Anda di halaman 1dari 9

Kondisi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan

Pengaruh Monopoli dalam


Perdagangan
Cengkih merupakan salah satu hasil utama masyarakat Maluku.
Hasil perkebunan tersebut merupakan tanaman ekspor yang sangat
dibutuhkan masyarakat Eropa. Perusahaan dagang Belanda VOC
berusaha menguasai perdagangan tersebut. Rakyat hanya
diperbolehkan menjual hasil perkebunan tersebut kepada VOC. Para
pedagang lain tidak diperbolehkan membeli hasil perkebunan dari
rakyat tersebut. VOC telah melakukan penguasaan perdagangan di
Maluku, atau disebut praktik monopoli.

Monopoli adalah penguasaan pasar yang dilakukan oleh satu atau


sedikit perusahaan. Bagaimanakah dampak monopoli? Bagi pelaku
perusahaan, monopoli sangat menguntungkan karena mereka dapat
menentukan harga beli dan harga jual. Sebagai contoh, pada saat melakukan
monopoli rempah-rempah di Indonesia, VOC membuat perjanjian dengan
kerajaan-kerajaan di Indonesia. Isinya, setiap kerajaan hanya mengizinkan
rakyat menjual hasil bumi kepada VOC. Karena produsen sudah dikuasai VOC,
maka pada saat rempah-rempah dijual, harganya sangat turun. Sebaliknya,
VOC menjualnya kembali ke Eropa dengan harga yang sangat tinggi.

VOC menekan para raja untuk memberikan kebijakan perdagangan


hanya dengan VOC. Akhirnya, VOC bukan hanya menguasai daerah
perdagangan, tetapi juga menguasai politik atau pemerintahan. Oleh
pemerintah Kerajaan Belanda, VOC diberi hak-hak istimewa yang dikenal
dengan nama hak Oktroi, seperti:
1. Hak mencetak uang.
2. Hak memiliki angkatan perang.
3. Hak memerintah daerah yang diduduki.
4. Hak melakukan perjanjian dengan raja-raja.
5. Hak memonopoli perdagangan rempah.
6. Hak mendirikan benteng.
Kondisi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan
Pengaruh Monopoli dalam
Perdagangan
Dengan adanya hak oktroi tersebut Belanda memaksa kerajaan-kerajaan di
Indonesia untuk menandatangani kontrak monopoli dengan berbagai cara.
Salah satu caranya adalah politik adu domba atau dikenal devide et impera.
Pada saat terjadi perang antarkerajaan, Belanda mendukung salah satu kerajaan
yang berperang. Demikian halnya saat terjadi konflik di dalam kerajaan, Belanda
akan mendukung salah satu pihak. Setelah pihak yang didukung Belanda
menang, Belanda akan meminta balas jasa.

Selain Politik adu domba, Pelayaran hongi adalah patroli dengan perahu
kora-kora yang dilengkapi senjata untuk mengawasi perdagangan rempah-
rempah, ini adalah cara VOC untuk mengamankan rempah rempah mereka agar
tidak di jual kepada Bangas Eropa lain. Sedangkan hak ekstirpasi adalah hak
untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang berlebihan seperti pohon
pala dan cengkih.

VOC mempersiapkan penguasaan dengan cara perang (militer). Beberapa


gubernur jenderal, seperti Antonio van Diemon (1635-1645, Johan Maatsuyeker
(1653-1678), Rijklof van Goens (1678-1681), Cornellis Janzoon Speelman (1681-
1684), merupakan tokoh-tokoh peletak dasar politik ekspansi VOC. Namun VOC
mengalami kebangkrutan pada akhir abad XVIII. Korupsi dan manajemen
perusahaan yang kurang baik menjadi penyebab utama kebangkrutan VOC.
Akhirnya, tanggal 13 Desember 1799, VOC dibubarkan. Mulai tanggal 1 Januari
1800, Indonesia menjadi jajahan Pemerintah Belanda, atau sering disebut
masa Pemerintahan Hindia Belanda

