Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH CULTUURSTELSEL PADA

ZAMAN KOLONIAL BELANDA

Diberdayakan oleh:
1. Muhammad Abdi Firmansyah
2. Nayyara Listyawati
3. Yoga Narotama
4. Thomas Alfa Syahputra
5. Nazwa Faradilla
Pengertian Sistem Tanam Paksa
Sistem tanam paksa atau kulvasi, merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa
menyisihkan tanah 20% bagian untuk ditanami tanaman ekspor yang laku dijual di Eropa,
khususnya kopi, tebu dan tarum (nila). Tanaman ekspor tersebut kemudia dijual dengan
harga yang ditetepkan pemerintah dan pemasukannya digunakan untuk membayar hutang
belanda sebab, kas Belanda amblas setelah Perang Jawa tahun 1830. Sebutan asli sistem
tanam paksa ini adalah Cultuurstelsel, rakyat pribumi menerjemahkannya dengan sebutan
tanam paksa dikarenakan pelaksanaannya dilakukan dengan paksaan. Peristiwa ini dilatar
belakangi karena pemerintah sedang mengalami kekosongan kas negara. Hal ini disebabkan
oleh banyaknya biaya yang harus digunakan Belanda dalam perang dengan Perancis,
membayar hutang-hutang VOC, dan mendanai Perang Diponegoro yang menyebabkan
pengeluaran tidak terkontrol. Demi mengatasi masalah ini Van den Bosch mengajukan
usulan untuk melakukan penanaman tanaman yang laku besar dijual di pasar dunia. Usulan
ini disetujui kemudian diterapkan di Hindia Belanda.

Awalan Belanda menerapkan Sistem Cultuurstelsel


(Budidaya Tanam)
Indonesia terpaksa melalukan tanam paksa dikarna adanya tekanan dari Belanda yg
mangancam akan memperkosa,memeras,dan mencabuli setiap warga yg tidak mau
melakukan perintah nya. Sistem ini mewajibkan setiap desa dan semua penduduk Pribumi
agar menyisihkan tanahnya sebesar 20 persen untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya
kopi, tebu, teh, dan tarum (nila) untuk diserahkan kepada pemerintah kolonial. Peraturan
pokok sistem tanam paksa terdapat dalam lembaran negara Staatblad Tahun 1834 No. 22.
Aturan ini diterbitkan beberapa tahun setelah tanam paksa dijalankan di Pulau Jawa. Aturan
tanam paksa yaitu:

1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka


menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor yang
dapat dijual di pasar Eropa.
2. Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan tersebut tidak boleh
melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tersebut tidak boleh
melebihi pekerjaan untuk menanam tanaman padi
4. Tanah yang disediakan penduduk tersebut bebas dari pajak tanah
5. Hasil tanaman diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harganya
ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, kelebihan tersebut
diberikan kepada pendudukan.
6. Kegagalan panen yang bukan karena kesalahan petani akan menjadi tanggungan
pemerintah.
7. Bagi yang tidak memiliki tanah akan dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-
pabrik milik pemerintah selama 65 hari setiap tahun.
8. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pemimpin-pemimpin pribumi.
Pegawai-pegawai Eropa bertindak sebagai pengawas secara umum.

Diantara kebijakan tersebut adalah:

1. Semua pegawai pemerintah menerima gaji tetap dan mereka dilarang


melakukan kegiatan perdagangan.
2. Melarang penyewaan desa, kecuali untuk memproduksi gula, garam, dan sarang
burung.
3. Melaksanakan contingenten yaitu pajak dengan penyerahan hasil bumi.
4. Menetapkan verplichte leverantie, kewajiban menjual hasil bumi hanya kepada
pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan.

