mmenuhinya.
c. Praktik pajak tanah menjungkirbalikkan hukum yang mengatur pemilikan
tanah rakyat sebgai akibat besarnya kekuasaan kepala desa. Seharusnya luas
pemilikan tanahlah yang menentukan besarnya sewa yang wajib dibayar, tetapi
dalam praktik pemungutan pajak tanah itu justru berlaku yang sebaliknya.
Besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang menentukan luas tanah yang
boleh dikuasai oleh seseorang.[10]
Namun, pada akhirnya sistem ini mengalami kegagalan. Tujuannya untuk
mewujudkan kemakmuran rakyat dan memajukan ekspor tidak terwujud.
Karena pada masa masa ini terjadi Perang Diponegoro (1825-1830) yang
menimbulkan keruwetan besar bagi pemerintah Hindia Belanda dalam
menjalankan program-program pemerintahannya.

4. Masa Pemerintahan Gubernur Johanes Van Den Bosch (1830)


Tonggak sejarah perkembangan hukum agraria, khususnya pengaturan
hak atas tanah pada periode selanjutnya, ditandai dengan kembalinya Indonesia
ke tangan pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1830 pemerintahan Hindia
Belanda dipegang oleh Johanes Van Den Bosch yang mempopulerkan sebuah
konsep penguasaan tanah Cultuur Stelsel atau yang lazim dikenal sebagai sistem
Tanam Paksa. Munculnya ide sistem seperti ini dilatarbelakangi oleh
permasalahan keuangan di negeri Belanda yang timbul karena peperangan
dalam rangka meluaskan jajahannya di Indonesia maupun peperangan dengan
Belgia di Eropa. Selain itu, juga karena industrialisasi yang sedang digalakkan
di negeri Belanda sendiri.
Dalam sistem tanam paksa ini, petani dipaksa untuk menanam suatu
jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lansung sedang
dibutuhkan oleh pasar internasional pada saat itu. Keseluruhan hasil pertanian
tersebut harus diserahkan kepada pemerintah kolonial secara cuma-cuma tanpa
ada imbalan apapun. Sedangkan bagi rakyat yang tidak memiliki tanah
pertanian diwajibkan menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima dari masa
kerjanya atau 66 hari untuk satu tahunnya.
Menurut ketentuan Lembaran Negara (staatblad) tahun 1834 No.2,
ketentuan pelaksanaan sistem tanam paksa sebagai berikut:
1. Melalui persetujuan, penduduk menyediakan sebagian tanahnya untuk
penanaman tanaman perdagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
2. Tanah yang disediakan untuk penanaman tanaman perdagangan tidak
boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk
desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman perdagangan tidak
boleh melebihi pekerjaan yang dibutuhkan untuk menanam padi.
4. Bagian tanah yang ditanami tanaman perdagangan dibebaskan dari
pembayaran pajak tanah.
5. Hasil tanaman perdagangan yang berasal dari tanah yang disediakan,
wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda.
6. Kegagalan panen tanaman perdagangan harus dibebankan kepada
pemerintah, terutama yang gagal bukan karena kelalaian penduduk.
7. Penduduk desa akan mengerjakan tanah mereka dengan pengawasan
kepala-kepala mereka.
Adapun dalam praktiknya, ketentuan besaran tanah yang diminta oleh
pemerintah untuk ditanami tanaman wajib bukan 1/5 bagian, tapi lebih luas,
kira-kira 1/3 atau ½ bagian, bahkan sering seluruh desa. Demikian pula
pembayaran setoran hasil tanaman banyak yang tidak ditepati menurut
jumlahnya. Juga kegagalan panen dibebankan kepada penduduk, yang
sebenarnya harus menjadi beban pemerintah.
Hasil yag diperoleh dari sistem ini sangat besar bagi pemerintah Belanda.
Sistem tanam paksa tersebut jelas mengakibatkan kesengsaraan rakyat.
