oleh:
Kelompok II
2008
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah pemerintahan Hindia Belanda digantikan oleh pemerintahan Inggris, yaitu
pada tahun 1811, Inggris mulai menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Pada masa
pemerintahan Inggris yang paling terkenal adalah masa pemerintahan Raffles. Masa
pemerintahan Inggris terbilang cukup singkat yaitu hanya lima tahun terhitung mulai
tahun 1811 sampai dengan 1816.
Tujuan utama Raffles adalah untuk mengembangkan kekuasaan Inggris.
Kebijakan Rafles yang terkenal adalah sistem sewa tanah, yaitu sistem pertanian dimana
para petani atas kehendaknya sendiri menanam dagangan (cash crops) yang dapat
diekspor keluar negeri.
Setelah pemerintahan Inggris berakhir, yaitu pada tahun 1816, Indonesia kembali
dikuasai oleh Pemerintahan Hindia-Belanda. Pada masa kedua penjajahan ini, yang
sangat terkenal adalah sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Van den Bosch.
Pelaksanaannya pun dimulai pada tahun 1830. Terdapat ketentuan-ketentuan dalam
pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Namun pada akhirnya, dalam praktek
sesungguhnya terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan.
Terdapat perbedaan antara penerapan sistem sewa tanah yang dilaksanakan oleh
Raffles serta sistem tanam paksa yang dilaksanakan oleh Van den Bosch. Keduanya
membawa dampak yang tidak sedikit bagi kehidupan gangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang ada di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan, yaitu:
1.
2.
3.
Apa perbedaan sistem sewa tanah dan sistem tanam paksa, di lihat dari faham
yang mendasari, perangkat pemerintahan pelaksana, kedudukan dan pola
kerja rakyat, serta tanaman dan sistem perdagangannya?
BAB II
SISTEM SEWA TANAH DAN
SISTEM TANAM PAKSA
Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu
dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman,
melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang
akan ditanam;
b.
Peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai gantinya
mereka dijadikan bagian integral dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi
pememrintahan yang sesuai, perhatia mereka harus terpusat pada pekerjaanpekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
c.
Para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa tanah milik
pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa
tanah atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah.
Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas, yaitu:
a.
Kelas I, yaitu tanah yang subur, dikenakan pajak setengah dari hasil bruto;
b.
Kelas II, yaitu tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga dari hasil bruto;
c.
Kelas III, yaitu tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto.
Para petani dapat menanam dan menjual hasil panennya secara bebas untuk
memotovasi mereka agar bekerja lebih giat sehingga kesejahteraannya mejadi
lebih baik;
b.
Daya beli masyarakat semakin meningkat sehingga dapat membeli baranngbarang industri Inggris;
c.
Secara bertahap untuk mengubah sistem ekonomi barang menjadi ekonomi uang.
a.
b.
Ikatan yang didasarkan pada ikatan tradisional, diubah menjadi hubungan yang
berdasarkan perjanjian;
c.
memenuhi
kebutuhan
sendiri
dan
belum
banyak
mengenal
perdagangan;
c.
d.
e.
2) Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak;
3)
4) Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang..
Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat,
maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk
memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor;
5)
Terdapat pembagian tugas yang jelas, yaitu ada yang bertugas menanam saja, ada
yang memungut hasil, ada yang bertugas mengirim hasil ke pusat, dan ada yang
bekerja di pabrik. Pembagian ini bertujuan untuk menghindari agar tidak ada tenaga
yang harus bekerja sepanjang tahun terus-menerus;
6) Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian
rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pememrintah;
7)
Bagi para penduduk yang tidak mempunyai tanah akan dipekerjakan pada
perkebunan milik pemerintah selama 65 hari dalam setahun;
8)
2) Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk Culturstelsel adalah seperlia sawah,
namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau
setengah sawah.[4]
3)
Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh
melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam
setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun;[5]
4)
Orang yang dipekerjakan berasal dari tempat-tempat yang jauh dari kampungnya,
padahal manakan harus disediakan sendiri;
5)
Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak
sesuai dengan perjanjian;
6) Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa
untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah;
7) Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para
pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih
banyak;[6]
8)
Pembagian luas tanah untuk penanaman paksa menurut jenis tanaman dalam
tahun 1833[7]:
Jenis Tanaman
Tebu
32,722
Nila (indigo)
22,141
Teh
324
Tembakau
286
Kayu Manis
30
Kapas
Jenis tanaman pokok yang harus ditanam pada lahan yang telah ditentukan, antara
lain kopi, tebu, teh, dan nila. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kedua tanaman eksport
yang terpenting adalah tebu dan nila (indigo)
ini. Sedangkan yang diterima oleh bangsa Indonesia sendiri hanya semakin merosotnya
kesejahteraan hidup. Namun dari sekian bnayak dampak negatif, masih terdapat dampak
postif yang dirasakan oleh bangsa Indonesia meskipun hal tersebut terlalu dipaksakan.