ASAL USUL TERJADINYA KORUPSI PADA


ZAMAN KOLONIAL BELANDA
Pada faktanya, korupsi bisa terjadi dari hal paling sederhana, sampai yang kompleks.
Namun acap kali terabaikan dan seiring berjalannya waktu menjadi kebiasaan yang
dianggap normal. Tanpa mereka sadari, tindak korupsi sekecil apa pun sesungguhya telah
merugikan orang lain. Secara sederhana, ada dua faktor penyebab terjadinya korupsi dari
setiap segi kehidupan, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Berdasarkan fakta empirik
hasil penelitian, serta dukungan teoritik oleh para saintis sosial, menunjukkan bahwa
Korupsi di era pemerintahan Kolonial Hindia Belanda ini memang benar terjadi.

Pada tahun 1830 Belanda menghadapi sebuah krisis yang sangat besar di Eropa
mereka berhadapan dengan krisis-krisis yang terkait dengan perang dan wilayah di
Indonesia mereka juga menghadapi Perang besar yaitu Perang Diponegoro perangnya usai
dan Belanda menang pada waktu itu tetapi krisis segera terjadi karena kasus kosong bahkan
defisit utang dimana-mana Belanda menghadapi Dilema pada waktu itu bahkan Dilema
diatas dilema-dilema Yang pertama adalah bahwa Belanda sebenarnya sebagai penjajah
memungkinkan untuk merampas harta kekayaan Indonesia kalaupun mau tetapi disisi lain
Belanda tidak pernah mau mengulang Perang Diponegoro lagi perang itu sangat besar. Jadi
Belanda bersekutu dengan Mataram kemudian berperang dengan santri-santri kawasan
Utara yang dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro pertarungan selama lima tahun terjadi
di banyak klik kotak Dahsyat sekali seperti yang terjadi di Eropa ketika perang Napoleon dan
ketika pada akhirnya Belanda menang. Belanda tidak pernah mau lagi terlibat dalam perang
sedahsyat itu kalaupun Belanda harus menciptakan sebuah program yang akan mengangkat
kembali ekonominya program itu tidak boleh menyinggung sedikitpun masalah-masalah
pribumi seandainya dilema itu tidak bisa mereka atasi maka Dilema berikutnya menanti
yaitu mereka harus dinyatakan bangkrut atau mereka angkat kaki dari Indonesia 2. Pilihan
ini adalah dua pilihan yang tentu saja tidak mau Belanda ambil dan pada akhirnya datanglah
juruselamat untuk orang-orang Belanda yaitu Van Den Bosch datang ke Indonesia pada
waktu itu tahun 1829. Ide yang dia bawa itu adalah lain rento prinsip kerjanya sangat
sederhana selama ini Belanda itu narikin pajak dari rakyat dari Bupati dan sebagainya. Hai
hal yang wajar sebagai pemerintah kolonial nah uang yang selama ini ditarik Ini ganti
menjadi produk hasil pertanian atau produk kerja jadi bisa dikait-kaitkan dengan MMT
zaman sekarang ini adalah MMT nya kuno maka si pemerintah kolonial Belanda langsung
menyetujui tipe pikiran ini dan akhirnya menamai gagasannya itu adalah sebagai
Cultuurstelsel isinya sangat luar biasa yaitu:
1. Seperlima tanah rakyat mulai saat ini akan ditanami tanaman-tanaman ekspor
yang dibutuhkan oleh Belanda.
2. Kalau rakyat tidak memiliki tanah maka rakyat harus bekerja untuk kepentingan
kepentingan Belanda selama seperlima tahun kemudian
3. Bibit irigasi pupuk anti hama dan sebagainya itu akan disediakan oleh Belanda.
4. Kalau keuntungannya berlebih itu untuk rakyat tapi kalau rugi. Misalkan ada
serangan hama dan sebagainya maka Belanda yang tanggung.
Peraturannya sederhana dan kelihatannya sangat bermanfaat bagi kepentingan
Belanda, tetapi tidak merugikan rakyat Indonesia sama sekali. Benar, karena keuntungan
pengeluarannya besar dan tidak merugikan rakyat sama sekali, saya ditentukan bahwa ini
benar. Alhamdulillah, hanya dalam waktu satu tahun menerapkan sistem tersebut, Belanda
mampu melunasi seluruh utangnya hanya dalam waktu satu tahun, bahkan menutupi
