Anda di halaman 1dari 11

KEBANGKITAN DAN KESADARAN BANGSA

INDONESIA

Guru Sejarah Peminatan:

Krismes Nababan, S.Pd

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3:

Sarah Thabita Sinaga


Najwa Hardana Utami
Aldy Sihombing
Mia Enjelina Manik
Willy Sutanto

SMA NEGERI 3 SIBOLGA


T.A. 2024/2025
A. Kebijakan Pemerintah Kolonial di Indonesia pada Abad ke-19
Monumen 1000 Km Anyer Panarukan dibangun untuk mengenang sejarah pembangunan jalan raya
sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer-Panarukan di zaman pemerintahan Gubernur Jenderal Herman
Williem Daendles pada tahun 1807-1810. Pergantian pemerintahan kolonial di Indonesia selama abad ke-
19 telah melahirkan berbagai macam kebijakan yang berlainan pula. Berikut ini akan kita bahas satu per
satu bentuk pemerintahan kolonial dan kebijakan yang diterapkannya.

1. Pemerintah Kerajaan Belanda


Sejak VOC dibubarkan pada tahun 1799, Indonesia diserahkan kepada pemerintah Kerajaan
Belanda, Bangkrutnya VOC ditandai oleh buruknya kondisi keuangan serikat dagang tersebut.
Berikut ini faktor-faktor yang menyebabkan bangkrutnya VOC.
a. Korupsi yang dilakukan oleh para pegawai VOC.
b. Banyaknya pegawai VOC yang tidak cakap sehingga pengendalian monopoli perdagangan
tidak berjalan sebagaimana mestinya.
c. VOC banyak menanggung utang akibat peperangan yang dilakukan, baik dengan rakyat
Indonesia maupun dengan Inggris dalam memperebutkan kekuasaan di bidang perdagangan.
d. Kemerosotan moral di kalangan para penguasa akibat sistem monopoli perdagangan.
Keserakahan VOC membuat penguasa setempat tidak sungguh-sungguh membantu VOC dalam
monopoli perdagangan. Akibatnya, hasil panen rempah-rempah yang masuk jauh dari yang
diharapkan.
e. Tidak berjalannya verplichte leverantie (penyerahan wajib) dan preanger- stelsel (aturan
Priangan). Kedua aturan itu dimaksudkan untuk mengisi kas VOC yang kosong. Verplichte
leverantie mewajibkan setiap daerah menyerahkan hasil bumi berupa lada, kayu, beras, kapas,
nila, dan gula kepada VOC. Kedua peraturan ini tidak dapat berjalan dengan baik karena korupsi
dan pengeluaran yang terlalu besar.