Penguasa kolonial yang sekaligus sebagai penguasa berdaya upaya untuk
dengan jalan yang bagaimanapun mengeksploitasi sumber kehidupan di bumi
Indonesia dengan banyak mengorbankan penderitaan rakyat.
Oleh karena itu, lalu timbul reaksi terhadap adanya sistem tanam paksa (1848)
yang dikemukakan oleh cendekiawan dan pemuka-pemuka masyarakat. Reaksi-
reaksi tersebut antara lain oleh Douwes Dekker yang membentang kekejaman
sistem tanam paksa dalam bukunya “Maxhavellar” juga oleh Baron Van De
Hoevell yang menuliskan dalam bukunya “Tijdschrift Van Nederland Indie”
perdebatan tersebut memuncak akhirnya menimbulkan pemikiran tentang
politik kolonial yang bagaimana yang harus diterapkan agar sesuai dengan
perkembangan jaman.[11]
Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan
pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar.
Disamping pada dasrnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang
cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengolah
tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha
swasta pada saat itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yang
disewa adalah tanah-tanah yang masih kosong.
Namun, pada akhirnya secara berangsur-angsur, terutama pada tahun 1870,
sistem tanam paksa dihapuskan. Ini disebabkan di negeri Belanda telah terjadi
pergeseran-pergeseran kekuasaan politik dari tangan kaum konservatif ke
tangan kaum liberal. Kaum liberal menentang sistem eksploitasi oleh negara
atau pemerintah. Mereka mengganti sistem tanam paksa dengan sistem
perusahaan swasta dan sistem kerja paksa dengan sistem kerja upah bebas. Jadi,
dengan demikian tejadi pembukaan tanah jajahan bagi penanam modal swasta
Belanda dan terjadi pembukaan tanah-tanah perkebunan di Indonesia.
5. Masa Berlakunya Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) Tahun
1870
Agrarische Wet lahir atas desakan modal besar swasta sejalan dengan
politik monopoli (sistem tanam paksa) pemerintah dalam bidang pertanian
dimana pada pihak pengusaha swasta terbatas kesempatannya memperoleh
tanah-tanah yang luas dan kuat haknya. Dengan lahirnya Agrarische Wet ini,
pengusaha besar swasta asing dalam rangka memperluas usahanya di bidang
perkebunan dengan memperoleh hak erfpacht berjangka waktu paling lama 75
tahun, disamping itu ada kemungkinan tanah dari orang-orang Indonesia.
Agrarische Wet ini tercantum dalam pasal 51 I.S. (Indische
Staatsregeling), yang berisi sebagai berikut:
1. Gubernur jenderal tidak diperbolehkan menjual tanah.
2. Dalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah kecil untuk perluasan kota
dan desa dan untuk mendirikan perusahaan-perusahaan.
3. Gubernur jenderal dapat menyewakan tanah menurut peraturan undang-
undang. Dalam peraturan ini tidak termasuk tanah-tanah yang dibuka oleh
rakyat asli atau yang digunakan untuk penggembalaan ternak umum, ataupun
yang masuk dalam lingkungan desa untuk keperluan lain.
4. Dengan peraturan undang-undang akan diberikan tanah-tanah dengan hak
erfpacht untuk paling lama 75 tahun[12].
5. Gubernur jenderal menjaga jangan sampai pemberian tanah-tanah itu
melanggar hak-hak rakyat.
6. Gubernur jenderal tidak akan mengambil kekuasaan atas tanah-tanah yang
telah dibuka oleh rakyat asli untuk keperluan mereka sendiri atau yang masuk
dalam lingkungan desa untuk penggembala ternak umum ataupun untuk
keperluan lain, kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan pasal 33; dan
untuk keperluan perkebunan yang diselenggarakan atas perintah atasan menurut
peraturan-peraturan yang berlaku untuk itu; segala sesuatu dengan pengganti
kerugian yang layak.
7. Tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat asli dapat diberikan kepada mereka
itu hak eigendom, disertai syarat-syarat pembatasan yang diatur dalam undang-
undang dan harus tercantum dalm surat tanda eigendom itu, yakni mengenai
kewajiban-kewajibanpemilik kepada negara dan desa; dan pula tentang hal
menjualnya kepada orang yang tidak masuk golongan rakyat asli.
