Anda di halaman 1dari 10

Tugas Sejarah

Nama kelompok: Futri Valentine S


Hana Nur Shina
Nasywa Nisrina Raudah
Rahma Rizky
Rahmi Sakinah
Priskilla Margaretha
Yolanda Angelica
Kelas: XI IPA 1

1. Masa Komisaris Jendral 1816 - 1830


Pada kurun waktu 1816-1830, pertentangan antara kaum liberal dan kaum konservatif terus
berlangsung.

Latar Belakang Sejarah


Konvensi London (1814) mengembalikan semua jajahan Belanda yang dilakukan semenjak
1803, kecuali Afrika Selatan dan Ceylon juga terkecuali karena telah diserahkan kepada
Inggris semenjak 1802 (Amiens). Untuk serah terima ditunjuk tiga orang Komisaris Jendral
yang terdiri dari Cornelis Theodorus Elout, Baron Van Der Capellen ( ahli kenegaraan
dengan reputasi yang tinggi) dan A.A.Buyskes (sebelumnya Letnan Gubenur Jendral di masa
Daendels) dan komisaris-komisaris ini dibantu oleh H.W.Muntinghe. Elout seorang liberal,
humatarian dan pengikut pandangan Adam Smith diangkat menjadi  ketua
Mereka dilengkapi UU pemerintahan (1815) meniru Charter 1803 yang didasarkan pada
kebebasan bertanam. Dalam naskah serah terima dinyatakan bahwa Komisaris Jendral diberi
kekuasaan atas nama raja dan berhak memerintah dan menjalankan pemerintahan.
Pemerintahan baru dimulai tahun 1816 diberi nama pemerintahan Hindia Belanda
( Nederlands Indie).

Sejarah singkat.
Tahun 1816 Raffles mengakhiri pemerintahannya di Hindia. Pemerintah Inggris sebenarnya
telah menunjuk John Fendall untuk menggantikan Raffles. Tetapi pada tahun 1814 sudah
diadakan Konvensi London. Salah satu isi Konvensi London adalah Inggris harus
mengembalikan tanah jajahan di Hindia kepada Belanda. Setelah kembali ke tangan Belanda,
tanah Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi nama Komisaris Jenderal. Komisaris
Jenderal ini dibentuk oleh Pangeran Willem VI yang terdiri atas tiga orang, yakni: Cornelis
Theodorus Elout (ketua), Arnold Ardiaan Buyskes (anggota), dan Alexander Gerard Philip
Baron Van der Capellen (anggota). Sebagai rambu-rambu pelaksanaan pemerintahan di
negeri jajahan Pangeran Willem VI mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah untuk negeri
jajahan (Regerings Reglement) pada tahun 1815. Salah satu pasal dari undang-undang
tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan pertanian dilakukan secara bebas. Hal ini
menunjukkan bahwa ada relevansi dengan keinginan kaum liberal sebagaimana diusulkan
oleh Dirk van Hogendorp.
Akhirnya pada tanggal 22 Desember 1818 Pemerintah memberlakukan UU yang menegaskan
bahwa penguasa tertinggi di tanah jajahan adalah gubernur jenderal. Pada 1919, kepala
pemerintahan Hindia Belanda mulai dipegang oleh Gubernur Jenderal, yaitu Godert
Alexander Gerard Philip Baronellen van der Capellen (1816-1824).

Dampak Bagi Belanda


Di Eropa, Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan pada masa kejayaan Napoleon
Bonaparte sehingga menghabiskan biaya yang amat besar.Terjadinya Perang Kemerdekaan
Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830.Terjadi Perang
Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda.
Perang Diponegoro menghabiskan biaya sekitar 20.000.000 gulden.Kas Negara Belanda
kosong dan hutang yang ditanggung Belanda cukup berat.Pemasukkan uang dari penanaman
kopi tidak banyak.Gagal mempraktikkan gagasan liberal (1816-1830) berarti gagal juga
mengeksploitasi tanah jajahan untuk memberikan 

Dampak bagi Indonesia


1. banyak tanah yang terbengkalai, sehingga panen gagal.
2. rakyat makin menderita.
3. wabah penyakit merajalela.
4. bahaya kelaparan yang melanda Cirebon memaksa rakyat mengungsi ke daerah lain untuk
menyelamatkan diri.
5. kelaparan hebat di Grobogan, sehingga banyak yang mengalami kematian dan
menyebabkan jumlah penduduk menurun tajam.