a. Gubernur Jenderal Daendels


Sebagai kepala pemerintahan kolonial di Indonesia, Daendels banyak melakukan
pembaruan.Daendels merombak sistem pemerintahan feodal dan menggantinya de- ngan
sistem pemerintahan Barat modern. Para penguasa wilayah, seperti bupati dan bangsawan
lainnya diangkat sebagai pegawai pemerintah kolonial. Karena sistem pemerintahan feodal
sudah berakar kuat di Indonesia, langkah tersebut banyak mendapat hambatan. Dengan
menjadi pegawai pemerintah, wewenang mereka akan banyak berkurang.
Tugas Daendels semakin berat karena ia harus menyiapkan Pulau Jawa sebagai basis
pertahanan untuk melawan Inggris. Persiapan tersebut harus dilaksanakan dalam waktu
singkat. Langkah Daendels dalam menyiapkan Pulau Jawa sebagai basis militer adalah
sebagai berikut.
1) Menambah jumlah prajurit, penambahan tersebut disertai peningkatan gaji dan
kesejahteraan.
2) Membangun kapal-kapal baru, pangkalan kapal, pabrik senjata (di Batavia dan Surabaya),
dan benteng pertahanan.
3) Membangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg) dari Anyer sampai Panarukan. Jalan ini
dibangun untuk mempercepat gerak pasukan dari pos satu ke pos lainnya dan memudahkan
angkutan perbekalan.
Dalam pembangunan Jalan Raya Pos, Daendels terpaksa mengkhianati langkah
pembaruannya. Ia memberlakukan aturan yang seharusnya ia hapus, seperti penyerahan wajib
(verplichte leverantie) dan kerja wajib (verplichte diensten). Agar aturan ini terlaksana, ia
memanfaatkan sistem feodal. Ia bekerja sama dengan para penguasa setempat untuk
memerintahkan rakyatnya melakukan kerja wajib (kerja paksa). Akibatnya, pemerintahan
Daendels ditandai oleh penindasan rakyat.
b.Gubernur Jendral Janssens
Gubernur Jenderal Janssens memerintah ketika Indonesia dalam keadaan yang amat buruk.
Sementara itu, pemerintahan Inggris di India telah mengadakan persiapan untuk menyerang
Pulau Jawa. Pada tanggal 11 Agustus 1811, pasukan Inggris di bawah pimpinan Gubernur
Jenderal EIC, Lord Minto, mendarat di Batavia. Dalam waktu singkat, pasukan Inggris dapat
mendesak tentara Belanda, se- hingga akhirnya Belanda menyerah kepada Inggris melalui
Perjanjian Tuntang tahun 1811. Berikut ini adalah isi dari Perjanjian Tuntang.
1) Seluruh kekuatan militer Belanda yang ada di wilayah Asia Tenggara harus diserahkan
kepada Inggris.
2) Utang pemerintah Belanda tidak diakui oleh Inggris.
3) Pulau Jawa, Madura, dan semua pangkalan militer Belanda di luar Jawa menjadi wilayah
kekuasaan Inggris.
2. Pemerintah Kolonial Inggris
a. Kebijakan Pemerintahan Raffles
Asas-asas liberal amat menekankan kebebasan dan persamaan manusia. Dijiwai oleh asas
tersebut, Raffles kemudian bermaksud mewujudkan kebebasan dan persamaan derajat manusia,
serta menegakkan hukum dalam pemerintahannya.
1) Perwujudan kebebasan meliputi kebebasan menanam, berdagang, dan berproduksi untuk
ekspor.
2) Menegakkan hukum yang berupa perlindungan kepada rakyat agar bebas dari kesewenang-
wenangan. Sesuai dengan kebijakan politik tersebut, Raffles menerapkan kebijakan ekonomi
seperti yang dijalankan Inggris di India. Alasannya, India dan Indonesia sama-sama bangsa
agraris. Kebijakan ekonomi ini dikenal sebagai sistem pajak tanah (landrent system).
b. Pokok-Pokok Sistem Pajak Tanah
Berikut ini ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam sistem pajak tanah.
1) Segala bentuk penyerahan wajib dan kerja paksa dihapuskan. Rakyat dibebaskan menanam
tanaman yang dianggap menguntungkan.
2) Semua tanah menjadi milik pemerintah kolonial. Para petani mempunyai kewajiban membayar
sewa tanah kepada pemerintah kolonial. Pemungutan sewa tanah dilakukan secara langsung, tidak
lagi dengan perantara bupati.Tugas bupati terbatas pada dinas-dinas umum.
3) Penyewaan tanah di beberapa daerah dilakukan berdasarkan kontrak dan batas waktu.
Kebijakan politik dan ekonomi dalam pemerintahan Raffles bertujuan meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
C. Keuntungan Sistem Pajak Tanah bagi Rakyat
Berikut ini beberapa keuntungan yang dapat dinikmati oleh rakyat pribumi.
1) Rakyat bebas menanam tanaman yang menguntungkan sesuai dengan keterampilannya.
2) Rakyat membayar sewa sesuai dengan aturan yang berlaku, tanpa rasa khawatir adanya
pungutan liar atau pemerasan.
3) Rakyat akan tergerak untuk meningkatkan hasil pertanian karena akan meningkatkan taraf
kehidupannya.
d. Keuntungan Sistem Pajak Tanah bagi Pemerintah Kolonial
Berikut ini beberapa keuntungan yang dapat dinikmati oleh pemerintah kolonial.
1) Pemerintah memperoleh pemasukan pendapatan secara tetap dan terjamin.
2) Semakin besar hasil panen, semakin besar pula sewa tanah yang diterima oleh pemerintah
kolonial.
e. Kendala Sistem Pajak Tanah
1) Sistem feodal telah berakar dan menjadi tradisi di Indonesia. Padahal sistem pajak tanah baru
bisa dilaksanakan apabila sistem feodal dirombak terlebih dahulu.
2) Pegawai pemerintah yang cakap untuk mengendalikan (mengontrol) pelaksanaan sistem pajak
tanah terbatas jumlahnya.
3) Rakyat Indonesia belum siap menerima sistem yang baru. Berbeda dengan rakyat India, rakyat
Indonesia belum mengenal ekonomi uang dan terbiasa dengan aturan sewa-menyewa (kontrak).
4) Kepemilikan tanah masih berciri tradisional. Kepemilikan tanah biasa- nya berdasarkan
warisan adat. Akibatnya, pemerintah kolonial meng- alami kesulitan dalam prosedur pengambil
alihan tanah.
Karena keuangan (kas) pemerintah kolonial harus tetap sehat, Raffles terpaksa bertindak seperti
Daendels dahulu. Ia memberlakukan kembali kerja wajib untuk mengusahakan tanaman yang
memberi keuntungan, seperti kopi dan kayu jati. Ia pun kembali mem- berlakukan sejumlah
pungutan yang pernah dihapus. Akibatnya, penderitaan yang dialami rakyat Indonesia pada masa
pemerintahan VOC dan Daendels tidak jauh berbeda dengan masa pemerintahan Raffles.

