Selain Politik adu domba, Pelayaran hongi adalah patroli dengan perahu
kora-kora yang dilengkapi senjata untuk mengawasi perdagangan rempah-
rempah, ini adalah cara VOC untuk mengamankan rempah rempah mereka agar
tidak di jual kepada Bangas Eropa lain. Sedangkan hak ekstirpasi adalah hak
untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang berlebihan seperti pohon
pala dan cengkih.
Pada awal tahun 1795, pasukan Prancis menyerbu Belanda namun Raja
Belanda (Willem V) melarikan diri ke Inggris sehingga Belanda pun dikuasai
Prancis. Karena Prancis menduduki Belanda maka terbentuklah Republik
Bataaf (1795-1806) yang merupakan bagian Prancis. Kebijakan-kebijakan
Republik Bataaf untuk mengatur pemerintahan di Hindia masih juga
terpengaruh Prancis. Pemerintahan yang mewakili Republik Bataaf di
Indonesia adalah Herman Williem Daendels (1808-1811) dan Jan Willem
Janssen (1811).
Kebijakan pemerintah Kerajaan Belanda yang dikendalikan oleh Prancis
sangat kentara pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808 – 1811). Kebijakan
yang diambil Daendels sangat berkaitan dengan tugas utamanya yaitu untuk
mempertahankan Pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris.
Dalam upaya mempertahankan Pulau Jawa, Daendels melakukan hal-hal
berikut.
Ÿ Membangun ketentaraan, pendirian tangsi-tangsi/ benteng, pabrik
mesiu/senjata di Semarang dan Surabaya serta rumah sakit tentara.
Ÿ Membuat jalan pos dari Anyer sampai Panarukan dengan panjang sekitar
1.000 km.
Ÿ Membangun pelabuhan di Anyer dan Ujung Kulon untuk kepentingan
perang.
Ÿ Memberlakukan kerja rodi atau kerja paksa untuk membangun pangkalan
tentara.
Kondisi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan
Pengaruh Kebijakan Kerja Paksa
Berikut ini kebijakan-kebijakan yang diberlakukan
Daendels terhadap kehidupan rakyat.
Ÿ Semua pegawai pemerintah menerima gaji tetap
dan mereka dilarang melakukan kegiatan
perdagangan.
Ÿ Melarang penyewaan desa, kecuali untuk
memproduksi gula, garam, dan sarang burung.
Ÿ Melaksanakan contingenten yaitu pajak dengan
penyerahan hasil bumi.
Ÿ Menetapkan verplichte leverantie, kewajiban
Gubernur Jendral Herman menjual hasil bumi hanya kepada pemerintah
Willem Daendels dengan harga yang telah ditetapkan.
Ÿ Menerapkan sistem kerja paksa (rodi) dan membangun ketentaraan dengan
melatih orangorang pribumi.
Ÿ Membangun jalan pos dari Anyer sampai Panarukan sebagai dasar
pertimbangan pertahanan.
Ÿ Membangun pelabuhan-pelabuhan dan membuat kapal perang berukuran
kecil.
Ÿ Melakukan penjualan tanah rakyat kepada pihak swasta (asing).
Ÿ Mewajibkan Prianger stelsel, yaitu kewajiban rakyat Priangan untuk menanam
kopi.
Pengaruh kebijakan pemerintah kerajaan yang diterapkan oleh Daendels
sangat berbekas dibanding penggantinya, Gubernur Jenderal Janssens yang
lemah. Langkah-langkah kebijakan Daendels yang memeras dan menindas rakyat
menimbulkan:
Ÿ kebencian yang mendalam baik dari kalangan penguasa daerah maupun
rakyat,
Ÿ munculnya tanah-tanah partikelir yang dikelola oleh pengusaha swasta,
Ÿ pertentangan/perlawanan penguasa maupun rakyat,
Ÿ kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan, serta
Ÿ pencopotan Daendels.
Pengetahuan
Kondisi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan
Pengaruh Sistem Tanam Paksa
Pada tahun 1830 keadaan di tanah jajahan dan di negeri Belanda sangat
buruk, beban hutang juga semakin besar. Untuk menyelamatkannya , maka Van
den Bosch yang saat itu diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia
memiliki tugas mencari cara untuk mengisi kekosongan kas negara Belanda.