2. Tanam paksa (1830-1870)


Tanam paksa atau Sistem Kulvasi, Sistem Budidaya atau Cultuurstelsel merupakan peraturan
yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang
mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi
ekspor, khususnya kopi, tebu dan tarum (nila). Penggagas sistem tanam paksa digagas oleh
van den Bosch

Latar Belakang
1. Di Eropa Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan pada masa kejayaan Napoleon,
sehingga menghabiskan biaya yang besar.
2. Terjadinya Perang kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari
Belanda pada tahun 1830.
3. Terjadi Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perlawanan rakyat jajahan
termahal bagi Belanda. Perang Diponegoro menghabiskan biaya kurang lebih 20.000.000
Gulden.
4. Kas negara Belanda kosong dan hutang yang ditanggung Belanda cukup berat.
5. Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak.
6. Kegagalan usaha mempraktekkan gagasan liberal (1816-1830) dalam mengeksploitasi
tanah jajahan untuk memberikan keuntungan besar terhadap negeri induk.

Sejarah Singkat Pelaksanaan Periode


Tahun (1825-1830) Belanda telah berhasil menumpas pemberontakan yang terjadi di Jawa
dalam Perang Diponegoro. Hal itu menyebabkan keuangan Belanda menjadi surut bahkan
memiliki utang. Oleh sebab itu Raja Wiliam 1 mengutus Johannes van den Bosch untuk
mencari cara menghasilkan uang dari sumber daya di Indonesia.
Lahirlah Cultuurstelsel, para petani sangat menderita kala itu karena alih-alih mereka
berfokus menanam padi untuk makan sendiri, mereka malah harus menanam tanaman ekspor
yang harus diserahkan ke pemerintah kolonial.
Pelanggarnya dapat dikenakan hukuman fisik yang amat berat. Jenis-jenis tanaman yang
wajib ditanam, yaitu tebu, nila, teh, tembakau, kayu manis, kapas, merica (lada), dan kopi.
Menurut van den Bosch, cultuur stelsel didasarkan atas hokum adat yang menyatakan bahwa
barang siapa berkuasa di suatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya.Karena raja-raja
di Indonesia sudah takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai
pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil
tanahnya kepada pemerintah Belanda.

Dampak Bagi Bangsa Belanda


Dibalik semua kerugian dan kesulitan yang dialami rakyat Indonesia, Belanda mendapatkan
keuntungan besar sekali dari tanam paksa tersebut yaitu:
• Kas kerajaan yang semula kosong bahkan minus menjadi penuh dan mendapatkan
keuntungan berlipat – lipat.
• Pendapatan dari tanam paksa melebihi anggaran belanja kerajaan.
• Hutang – hutang yang besar segera terlunasi.
• Perdagangan dan kegiatan ekonomi Belanda berkembang pesat sehingga Amsterdam sukses
menjadi kota pusat perdagangan dunia.

Dampak Bagi Bangsa Indonesia


Pelaksanaan system tanam paksa memberikan dampak bagi rakyat Indonesia, baik positif
maupun negatif.
I) Dampak Positif
Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang berorientasi impor.
II) Dampak Negatif
• Kemiskinan serta penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
• Beban pajak yang berat.
• Pertanian, khususnya padi, banyak mengalami kegagalan panen.
• Kelaparan dan kematian terjadi di banyak tempat, seperti di Cirebon (1843) sebagai akibat
dari pemungutan pajak tambahan dalam bentuk beras, serta di Demak (1848) dan di
Grobogan (1849-1850) sebagai akibat kegagalan panen.
• Jumlah penduduk Indonesia menurun dengan sangat drastis.