3. Pemerintah Komisaris Jenderal


Pemerintahan Raffles di Indonesia hanya berlangsung selama lima tahun. Perubahan politik yang
terjadi di Eropa mengakhiri pemerintahannya. Pada tahun 1816, Napoleon Bonaparte menyerah
kepada Inggris dan sekutunya. Menurut Perjanjian London (1814), status Indonesia kembali pada
masa sebelum perang, yaitu di bawah kekuasaan Belanda.
Pada tanggal 19 Agustus 1816, berlangsung penyerahan kekuasaan atas Indonesia dari Inggris
kepada Belanda. Pihak Inggris diwakili oleh John Fendall. Pihak Belanda diwakili sebuah
komisaris jenderal yang terdiri atas Elout, Van der Capellen, dan Buyskes. Sejak saat itu,
Indonesia berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda

Di Belanda sendiri, terjadi perdebatan mengenai kebijakan politik yang tepat untuk Indonesia.
Perdebatan terjadi antara dua kubu, yaitu kaum liberal dan konservatif.
a. Kaum liberal berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan memberi keuntungan kepada negeri
induk apabila urusan ekonomi diserahkan kepada pihak swasta. Pemerintah kolonial hanya
memungut pajak dan mengawasi jalannya pemerintahan. Pemerintah tidak perlu ikut campur
tangan dalam urusan perdagangan hasil bumi di tanah jajahan.
b. Kaum konservatif berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan memberikan keuntungan kepada
negeri induk apabila urusan ekonomi ditangani langsung oleh pemerintah-Pemerintah harus ikut
campur tangan dalam pemungutan hasil bumi di tanah jajahan. Bagi kaum konservatif, Indonesia
belum siap menerima kebijakan liberal.
Sekitar tahun 1830-an, kebijakan politik pemerintah kolonial mulai bergeser ke arah
konservatif, kebijakan politik liberal lama-kelamaan ditinggalkan. Penyebabnya adalah
sebagai berikut:
a. Kebijakan politik liberal banyak mengalami hambatan, karena tidak sesuai dengan sistem
feodal yang berlaku di Indonesia, terutama di Pulau Jawa.
b. Pemerintah sulit berhubungan langsung dan bebas dengan rakyat, pemerintah harus melalui
perantaraan para penguasa setempat. Mereka ini cenderung menutupi fakta yang sebenarnya
terjadi.
c. Hasil perdagangan dari sektor ekspor belum memuaskan karena kalah bersaing dengan
Inggris.
d. Pemerintah mengalami defisit keuangan yang semakin besar akibat Perang Diponegoro.
e. Kesulitan ekonomi ini bertambah besar dengan terjadinya pemisahan Belgia dari Belanda
pada tahun 1830. Akibatnya, Belanda kehilangan daerah industrinya sehingga tidak mampu
menyaingi Inggris dalam ekspor hasil industri ke Indonesia.

