Sejarah singkat.
Tahun 1816 Raffles mengakhiri pemerintahannya di Hindia. Pemerintah Inggris sebenarnya
telah menunjuk John Fendall untuk menggantikan Raffles. Tetapi pada tahun 1814 sudah
diadakan Konvensi London. Salah satu isi Konvensi London adalah Inggris harus
mengembalikan tanah jajahan di Hindia kepada Belanda. Setelah kembali ke tangan Belanda,
tanah Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi nama Komisaris Jenderal. Komisaris
Jenderal ini dibentuk oleh Pangeran Willem VI yang terdiri atas tiga orang, yakni: Cornelis
Theodorus Elout (ketua), Arnold Ardiaan Buyskes (anggota), dan Alexander Gerard Philip
Baron Van der Capellen (anggota). Sebagai rambu-rambu pelaksanaan pemerintahan di
negeri jajahan Pangeran Willem VI mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah untuk negeri
jajahan (Regerings Reglement) pada tahun 1815. Salah satu pasal dari undang-undang
tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan pertanian dilakukan secara bebas. Hal ini
menunjukkan bahwa ada relevansi dengan keinginan kaum liberal sebagaimana diusulkan
oleh Dirk van Hogendorp.
Akhirnya pada tanggal 22 Desember 1818 Pemerintah memberlakukan UU yang menegaskan
bahwa penguasa tertinggi di tanah jajahan adalah gubernur jenderal. Pada 1919, kepala
pemerintahan Hindia Belanda mulai dipegang oleh Gubernur Jenderal, yaitu Godert
Alexander Gerard Philip Baronellen van der Capellen (1816-1824).
Latar Belakang
1. Di Eropa Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan pada masa kejayaan Napoleon,
sehingga menghabiskan biaya yang besar.
2. Terjadinya Perang kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari
Belanda pada tahun 1830.
3. Terjadi Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perlawanan rakyat jajahan
termahal bagi Belanda. Perang Diponegoro menghabiskan biaya kurang lebih 20.000.000
Gulden.
4. Kas negara Belanda kosong dan hutang yang ditanggung Belanda cukup berat.
5. Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak.
6. Kegagalan usaha mempraktekkan gagasan liberal (1816-1830) dalam mengeksploitasi
tanah jajahan untuk memberikan keuntungan besar terhadap negeri induk.
Sejarah Singkat
Pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia, terdapat sebuah sistem politik bernama sistem
tanam paksa (Cultuurstelsel) yang mewajibkan setiap desa di Indonesia saat itu menyisihkan
sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, dan
tarum (nila) oleh pemerintahan belanda. Sistem tanam paksa tersebut menyebabkan
penderitaan bagi bangsa Indonesia.
Sejak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan sistem tanam paksa di Indonesia, banyak
menimbulkan penderitaan bagi rakyat pribumi seperti kemiskinan, kelaparan bahkan
kematian. Selain itu banyak juga penduduk yang meninggalkan tanah kelahirannya hanya
sekedar untuk menghindari diri dari sistem tanam paksa yang dijalankan oleh pemerintah
kolonial Belanda.
Pada umumnya, rakyat di Belanda tidak tahu kekejaman di daerah tanah jajahan akibat tanam
paksa tapi hal ini meningkatkan kemakmuran bagi rakyat belanda. Kemudian pada tahun
1850, berita kekejaman yang dilakukan pemerintah kolonial belanda terdengar oleh rakyat
belanda, sehingga muncul perdebatan diantara para tokoh di negeri Belanda yang peduli
terhadap nasib bangsa Indonesia akibat dari kebijakan tanam paksa.
Untuk mengkritik politik tanam paksa, kaum Etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft
(wartawan Koran De Locomotief) dan Conrad Theodore van Deventer (politikus) ternyata
membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang
terbelakang dengan mengusulkan politik etis.