Anda di halaman 1dari 22

SISTEM SEWA TANAH DAN SISTEM TANAM PAKSA:

PERBEDAAN SISTEM SEWA TANAH DAN


SISTEM TANAM PAKSA

Diajukan guna memenuhi tugas makalah


Mata kuliah Sejarah Indonesia Abad XIX-XX

oleh:
Kelompok II

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS ILMU SOSIAL EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2008

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setelah pemerintahan Hindia Belanda digantikan oleh pemerintahan Inggris, yaitu
pada tahun 1811, Inggris mulai menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Pada masa
pemerintahan Inggris yang paling terkenal adalah masa pemerintahan Raffles. Masa
pemerintahan Inggris terbilang cukup singkat yaitu hanya lima tahun terhitung mulai
tahun 1811 sampai dengan 1816.
Tujuan utama Raffles adalah untuk mengembangkan kekuasaan Inggris.
Kebijakan Rafles yang terkenal adalah sistem sewa tanah, yaitu sistem pertanian dimana
para petani atas kehendaknya sendiri menanam dagangan (cash crops) yang dapat
diekspor keluar negeri.
Setelah pemerintahan Inggris berakhir, yaitu pada tahun 1816, Indonesia kembali
dikuasai oleh Pemerintahan Hindia-Belanda. Pada masa kedua penjajahan ini, yang
sangat terkenal adalah sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Van den Bosch.
Pelaksanaannya pun dimulai pada tahun 1830. Terdapat ketentuan-ketentuan dalam
pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Namun pada akhirnya, dalam praktek
sesungguhnya terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan.
Terdapat perbedaan antara penerapan sistem sewa tanah yang dilaksanakan oleh
Raffles serta sistem tanam paksa yang dilaksanakan oleh Van den Bosch. Keduanya
membawa dampak yang tidak sedikit bagi kehidupan gangsa Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang ada di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan, yaitu:
1.

Latar belakang pelaksanaan sistem sewa tanah, tujuan pelaksanaannya, serta


kegagalan pelaksanaan sistem sewa tanah oleh Raffles.

2.

Latar belakang pelaksanaan sistem tanam paksa, pelaksanaan sistem tanam


paksa, serta penghapusan (dampak) tanam paksa.

3.

Apa perbedaan sistem sewa tanah dan sistem tanam paksa, di lihat dari faham
yang mendasari, perangkat pemerintahan pelaksana, kedudukan dan pola
kerja rakyat, serta tanaman dan sistem perdagangannya?

BAB II
SISTEM SEWA TANAH DAN
SISTEM TANAM PAKSA

A. Sistem Sewa Tanah


1. Latar Belakang
Sistem sewa tanah dijalankan oleh Inggris, yaitu pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Stamford Raffles. Dalam usahanya untuk menegakkan suatu
kebijaksanaan kolonial yang baru, Raffles ingin berpatokan pada tiga azas, antara lain:
a.

Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu
dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman,
melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang
akan ditanam;

b.

Peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai gantinya
mereka dijadikan bagian integral dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi
pememrintahan yang sesuai, perhatia mereka harus terpusat pada pekerjaanpekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.

c.

Para petani yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa tanah milik
pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa
tanah atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah.

Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas, yaitu:
a.

Kelas I, yaitu tanah yang subur, dikenakan pajak setengah dari hasil bruto;

b.

Kelas II, yaitu tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga dari hasil bruto;

c.

Kelas III, yaitu tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto.

2. Tujuan Sistem Sewa Tanah


Pelaksanaan sistem sewa tanah yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal
Stamford Raffles mengandung tujuan sebagai berikut:
a.

Para petani dapat menanam dan menjual hasil panennya secara bebas untuk
memotovasi mereka agar bekerja lebih giat sehingga kesejahteraannya mejadi
lebih baik;

b.

Daya beli masyarakat semakin meningkat sehingga dapat membeli baranngbarang industri Inggris;

c.

Pemerintah kolonial mempunyai pemasukan negara secara tetap;

d. Memberikan kepastian hukum atas tanah yang dimiliki petani;


e.

Secara bertahap untuk mengubah sistem ekonomi barang menjadi ekonomi uang.