4. Sistem Tanam Paksa


Belajar dari kegagalan kebijakan politik liberal dan demi menyelamatkan pemerintah kolonial
Belanda dari kebangkrutan, Gubernur Jenderal Van den Bosch menerapkan kebijakan politik
konservatif. Akibatnya, kebijakan ekonomi pemerintah kolonial saat itu pun berciri
konservatif. Kebijakan ekonomi konservatif yang terkenal adalah sistem tanam paksa
(cultuurstelsel).

a. Pokok-Pokok Sistem Tanam Paksa


Berikut ini beberapa aturan yang diterapkan dalam sistem tanam paksa.
1) Rakyat diwajibkan menyediakan seperlima dari lahan garapannya untuk ditanami
tanaman wajib (tanaman berkualitas ekspor).
2) Lahan yang disediakan untuk tanaman wajib dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
3) Hasil panen tanaman wajib harus diserahkan kepada pemerintah kolonial. Setiap
kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus dibayar akan dibayarkan kembali
kepada rakyat
4) Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib tidak boleh
melebihi tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
5) Mereka yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari per tahun di
perkebunan milik pemerintah.
6) Kegagalan panen tanaman wajib akan menjadi tanggung jawab pemerintah.
7) Penggarapan tanaman wajib di bawah pengawasan langsung dari para penguasa
pribumi. Pegawai-pegawai Belanda mengawasi secara umum jalannya penggarapan dan
pengangkutan.
Apabila melihat isi aturannya, sistem tanam paksa tidak membebankan rakyat. Kebijakan
tersebut lebih ringan daripada aturan wajib tanam sebelumnya, seperti verplichte
leverantie dan preangerstelsel.
b. Penyimpangan Sistem Tanam Paksa
1) Rakyat lebih banyak mencurahkan perhatian, tenaga, dan waktunya untuk
tanaman berkualitas ekspor sehingga tidak sempat mengerjakan sawah dan ladang.
2) Rakyat yang tidak memiliki tanah harus bekerja melebihi waktu yang ditentukan.
3) Jatah tanah untuk tanaman berkualitas ekspor melebihi seperlima dari
lahan garapan. Apalagi tanah itu harus lahan yang subur. Akibatnya, padi
hanya bisa ditanam di sisa lahan yang kurang subur.
4) Lahan yang disediakan untuk tanaman wajib tetap dikenai pajak tanah.
5) Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus dibayar tidak dibayarkan
kembali kepada rakyat.
6) Kegagalan panen tanaman wajib tetap menjadi tanggung jawab rakyat.
Penyimpangan pelaksanaan tanam paksa disebabkan adanya peraturan cultuurprocenten
(hadiah tanaman). Peraturan tersebut menyatakan bahwa para pengawas tanam paksa
yang menyetorkan hasil panen tanaman wajib melebihi ketentuan akan mendapat
imbalan.
Akibatnya, semua pengawas berusaha menyetorkan dengan cara memeras rakyat. Hal
yang memprihatinkan, pemerasan banyak dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri, yaitu
para penguasa pribumi.

C. Akibat Sistem Tanam Paksa


Akibat langsung yang diterima penduduk Indonesia dari sistem tanam paksa adalah
kemiskinan, kesengsaraan, dan kelaparan. Beban pajak yang berat, panen yang gagal, dan
pemaksaan kerja yang sewenang-wenang telah membawa malapetaka penduduk di
berbagai tempat.
1) Di Cirebon, keadaan yang demikian itu telah menimbulkan bahaya kelaparan,
sehingga ribuan penduduk terpaksa harus mengungsi ke daerah lain untuk
menyelamatkan hidupnya.
2) Di Demak dan Grobogan, rakyat mengalami kelaparan yang mengakibatkan kematian
masal sehingga jumlah penduduk di kedua daerah tersebut menurun tajam..
Berlawanan dengan nasib rakyat, Belanda memperoleh keuntungan besar dari sistem
tanam paksa. Dalam waktu cepat, keuangan pemerintah kolonial Belanda kembali sehat.
Utang luar negeri dapat dilunasi, bahkan masih mempunyai dana lebih untuk investasi.

