Anda di halaman 1dari 6

Kerajaan Belanda Abad-19

A. Masa Komisi Jenderal (1816-1819)


Setelah Traktat London I ditandatangani (1814), maka pemerintah
Belanda membentuk suatu komisi yang akan menerima kembali semua
jajahannya di Asia Tenggara dari pemerintah Inggris di Indonesia.
Sementara itu, komisi yang dibentuk Belanda untuk menerima kembali
Indonesia dari Inggris dinamakan Komisi Jenderal. Adapun anggota
komisi tersebut adalah:

1. Cornelius Theodore Elout,


2. A. A. Buyskes, dan
3. Baron van der Capellen.

Pada tahun 1816 komisi ini datang ke Indonesia. Dalam tahun itu
juga Letnan Gubernur Inggris, John Fendall menyerahkan Indonesia
kepada Belanda.
Di samping bertugas menerima Indonesia dari tangan Inggris,
komisi tersebut juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang lain, yaitu:

1. Menyusun pemerintahan baru.


2.Mengusahakan ketenteraman dan perbaikan nasib penduduk
Indonesia, misalnya penduduk harus dilindungi dari perlakuan
sewenang-wenang, perdagangan dan pertanian (penanaman) harus
bebas, kecuali tanaman kopi, rempah-rempah dan candu.
3. Menyusun angkatan darat dan angkatan laut.
4. Menyusun peraturan-peraturan sebagai pedoman pemerintahan
Belanda di Indonesia.

Berdasarkan hak dan kewajiban Komisi Jenderal, akhirnya berhasil


menyusun suatu pedoman pemerintahan yang benar-benar bersifat
liberal, yaitu:

1. Pajak tanah yang dibuat oleh Raffles dilanjutkan dan lebih


disempurnakan, agar peraturan-peraturan yang bersifat sewenang-
wenang tidak terjadi lagi.
2. Pajak tersebut dapat dibayar dengan uang kontan atau dengan barang-
barang. Peraturan ini bertujuan untuk menghindarkan rakyat dari para
peminjam uang serta agar lebih memudahkan bagi mereka yang
memiliki uang

3. Pajak kepala tidak dipungut secara perorangan, tetapi dibayar oleh


desa. Cara ini menyimpang dari tujuan, namun merupakan pendekatan
yang lebih realistis. Namun, sistem ini bisa mengurangi banyaknya
petugas, serta mengatasi kesulitan tanah-tanah yang belum diukur
secara rinci.
4. Besarnya pajak harus disetujui oleh kerajaan dan desa yang
bersangkutan.

5. Rakyat tidak boleh disuruh kerja paksa. Orang-orang yang datang


bekerja dengan sendirinya harus dibayar sesuai dengan bidang
garapannya.

6. Penanaman wajib bagi tanaman-tanaman tertentu diteruskan guna


mendapatkan devisa negara, misalnya kopi di Priangan. Pengawasan
tanaman model pelayaran hongi di Maluku, dihapuskan.

7. Perlu ada penambahan pegawai dan pegawai yang buruk dipecat.

8. Pegawai pribumi diperlakukan dengan hormat dan digaji dengan uang


(bukan tanah atau memeras rakyat). Sistem pemerintahan tidak langsung
(indirect rule) dihidupkan kembali, pengadilan dibentuk dengan sistem
dua lapis. Perkara yang menyangkut orang Eropa dan pribumi hendaklah
diadili dalam pengadilan yang berbeda, dan dipimpin oleh hakim bukan
juri.

9. Pembaruan Raffles yang menghormati hak asasi manusia dan


penghapusan perbudakan diteruskan dan diabadikan.

Rencana undang-undang yang dibuat oleh Komisi Jenderal tersebut


akhirnya disahkan pada tahun 1819. Melihat roh undang-undang baru
itu jelaslah bahwa pemerintah Belanda yang menguntungkan rakyat
Indonesia akan diberlakukan, terutama di Jawa. Jika undang-undang itu
dilaksanakan secara jujur, maka rakyat Indonesia akan terbebaskan dari
pemerintahan yang kejam, seperti yang telah dirasakan selama ini. Selain
itu, Belanda juga akan mendapat faedah yang besar. Nampaknya,
undang-undang yang bersifat liberal ini benar-benar akan dilaksanakan
sungguh- sungguh sebab salah seorang anggota Komisi Jenderal, yaitu
Gourdet A. Baron van der Capellen tinggal di Indonesia sebagai gubernur
jenderal yang baru, sekaligus yang akan melaksanakan undang- undang
yang liberal itu.

B. Masa van den Bosch dengan Sistem Tanam Paksa (1830-1870)


Berakhirnya Perang Diponegoro pada tahun 1830 membuat kas negara
Belanda mengalami kekosongan. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan
dari kehancuran, tidak ada sumber lain, selain menguras kekayaan koloni
di Jawa. Van den Bosch, sebagai gubernur jenderal yang baru melahirkan
ide menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Di bawah sistem
tanam paksa, para petani diwajibkan menanam tanaman komersial,
seperti kopi, tebu, dan nila.