Perubahan-perubahan yang terjadi dengan dilaksanakannya sistem sewa tanah,


dapat dikatakan revolusioner karena mengandung perubahan azasi, yaitu unsur paksaan
yang sebelumnya dialami oleh rakyat, digantikan dengan unsur sukarela antara
pemerintah dan rakyat. Jadi, perubahan ini bukan hanya semata-mata perubahan secara
ekonomi, tetapi juga perubahan sosial-budaya yang mengantikan ikatan-ikatan adat yang
tradisional dengan ikatan kontrak yang belum pernah dikenal.[1] Yaitu, digantikannya
sistem tradisional yang berdasarkan atas hukum feodal, menjadi sistem ekonomi yang
didasarkan atas kebebasan. Secara singkat perubahan tersebut, antara lain:

a.

Unsur paksaan digantikan dengan unsur bebasm sukarela;

b.

Ikatan yang didasarkan pada ikatan tradisional, diubah menjadi hubungan yang
berdasarkan perjanjian;

c.

Ikatan adat-istiadat yang telah turun-temurun menjadi semakin longgar, akibat


pengaruh barat.

3. Kegagalan Sistem Sewa Tanah


Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilaksanakanan oleh Gubernur Jenderal
Stamford Raffles, menemui beberapa kegagalan. Dalam melaksanakan sistem sewa tanah
tersebut, Jenderal Stamford Raffles menemui banyak hambatan-hambatan yang berakibat
gagalnya system sewa tanah. Hamatan-hambatan yang dihadapinya antara lain:
a.
b.

Keuangan negara dan pegawai-pegawai yang cakap jumlahnya terbatas;


Masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat India yang sudah
mengenal perdagangan ekspor. Masyarakat Jawa pada abad IX masih bertani
untuk

memenuhi

kebutuhan

sendiri

dan

belum

banyak

mengenal

perdagangan;
c.

Sistem ekonomi desa pada waktu itu belum memungkinkan diterapkannya


ekonomi uang;

d.

Adanya pejabat yang bertindak sewenang-wenang dan korup;

e.

Pajak terlalu tinggi sehingga banyak tanah yang tidak digarap.

B. Sistem Tanam Paksa (Culturstelsel)


1. Latar Belakang Tanam Paksa

a. Motif Tanam Paksa


Pelaksanaan sistem tanam paksa (culturstelsel) sebenarnya merupakan usaha
Pemerintah Hindia Belanda dalam memperbaiki keungan di Hindia Belanda. Usaha
tersebut sebenarnya sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (18191825). Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan
dagang dengan pihak Inggris. Apalagi setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819,
menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia
Tenggara. Untuk kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi dalam
perdagangan Eropa. Karena kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan utama
bagi Belanda.
Selain itu, di negeri Belanda sendiri pecah Perang Belgia pada tahun 1830. Perang
ini berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan
menyebabkan keruntuhan keuangan Belanda. Di Indonesia, Belanda juga mendapatkan
serangan, yaitu Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perang termahal bagi
pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi.

b. Ciri dan Ketentuan Sistem Tanam Paksa


Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat
untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil
pertanian mereka.[2] Pada hakikatnya sistem taman paksa ini adalah penerapan kembali
sistem penanaman wajib yang berlaku di Parahyangan selama 1810-1830.
Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran
negara) tahun 1834 No. 22, lebih kurang 4 tahun setelah pelaksanaan sistem tanam paksa.
[3] Ketentuan pokok sistem tanam paksa, antara lain:
1)

Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagiandari tanah sawahnya untuk


ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah
yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlia dari seluruh sawah desa;

2) Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak;

3)

Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya


pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri;

4) Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang..
Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat,
maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk
memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor;
5)

Terdapat pembagian tugas yang jelas, yaitu ada yang bertugas menanam saja, ada
yang memungut hasil, ada yang bertugas mengirim hasil ke pusat, dan ada yang
bekerja di pabrik. Pembagian ini bertujuan untuk menghindari agar tidak ada tenaga
yang harus bekerja sepanjang tahun terus-menerus;

6) Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian
rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pememrintah;
7)

Bagi para penduduk yang tidak mempunyai tanah akan dipekerjakan pada
perkebunan milik pemerintah selama 65 hari dalam setahun;

8)

Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak


pegawai Eropa hanya sebagai pengawas.

2. Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa


a. Penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa
Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa, ketentuan yang sudah dibuat berbeda
dengan apa yang terjadi di lapangan. Terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam
pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara
lain:
1)

Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam


pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan
pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat
agar menyerahkan tanah mereka;

2) Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk Culturstelsel adalah seperlia sawah,
namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau
setengah sawah.[4]
3)

Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh
melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam
setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun;[5]

4)

Orang yang dipekerjakan berasal dari tempat-tempat yang jauh dari kampungnya,
padahal manakan harus disediakan sendiri;

5)

Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak
sesuai dengan perjanjian;

6) Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa
untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah;
7) Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para
pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih
banyak;[6]
8)

Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka


sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam; tanamannya sendiri itu tinggal sedikit
sehingga hasilnya kurang maksima;

9) Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.

b. Luas penanaman dan jenis tanaman


Tanah yang dipergunakan untuk kepentingan tanam paksa sebenranya tak pernah
mencakup seluruh tanah pertanian yang ada di Jawa. Paling luas pada tahun 1845 hanya
menempati sekitar 5% dari seluruh tanah pertanian dan seperlima dari persawahan yang
ada. Sekalipin areal yang digunakan relative terbatas, namun sistem tanam paksa
mempengaruhi seluruh karakter sistem administrasi kolonial.

Pembagian luas tanah untuk penanaman paksa menurut jenis tanaman dalam
tahun 1833[7]:

Jenis Tanaman

Luas Tanah (dalam bahu)

Tebu

32,722

Nila (indigo)

22,141

Teh

324

Tembakau

286

Kayu Manis

30

Kapas

Jenis tanaman pokok yang harus ditanam pada lahan yang telah ditentukan, antara
lain kopi, tebu, teh, dan nila. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kedua tanaman eksport
yang terpenting adalah tebu dan nila (indigo)

3. Penghapusan Sistem Tanam Paksa


Dampak Sistem Tanam Paksa
Jika kita melihat dampak tanam paksa yang dijalankan oleh Van den Bosc, maka
pihak Belandalah yang mendapatkan dampak keuntungan dari dilaksanakannya sistem

ini. Sedangkan yang diterima oleh bangsa Indonesia sendiri hanya semakin merosotnya
kesejahteraan hidup. Namun dari sekian bnayak dampak negatif, masih terdapat dampak
postif yang dirasakan oleh bangsa Indonesia meskipun hal tersebut terlalu dipaksakan.
1). Bagi Belanda
Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di
pasaran Eropa;
Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi
pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan;
Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali
pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12
sampai 18 juta gulden.

2). Bagi Indonesia


Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan;
Beban pajak yang berat
Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen;
Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana;
Jumlah penduduk Indonesia menurun;
Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman
baru;
Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor
Eropa.

BAB III
PERBEDAAN SISTEM SEWA TANAH DAN
SISTEM TANAM PAKSA

A.

Sistem Sewa Tanah


a. Faham yang Mendasari
Gagasan dan cita-cita Liberal adalah hasil pengaruh dari Revolusi Perancis yang
dibawa Sir Thomas Stamford Raffles ke Indonesia yakni prinsip kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan dinilai membawa kehidupan rakyat lebih baik. Kebebasan, Raffles ingin
menciptakan suatu sistem ekonomi yang bebas dari unsur paksaan, penyerahan wajib dan
kerja rodi pada masa VOC. Raffles ingin memberikan kepastian hukum tentang posisi para
petani dan rakyat serta kebebasan ber usaha dalam menanam tanaman dan perdagangan.
Menurutnya sistem paksaan masa VOC telah mematikan daya usaha rakyat Indonesia
sehingga tidak banyak keuntungan yang diperoleh VOC.
Oleh sebab itu masa Raffles diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman yang
dikehendaki. Selain itu terdapat prinsip persamaan dalam hal ini peranan bupati sebagai
pemungut pajak dihapuskan dan sebagai gantinya mereka dijadikan bagian yang integral dari
pemerintah kolonial dengan asas-asas pemerintahan model negeri barat. Pemusatan pada
pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Sedangkan dasar kebijakan Raffles yakni berdasarkan bahwa pemerintah kolonial
adalah pemilik tanah, para petani sebagai penyewa milik pemerintah. Untuk penyewaan
diwajibkan membayar sewa tanah berupa mata uang yang telah ditentukan. Sehingga
diharapkan produksi pertanian akan bertambah dengan rangsangan penanaman tanaman
perdagangan, serta pajak yang diterima oleh pemerintah akan bertambah dan menjamin arus
pendapatan Negara yang stabil.