Berita-berita mengenai tindakan sewenang-wenang dari pegawai pemerintah kolonial dan


penderitaan yang dialami penduduk Indonesia akhirnya sampai juga ke negeri
Belanda.Berita tersebut kemudian mengundang kecaman dari para pendukung
liberalisme. Mereka terdiri atas kalangan humanis dan kapitalis. Kecaman itu ditunjukkan
dengan protes menentang diberlakukannya sistem tanam paksa.
1) Kalangan humanis, kelompok ini menjunjung tinggi etika dan hak asasi manusia.
Menurut mereka, sistem tanam paksa harus dihapuskan karena menindas rakyat tanah
jajahan. Padahal tanah jajahan telah menyelamatkan negeri Belanda dari kebangkrutan.
2) Kalangan kapitalis, kelompok yang memperjuangkan kebebasan individu dalam
kegiatan ekonomi. Bagi kalangan ini, sistem tanam paksa tidak menciptakan kehidupan
ekonomi yang sehat. Sistem tanam paksa memper- lakukan rakyat tanah jajahan sebagai
objek pemerasan. Menurut kelompok ini, rakyat tanah jajahan harus dilibatkan dalam
kegiatan ekonomi.
Kecaman kalangan humanis dan kapitalis dikemukakan dalam forum Staten General
(Parlemen Belanda). Kecaman tersebut mengundang banyak dukungan. Terlebih lagi,
liberalisme sedang melanda Eropa pada akhir abad ke-19. Perjuangan kalangan humanis
dan kapitalis merintis lahirnya Undang- Undang Agraria Tahun 1870 dan Politik Etis.
Berikut ini tokoh-tokoh yang menentang sistem tanam paksa.
1) Baron van Hoevell
2) Eduard Douwes Dekker penulis buku Max Havelaar
3) Fransen van der Putte yang menulis Suiker Contracten

5.Pengaruh Kebijakan Pemerintah Kolonial Bagi Masyarakat Indonesia.


a. Gerakan Protes Petani. Gerakan sosial ini muncul di tanah partikelir (particuliere
landerijn) yang dintiliki tuan tanah. Pemilik tanah sering menuntut penyerahan dana
wajib kerja pada petani yang ada di wilayah tanahnya.
1) Ciomas Gerakan ini dilakukan para petani di lereng Gunung Salak, Jawa Barat.
Gerakan ini timbul akibat pemerasan dan beban berat dalam pembayaran cukai, kerja
rodi, tindakan perbudakan dan penyerahan hasil-hasil perkebunan yang sangat
memberatkan rakyat.
2) Condet Gerakan ini terjadi di tanah partikelir Tanjung Oost, Condet di daerah Jakarta
Timur.
3) Tangerang Gerakan ini terjadi pada tahun 1924, dipimpin oleh Kaiin. Gerakan
ditujukan pada tuan tanah yang ada di Pangkalan.
Gerakan petani juga muncul di tanah-tanah partikelir di Cakung, Slipi, Ciampea, Demak,
dan Surabaya. Kebanyakan gerakan protes petani bersifat spontan dan sporadic

b. Gerakan Ratu Adil


1) Sidoarjo
Gerakan ini muncul pada tahun 1903 di Sidoarjo, Jawa Timur. Gerakan ini dipimpin oleh
Kiai Kasan Mukmin. Tokoh ini mengaku dirinya telah menerima wahyu dari Tuhan
untuk memimpin rakyat di lingkungannya. Ia mengaku sebagai jelmaan Imam Mahdi.
Tujuan dari gerakan ini adalah untuk mendirikan kerajaan di Jawa Timur. Namun,
sebelum gerakan ini melakukan pemberontakan Kasan Mukmin gugur ketika diserang
Belanda.
2) Kediri
Gerakan ini muncul pada tahun 1907 di desa Bendungan, termasuk wilayah Karesidenan
Kediri. Gerakan ini dipimpin oleh Dermojoyo. Tokoh ini mengaku dirinya telah
mendapat wahyu untuk menjadi seorang ratu adil. Kemudian Belanda mengirimkan
pasukan untuk memadamkan gerakan tersebut.