3. Masa Sistem Ekonomi Liberal (1870-1990)


Yang dimaksud dengan sistem ekonomi liberal adalah sebuah sistem ekonomi yang
memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya bagi rakyatnya. Rakyat sebuah negara yang
menganut sistem ekonomi liberal bebas untuk melakukan kegiatan ekonomi dengan tujuan
untuk mendapatkan keuntungan. Semua keputusan ekonomi berhak untuk ditentukan sendiri
oleh masing-masing individunya. Teori ini dikemukakan oleh Adam Smith.

Latar belakang sejarah


Revolusi 1848 di Perancis bergema juga di Belanda. Partai Liberalisme menang, hingga ide-
ide liberalisme makin berkumandang. Ajaran liberalisme di bidang ekonomi menghendaki
dilaksanakannya usaha-usaha bebas dan pembebasan kegiatan ekonomi dari campur tangan
negara atau pemerintah. Dengan begitu liberalisme menghendaki dihapuskannya Culturstelsel
(tanam paksa). Daiantara mereka yang termasuk golongan liberal adalah para pengusaha.
Disamping golongan liberal, terdapat juga golongan Humanis, yang juga menghendaki
dihapuskannya sistem tanam paksa. Mereka melihat betapa menyedihkannya rakyat
Indonesia akibat diterapkannya tanam paksa itu. Berkat adari adanya perjuangan kaum liberal
dan humanis itu, tanam paksa sedikit demi sedikit terhapuskan. Pada tahun 1870 dapat
dianggap sebagai batas akhir dari tanam paksa. Pada tahun itu dikeluarkan undang-undang
yang penting yaitu undang-undang agraria yang mengatur cara-cara pengusaha swasta
memperoleh tanah. Dan juga undang-undang gula yang mengatur pemindahan perusahaan-
perusahaan gula ke tangan swasta. Dengan berakhirnya culturstelsel (tanam paksa), maka
dilaksanakanlah di Indonesia politik kolonial liberal

Sejarah Masa Sistem Ekonomi Liberal (1870-1900)