seluruh kas yang kosong. Dan tidak ada yang melaporkan penyakit apa pun tahun itu, dll.
Gagasan lama tentang MMT sangat efektif, tetapi ada juga beberapa masalah yang tidak
terduga, termasuk pertama, orang menemukan bahwa mereka harus membeli atau
menambah jumlah ternak, dan kedua. Bibit diangkut sekali, dan kedua kali ditanam untuk
beradaptasi dengan musim, saat itu sebagian besar sawah tadah hujan. Dan ada satu lagi
masalah yang tidak pernah bisa terpikirkan dan tidak terpecahkan Sampai detik ini yaitu
adanya budaya feodal yang menyebabkan korupsi merajalela di Pemerintahan kala itu.
Dan ada masalah lain yang belum terpikirkan dan belum terpecahkan, yakni adanya
budaya feodal yang menyebabkan maraknya korupsi pemerintahan saat itu. Yang pertama
adalah penduduk Belanda ke Kabupaten.
“Bupati, mulai sekarang pemerintah kolonial Belanda telah menetapkan peraturan
yang disebut Cultuurstelsel, dan orang Pantuan harus menggunakan seperlima dari tanah
mereka untuk tanaman ekspor Belanda.”
Setelah itu Para Bupati pulang, dan Bupati berbincang dengan Asisten Wedana. Semua
orang berkumpul.
“Saya baru saja dipanggil untuk rapat dengan pemerintah kolonial Belanda. Mulai
sekarang, saya meminta Anda untuk mengambil alih seperempat dari tanah mereka untuk
kebutuhan Belanda. Simpan sesegera mungkin di masa depan. Yang penting adalah tanah
seperempat rakyat pemerintah kolonial Belanda! Oke?"
Setelah Wedana pulang, maka Wedana memanggil asistennya Wedana.
“Hei, Asisten Wedana, saya telah mengumpulkan semua ini. Saya menerima perintah
dari atasan saya. Baru saja saya meminta sepertiga tanah untuk kepentingan ekspor
tanaman Belanda. Oke, beri tahu semua orang, saya akan dibayar penuh di masa depan,
tolong diingat sepertiga dari tanah itu!"
Asisten Vedana datang ke kepala desa.
“Kepala Desa, saya minta maaf. Mulai sekarang, bagaimana Anda dapat
menemukan bahwa nama ini juga dijajah. Tanah setengah manusia ini bukan menanam
padi, tetapi tebu. Karena pemerintah kolonial membutuhkannya, tolong bantu.”
Kepala desa kemudian kembali ke masyarakat.
“Mulai sekarang saya minta maaf. Pemerintah kolonial Belanda yang mengatakan
bahwa mulai sekarang berhenti menanam padi dan mulailah menanam hasil perkebunan di
ladang. Tapi untuk menanam tanaman di perkebunan Belanda, saya menuntut semua tanah
dikosongkan dan diahli-fungsikan dan digunakan untuk keperluan tanaman Belanda.”
Apa masalahnya di sini? Korupsi merupakan hal yang berkesinambungan dari dulu
hingga sekarang, yang telah menyebabkan gagalnya wajib tani atau Cultuurstelsel dalam
semua teori ekonomi atau semua ide ekonomi yang diterapkan di Indonesia, ide ini
sebenarnya ide yang sangat bagus. Untung bagi Belanda, Indonesia tidak dirugikan sama
sekali, tapi faktanya korupsi ada dimana-mana setelah masuk lapangan, rakyat dirugikan,
bangsawan diuntungkan, dan Belanda diuntungkan. Belanda menyaksikan langsung proses
korupsi itu, namun Belanda malah meminta Belanda memberikan bonus besar kepada
bupati yang mengumpulkan lebih banyak hasil bumi untuk diekspor. Korupsi dan feodalisme
ini akhirnya menghancurkan mereka, karena orang-orang pada waktu itu tidak bisa
menanam banyak padi di antara mereka. Yang mati kelaparan. Apa yang terjadi? Saat
banyak orang Indonesia mati kelaparan, santai saja. Di Garut dan Tasikmalaya, orang mati
kelaparan, bahkan mayat petani tergeletak di tanah. Sawah yang tidak bisa ditanami karena
digantikan oleh masyarakat lain dilaporkan ke bupati. Bupati berkata: “Biarkan mayatnya
besok menghilang. Mayatnya memang akan hilang besok karena diseret ke hutan oleh