C. Gerakan Keagamaan
Gerakan keagamaan merupakan gerakan pemurnian kembali ke ajaran agama Islam.
1) Gerakan Tarekat Naqtsabandiyah dan Qodariah Gerakan ini muncul pada tahun 1880-
an di sebelah utara Banten. Aliran Tarekat Naqtsabandiyah dan Qadariyah menjadi alat
pemersatu rakyat di daerah pedalaman.
2) Gerakan Budiah
Gerakan ini dipimpin oleh H. Muhammad Rifangi di desa Kali Salak, Karesidenan
Pekalongan pada tahun 1850. Untuk mencegah meluasnya pengaruh gerakan tersebut,
pemerintah kolonial Belanda menangkap H. Muhammad Rifangi. Kemudian ia
diasingkan ke luar Jawa.

B.Perkembangan Masyarakat Indonesia Pada Masa Kolonial


1. Bidang Politik
Sejak Daendels menjadi gubernur jenderal, ia berupaya menerapkan pemerintahan
modern di Indonesia. Raffles adalah orang kedua yang menerapkan dasar-dasar
pemerintahan modern dengan menerapkan sistem perpajakan. Mereka berdua menjadikan
para bupati sebagai pegawai negeri.
2. Bidang Ekonomi
Kebijakan tanam paksa dan ekonomi liberal menja- dikan Indonesia sebagai negara
penghasil bahan mentah. Perdagangan dunia seperti ekspor bahan mentah tidak dapat
dinikmati oleh rakyat Indonesia. Secara ekonomi, hal tersebut menyebabkan Indonesia
harus mundur dari perdagangan dunia karena Belanda memaksakan aturan monopolinya.
Fungsi perantara dalam perdagangan di- pegang oleh orang Timur Asing (pedagang-
pedagang Cina). Hal itu menyebabkan pedagang Indonesia hanya menjadi pedagang
pengecer.
3.Bidang Sosial
Sistem perkebunan swasta yang diterapkan pemerintah kolonial meng- akibatkan
berkurangnya tanah subur untuk pertanian pangan, karena sebagian besar tanah telah
disewakan kepada pemilik modal asing, termasuk tanah persawahan.
4.Bidang Budaya
Masuknya pengaruh tata kehidupan Barat dalam masyarakat Indonesia. Cara pergaulan,
gaya hidup, bahasa, dan cara berpakaian Barat mulai dikenal di kalangan istana.
Beberapa pola kehidupan di dalam istana mulai luntur.