Berikut ini pengaruh kebijakan VOC bagi rakyat Indonesia:


Ÿ Kekuasaan raja menjadi berkurang atau bahkan didominasi secara
keseluruhan oleh VOC.
Ÿ Hak oktroi (istimewa) VOC, membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin,
dan menderita.
Ÿ Rakyat Indonesia mengenal ekonomi uang, mengenal sistem pertahanan
benteng, etika perjanjian, dan prajurit bersenjata modern (senjata api,
meriam).
Ÿ Pelayaran Hongi, dapat dikatakan sebagai suatu perampasan, perampokan,
perbudakan, dan pembunuhan.
Ÿ Hak ekstirpasi bagi rakyat merupakan ancaman matinya suatu harapan atau
sumber penghasilan yang bisa berlebih.
Kondisi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan
Pengaruh Kebijakan Kerja Paksa

Pada awal tahun 1795, pasukan Prancis menyerbu Belanda namun Raja
Belanda (Willem V) melarikan diri ke Inggris sehingga Belanda pun dikuasai
Prancis. Karena Prancis menduduki Belanda maka terbentuklah Republik
Bataaf (1795-1806) yang merupakan bagian Prancis. Kebijakan-kebijakan
Republik Bataaf untuk mengatur pemerintahan di Hindia masih juga
terpengaruh Prancis. Pemerintahan yang mewakili Republik Bataaf di
Indonesia adalah Herman Williem Daendels (1808-1811) dan Jan Willem
Janssen (1811).
Kebijakan pemerintah Kerajaan Belanda yang dikendalikan oleh Prancis
sangat kentara pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808 – 1811). Kebijakan
yang diambil Daendels sangat berkaitan dengan tugas utamanya yaitu untuk
mempertahankan Pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris.
Dalam upaya mempertahankan Pulau Jawa, Daendels melakukan hal-hal
berikut.
Ÿ Membangun ketentaraan, pendirian tangsi-tangsi/ benteng, pabrik
mesiu/senjata di Semarang dan Surabaya serta rumah sakit tentara.
Ÿ Membuat jalan pos dari Anyer sampai Panarukan dengan panjang sekitar
1.000 km.
Ÿ Membangun pelabuhan di Anyer dan Ujung Kulon untuk kepentingan
perang.
Ÿ Memberlakukan kerja rodi atau kerja paksa untuk membangun pangkalan
tentara.
Kondisi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan
Pengaruh Kebijakan Kerja Paksa
Berikut ini kebijakan-kebijakan yang diberlakukan
Daendels terhadap kehidupan rakyat.
Ÿ Semua pegawai pemerintah menerima gaji tetap
dan mereka dilarang melakukan kegiatan
perdagangan.
Ÿ Melarang penyewaan desa, kecuali untuk
memproduksi gula, garam, dan sarang burung.
Ÿ Melaksanakan contingenten yaitu pajak dengan
penyerahan hasil bumi.
Ÿ Menetapkan verplichte leverantie, kewajiban
Gubernur Jendral Herman menjual hasil bumi hanya kepada pemerintah
Willem Daendels dengan harga yang telah ditetapkan.
Ÿ Menerapkan sistem kerja paksa (rodi) dan membangun ketentaraan dengan
melatih orangorang pribumi.
Ÿ Membangun jalan pos dari Anyer sampai Panarukan sebagai dasar
pertimbangan pertahanan.
Ÿ Membangun pelabuhan-pelabuhan dan membuat kapal perang berukuran
kecil.
Ÿ Melakukan penjualan tanah rakyat kepada pihak swasta (asing).
Ÿ Mewajibkan Prianger stelsel, yaitu kewajiban rakyat Priangan untuk menanam
kopi.
Pengaruh kebijakan pemerintah kerajaan yang diterapkan oleh Daendels
sangat berbekas dibanding penggantinya, Gubernur Jenderal Janssens yang
lemah. Langkah-langkah kebijakan Daendels yang memeras dan menindas rakyat
menimbulkan:
Ÿ kebencian yang mendalam baik dari kalangan penguasa daerah maupun
rakyat,
Ÿ munculnya tanah-tanah partikelir yang dikelola oleh pengusaha swasta,
Ÿ pertentangan/perlawanan penguasa maupun rakyat,
Ÿ kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan, serta
Ÿ pencopotan Daendels.