harimau tadi malam. Buku yang ditulis oleh Bupati Max Havelaar itu biasa saja. Dia pernah
berkata Setelah pengalaman yang sangat menjijikkan di Lebak Banten, ia melakukan
perjalanan dengan menunggang kuda, dan ladang di kiri dan kanannya, ladang menguning,
semuanya indah, anginnya indah.
"Wah.. Ternyata indah sekali Indonesia."
Tapi gak lama kemudian dia baru sadar.
"Orang-orang pada kemana?" tanya Multatuli dalam hatinya.
"Kenapa Padinya dimakan sama burung-burung? Orang-orang pada kemana
Kenapa nggak panen?" tanya Multatuli dalam hatinya lagi.
Tidak berapa lama, kemudian ketemulah sama tukang dagang cincau orang Cina.
"Hei Kamu, tadi Aku lihat lahan pertanian dan perkebunan kosong. Di mana para
petani ini kenapa tidak ada di sawah lagi?" tanya Multatuli kepada Pedagang China tersebut.
"Mencabut rumput." jawabnya.
"Di mana?" tanya Multatuli lagi.
"Mencabut rumput di rumah Bupati." jawabnya.
"APA? Kurang ajar itu semua!
Kemudian Multatuli memacu kudanya secepat kilat dan akhirnya sampai sampai ke
depan rumah Bupati.
*Suara getokan pintu keras dari Multatuli.
"BUPATI KELUAR!!" teriak Multatuli.
Yang menemui suara dari Multatuli adalah Asisten Residennya.
"DI MANA BUPATI KAMU?" tanya Multatuli dengan suara lantang.
"Oh iya Pak, sebentar Saya panggilkan. Silahkan masuk dulu Pak." kata Asisten
Residennya.
Kemudian Multatuli masuk ke Rumah dan saat sampai di halaman Rumah Bupati yang
luas, Multatuli melihat orang-orang mencabuti rumput-rumput.
"HEI, KENAPA KALIAN DI SINI? SUDAH PERGI DAN PANEN SEKARANG!" perintah
Multatuli.
Namun perintah Multatuli tidak dibantah karena orang-orang Indonesia pada saat itu
sangat takut kepada Bupati namun tidak takut pada Multatuli dari Belanda. Kemudian
Bupatinya keluar dan Multatuli memerintahkan agar orang-orang yang mencabut rumput
sekarang untuk panen karena hasil panennya dimakan oleh ribuan burung yang
bertebangan. Lalu Bupati memerintahkan agar berhenti mencabut rumput dan pergi untuk
panen.
"Ini perintah baru! Kalian tak usah mencabut rumput! Ayo sekarang waktunya panen
tuh hasil pertanian dan perkebunan!" perintah Bupati tersebut setelah diperintah oleh
Multatuli.
Kemudian orang-orang tersebut mulai berhenti mencabut rumput dan mulai
memanen hasil panennya. Diungkap dari berbagai sumber, saat zaman Daendels banyaknya
Gubernur yang korupsi sehingga Gaji pekerja Jalan Anyer-Panarukan tidak di bayarkan. Pada
1749, Parlemen Belanda mengeluarkan undang-undang yang menetapkan bahwa Raja
Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC. Sehingga anggota pengurus yang sebelumnya
dipilih oleh parlemen dan pemegang saham, menjadi tanggung jawab sepenuhnya raja. Raja
juga menjadi panglima tertinggi tentara VOC. Pada 1749, Parlemen Belanda mengeluarkan
undang-undang yang menetapkan bahwa Raja Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC.
Sehingga anggota pengurus yang sebelumnya dipilih oleh parlemen dan pemegang saham,
menjadi tanggung jawab sepenuhnya raja. Raja juga menjado panglima tertinggi tentara
VOC. Banyaknya pejabat VOC yang terlibat korupsi menyebabkan beban utang VOC
mebnjadi semakin banyak, sehingga VOC sendiri bangkrut dan gulung tikar. Dalam kondisi
bangkrut, VOC tidak dapat berbuat banyak. Pemerintah Belanda menganggap keberadaan
VOC sebagai kongsi dagang di negara jajahan tidak dapat dilanjutkan lagi. Sehingga pada
tanggal 31 Desember 1799 VOC dinyatakan bubar. Semua utang piutang dan segala milik
VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Gubernur Jenderal VOC terakhir, Van
Overstraten masih bertanggung jawab tentang keadaan di Hindia Belanda dan bertugas
mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.