8. Persewaan tanah oleh rakyat asli kepada orang-orang bukan rakyat asli
berlaku menurut peraturan undang-undang.
Agrarische Wet ini dijalankan dalam Agrarische Besluit yang diundangkan
dalam Staatsblaad No.118 tahun 1870, yang terkenal dengan prinsip Domein
Verklaring (atau terkenal dengan nama Domein-theorie yang berbunyi:
“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan ke-2 dan ke-3 dari undang-
undang tersebut (ayat 5 dan 6 pasal 51 I.S.), maka tetap dipegang teguh dasar
hukum yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak ada bukti hak
eigendom adalah kepunyaan (domein) negara.”

B. Hukum Agraria Setelah Masa Kemerdekaan


Hampir selama dua setengah abad, feodalisme dan kolonialisme menciptakan
massa rakyat hidup dalam kemiskinan dan ketertindasan. Kemiskinan dan
ketertindasan itu menjadi daya dorong yang melahirkan suatu gagasan dan
gerakan (nasionalisme) kemerdekaan di Indonesia untuk menyingkirkan unsur-
unsur kolonial Hindia Belanda yang terdiri dari gabungan kepentingan kaum
feodal dan kaum kapitalis asing. Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa
peraturan perundang-undangan di bidang agraria yang dibuat oleh pemerintah
jajahan, baik Belanda maupun Inggris sangat tidak berpihak kepada rakyat
Indonesia.
Keadaan darurat akibat suasana perebutan kekuasaan antara pemerintah lama
dengan pemerintah baru menyebabkan perubahan tatanan lama dengan tatanan
masyarakat baru tidak dapat dilakukan dengan segera. Kelemahan ini ditutupi
oleh pemerintah dengan pernyataan dalam Undang-Undang Dasar pada Pasal 2
aturan peralihan bahwa: “Sepanjang badan kekuasaan dan peraturan-peraturan
belum diganti dengan yang baru masih tetap berlaku.” Karenanya, sistem
hukum pemerintah kolonial masih tetap digunakan sebagai dasar-dasar perilaku
masyarakat, termasuk juga undang-undang agraria. Keadaan ini sangat tidak
disukai oleh kalangan ahli hukum jaman itu. Mereka menuntut diadakannya
suatu perubahan dan perombakan seluruh tata hukum masyarakat kolonial dan
perombakan struktur sosial ekonominya.
Setelah sekitar 15 tahun Indonesia merdeka barulah lahir UU No. 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Kelahiran UU No. 5 Tahun
1960 sebelumnya telah melalui proses yang panjang, yaitu dimulai dengan
didirikannya panitia Yogya pada tahun 1948; panitia Jakarta (1951), panitia
Soewahjo (1956), rancangan Soenario (1958), dan yang terakhir rancangan
Soedjarwo (1960).
Adapun penjelasan proses-prosesnya sebagai berikut:
a) Panitia Yogya (1948)
Panitia ini didirikan pada tanggal 12 Mei 1948 dengan surat penetapan presiden
Soekarno No 16 yang mana panitia ini terkenal dengan sebutan “Panitia Agraria
Yogya” (PAY) dan diketuai oleh Sarmin Reksodihardjo. Tugas yang diemban
oleh panitia ini adalah mengembangkan pemikiran-pemikiran untuk sampai
kepada usulan-usulan dalam rangka menyusun hukum agraria baru pengganti
hukum kolonial yang berlaku di Indonesia sejak 1970. Panitia ini beranggotakan
pejabat utusan dari kementrian dan jawatan-jawatan, wakil organiisasi-
organisasi petani yang juga anggota KNIP, wakil dari serikat buruh perkebunan
dan ahli-ahli hukum, khususnya ahli hukum adat. PAY hanya dapat
menghasilkan karyanya dalam sebuah laporan yang disampaikan kepada
presiden pada tanggal 03 Februari 1950. Dan pada akhirnya PAY dibubarkan
pada tanggal 09 Maret 1951 oleh presiden atas dasar pertimbangan
berpindahnya ibu kota negara ke Jakarta dan agresi militer Belanda II.[13]
Selanjutnya tugas dan amanat dilanjutkan oleh Panitia Agraria Jakarta (PAJ).