Periode sejarah Indonesia 1870 – 1900 sering disebut sebagai masa liberalimse. Pada
periode ini kaum pengusaha dan modal swasta diberikan peluang sepenuhnya untuk
menanamkan modalnya dalam berbagai usaha kegiatan di Indonesia terutama dalam industri
– industri perkebunan besar baik jawa maupun daerah – daerah luar jawa. Selama masa
liberalisme ini modal swasta dari Belanda dan negara – negara Eropa lainnya telah berhasil
mendirikan berbagai perkebunan kopi, teh, gula dan kina yang besar di Deli, Sumatera
Timur.
Pada tahun 1870 dikeluarkan Undang – Undang Agraria, yang bertujuan untuk melindungi
petani – petani Indonesia terhadap kehilangan hak milik atas tanah mereka terhadap irang –
orang asing. Sejak tahun ini industri – industri perkebunan Eropa mulai masuk ke Indonesia.
Terdapat perbedaan antara tanam paksa (culturestelsel) dengan industri – industri perkebunan
swasta pada masa liberal yaitu terlatak pada bahwa dalam masa industri perkebunan liberal
rakyat Indonesia bebas dalam menggunakan tenaganya dan tanahnya, sedang dalam tanam
paksa kedua alat produksi itu dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah. Seiring berkembangnya
dunia pertumbuhan industri Indonesia juga berkembang dengan adanya terussan Suez pada
tahun 1869 yasng memperpendek jarak antara Eropa dengan Asia.
Zaman liberal mengakibatkan ekonomi uang masuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia
terutama Jawa. Penduduk pribumi mulai menyewakan tanah – tanahnya kepada perusahaan –
perusahaan swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan – perkebunan besar. Masuknya
pengaruh ekonomi Barat juga melalui impor barang – barang dari negeri Belanda. Hilangnya
matapencaharian penduduk di sector tradisional mendorong lebih jauh pengaruh system
ekonomi uang, karena memaksa penduduk untuk mencari pekerjaan pada perkebunan –
perkebunan besar milik orang Belanda atau orang Eropa lainnya. Lapangan kerja baru yang
tumbuh seiring dengan berkembangnya industri – industri perkebunan besar di Indonesia
adalah perdagangan perantara.
Perkembangan Ekonomi Hindia – Belanda
Kaum liberal berharap bahwa dengan dibebaskannya kehidupan ekonomi dari segala campur
tangan pemerintah serta penghapusan segala unsure paksaan dari kehidupan ekonomi akan
mendorong perkembangan ekonomi Hindia Belanda. Dengan Undang – undang Agraria 1870
para pengusaha Belanda dan Eropa dapat menyewa tanah dari pemerintah atau penduduk
Jawa untuk membuka perkebunan – perkebunan besar.
Setelah tahun 1885 perkembangan tanaman perdagangan mulai berjalan lamban dasn
terhambat, karena jatuhnya harga – harga gula dan kopi di pasaran dunia. Dalam tahun 1891
harga tembakau turun drastis, sehingga membahayakan perkebunan – perkebunan tembakau
di Deli, Sumatera Timur. Krisis tahun 1885 mengakibatkan terjadinya reorganisasi dalam
kehidupan ekonomi Hindia – Belanda. Perkebunan – perkebunan besar tidak lagi sebagai
usaha milik perseorangan, tetapi direorganisasi sebagai perseroan – perseroan terbatas.
Pimpinan perkebunan bukan lagi pemiliknya secara langsung, tetapi oleh seorang manager,
artinya seorang pegawai yang digaji dan langsung bertanggungjawab kepada direksi
perkebunan yang biasa dipilih dan diangkat oleh pemilik saham.
Merosotnya Kesejahteraan Rakyat Indonesia
Krisis perdagangan tahun 1885 juga mempersempit penghasilan penduduk jawa, baik uang
berupa upah bagi pekerjaan di perkebunan – perkebunan maupun yang berupa sewa tanah.
Politik kolonial baru yaitu kolonial – liberal, semakin membuat rakyat menjadi miskin. Hal
ini disebabkan oleh beberapa faktor :
Kemakmuran rakyat ditentukan oleh perbandingan antara jumlah penduduk dan faktor –
faktor produksi lainnya seperti tanah dan modal.
Tingkat kemajuan rakyat belum begitu tinggi, akibatnya mereka menjadi umpan kaum
kapitalis. Mereka belum mengenal sarekat kerja dan koperasi untuk memperkuat kedudukan
mereka.
Penghasilan rakyat masih diperkecil oleh system voorschot (uang muka)
Kepada rakyat Jawa dipikulkan the burden of empire (pajak /beban kerajaan). Sebagai akibat
politik tidak campur tangan Belanda terhadap daerah luar jawa, pulau Jawa harus membiayai
ongkos – ongkos pemerintahan gubernmen diseluruh Indonesia.
Keuntungan mengalir di negeri Belanda, pemerintah juga tidak menarik pajak dari
keuntungan – keuntungan yang didapat para pengusaha kapaitalis. Pemerintah menganut
system pajak regresif, yang sangat memberatkan golongan berpendapatan rendah.
Meskipun system tanam paksa telah dihapuskan tetapi politik batig – slot belum ditinggalkan.
Krisis tahun 1885 mengakibatkan terjadinya pinciutan dalam kegiatan pengusaha –
pengusaha perkebunan gula, yang berarti menurunnya upah kerja sewa tanah bagi penduduk.
Krisis ini diperberat dengan timbulnya penyakit sereh pada tanaman tebu, sehingga akhirnya
pulau Jawa dalam waktu lama dijauhi oleh kaum kapitalis Belanda.