Pengenalan sistem administrasi Eropa yang efektif mengenai kejujuran, ekonomi,


dan keadilan merupakan dasar perubahan sosial budaya kehidupan masayarakat Jawa
dicontohkan menggantikan ikatan adat tradisional dengan ikatan kontrak, dihapuskannya
peranan bupati sebagai pemungut pajak, dapat dikatakan dari pemerintahan tidak langsung
menjadi pemerintahan langsung. Raffles dalam melaksanakan cita-citanya tidak melihat
situasi dan kondisi Tanah Jawa, secara pandangannya disamakan antara Jawa dengan India.
Hal ini membuat ketidak berhasilan sistem.

b. Pelaksana Sistem Sewa Tanah


Sewa tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (18111816) oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles, yang banyak menghinpun gagasan sewa
tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-Inggris. Sewa tanah didasarkan pada pemikiran
pokok mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada.
Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya
bertanggungjawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. Sewa ini pada
mulanya dapat dibayar dalam bentuk uang atau barang, tetapi dalam perkembangan
selanjutnya lebih banyak berupa pembayaran uang. Pengalaman dan pelaksanaan sewa tanah
ini, oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles sangat dipengaruhi oleh pengalaman penerapan
perkembangan perekonomian colonial pada masa penguasaan Inggris di India. Gubernur
Jenderal Stamford Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari
segala unsur paksaan, dan dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati.
Kepada para petani, Gubernur Jenderal Stamford Rafflesingin memberikan kepastian
hukum dan kebebasan berusaha melalui sistem sewa tanah tersebut. Kebijakan Gubernur
Jenderal Stamford Rafflesini, pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis
dengan semboyannya mengenai Libertie (kebebasan), Egaliie (persamaan), dan Franternitie
(persaudaraan). Hal tersebut membuat sistem liberal diterapkan dalam sewa tanah, di mana
unsur-unsur kerjasama dengan raja-raja dan para bupati mulai diminimalisir keberadaannya.
Sehingga hal tersebut berpengaruh pada perangkat pelaksana dalam sewa tanah, di
mana Gubernur Jenderal Stamford Raffles banyak memanfaatkan colonial (Inggris) sebagai

perangkat (struktur pelaksana) sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian
sewa tanah. Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah dihapuskan,
namun sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral (struktur) dari pemerintahan
colonial, dengan melaksanakan proyek-proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan
kesejahteraan penduduk.

c. Kedudukan dan Pola Kerja Rakyat

Skema dialektik hubungan ekonomi Indonesia di jaman Belanda

Tiga aspek pelaksanaan sistem sewa tanah :


1) Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern
Pergantian dari sistem pemerintahan-pemerintahan yang tidak langsung yan gdulu
dilaksanakan oleh para raja-raja dan kepala desa digantikan dengan pemerintahan modern

yang tentu saja lebih mendekati kepada liberal karena rafles sendiri adalah seorang liberal.
Penggantian pemerintahan tersebut berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala
tradisional sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan tradisional mereka dikurangi
ataupun ditiadakan. Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut digantikan oleh para
pegawai-pegawai Eropa.
2) Pelaksanaan pemungutan sewa
Pelaksanaan pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam
artian pajak tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa. Dalam
mengatur pemungutan ini tiap-tipa kepala desa diberikan kebebaskan oleh VOC untuk
menentukan berapa besar pajak yang harus dibayarkan oleh tiap-tiap kepala keluarga. pada
masa sewa tanah hal ini digantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap orang bukan
seluruh desa.
3) Pananaman tanaman dagangan untuk dieksport.
Pada masa sewa tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi
yang merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa tanah
mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani dalam menjual
tanaman-tanaman merekadi pasar bebas, karena para petani dibebaskan menjual sendiri
tanaman yang mereka tanam.