b) Panitia Jakarta (1951)
Panitia ini juga diketuai oleh Sarimen Reksodihardjo, namun dalam
perjalanannya sempat diganti oleh Singgih Praptodihardjo. Panitia jakarta ini,
selain mengembangkan gagasan Panitian Yogya,juga menghasilkan usulan-
usulan baru adapun usulan-uasulan baru tersebut adalah: (a) dianggap perlu
adanya penetapan batas luas maxsimum dan batas minimum; (b)yang dapat
memiliki tanah untuk usaha kecil hanya WNI; (c) pengakuan hak rakyat atas
undang-undang. Selanjutnya, PAJ ini juga dibubarkan karena dianggap tidak
mampu menyusun RUU.[14]
c) Panitia Soewahjo (1956)
Panitia ini dibentuk setelah Indonesia selesai melakukan Pemilu 1955,
bertepatan dengan terbentuknya kabinet baru hasil Pemilu tersebut. Diketuai
oleh Soewahjo Soemodilogo yang beranggotakan pejabat-pejabat pebagai
kementrian jawatan, ahli-ahli hukum adat, dan wakil-wakil organisasi petani.
Mandat utama yang diemban oleh panitia ini adalah menyusun secara kongkret
Rancangan Undang-Undang (RUU) Agraria Nasional, setelah sebelumnya
terdapat berbagai masukan dari panitia sebelumnya. Dasar acuannya adalah
pasal 26, 37, dan 38 dari Undang-Undang Dasar sementara (UUDS 1950).
Namun pada tanggal 6 Februari tahun 1957, panitia ini berhasil menyusun
RUU, yang memuat antara lain butir-butir penting berikut ini: (a) asas domein
dihapuskan diganti dengan asas “hak menguasai oleh negara”, sesuai dengan
kententuan pasal 38 ayat (3) UUDS; (b) asas bahwa tanah pertanian dikerjarkan
dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya, tetapi rancangan ini belum sempat
disampaikan kepada DPR. Dengan demikian, pada tahun ini pula panitia ini
dibubarkan karena tugas-tugasnya telah selesai.
d) Panitia Soenario (1959)
Dengan beberapa perubahan, sistematika dan perumusan sejumlah oasal, maka
rancangan Panitia Soewahjo terebut dijadikan dokumen yang dikenal sebagai
Rancangan Soenario. Rancangan ini diajukan oleh Menteri Agraria Soenario
kepada Dewan Menteri pada 14 Maret 1958. Rancangan ini disetujui oleh
Dewan Menteri pada sidangnya yang ke-94 pada 1 April 1958, untuk
selanjutnya diajukan kepada DPR dengan Amanat Presiden tanggal 24 April
1958 No.1307/HK.
Pembahasan di DPR dilakukan dalam beberapa tahap. Jawaban terhadap
pemandangan umum DPR terhadap Rancangan Soenardjo ini diberikan oleh
Menteri Agraria Soenario, pada sidang pleno DPR tanggal 16 Desember 1958.
Selanjutnya, diputuskan bahwa DPR memandang perlu mengumpulkan bahan-
bahan yang lebih lengkap. DPR membentuk panitia adhoc yang diketuai oleh
AM. Tambunan. Panitia adhoc ini banyak memperoleh masukan dari Seksi
Agraria Universitas Gadjah Mada (yang diketuai oleh Prof. Notonegoro) dan
ketua Mahkamah Agung, Wirjono Prodjodikoro. Namun, pembicaraan sidang
pleno selanjutnya menjadi tertunda-tunda.
Sehubungan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tentang berlakunya kembali
UUD 1945, maka Rancangan Undang Undang Pokok Agraria Soenario, yang
memakai dasar UUDS, ditarik kembali dengan surat pejabat Presiden tanggal 23
Mei 1960 No.1532/HK1960.