Question and Answer


1. Pertanyaan : “Tantangan terbesar dari Perang Padri?”
Jawaban : “Perang Padri berlangsung di Sumatra Barat dan sekitarnya terutama di
kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini
merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan
dalam masalah adat sebelum berubah menjadi peperangan melawan
penjajahan. Jadi awalnya itu karena pertentangan adat antara kaum
ulama dan masyarakat, kemudian Pemerintahan Belanda ikut campur.
Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya Mereka bersatu dan
memutuskan untuk melawan Pemerintahan Kolonial Belanda.”
2. Pertanyaan : “Penyebab VOC runtuh.”
Jawaban : “Para pejabat VOC melakukan korupsi. Faktor politis yang sekaligus
faktor utama kongsi dagang Belanda tersebut dibubarkan yaitu
banyaknya pejabat VOC yang melakukan praktik korupsi. Dan sudah
dijelaskan pada awal presentasi kalau yang mengkorupsinya dari awal
Cultuurstelsel hingga Jalan Tol Anyer-Panarukan.”

DAFTAR REFRENSI
Guru Gembul Channel. (6 Januari 2021). Eps 199 | SEJARAH MEMBUKTIKAN SISTEM
EKONOMI TERBAIK DI INDONESIA. Diakses terakhir pada tanggal 25 September 2021
https://www.youtube.com/watch?v=SNC1391VFkw&ab
Guru Gembul Channel. (1 September 2019). Eps 38 | PALSU: SEJARAH PENJAJAHAN DI
INDONESIA?. Diakses terakhir pada tanggal 28 September 2021
https://www.youtube.com/watch?v=7GWsdok2Pm4
Merdeka.com. (13 Maret 2021). Penyebab Terjadinya Korupsi dari Hal Kecil, Serta Definisi &
Tantangan Memberantasnya. Diakses terakhir pada tanggal 30 September 2021
https://merdeka.com/trending/penyebab-terjadinya-korupsi-dari-hal-kecil-serta-
definisi-amp-tantangan-memberantasnya-kln.html
Communal Land Tenure in Nineteenth-century Java: The Formation of Western Images of
the Eastern Village Community. Department of Anthropology, Research School of
Pacific and Asian Studies, Australian National University. ISBN 978-0-7315-3200-1.
Retrieved 17 July 2020.
From Section 5 of Some Notes on Java and its Administration by the Dutch Archived 21 April
2008 at the Wayback Machine, by Henry Scott Boys, Late Bengal Civil Service,
Allahabad, Pioneer Press, 1892.
Schendel, Willem van (17 June 2016). Embedding Agricultural Commodities: Using Historical
Evidence, 1840s–1940s, edited by Willem van Schendel, from google (cultivation
system java famine) result 10. ISBN 9781317144977.
itton, Patrick (2003). Indonesia. Melbourne: Lonely Planet. pp. 23–24. ISBN 1-74059-154-2.
Boys, Henry Scott (1892). Some Notes on Java and its Administration by the Dutch.
Allahabad: Pioneer Press. Section 5.
Tom Phijffer, Het gelijk van Multatuli, blz. 42, Amsterdam, 2000, Bas Lubberhuizen, ISBN 90
76314 42X
Universiteit van Wenen, Landeskunde
Tom Phijffer, Het gelijk van Multatuli, blz. 83, Amsterdam, 2000, Bas Lubberhuizen, ISBN 90
76314 42X
Cultuurstelsel en liberalisme, www.nationaalarchief.nl
Friso Wielenga: Geschiedenis van Nederland: van de Opstand tot heden, p. 264
Jean Stengers, "La genèse d'une pensée coloniale: Léopold II et le modèle hollandais", in:
Tijdschrift voor Geschiedenis, XC, 1977, p. 47-71
Aangehaald in Johan Op de Beeck, Leopold II. Het hele verhaal, 2020, p. 96