Dua hal yang ingin dicapai oleh raffles melalui sistem sewa tanah ini adalah :
1) Memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak tanah.
2)

Mengefektifkan sistem administrasi Eropa yang berarti penduduk pribumi akan


mengenal ide-ide Eropa mengenai kejujuran, ekonomi, dan keadilan.
Kedudukan dan pola kerja rakyat pada masa sistem sewa tanah ini pada dasarnya tidak

jauh berbeda pada masa sistem tanam paksa. Pada sistem sewa tanah rakyat tetap saja harus
membayar pajak kepada pemerintah. Rakyat diposisikan sebagai penyewa tanah, karena
tanah adalah milik pemerintah sehingga untuk memanfaatkan tanah tersebut untuk
menghasilkan tanaman yang nantinya akan dijual dan uang yang didapatkan sebagian
kemudian digunakan untuk membayar pajak dan sewa tanah tersebut. Pada masa ini sistem

feodalisme dikurangi, sehingga para kepala adat yang dahulunya memdapatkan hak-hak atau
pendapatan yang bisa dikatakan irasional, kemudian dikurangi.
Tetapi hal yang menghiasi sistem sewa tanah adalah pengaruh liberal yang dibawa oleh
Raffles dan juga sikap anti Belandanya sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan
belanda sebisa mungkin untuk dihindari. Pada masa sewa tanah ini pajak yang diserahkan
bukan lagi berupa pajak perorangan dan berupa in-natura, terapi lebih kepada pajak
perorangan.
Setiap orang dibebaskan menanam apa saja untuk tanaman ekspor, dan bebas
menjualnya kepada siapa saja di pasar yang telah disediakan oleh pemerintah . Tetapi karena
kecenderungan rakyat yang telah terbiasa dengan tanam paksa dimana mereka hanya
menanam saja, untuk mernjual tanaman yang mereka tanam tentu saja mengalami kesulitan,
sehingga mereka kemudian menyerahkan urusan menjual hasil pertaniana kepada para
kepala-kepala desa untuk menjulanya di pasar bebas. Dan tentu saja hal ini berakibat pada
banyaknya korupsi dan penyelewengan yang dilakukan oleh para kepala desa-kepala desa
tersebut.
d. Tanaman dan Sistem Perdagangan
Terdapat banyak perbedaan dalam sistem sewa tanah dan tanam paksa. Perbedaaan itu
juga dapat dilihat dari tanaman dan sistem perdagangan yang diterapkan. Pada sistem sewa
tanah petani diberi kebebasan untuk menanam apapun yang mereka kehendaki. Namun
gantinya rakyat mulai dibebani dengan sistem pajak. Kebebasan untuk menanam-tanaman
tersebut tidak dapat dilaksanakan di semua daerah di pulau Jawa. Daerah-daerah milik swasta
atau tanah partikelir dan daerah Parahyangan masih menggunakan sistem tanam wajib. Di
Parahyangan Inggris enggan untuk mengganti penanaman kopi karena merupakan sumber
keuntungan bagi kas negara.
Walaupun demikian pada sistem sewa tanah tanaman kopi mengalami penurunan
hasil. Selain kopi, tanaman gula (tebu) juga mengalami kemunduran yang sama. sehingga
pada sistem sewa tanah pemerintah hanya mampu mengekspor kopi dan beras dalam jumlah
yang terbatas. Penurunan hasil-hasil tanaman ini dikarenakan petani Indonesia tidak begitu
mengenal tanaman ekspor.
Sedangkan dalam sistem perdaganganpun sistem sewa tanah berbeda dengan sistem
tanam paksa. Unsur-unsur paksaan digantikan dengan unsur kebebasan sukarela dan

hubungan perjanjian atau kontrak. Sehingga pada sistem sewa tanah, rakyat selain diberikan
kebebasan untuk menanam, mereka juga diberi kebebasan untuk melakukan perdagangan
atau menjual tanaman mereka sendiri di pasaran bebas. Sistem perdagangan ini tidak efektif
karena penjualan sering diserahkan rakyat kepada kepala desa mereka.
Penyerahan penjualan kepada kepala desa dikarenakan kurang pengalamannya petani
dalam menjual tanaman-tanaman mereka di pasaran bebas. hal ini mengakibatkan kepalakepala desa sering melakukan penipuan terhadap petani maupun pembeli, sehingga membuat
pemerintah terpaksa ikut campur tangan dengan mengadakan penanaman paksa bagi tanaman
perdagangan.