Pada tahun 1810, Kaisar Napoleon (Kaisar Prancis) menganggap bahwa


tindakan Daendels sangat otoriter. Pada tahun 1811 Daendels ia ditarik
kembali ke negeri Belanda dan digantikan oleh Gubernur Jenderal
Janssens. Ternyata Janssens tidak secakap dan sekuat Daendels dalam
melaksanakan tugasnya. Ketika Inggris menyerang Pulau Jawa, dan
Janssens menyerah terhadap Inggris.
Kondisi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan
Pengaruh Sistem Sewa Tanah

Saat pemerintahan Hindia Belanda di gantikan Inggris pada tahun 1811,


pemerintahan Inggris mulai menanamkan kekuasaan terutama di Pulau Jawa.
Gubernur Jenderal Lord Minto (Gubernur Jendral) membagi daerah jajahan
Hindia Belanda menjadi empat gubernement, yakni Malaka, Sumatra, Jawa, dan
Maluku. Lord Minto selanjutnya menyerahkan tanggung jawab kekuasaan atas
seluruh wilayah itu kepada Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.
Salah satu kebijakan terkenal pada masa Raffles
adalah sistem sewa tanah atau landrent-system atau
landelijk stelsel. Sistem tersebut memiliki ketentuan,
antara lain sebagai berikut.
Ÿ Petani harus menyewa tanah meskipun dia
adalah pemilik tanah tersebut.
Ÿ Harga sewa tanah tergantung kepada kondisi
tanah.
Ÿ Pembayaran sewa tanah dilakukan dengan uang
tunai.
Gubernur Thomas Stamford
Ÿ Bagi yang tidak memiliki tanah dikenakan pajak
Raffles.
kepala.
Pelaksanaan sistem sewa tanah tersebut dianggap memiliki banyak
kelemahan sehingga gagal diterapkan di Indonesia. Beberapa penyebab
kegagalan pelaksanaan sistem sewa tanah adalah sebagai berikut.
Ÿ Sulit menentukan besar kecil pajak bagi pemilik tanah karena tidak semua
rakyat memiliki tanah yang sama.
Ÿ Sulit menentukan luas dan tingkat kesuburan tanah petani.
Ÿ Keterbatasan jumlah pegawai.
Ÿ Masyarakat desa belum mengenal sistem uang.
Sistem sewa tanah diberlakukan terhadap daerah-daerah di Pulau Jawa,
kecuali daerah-daerah Batavia dan Parahyangan. Daerah-daerah Batavia
umumnya telah menjadi milik swasta dan daerah-daerah Parahyangan
merupakan daerah wajib tanaman kopi yang memberikan keuntungan besar
kepada pemerintah.
Kondisi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan
Pengaruh Sistem Sewa Tanah
Ketika Thomas Stamford Raffles menjadi Gubernur Jendral di Pulau Jawa,
homas Stamford Raffles juga memberi sumbangan positif bagi Indonesia yaitu:
Ÿ membentuk susunan baru dalam pengadilan yang didasarkan pengadilan
Inggris,
Ÿ menulis buku yang berjudul History of Java,
Ÿ menemukan bunga Rafflesia-arnoldii,
Ÿ merintis adanya Kebun Raya Bogor.