Cuisinier, Jeanne (1959). "La Guerre des Padri (1803-1838-1845)". Archives de Sociologie des
Religions. Centre National de la Recherche Scientifique.
Sejarah. Yudhistira Ghalia Indonesia. ISBN 978-979-746-801-9.
Azra, Azyumardi (2004). The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of
Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth
Centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.
Ampera Salim, Zulkifli (2005). Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer. Citra
Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.
Nain, Sjafnir Aboe (2004). Memorie Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM.
Raffles, Sophia (1830). Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford
Raffles. London: J. Murray.
Amran, Rusli (1981). Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan.
G. Kepper, (1900). Wapenfeiten van Het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. Den Haag:
M.M. Cuvee.
Episoden Uit Geschiedenis der Nederlandsche Krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus.
Indisch Magazijn 12/1, No. 7. 1844:116.
H. M. Lange (1852). Het Nederlandsch Oost-Indisch leger ter Westkust van Sumatra (1819-
1845). ‘S Hertogenbosch: Gebroeder Muller. I: 20-1
Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra,
1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.
P. C. Molhuysen en P.J. Blok (1911). Nieuw Nederlands Biografisch Woordenboek. Deel 2,
Bladzijde 1148.
Nederlandse Staatscourant (10 Juni 1825).
Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, dan Mohamad, Maznah (2009). Muslim Non Muslim
Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia, Bab 6: Not Muslim,
Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau
Society by Mina Elvira. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-874-0
Munasifah (2007). Ayo Mengenal Indonesia: Sumatra 1. Jakarta: CV. Pamularsih. hlm. 51.
ISBN 978-979-1494-31-1
Mardjani Martamin (1984). Tuanku Imam Bonjol. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional.
Zakariya, Hafiz (2006). Islamic reform in colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid
Shaykh al-Hadi. ProQuest. ISBN 0-542-86357-X.
Nederlandse Staatscourant (17-06-1833).
Said, Mohammad (1961). Dari halaman2 terlepas dalam catatan tentang tokoh
Singamangaradja XII. Waspada.
Abdullah, Taufik (1966). Adat dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau.
Indonesia. No. 2, 1-24.
Nederlandse Staatscourant (29-05-1833).
Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat Indonesia (1964). Sejarah Singkat Perjuangan
Bersenjata Bangsa Indonesia. Staf Angkatan Bersenjata.
J.C. van Rijnveld (1841). De Merkwaardige Terugtocht van Pisang op Agam. Militaire
Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
Abdul Qadir Djaelani, (1999), Perang sabil versus perang salib: umat Islam melawan
penjajah Kristen Portugis dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-
Munawwarah.
Boelhouwer, J.C. (1841). Herinneringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende
de Jaren 1831-1834. Den Haag: Erven Doorman.