.Dampaknya bagi Belanda


Memberikan keuntungan yang sangat besar kepada kaum swasta Belanda dan
pemerintah colonial Belanda. Hasil-hasil produksi perkebunan dan pertambangan mengalir ke
negeri Belanda. Negeri Belanda juga menjadi pusat perdagangan hasil dari tanah jajajahan.
Dampaknya bagi bangsa Indonesia
Pelaksanaan Sistem Ekonomi Liberal di Indonesia mulai dilakukan Belanda sekitar
tahun 1870, bebarengan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria 1870. Hal ini
berkaitan dengan kemenangan kaum liberal di parlemen Belanda. Kaum liberal
menginginkan berkurangnya campur tangan pemerintah dalam bidang ekonomi, serta
member kebebasan bagi pengusaha swasta untuk lebih berperan. Oleh karena itu maka, Sitem
Tanam Paksa yang diterapkan sebelumnya, secara bertahap diganti dengan Sistem Ekonomi
Liberal atau juga sering disebut sebagai Politik Pintu Terbuka.
Pengaruh yang muncul pasca dilaksanakannya sistem Ekonomi Liberal oleh Belanda di
Indonesia:
1. Meningkatnya jumlah pengusaha asing yang ingin menanamkan modalnya di Hindia
Belanda
2. Banyak bermunculan perkebunan-perkebunan swasta asing di Hindia Belanda seperti
perkebunan tembakau di Deli,Jember, Kedu, Klaten dan Kediri
3. Berkembangnya kegiatan pertambangan di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Pulau
Bangka
4. Terjadinya pengerahan tenaga kerja secara besar-besaran untuk memenuhi pekerja di
perkebunan
5. Terjadinya eksploitasi tanah secara besar-besaran.
6. Kekayaan pulau Jawa tidak lagi mengalir ke kas pemerintah, tetapi sebaliknya
menguntungkan kelas menengah Belanda yang dewasa itu menguasai arus politik di
Negeri Belanda
7. Zaman liberal mengakibatkan ekonomi uang masuk dalam kehidupan masyarakat
Indonesia terutama Jawa
Politik pintu terbuka ternyata tidak membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Van
Deventer mengecam pemerintah Belanda yang tidak memisahkan keuangan negeri induk dan
negeri jajahan. Kaum liberal dianggap hanya   mementingkan prinsip kebebasan untuk
mencari keuntungan  tanpa memerhatikan   nasib rakyat. Contohnya perkebunan tebu yang
mengeksploitasi tenaga rakyat secara besar-besaran.
Dampak politik pintu terbuka bagi Belanda sangat  besar. Negeri Belanda mencapai
kemakmuran yang sangat pesat. Sementara rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan
menderita. Oleh karena itu, van Deventer mengajukan politik yang diperjuangkan untuk
kesejahteraan rakyat. Politik ini dikenal dengan politik etis atau politik balas budi karena
Belanda dianggap mempunyai hutang budi kepada rakyat Indonesia yang dianggap telah
membantu meningkatkan kemakmuran negeri Belanda.

4. Politik Etis (1900-1942)


Politik Etis atau Politik Balas Budi (Belanda: Ethische Politiek) adalah suatu pemikiran yang
menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan
bumiputera. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Munculnya kaum
Etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van
Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan
nasib para bumiputera yang terbelakang.
Latar belakang.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato
pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan
hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina
menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam
program Trias Van deventer yang meliputi:
1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan
bendungan untuk keperluan pertanian.
2. Imigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.
3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan
tulisan-tulisan Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van
Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.
Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun
irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan
penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan
yang berarti bagi bangsa Indonesia.
Politik Etis, mulai muncul kalangan terdidik dari rakyat Indonesia, seiring dengan dibukanya
sekolah-sekolah dengan sistem pendidikan barat, seperti STOVIA (sekolah Kedokteran
Hindai Belanda) di Batavia (Jakarta). Namun pendidikan ini hanya dinikmati oleh kalangan
elit atau atas saja. Misalnya adalah para priyayi atau bangsawan. Sementara kaum rakyat
kecil hanya sedikit yang menikmati.
Selain pendidikan, Politik Etis juga membangun irigasi, yang memingkinkan pengairan
pertanian dan perkebunan, sehingga bisa ditanami oleh pada musim kering. Irigasi ini
menyebabkan peningkatan produksi pertanian dan perkebunan.
Namun, irigasi ini kebanyakan dibangun di perkebunan Belanda, sehingga rakyat kecil hanya
sedikit saja menikmati irigasi ini.
Program ketiga, transmigrasi, memindahkan penduduk dari wilayah yang padat di Jawa ke
Sumatera. namun pemindahan penduduk ini dilakukan hanya untuk memberikan tenaga kerja
bagi perkebunan Belanda. Transmigran yang menolak bekerja atau yang dianggap malas akan
dihukum dengan keras. Akibatnya, para pekerja ini menjadi buruh yang bekerja keras dan
memenderit