B. Sistem Taman Paksa


a. Faham yang Mendasari
Setelah sistem pajak tanah yang diberlakukan oleh Raffles, kemudian digantikan oleh
sistem taman paksa. Tahun 1830, pemerintah Hindia-Belanda mengankat Gubernur Jenderal
baru untuk Indonesia, yaitu Johanes van Den Bosch. Tugas utamanya untuk meningkatkan
produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah berlangsung.
Sistem tanam paksa muncul karena pihak pemerintah Hindia-Belanda mengalami
keadaan parah di bidang keuangan, dan juga budget pemeerintahan Hindia-Belanda dibebabi
hutang-hutang yang besar. Belanda merasa tidak mampu menangtebungi masalah ini sendiri,
sehingga muncul pikiran untuk mencari pemecahan di koloni-koloninya. Salah satunya
Indonesia. Atas dasar itu maka sistem tanam paksa diperkenalkan oleh Van den Bocsh.
Dasranya sistem tanam paksa, selama zaman Belanda terkenal dengan nama
culturstelsel, berarti pemulihan sistem eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib yang
pernah dipraktekkan oleh VOC dahulu. Culturstelsel menganut paham konservatif yaitu
dalam pelaksanaannya menggunakan tatanan feodal (menggunakan bantuan orang-orang
lokal). Di mana desa menjadi mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat bangsa Indonesia,
yaitu bupati atau regent (sebutan dari orang-orang Belanda). Bupati bertanggung jawab
kepada pemerintah bangsa Eropa. Paham konservatif digunakan untuk menggantikan paham
liberalisme yang dipandang tidak sesuai dengan struktur sosial yang sangat feodal di Jawa

dengan segala ikatan-ikatan tradisionalnya. Pemerintah tidak sanggup menembusnya


langsung berhubungan dengan rakyat secara perseorangan dan bebas.
Menurut Van den Bosch, paham konservatif secara langsung akan membentuk
hubungan langsung antara pemerintah dan desa dengan melampaui peranan bupati sehingga
perantara seperti hal yang berlaku pada masa VOC. Bupati hanya khusus mengawasi dan
menjamin produksi atau disebut mandor. Sedangkan kepala desa bertanggung jawab untuk
memenuhi target produksi. Bupati dan kepala desa dibayar dengan perhitungan persentase
terhadap penyerahan-penyerahan komoditi pertanian, yang disebut kultur procenten
(prosenan tanaman) yaitu jumlah sebesar prosenan tertentu dari harga hasil tanam paksa yang
terkumpul di wilayahnya.

b. Perangkat pemerintah pelaksana


Salah satu akibat yang penting dari sistem tanam paksa adalah meluasnya bentuk
milik tanah bersama ( milik komunal ). Hal ini disebabkan karena para pegawai pemerintah
kolonial cenderung untuk memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan
tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan
pekerjaan mereka daam menetapkan tugas penanaman-penanaman paksa yang dibebankan
pada tiap desa. Jika para pegawai pemerintah kolonial misalnya harus melakukan
persetujuan-persetujuan yang terpisah dengan tiap-tiap petani yang memiliki tanah untuk
memperoleh seperlima dari tiap-tiap bidang tanah mereka, maka hal ini sangat mempersulit
pekerjaan mereka. Jauh lebih mudah untuk menetapkan target yang harus dicapai oleh
masing-masing desa sebagai satu keseluruhan.
Dibanding dengan penyerahan wajib ( contingenteringen ) yang dipaksakan VOC
kepada penduduk, maka sistem tanam paksa menaruh beban yang lebih berat di atas pundak
rakyat. Jika selama jaman VOC pelaksanaan penyerahan wajib diserahkan kepada kepala
rakyat sendiri, maka selama sistem tanam paksa para pegawai Eropa dari pemerintah
kolonoial langsung melaksanakan dan mengawasi penanaman paksa tersebut.
Hal ini sering berarti peningkatan efisiensi dari sistem tanam paksa, dalam arti kata
bahwa hasil produksi tanaman dagangan dapat ditingkatkan berkat pengawasan dan campur

tangan langsung dari pegawai Belanda tersebut. Di lain pihak peningkatan efisiensi ini tentu
berarti menambah beban yang harus dipikul rakyat.
Untuk menjamin bahwa pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa
menunaikan tugas mereka dengan baik, maka pemerintah kolonial memberikan perangsang
finansial kepada mereka yang terkenal dengan nama cultuurprocenten, yang diberikan kepada
mereka di samping pendapatan mereka. Cultuurprocenten ini merupakan presentasi tertentu
dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman-tanaman ekspor tersebut yang
diserahkan kepada pegawai Belanda, para bupati, dan kepala-kepala desa jika mereka
berhasil dalam mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan tiap-tiap desa.
Cara-cara ini tentu menimbulkan banyak penyelewengan yang sangat menekan dan
merugikan rakyat, karena pegawai-pegawai Belanda, maupun para bupati dan kepala-kepala
desa mempunyai kepentingan mereka masing-masing. Akibat ketentuan ini para pegawai
cenderung menjadi pegawai-pegawai yang buruk, karena tidak lagi menghiraukan rasa
keadilan, mematikan rasa peri kemanusiaan, menempatkan kepentingan pribadi di atas
kepentingan rakyat dan tidak mengindahkan lagi kepentingan penduduk demi mementingkan
kepentingan sendiri.