Kemudian Van den Bosch mengerahkan tenaga rakyat tanah jajahan untuk
melakukan penanaman yang hasil hasilnya dapat dijual di pasaran dunia. Hal
tersebut dinamakan Sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel.
Ketentuan dalam Sistem Tanam Paksa
Ÿ Penduduk wajib menyerahkan seperlima
tanahnya untuk ditanami tanaman wajib dan
berkualitas ekspor.
Ÿ Tanah yang ditanami tanaman wajib bebas dari
pajak tanah.
Ÿ Waktu yang digunakan untuk pengerjaan
tanaman wajib tidak melebihi waktu untuk
menanam padi.
Ÿ Apabila harga tanaman wajib setelah dijual
melebihi besarnya pajak tanah, kelebihannya
dikembalikan kepada penduduk.
Gubernur Jendral Ÿ Kegagalan panen tanaman wajib bukan kesalahan
Johannes van den Bosch penduduk, melainkan menjadi tanggung jawab
pemerintah Belanda.
Ÿ Penduduk dalam pekerjaannya dipimpin penguasa pribumi, sedangkan
pegawai Eropa menjadi pengawas, pemungut, dan pengangkut.
Ÿ Penduduk yang tidak memiliki tanah harus melakukan kerja wajib selama
seperlima tahun (66 hari) dan mendapatkan upah.
Dalam pelaksanaannya penuh dengan penyelewengan sehingga semakin
menambah penderitaan rakyat Indonesia. Praktik-praktik penekanan dan
pemaksaan terhadap rakyat tersebut antara lain sebagai berikut.
Ÿ Menurut ketentuan, tanah yang digunakan untuk tanaman wajib hanya 1/5 dari
tanah yang dimiliki rakyat. Namun kenyataannya, selalu lebih bahkan sampai ½
bagian dari tanah yang dimiliki rakyat.
Ÿ Kelebihan hasil panen tanaman wajib tidak pernah dibayarkan.
Ÿ Waktu untuk kerja wajib melebihi dari 66 hari, dan tanpa imbalan yang
memadai.
Ÿ Tanah yang digunakan untuk tanaman wajib tetap dikenakan pajak.
Kondisi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan
Pengaruh Sistem Tanam Paksa
Penderitaan rakyat Indonesia akibat kebijakan Tanam Paksa ini dapat
dilihat dari jumlah angka kematian rakyat Indonesia yang tinggi akibat
kelaparan dan penyakit kekurangan gizi. Pada tahun 1848-1850, karena
paceklik, 9/10 penduduk Grobogan, Jawa Tengah mati kelaparan. Dari jumlah
penduduk yang semula 89.000 orang, yang dapat bertahan hanya 9.000 orang.
Penduduk Demak yang semula berjumlah 336.000 orang hanya tersisa
sebanyak 120.000 orang. Data ini belum termasuk data penduduk di daerah
lain, yang menunjukkan betapa mengerikannya masa penjajahan saat itu. Tentu
saja, tingginya kematian tersebut bukan semata-mata disebabkan sistem
Tanam Paksa.
Pada tahun yang sama juga (1870) keluar Undang-undang Gula (Suiker
Wet), yang berisi larangan mengangkut tebu keluar dari Indonesia. Tebu harus
diproses di Indonesia. Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus secara
bertahap dan diambil alih oleh pihak swasta. Pihak swasta diberi kesempatan
yang luas untuk mendirikan pabrik gula baru. Melalui UU Gula, perusahaan-
perusahaan swasta Eropa mulai berinvestasi di Hindia-Belanda di bidang
perkebunan.
Kondisi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan
Pengaruh Politik Pintu Terbuka
UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu
membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para
pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para
pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan
agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah sewaan itu dimaksudkan
untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa.
Sejak UU Agraria dan UU Gula dikeluarkan, pihak swasta semakin banyak
memasuki tanah jajahan di Indonesia. Mereka memainkan peranan penting dalam
mengeksploitasi tanah jajahan. Tanah jajahan di Indonesia berfungsi sebagai
tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan industri di Eropa
dan tempat penanaman modal asing, tempat pemasaran barang-barang hasil
industri dari Eropa, serta penyedia tenaga kerja yang murah.