1). Bagi Belanda
Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di
pasaran Eropa;
Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi
pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan;
Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali
pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12
sampai 18 juta gulden.
BAB III
PERBEDAAN SISTEM SEWA TANAH DAN
SISTEM TANAM PAKSA
A.
perangkat (struktur pelaksana) sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian
sewa tanah. Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah dihapuskan,
namun sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral (struktur) dari pemerintahan
colonial, dengan melaksanakan proyek-proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan
kesejahteraan penduduk.
yang tentu saja lebih mendekati kepada liberal karena rafles sendiri adalah seorang liberal.
Penggantian pemerintahan tersebut berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala
tradisional sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan tradisional mereka dikurangi
ataupun ditiadakan. Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut digantikan oleh para
pegawai-pegawai Eropa.
2) Pelaksanaan pemungutan sewa
Pelaksanaan pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam
artian pajak tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa. Dalam
mengatur pemungutan ini tiap-tipa kepala desa diberikan kebebaskan oleh VOC untuk
menentukan berapa besar pajak yang harus dibayarkan oleh tiap-tiap kepala keluarga. pada
masa sewa tanah hal ini digantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan
seluruh desa.
3) Pananaman tanaman dagangan untuk dieksport.
Pada masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi
yang merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa tanah
mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani dalam menjual
tanaman-tanaman merekadi pasar bebas, karena para petani dibebaskan menjual sendiri
tanaman yang mereka tanam.
Dua hal yang ingin dicapai oleh raffles melalui sistem sewa tanah ini adalah :
1) Memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak tanah.
2)
jauh berbeda pada masa sistem tanam paksa. Pada sistem sewa tanah rakyat tetap saja harus
membayar pajak kepada pemerintah. Rakyat diposisikan sebagai penyewa tanah, karena
tanah adalah milik pemerintah sehingga untuk memanfaatkan tanah tersebut untuk
menghasilkan tanaman yang nantinya akan dijual dan uang yang didapatkan sebagian
kemudian digunakan untuk membayar pajak dan sewa tanah tersebut. Pada masa ini sistem
feodalisme dikurangi, sehingga para kepala adat yang dahulunya memdapatkan hak-hak atau
pendapatan yang bisa dikatakan irasional, kemudian dikurangi.
Tetapi hal yang menghiasi sistem sewa tanah adalah pengaruh liberal yang dibawa oleh
Raffles dan juga sikap anti Belandanya sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan
belanda sebisa mungkin untuk dihindari. Pada masa sewa tanah ini pajak yang diserahkan
bukan lagi berupa pajak perorangan dan berupa in-natura, terapi lebih kepada pajak
perorangan.
Setiap orang dibebaskan menanam apa saja untuk tanaman ekspor, dan bebas
menjualnya kepada siapa saja di pasar yang telah disediakan oleh pemerintah . Tetapi karena
kecenderungan rakyat yang telah terbiasa dengan tanam paksa dimana mereka hanya
menanam saja, untuk mernjual tanaman yang mereka tanam tentu saja mengalami kesulitan,
sehingga mereka kemudian menyerahkan urusan menjual hasil pertaniana kepada para
kepala-kepala desa untuk menjulanya di pasar bebas. Dan tentu saja hal ini berakibat pada
banyaknya korupsi dan penyelewengan yang dilakukan oleh para kepala desa-kepala desa
tersebut.
d. Tanaman dan Sistem Perdagangan
Terdapat banyak perbedaan dalam sistem sewa tanah dan tanam paksa. Perbedaaan itu
juga dapat dilihat dari tanaman dan sistem perdagangan yang diterapkan. Pada sistem sewa
tanah petani diberi kebebasan untuk menanam apapun yang mereka kehendaki. Namun
gantinya rakyat mulai dibebani dengan sistem pajak. Kebebasan untuk menanam-tanaman
tersebut tidak dapat dilaksanakan di semua daerah di pulau Jawa. Daerah-daerah milik swasta
atau tanah partikelir dan daerah Parahyangan masih menggunakan sistem tanam wajib. Di
Parahyangan Inggris enggan untuk mengganti penanaman kopi karena merupakan sumber
keuntungan bagi kas negara.