Perubahan politik yang terjadi di Eropa mengakhiri pemerintahan Raffles


di Indonesia. Pada tahun 1814, Napoleon Bonaparte akhirnya menyerah kepada
Inggris. Belanda lepas dari kendali Prancis. Hubungan antara Belanda dan
Inggris sebenarnya akur, dan mereka mengadakan pertemuan di London,
Inggris. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan yang tertuang dalam
Convention of London 1814. Isinya Belanda memperoleh kembali daerah
jajahannya yang dulu direbut Inggris. Status Indonesia dikembalikan
sebagaimana dulu sebelum perang, yaitu di bawah kekuasaan Belanda.

Teori Domain, dalam melaksanakan sistem sewa tanah, Thomas


Stamford Raffles menggunakan teori Domain dimana teori ini menganut
bahwa tanah yang dimiliki petani adalah tanah para raja, karena kekuasaan
para raja telah berpindah kepada pemerintah Inggris, maka hak kepemilikan
tanah tersebut menjadi milik Raja Inggris. Oleh karena itu, rakyat wajib
memberikan sesuatu kepada raja Inggris seperti sebagaimana sebelumnya
diberikan kepada raja raja mereka sendiri.

Pengetahuan
Kondisi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan
Pengaruh Sistem Tanam Paksa
Pada tahun 1830 keadaan di tanah jajahan dan di negeri Belanda sangat
buruk, beban hutang juga semakin besar. Untuk menyelamatkannya , maka Van
den Bosch yang saat itu diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia
memiliki tugas mencari cara untuk mengisi kekosongan kas negara Belanda.
Kemudian Van den Bosch mengerahkan tenaga rakyat tanah jajahan untuk
melakukan penanaman yang hasil hasilnya dapat dijual di pasaran dunia. Hal
tersebut dinamakan Sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel.
Ketentuan dalam Sistem Tanam Paksa
Ÿ Penduduk wajib menyerahkan seperlima
tanahnya untuk ditanami tanaman wajib dan
berkualitas ekspor.
Ÿ Tanah yang ditanami tanaman wajib bebas dari
pajak tanah.
Ÿ Waktu yang digunakan untuk pengerjaan
tanaman wajib tidak melebihi waktu untuk
menanam padi.
Ÿ Apabila harga tanaman wajib setelah dijual
melebihi besarnya pajak tanah, kelebihannya
dikembalikan kepada penduduk.
Gubernur Jendral Ÿ Kegagalan panen tanaman wajib bukan kesalahan
Johannes van den Bosch penduduk, melainkan menjadi tanggung jawab
pemerintah Belanda.
Ÿ Penduduk dalam pekerjaannya dipimpin penguasa pribumi, sedangkan
pegawai Eropa menjadi pengawas, pemungut, dan pengangkut.
Ÿ Penduduk yang tidak memiliki tanah harus melakukan kerja wajib selama
seperlima tahun (66 hari) dan mendapatkan upah.
Dalam pelaksanaannya penuh dengan penyelewengan sehingga semakin
menambah penderitaan rakyat Indonesia. Praktik-praktik penekanan dan
pemaksaan terhadap rakyat tersebut antara lain sebagai berikut.
Ÿ Menurut ketentuan, tanah yang digunakan untuk tanaman wajib hanya 1/5 dari
tanah yang dimiliki rakyat. Namun kenyataannya, selalu lebih bahkan sampai ½
bagian dari tanah yang dimiliki rakyat.
Ÿ Kelebihan hasil panen tanaman wajib tidak pernah dibayarkan.
Ÿ Waktu untuk kerja wajib melebihi dari 66 hari, dan tanpa imbalan yang
memadai.
Ÿ Tanah yang digunakan untuk tanaman wajib tetap dikenakan pajak.
Kondisi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan
Pengaruh Sistem Tanam Paksa
Penderitaan rakyat Indonesia akibat kebijakan Tanam Paksa ini dapat
dilihat dari jumlah angka kematian rakyat Indonesia yang tinggi akibat
kelaparan dan penyakit kekurangan gizi. Pada tahun 1848-1850, karena
paceklik, 9/10 penduduk Grobogan, Jawa Tengah mati kelaparan. Dari jumlah
penduduk yang semula 89.000 orang, yang dapat bertahan hanya 9.000 orang.
Penduduk Demak yang semula berjumlah 336.000 orang hanya tersisa
sebanyak 120.000 orang. Data ini belum termasuk data penduduk di daerah
lain, yang menunjukkan betapa mengerikannya masa penjajahan saat itu. Tentu
saja, tingginya kematian tersebut bukan semata-mata disebabkan sistem
Tanam Paksa.