Kebijakan yang dikeluarkan dikenal dengan sistem tanam paksa


(cultuurstelsel). Ketentuan sistem tanam paksa adalah sebagai berikut:

1. Penyediaan tanah untuk tanam paksa berdasarkan persetujuan


penduduk.
2. Tanah yang diberikan tidak lebih dari seperlima.
3. Tanah tersebut bebas pajak.
4. Kelebihan hasil panen akan diberikan kepada petani.
5. Pekerjaan untuk menanam paksa tidak lebih dari waktu menanam
padi.
6. Kegagalan panen yang bukan kesalahan petani merupakan tanggung
jawab pemerintah.
7. Bagi yang tidak memiliki tanah, dipekerjakan di pabrik atau
perkebunan pemerintah.
8. Pelaksanaannya diawasi oleh pemimpin pribumi.
Selama tahun-tahun pertama sistem tanam paksa telah mampu
meningkatkan penerimaan pemerintah kolonial. Melalui batig slot dalam
anggarannya, pemerintah kolonial berhasil menutupi defisit yang
diderita pemerintah Belanda maupun meningkatkan kemakmuran
bangsa Belanda. Di lain pihak, bangsa Indonesia tetap menderita dan
sengsara. Kemajuan-kemajuan yang terlihat selama ini, seperti jaringan
transpotasi bukanlah untuk memulihkan kesejahteraan rakyat, tetapi
demi untuk kepentingan kolonial itu sendiri.
Adapun berbagai penyimpangan – penyimpangan kebijakan tanam
paksa, yaitu:
1. Perjanjian penyediaan tanah dilakukan dengan paksaan.
2. Tanah yang digunakan lebih dari seperlima.
3. Pengerjaan tanah untuk tanam paksa melebihi waktu tanam padi.
4. Tanah tersebut masih dikenai pajak.
5. Kelebihan hasil panen tidak diberikan kepada petani.
6. Kegagalan panen menjadi tanggungan petani.
7. Buruh dijadikan tenaga paksaan.

Dengan demikian, pelaksanaan sistem tanam paksa sangat


memberatkan rakyat. Rakyat jadi menderita dan sengsara. Di mana-
mana terjadi bahaya kelaparan, contohnya di Cirebon (1844), Demak
(1848), dan Grobogan (1849). Sistem tanam paksa mendapat tentangan
dari golongan pendeta dan liberal.

C. Politik Etis
Politik etis dicetuskan oleh van Deventer sebagai politik balas budi
kepada rakyat Indonesia. Latar belakang pemberlakuan kebijakan politik
etis, yaitu:
1. Sistem ekonomi liberal tidak mengubah nasib rakyat.
2. Ekonomi liberal memberi keuntungan kepada Belanda, tetapi
penderitaan bagi rakyat.
3. Belanda melakukan penekanan dan penindasan terhadap rakyat.
4. Rakyat banyak yang kehilangan tanahnya.
5. Adanya kritikan keras di negeri Belanda terhadap praktik kolonial
Belanda
Adapun isi kebijakan politik etis terkenal dengan nama trias van
Deventer, yang terdiri atas:
1. Irigasi (pengairan)
2. Emigrasi (perpindahan penduduk), dan
3. Edukasi (Pendidikan).

Politik etis mengalami kegagalan, penyebabnya adalah:

1. Sistem ekonomi liberal hanya memberi keuntungan yang besar bagi


Belanda.
2. Sangat sedikit penduduk pribumi yang memperoleh keuntungan dan
kedudukan yang baik.
3. Pegawai negeri golongan pribumi hanya dijadikan alat

Politik etis yang dilaksanakan pada tahun 1900-1914, mulai


menunjukkan kegagalan hal ini disebabkan faktor – faktor berikut ini.
1. Terjadinya pandangan-pandangan yang berbeda di kalangan Belanda
sehingga para pelaksana politik etis, seperti para gubernur jenderal
mulai ragu-ragu dan tidak berani secara tegas dalam menjalankan
politik kolonialnya atas Indonesia.
2. Timbulnya kaum cerdik pandai Indonesia yang menjadi motor
pergerakan nasional Indonesia yang berhasil mempersatukan bangsa
Indonesia sebagai satu kekuatan nasional untuk memperoleh
kemerdekaan.
3. Timbulnya pergerakan nasional Indonesia sebagai wadah perjuangan
dalam lingkup Indonesia sebagai kesatuan. Hal itu dilakukan dengan
cara-cara modern dalam berorganisasi. Jadi, tidak lagi bersifat
kedaerahan dan hanya bergantung pada kharisma seorang pemimpin.
4. Timbulnya Perang Dunia I, yang banyak mengubah kebijakan dunia,
khususnya mengenai hubungan negara penjajah dan negara terjajah.
Akibatnya, Belanda terpaksa mendirikan Dewan Rakyat (Volksraad).
5. Tidak semua usaha Belanda berhasil dalam melaksanakan politik etis.
Misalnya, makin kuat mengalirnya penduduk dari luar Jawa ke Jawa
guna memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, bertentangan dengan
emigrasi yang sedang dilakukan pemerintah Belanda. Akibatnya,
muncul kegelisahan sosial yang meletus dalam wujud pemberontakan
petani yang terjadi di:

A) Jambi,
B) Cimareme, dan
C) Toli-toli.

Anda mungkin juga menyukai