c. Kedudukan dan pola kerja rakyat


Menurut Van den Bosch, cultuurstelsel didasarkan atas dasar atas hukum adat yang
dinyatakan barang siapa berkuasa disuatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya.
Sebelum kedatangn Belanda, raja-raja di nusantara yang berkuasa serta memiliki tanah dan
penduduk. Karena raja-raja di nusantara sudah takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda
menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus
menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada Belanda. Pemerintah kolonial memanfaatkan
para bupati dan kepala-kepala desa untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah kepada
Belanda.
Rencana untuk memeras ekonomi Indonesia dilakukan dengan kedok agama dan
adapt-istiadat rakyat, dan hubungan dengan pejabat tradisional seperti seperi raja, bupati,
wedana maupun lurah. Kedudukan para pejabat tradisional digunakan oleh Belanda untuk

memaksa rakyat bekerja sesuai dengan kehendak Belanda. Untuk mengarur hubungan kerja
tersebut, maka dibuat perjanjian tentang pengaturan tenaga dan tanaman yang dikehendaki
oleh Belanda. Setiap pejabat tradisional akan mendapat persen dari perjanjian tersebut:
Rakyat patuh pada mereka, sebab mereka punya kharisma karena dan adat.
Guna menjamin agar para bupati dari kepala desa melaksanakan tugasnya dengan
baik, pemerintah colonial memberikan perangsang yang disebut culture procenten disamping
penghasilan tetap. Cultuur procenten adalah bonus, dalam prosentase tertentu yang diberikan
kepada pegawai Belanda, para bupati, dan kepala desa apabila hasil produksi di suatau
wilayah mencapai atau melampui target yang dibebankan. Cara-cara ini menimbulkan banyak
penyelewengan yang sangat menekan dan dan merugikan rakyat.
Pada tahun 1830-1850 beban yang harus ditanggung oleh rakyat adalah kerja paksa.
Pemerintah colonial mengerahkan tenaga rakyat untuk pembangunan dan pemeliharaan
fasilitas umum,( Rodi untuk pemerintah Belanda) antar lain jalan raya, jembatan, dan waduk.
Disamping itu, rakyat dikerahkan anta lain dalam pembangunan dan pemeliharaan rumahrumah pegawai kolonial, mengatar surat dan barang, serta menjaga gudang. Rakyat yang
tidak memiliki tanah dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah
selam 65 hari setiap tahun. Mereka juga ada yang mesti bekerja jauh dari desanya, dan
mereka pula harus menyediakan makanannya sendiri sedang waktu untuk mengerjakan
sawahnya habis sehingga persediaan makanan kurang sekali. Buruh yang seharusnya dibayar
oleh oleh pemerintah dijadikan tenaga paksa, seperi di Rembang, Jawa Tengah. Kalaupun
mereka dibayar mereka hanya dibayar sedikit. Sedangkan pajak atas tanah yang diambil
mesti di bayar terus.

d. Tanaman dan Sistem Perdagangan


Jenis-jenis tanaman yang sangat dipentingkan ialah kopi, tebu, dan nila (indigo). Teh,
tembakau, kayu manis, lada, ditanam juga. Penanaman lada mencapai pada tahun 1840, yang
ditanam ialah 42800 bahu (sebahu 0,7 h.a.). Anak negeri yang bekerja untuk menghasilkan
nila lebih dari 200.000 orang dan yang hasilnkan 2 juta poun, dalam 749 pabrik. Daerah
pertama yang menjadi tempat penanaman nila ialah Parahyangan. Kemudian Cirebon juga
mendapat tugas untuk menanam nila. Tanah menjadi keirng karena penanaman nila, sehingga