Sistem ini membuat banyak pihak bersimpati dan mengecam praktik


Tanam Paksa. Kecaman tidak hanya datang dari bangsa Indonesia, tetapi juga
orang-orang Belanda. Mereka menuntut agar Tanam Paksa dihapuskan.
Kecaman dari berbagai pihak tersebut membuahkan hasil dengan dihapusnya
sistem Tanam Paksa pada tahun 1870. Orang-orang Belanda yang menentang
adanya Tanam Paksa tersebut di antaranya E.F.E. Douwes Dekker (Multatuli)
dengan menerbitkan buku yang berjudul "Max Havelar", Baron van Hoevel dan
Fransen van de Putte yang menerbitkan artikel "Suiker Contracten" (Perjanjian
Gula)

Pada tahun 1870, keluar Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang


mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan yang
menegaskan bahwa pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah pemerintah
maupun tanah penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa pengusaha
swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat disewa selama 5 tahun, dan ada
juga yang disewa sampai 30 tahun.

Pada tahun yang sama juga (1870) keluar Undang-undang Gula (Suiker
Wet), yang berisi larangan mengangkut tebu keluar dari Indonesia. Tebu harus
diproses di Indonesia. Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus secara
bertahap dan diambil alih oleh pihak swasta. Pihak swasta diberi kesempatan
yang luas untuk mendirikan pabrik gula baru. Melalui UU Gula, perusahaan-
perusahaan swasta Eropa mulai berinvestasi di Hindia-Belanda di bidang
perkebunan.
Kondisi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan
Pengaruh Politik Pintu Terbuka
UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu
membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para
pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para
pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan
agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah sewaan itu dimaksudkan
untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa.
Sejak UU Agraria dan UU Gula dikeluarkan, pihak swasta semakin banyak
memasuki tanah jajahan di Indonesia. Mereka memainkan peranan penting dalam
mengeksploitasi tanah jajahan. Tanah jajahan di Indonesia berfungsi sebagai
tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan industri di Eropa
dan tempat penanaman modal asing, tempat pemasaran barang-barang hasil
industri dari Eropa, serta penyedia tenaga kerja yang murah.

Berikut ini beberapa perkebunan asing yang muncul.


Ÿ Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.
Ÿ Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ÿ Perkebunan kina di Jawa Barat.
Ÿ Perkebunan karet di Sumatra Timur.
Ÿ Perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara.
Ÿ Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatra Utara.

Politik pintu terbuka yang diharapkan dapat memperbaiki kesejahteraan


rakyat, justru membuat rakyat semakin menderita. Eksploitasi terhadap sumber-
sumber pertanian maupun tenaga manusia semakin hebat. Rakyat semakin
menderita dan sengsara.

Adanya UU Agraria memberikan pengaruh bagi kehidupan rakyat, seperti


berikut.
Ÿ Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi.
Ÿ Rakyat menderita dan miskin.
Ÿ Rakyat mengenal sistem upah dengan uang, juga mengenal barang-barang
ekspor dan impor.
Ÿ Timbul pedagang perantara. Pedagang-pedagang tersebut pergi ke daerah
pedalaman, mengumpulkan hasil pertanian dan menjualnya kepada grosir.
Ÿ Industri atau usaha pribumi mati karena pekerja-pekerjanya banyak yang
pindah bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik.

Anda mungkin juga menyukai