Setelah disesuaikan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan Manifesto politik
Indonesia (yaitu pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1959), dalam
bentuk yang lebih sempurna dan lengkap diajukan Rancangan Undang Undang
Pokok Agraria yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo. “Rancangan
Sadjarwo” itu disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidangnya pada 22 Juli 1960
dan oleh Kabinet-Pleno dalam sidangnya pada 1 Agustus 1960. Dengan Amanat
Presiden tanggal 1 agustus 1960 No.2584/HK/60 rancangan tersebut diajukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
Setelah selesai dilakukan pemeriksaan pendahuluan, pembahasan di sidang-
sidang komisi yang bersifat tertutup, pemandangan umum, sidang-pleno, pada
14 September 1960 dengan suara bulat DPR-GR menerima baik rancangan
UUPA itu. Semua golongan di DPR-GR, baik Golongan Nasionalis, Golongan
Islam, Golongan Komunis, dan Golongan Karya, menyetujuinya.
Pada hari Sabtu, 24 September 1960, rancangan Undang Undang yang telah
disetujui oleh DPR-GR itu disahkan oleh Presiden menjadi Undang-undang No.
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang menurut
diktumnya yang ke 5 dapat disebut, dan selanjutnya memang lebih terkenal,
sebagai Undamg-Undang Pokok Agraria (UUPA).

BAGIAN III KESIMPULAN

Sistem kolonial yang mengiringi awal mula kmunculan kebijakan agraria di


Indonesia ini dapat ditarik 4 ciri pokok, yaitu; dominasi, eksploitasi,
diskriminasi, dan dependensi. Prinsip dominasi terwujud dalam kekuasaan
golongan penjajah yang minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas.
Dominasi ini pada dasarnya ditopang oleh keunggulan militer kaum penjajah
dalam menguasai dan memerintah penduduk pribumi.
Dominasi ini juga berlangsung dalam eksploitasi atau pemerasan sumber
kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi
diperas tenaga dan hasil produksinya untuk diserahkan kepada pihak penjajah,
yang kemudian oleh pihak penjajah itu dikirim ke negara induknya untuk
kemakmuran mereka sendiri.
Ciri ketiga yaitu diskriminasi atau perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah
dianggap sebagai penguasa, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah
dipandang sebagai bangsa yang rendah. Sistem kolonial ini memakai pola
diskriminasi untuk membentuk dan mempertahankan pola hubungan
masyarakat yang menempatkan kaum penjajah di atas puncak kekuasaan tata
sosial masyarakat itu. Dengan demikian, penjajah makin diperkuat oleh
hubungan sosial ysng bersifat diskriminasi itu.
Ketiga ciri diatas, telah menimbulkan jurang perbedaan yang mencolok antara
negara penjajah dan masyarakat jajahan. Negara penjajah semakin besar dan
kuat dalam hal modal, teknologi, pengetahuan, dan kekuasaan, sedangkan
masyarakat jajahan semakin miskin dan sengsara. Ini menimbulkan pola
dependensi atau ketergantungan masyarakat jajahan terhadap penjajah dalam
hal modal, teknologi, pengetahuan, danketerampilan karena mereka semakin
lemah dan miskin.
Setelah sekitar 15 tahun Indonesia merdeka barulah lahir UU No. 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Kelahiran UU No. 5 Tahun
1960 sebelumnya telah melalui proses yang panjang, yaitu dimulai dengan
didirikannya panitia Yogya pada tahun 1948; panitia Jakarta (1951), panitia
Soewahjo (1956), rancangan Soenario (1958), hingga akhirnya rancangan
Soedjarwo (1960) disetujui oleh Kabinet-Pleno dalam sidangnya. Dan akhirnya
disahkanlah UUPA pada tanggal 24 September 1960 yang memuat tatanan
agraria di Indonesia tanpa ada unsur tatanan warisan kolonial.@@@

Anda mungkin juga menyukai