5.Struktur Birokrasi Pemerintahan Kolonial


Sejak masa Daendels, gubernur jenderal adalah wakil langsung Raja Belanda. Dalam
melaksanakan tugasnya, gubernur jenderal tetap didampingi oleh Raad van Indie (Dewan
Hindia). Berbeda dengan VOC, pada masa Daendels kedudukan gubernur jenderal tidak
berada dalam Raad melainkan di luar lembaga tersebut. Gubernur jenderal tidak lagi
menjadi ketua Raad. Selain itu, kekuasaan Raad juga dikurangi. Raad hanya sekadar
bertindak sebagai dewan penasihat.
a. Aparatur Pemerintahan Kolonial.
Dalam mengelola pemerintahan, gubernur jenderal didampingi oleh enam departemen,
yaitu kehakiman, keuangan, dalam negeri, kebudayaan dan kepercayaan, ekonomi, serta
kesejahteraan. Terdapat juga departemen militer, yaitu departemen peperangan dan
angkatan laut. Direktur departemen sipil diangkat oleh jenderal, sedangkan panglima
angkatan darat dan laut diangkat oleh raja.
b. Pangreh Praja
Korps pegawai negeri Hindia Belanda terdiri atas pegawai bangsa Eropa dan pribumi.
Para pegawai pribumi lebih dikenal dengan sebutan pangreh praja. Dalam struktur
birokrasi pemerintahan kolonial, jabatan teritorial di atas kabupaten dipegang oleh orang
Eropa/Belanda. Jabatan tertinggi yang dapat dipegang pribumi adalah bupati. Pada
umumnya, jabatan bupati diwariskan secara turun-temurun untuk menjaga loyalitas
pemangku jabatan tersebut kepada pemerintah kolonial. Dalam menjalankan tugasnya,
bupati dibantu oleh seorang patih. Di bawah bupati terdapat seorang wedana yang
bertugas mengatur kawedanaan. Kecamatan yang dikepalai seorang camat, merupakan
wilayah di bawah kawedanaan
c. Pegawai Rendahan Eropa
Wilayah Hindia Belanda meluas berkat kebijakan politik pasifikasi dan pemantapan (Pax
Netherlandica). Kendati jabatan teritorial dari tingkat kabupaten ke bawah tetap dipegang
para pejabat pribumi, pemerintah kolonial mulai memperkenalkan jabatan nonteritorial
setingkat kabupaten, kawedanaan, dan kecamatan yang dipegang oleh orang Eropa.
Alasannya adalah untuk mendampingi para pejabat pribumi. Jabatan tersebut meliputi
asisten residen di tingkat kabupaten, controleur di tingkat kawedanaan, dan aspirant
controleur di tingkat kecamatan.
6. Sistem Hukum Pemerintah Kolonial
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan kolonial Belanda baru tampak sejak tahun
1848. Pada tahun itu, mulai dibentuk kitab undang- undang hukum perdata dan hukum
dagang. Kitab undang-undang tersebut ditulis tahun 1838. Pembuatan kitab undang-
undang tersebut dilatarbelakangi oleh kegagalan perdagangan hasil bumi orang Belanda.
Aktivitas perdagangan tersebut kebanyakan dilakukan dengan perantaraan orang Cina.
Dalam membuat kitab undang-undang atau hukum untuk kaum pribumi ada dua alasan,
yaitu sebagai berikut:
a. Kaum pribumi tunduk pada hukum Eropa.
b. Membuat kitab undang-undang sendiri untuk orang Indonesia.

C. Perubahan Sosial Politik Masyarakat Indonesia Pada


Peralihan Abad ke-20.
Perubahan sosial politik masyarakat Indonesia pada peralihan abad ke-20 karena adanya
agama katolik oleh Portugis, politik Islam Hindia-Belanda,dan campur tangan pemerintah
kolonial terhadap gereja. Memasuki abad ke-20 pemerintah kolonial Belanda berhasil
memadamkan perlawanan bersenjata di berbagai tempat di Indonesia. Keberhasilan itu
menandai dimulainya kekuasaan Belanda secara politis di Indonesia .namun perlawanan
bangsa Indonesia tidak berhenti.
1. Politik etis
Setelah kalangan liberal meraih kemenangan politik di Belanda muncul perhatian pada
kemakmuran rakyat di wilayah jajahan. Penganut politik liberal seperti Van Deventer
mendesak pemerintah Belanda untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayah
jajahan. Desakan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa rakyat wilayah jajahan telah
bekerja keras memberikan kemakmuran kepada negeri Belanda. Oleh karena itu
pemerintah kolonial Belanda wajib meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayah jajahan
sebagai balas budi atau kerja keras mereka.
Dalam pidato kenegaraan pada tahun 1901 ratu wilmina mengatakan negeri Belanda
mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran penduduk India Belanda.
Pidato tersebut menandai awal kebijakan pemerintah kolonial yang dikenal sebagai
politik etis atau politik balas budi.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah kolonial mengacu pada usulan Van Deventer
yaitu sebagai berikut:
a. Edukasi yang berupa penyelenggaraan pendidikan
b. Irigasi yang berupa pembangunan sarana dan jaringan pengairan
c. Emigrasi yang berupa pemindahan penduduk
Pelaksanaan politik etis di Indonesia dijalankan seiring dengan kepentingan perluasan
penjajahan. Kebutuhan akan pekerja terdidik dan ahli mendorong pemerintah kolonial
Belanda mendirikan lembaga pendidikan. Guna meningkatkan hasil panen pemerintah
kolonial Belanda berusaha membangun irigasi untuk mengairi tanah pertanian, seperti
irigasi Brantas di Jawa Timur. Untuk membantu petani dan rakyat kecil, didirikan bank
kredit dan bank simpanan. Adanya peningkatan hasil pertanian, membawa perubahan
dalam taraf hidup para petani.
2. Perluasan pengajaran dan mobilitas sosial
Penyelenggaraan pendidikan pada zaman kolonial seiring dengan kepentingan
pemerintah, yaitu berupa kebutuhan tenaga terdidik dan terampil, baik di kantor
pemerintah maupun perusahaan perkebunan. Oleh karena itu pendidikan tidak merata
untuk semua orang. Terdapat perbedaan antara anak keturunan Eropa dan anak pribumi.
Bagi anak keturunan Eropa didirikan europese lagere school (ELS). Bagi anak pribumi
kalangan bawah didirikan sekolah kelas 2 (angka loro), sedangkan untuk anak pribumi
kalangan menengah dan atas didirikan sekolah kelas 1 (angka siji).
Adapun anak pribumi kalangan menengah didirikan sekolah dasar atau hollands
inlandsche school(HIS). Sekolah itu menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar. Pendidikan berlangsung selama 7 tahun. Murid yang pandai dapat
melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan tingkat pertama atau Meer Uitgebried Lagere
Onderwijs(MULO), lalu ke sekolah lanjutan tingkat atas Algemene Middlebare
School(AMS).Walaupun tidak merata namun pengajaran melalui sekolah penyebaran
sangat luas dan bahkan sampai ke desa-desa. Sekitar tahun 1910- 1930, pertumbuhan
perluasan pengajaran agak menurun. Hal itu disebabkan oleh adanya penghematan
anggaran belanja pemerintah kolonial.