Tempointeraktif, 15 Oktober 2007. Dari Catatan Harian Bonjol.
Journaal van de Expeditie Naar Padang Onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837
Gehouden Door de Majoor Sous-Chief van Den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis.
hlm. 59-183.
Tate, D. J. M. (1971). The Making of Modern South-East Asia: The European conquest.
Oxford University Press.
G. Teitler (2004). Het Einde Padri Oorlog: Het Beleg en de Vermeestering van Bondjol 1834-
1837: Een Bronnenpublicatie. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. hlm. 59-183.
Hadler, Jeffrey (2008/08). "A Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia:
Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History". The Journal of Asian Studies (dalam
bahasa Inggris). 67 (3): 971–1010. doi:10.1017/S0021911808001228. ISSN 1752-0401.
Halaman 986-989, 1002
IMAM BONDJOL, TUANKU, and NAALI, SUTAN CANIAGO. 1925. Naskah Tuanku Imam
Bondjol [manuscript in Arabic-script Minangkabau]. University of California, Berkeley.
Doe Library, DS646.15.S76.I43.
IMAM BONDJOL, TUANKU. 2004. Naskah Tuanku Imam Bonjol. Transliterator Syafnir Aboe
Nain. Padang: PPIM.
Westenenk, L. C., (1913), Sumatra Illustrated Tourist Guide: A Fourteen Days’ Trip in the
Padang Highlands, Batavia (Weltevreden): Official Tourist Bureau.
838. Het verhaal van de overwinning van Bondjol. De Avondbode. (26-03-1838)
1839. Bondjol. Tijdschrift voor Nederlands Indië. 456-458.
1840. J.C. van Rijneveld. Veldtocht der Nederlandse troepen op het eiland Celebes in de
jaren 1824-1825. Militaire Spectator. Bladzijde 221-240.
1841. J.C. Boelhouwer. Herinneringen aan mijn tijd op Sumatra's Westkust gedurende de
jaren 1831-1834. Erven Doorman.
1841. J.C. van Rijneveld. De merkwaardige terugtocht van Pisang op Agam. Militaire
Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
1842. A. Meis. Verhaal van de Palembangse Oorlog van 1819 tot 1821. Militaire Spectator.
Bladzijde 182-189.
1844. H.M. Lange. Verhaal van de krijgsgebeurtenissen in het landschap Rauw, aan de
westkust van Sumatra, gedurende het jaar 1833, en van de heldhaftige verdediging
van het fort Amerongen. Militaire Spectator. Bladzijde 7-15, 23-33, 53-61, 81-83 en
119-125.
1850. H.M. Lange. 'Hulde aan de nagedachtenis van hen, die sinds de vestiging van het
Koninklijk Nederlands gezag in Oost-Indië, roemvol gesneuveld zijn. Militaire
Spectator. Bladzijde 464-475.
1876. A.J.A. Gerlach. Neerlands heldenfeiten in Oost-Indië. Bewerkt naar Les fastes
militaires des indes Orientales. Deel II. Gebroeders Belinfante. Den Haag.
1900. G. Kepper. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. M.M. Cuvee,
Den Haag.

TERIMA KASIH SPESIAL KEPADA


1. Muhammad Abdi Firmansyah – Penyedia Literatur dan Buku, Editor, Penulis, Rewrite
the Story According to the Times, Penyelaras Jalan Cerita, Answering of Questions
dan menyatukan Makalah.
2. Nayyara Listyawati – Penulis Latar Belakang dan Sejarah Cultuurstelsel serta Print
Out again.
3. Thomas Alfa Syahputra – Mencari Penyebab Korupsi
4. Nazwa Faradilla – Kebijakan Cultuurstelsel
5. Yoga Narotama – Kerugian akibat Culturstelsel

Anda mungkin juga menyukai