Walaupun demikian pada sistem sewa tanah tanaman kopi mengalami penurunan
hasil. Selain kopi, tanaman gula (tebu) juga mengalami kemunduran yang sama. sehingga
pada sistem sewa tanah pemerintah hanya mampu mengekspor kopi dan beras dalam jumlah
yang terbatas. Penurunan hasil-hasil tanaman ini dikarenakan petani Indonesia tidak begitu
mengenal tanaman ekspor.
Sedangkan dalam sistem perdaganganpun sistem sewa tanah berbeda dengan sistem
tanam paksa. Unsur-unsur paksaan digantikan dengan unsur kebebasan sukarela dan
hubungan perjanjian atau kontrak. Sehingga pada sistem sewa tanah, rakyat selain diberikan
kebebasan untuk menanam, mereka juga diberi kebebasan untuk melakukan perdagangan
atau menjual tanaman mereka sendiri di pasaran bebas. Sistem perdagangan ini tidak efektif
karena penjualan sering diserahkan rakyat kepada kepala desa mereka.
Penyerahan penjualan kepada kepala desa dikarenakan kurang pengalamannya petani
dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasaran bebas. hal ini mengakibatkan kepalakepala desa sering melakukan penipuan terhadap petani maupun pembeli, sehingga membuat
pemerintah terpaksa ikut campur tangan dengan mengadakan penanaman paksa bagi tanaman
perdagangan.
tangan langsung dari pegawai Belanda tersebut. Di lain pihak peningkatan efisiensi ini tentu
berarti menambah beban yang harus dipikul rakyat.
Untuk menjamin bahwa pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa
menunaikan tugas mereka dengan baik, maka pemerintah kolonial memberikan perangsang
finansial kepada mereka yang terkenal dengan nama cultuurprocenten, yang diberikan kepada
mereka di samping pendapatan mereka. Cultuurprocenten ini merupakan presentasi tertentu
dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman-tanaman ekspor tersebut yang
diserahkan kepada pegawai Belanda, para bupati, dan kepala-kepala desa jika mereka
berhasil dalam mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan tiap-tiap desa.
Cara-cara ini tentu menimbulkan banyak penyelewengan yang sangat menekan dan
merugikan rakyat, karena pegawai-pegawai Belanda, maupun para bupati dan kepala-kepala
desa mempunyai kepentingan mereka masing-masing. Akibat ketentuan ini para pegawai
cenderung menjadi pegawai-pegawai yang buruk, karena tidak lagi menghiraukan rasa
keadilan, mematikan rasa peri kemanusiaan, menempatkan kepentingan pribadi di atas
kepentingan rakyat dan tidak mengindahkan lagi kepentingan penduduk demi mementingkan
kepentingan sendiri.
memaksa rakyat bekerja sesuai dengan kehendak Belanda. Untuk mengarur hubungan kerja
tersebut, maka dibuat perjanjian tentang pengaturan tenaga dan tanaman yang dikehendaki
oleh Belanda. Setiap pejabat tradisional akan mendapat persen dari perjanjian tersebut:
Rakyat patuh pada mereka, sebab mereka punya kharisma karena dan adat.
Guna menjamin agar para bupati dari kepala desa melaksanakan tugasnya dengan
baik, pemerintah colonial memberikan perangsang yang disebut culture procenten disamping
penghasilan tetap. Cultuur procenten adalah bonus, dalam prosentase tertentu yang diberikan
kepada pegawai Belanda, para bupati, dan kepala desa apabila hasil produksi di suatau
wilayah mencapai atau melampui target yang dibebankan. Cara-cara ini menimbulkan banyak
penyelewengan yang sangat menekan dan dan merugikan rakyat.
Pada tahun 1830-1850 beban yang harus ditanggung oleh rakyat adalah kerja paksa.
Pemerintah colonial mengerahkan tenaga rakyat untuk pembangunan dan pemeliharaan
fasilitas umum,( Rodi untuk pemerintah Belanda) antar lain jalan raya, jembatan, dan waduk.