3. Masyarakat Indonesia Sebelum Politik Etis


Pembagian status sosial pada zaman kolonial Belanda ditetapkan dalam aturan
ketatanegaraan Hindia Belanda (Indische Staatsregeling) tahun 1927. Menurut peraturan
tersebut, penduduk Hindia Belanda dikelompokkan menjadi tiga golongan seperti
berikut:
a. Bangsa Eropa dan yang disamakan. Mereka terdiri atas bangsa Belanda dan bangsa
Eropa lainnya, serta bangsa lain (bukan Eropa) yang telah disamakan dengan bangsa
Eropa karena kekayaannya, keturunan bangsawan, dan orang berpendidikan.
b. Golongan Timur Asing yang terdiri atas orang Cina, Arab, India, dan Pakistan yang
merupakan lapisan menengah.
c. Golongan pribumi, yaitu bangsa Indonesia asli (Pribumi) yang berada pada lapisan
bawah.

4. Masyarakat Indonesia Setelah Politik Etis.


Kondisi masyarakat Indonesia setelah Politik Etis ditandai oleh lahirnya golongan terpelajar.
a. Sisi Positif: Pelopor Perlawanan Politik dan Pergerakan Nasional Indonesia.
Selama ini, perlawanan yang dilakukan untuk menghadapi pemerintahan kolonial dilakukan
dengan cara fisik. Cara baru yang ditempuh oleh kalangan terpelajar adalah dengan cara politik.
Mereka membentuk organisasi yang teratur, yaitu partai politik. Kemudian mereka melancarkan
kampanye politik untuk menyerang pemerintah kolonial dan menarik dukungan rakyat. Cara baru
ini terbukti ampuh mengguncang kedudukan pemerintah kolonial.
b. Sisi Negatif: Bagian dari Feodalisme Indonesia
Di tengah kehadiran kalangan terpelajar yang digelorakan oleh semangat nasionalisme dan
antikolonialisme Belanda, terdapat pula kalangan terpelajar yang oportunis. Adanya kalangan
terpelajar seperti itu disebabkan oleh kuatnya sistem feodal di Indonesia. Salah satu warisan
feodal adalah pentingnya keturunan dan pangkat untuk memperoleh kedudukan terhormat dalam
masyarakat. Kepentingan seperti itulah yang dikejar kalangan terpelajar oportunis.

Anda mungkin juga menyukai