lebih baik ditanam tebu. Pada tahun 1839 yang ditanami tebu 27.000 bahu. Pada tahun 1842
telah naik menjadi 37.000 bahu. Pada tahun 1850 dihasilkan 1.400.000 pikul. Milik
pemerintah Hindia-Belanda 1.000.000 pikul seharga f 10.000.000, selebihnya dihasilkan di
tanah-tanah partikulir dan di Surakarta serta Yogyakarta. Kopi makin bnayak laku di Eropa
dank arena itu penanaman kopi diperluas. Dalam musim 1834-1835 ditanam 25.600.000
pohon kopi diseluruh Jawa dan dalam musim 1835-1836 ditanam 29.200.000. Pohon-pohon
itu ditanam oleh anak negeri dengan tidak memperoleh bayaran dan mereka juga memelihara
dengan tidak mendapat upah jerih. Hasilnya jauh di bawah buahnya, karena kekurangan
tangan. Semenjak tahun 1840 dihasilkan lebih kurang 1.000.000 pikul setahun.
Telah diterangkan sebelumnya bahwa tanamn-tanaman yang wajib ditanamjuga selain
kopi, tebu, dan nila, juga terdapat tanaman lain, yaitu teh. Dalam penanaman ini teh tidak
seberapa untungnya. Pada tahun 1839 ada 8.000.000 rumpun teh. Enam tahun kemudian
20.000.000 rumpun. Hasil yang diperoleh 900.000 pound. Hasil dari cochenille (bahan warna
merah dari semacam serangga) tidak lebih dari 81.00 pound ditahun 1850, kayu manis yang
pada mulanya hanya ditanam di Krawang, jua ditanam di daerah-daerah lain. Pada tahun
1840 ada 1.700.000 pohon. Yang mengerjakannya 7000 keluarga. Pada tahun 1850, 10.000
keluarga. Mereka menghasilkan 200.000 pound. Penanaman tembakau dimulai di Rembang,
Kedu, Pasuruan, dan Banyuwangi. Jumlah kebun tembakau menjadi 37, luasnya 4000 bahu.
Keluarga yang bekerja di situ 37.000.
Dalam culturstelsel ini sangat menguntugkan pemerintah Hindia-Belanda, dari hasil
penanaman ini dapat menutupi semua hutang-hutang. Dan sistem tanam paksa ini dijadikan
sebagai suatu pengaturan kehidupan ekonomi di Hindia-Belanda yang diselenggarakan untuk
menunjang dan meningkatkan tingkat kemakmuran negeri Belanda.

DAFTAR PUSTAKA

Sartono Kartodirjo, dkk, 1977, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV dan V, Jakarta: Balai
Pustaka

Moedjanto, G. Drs. M.A., 1988, Sejarah Indonesia Abad XX, Jilid I, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius
Ricklefs, M.C., 1991, Sejarah Indonesia Modern, diterjemahkan oleh Drs. Dharmono
Hardjowidjono, Yogyakarta: Gajah Mada University Pers
Drs. A. Daliman, M.Pd, 2001, Sejarah Indonesia Abad XIX Sampai Awal Abad XX: Sitem
Politik Kolonial dan Administrasi Penerintah Hindia-Belanda, Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta
Kardiyat Wiharyanto, 2006, Sejarah Indonesia Madya, Abad XVI-XIX, Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma
Niel, Robert Van, 2003, Sistem Tanam Paksa di Jawa, Jakarta: LP3ES

Sartono Kartodirdjo, 1977, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV, Jakarta: Balai Pustaka,
hal: 67
[1]

Drs. A. Daliman, M.Pd, 2001, Sejarah Indonesia Abad XIX Sampai Awal Abad XX:
Sitem Politik Kolonial dan Administrasi Penerintah Hindia-Belanda, Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta, hal: 32-33

[2]

[3]

Ibid, hal: 33

Kardiyat Wiharyanto, 2006, Sejarah Indonesia Madya, Abad XVI-XIX, Yogyakarta:


Universitas Sanata Dharma, hal:122

[4]

[5]

Kardiyat Wiharyanto, Log.cit

[6]

Ibid, hal: 123

[7]

Sartono Kartodirdjo, Op.cit, hal: 85

Kata kunci: historia


Sebelumnya: revolusi Iran
Selanjutnya : Historiografi Indonesia (penulisan sejarah di Indonesia)
http://ramaversion.multiply.com/journal/item/3

Anda mungkin juga menyukai