Disamping itu, rakyat dikerahkan anta lain dalam pembangunan dan pemeliharaan rumahrumah pegawai kolonial, mengatar surat dan barang, serta menjaga gudang. Rakyat yang
tidak memiliki tanah dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah
selam 65 hari setiap tahun. Mereka juga ada yang mesti bekerja jauh dari desanya, dan
mereka pula harus menyediakan makanannya sendiri sedang waktu untuk mengerjakan
sawahnya habis sehingga persediaan makanan kurang sekali. Buruh yang seharusnya dibayar
oleh oleh pemerintah dijadikan tenaga paksa, seperi di Rembang, Jawa Tengah. Kalaupun
mereka dibayar mereka hanya dibayar sedikit. Sedangkan pajak atas tanah yang diambil
mesti di bayar terus.
lebih baik ditanam tebu. Pada tahun 1839 yang ditanami tebu 27.000 bahu. Pada tahun 1842
telah naik menjadi 37.000 bahu. Pada tahun 1850 dihasilkan 1.400.000 pikul. Milik
pemerintah Hindia-Belanda 1.000.000 pikul seharga f 10.000.000, selebihnya dihasilkan di
tanah-tanah partikulir dan di Surakarta serta Yogyakarta. Kopi makin bnayak laku di Eropa
dank arena itu penanaman kopi diperluas. Dalam musim 1834-1835 ditanam 25.600.000
pohon kopi diseluruh Jawa dan dalam musim 1835-1836 ditanam 29.200.000. Pohon-pohon
itu ditanam oleh anak negeri dengan tidak memperoleh bayaran dan mereka juga memelihara
dengan tidak mendapat upah jerih. Hasilnya jauh di bawah buahnya, karena kekurangan
tangan. Semenjak tahun 1840 dihasilkan lebih kurang 1.000.000 pikul setahun.
Telah diterangkan sebelumnya bahwa tanamn-tanaman yang wajib ditanamjuga selain
kopi, tebu, dan nila, juga terdapat tanaman lain, yaitu teh. Dalam penanaman ini teh tidak
seberapa untungnya. Pada tahun 1839 ada 8.000.000 rumpun teh. Enam tahun kemudian
20.000.000 rumpun. Hasil yang diperoleh 900.000 pound. Hasil dari cochenille (bahan warna
merah dari semacam serangga) tidak lebih dari 81.00 pound ditahun 1850, kayu manis yang
pada mulanya hanya ditanam di Krawang, jua ditanam di daerah-daerah lain. Pada tahun
1840 ada 1.700.000 pohon. Yang mengerjakannya 7000 keluarga. Pada tahun 1850, 10.000
keluarga. Mereka menghasilkan 200.000 pound. Penanaman tembakau dimulai di Rembang,
Kedu, Pasuruan, dan Banyuwangi. Jumlah kebun tembakau menjadi 37, luasnya 4000 bahu.
Keluarga yang bekerja di situ 37.000.
Dalam culturstelsel ini sangat menguntugkan pemerintah Hindia-Belanda, dari hasil
penanaman ini dapat menutupi semua hutang-hutang. Dan sistem tanam paksa ini dijadikan
sebagai suatu pengaturan kehidupan ekonomi di Hindia-Belanda yang diselenggarakan untuk
menunjang dan meningkatkan tingkat kemakmuran negeri Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Sartono Kartodirjo, dkk, 1977, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV dan V, Jakarta: Balai
Pustaka
Moedjanto, G. Drs. M.A., 1988, Sejarah Indonesia Abad XX, Jilid I, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius
Ricklefs, M.C., 1991, Sejarah Indonesia Modern, diterjemahkan oleh Drs. Dharmono
Hardjowidjono, Yogyakarta: Gajah Mada University Pers
Drs. A. Daliman, M.Pd, 2001, Sejarah Indonesia Abad XIX Sampai Awal Abad XX: Sitem
Politik Kolonial dan Administrasi Penerintah Hindia-Belanda, Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta
Kardiyat Wiharyanto, 2006, Sejarah Indonesia Madya, Abad XVI-XIX, Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma
Niel, Robert Van, 2003, Sistem Tanam Paksa di Jawa, Jakarta: LP3ES
Sartono Kartodirdjo, 1977, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV, Jakarta: Balai Pustaka,
hal: 67
[1]
Drs. A. Daliman, M.Pd, 2001, Sejarah Indonesia Abad XIX Sampai Awal Abad XX:
Sitem Politik Kolonial dan Administrasi Penerintah Hindia-Belanda, Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta, hal: 32-33
[2]
[3]
Ibid, hal: 33
[4]
[5]
[6]
[7]