Sejarah Singkat
Pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia, terdapat sebuah sistem politik bernama sistem
tanam paksa (Cultuurstelsel) yang mewajibkan setiap desa di Indonesia saat itu menyisihkan
sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, dan
tarum (nila) oleh pemerintahan belanda. Sistem tanam paksa tersebut menyebabkan
penderitaan bagi bangsa Indonesia.
Sejak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan sistem tanam paksa di Indonesia, banyak
menimbulkan penderitaan bagi rakyat pribumi seperti kemiskinan, kelaparan bahkan
kematian. Selain itu banyak juga penduduk yang meninggalkan tanah kelahirannya hanya
sekedar untuk menghindari diri dari sistem tanam paksa yang dijalankan oleh pemerintah
kolonial Belanda.
Pada umumnya, rakyat di Belanda tidak tahu kekejaman di daerah tanah jajahan akibat tanam
paksa tapi hal ini meningkatkan kemakmuran bagi rakyat belanda. Kemudian pada tahun
1850, berita kekejaman yang dilakukan pemerintah kolonial belanda terdengar oleh rakyat
belanda, sehingga muncul perdebatan diantara para tokoh di negeri Belanda yang peduli
terhadap nasib bangsa Indonesia akibat dari kebijakan tanam paksa.
Untuk mengkritik politik tanam paksa, kaum Etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft
(wartawan Koran De Locomotief) dan Conrad Theodore van Deventer (politikus) ternyata
membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang
terbelakang dengan mengusulkan politik etis.

Dampak Bagi Belanda


Dampak yang di timbulkan oleh politik etis tentunya ada yang negatif dan positif namun yang
perlu kita ketahui adalah bahwa hampir semua program dan tujuan awal dari politik etis
banyak yang tak terlaksana dan mendapat hambatan. Namun satu program yang berdampak
positif dengan sifat jangka panjang bagi bangsa Indonesia adalah bidang pendidikan yang
akan mendatangkan golongan terpelajar dan terdidik yang dikemudian hari akan membuat
pemerintahan Belanda menjadi terancam dengan munculnya Budi Utomo, Sarikat Islam dan
berdirinya Volksraad. Adapun dampak-dampak yang terlihat nyata adalah dalam tiga bidang :
Politik : Desentralisasi kekuasaan atau otonomi bagi bangsa Indonesia, namun tetap saja
terdapat masalah yaitu golongan penguasa tetap kuat dalam arti intervensi, karena
perusahaan-perusahaan Belanda kalah saing dengan Jepang dan Amerika menjadikan
sentralisasi berusaha diterapkan kembali.
Sosial : Lahirya golongan terpelajar, peningkatan jumlah melek huruf, perkembangan bidang
pendidikan adalah dampak positifnya namun dampak negatifnya adalah kesenjangan antara
golongan bangsawan dan bawah semakin terlihat jelas karena bangsawan kelas atas dapat
berseolah dengan baik dan langsung di pekerjakan di perusahaan-perusahaan Belanda.
Ekonomi : lahirnya sistem Kapitalisme modern, politkk liberal dan pasar bebas yang
menjadikan persaingan dan modal menjadi indikator utama dalam perdagangan. Sehingga
yang lemah akan kalah dan tersingkirkan. Selain itu juga muculnya dan berkembangnya
perusahaan-perusahaan swasta dan asing di Indonesia seperti Shell

Dampak Bagi Indonesia


Dampak positif pelaksanaan politik etis bagi Indonesia:
1. Munculnya kalangan terdidik dari rakyat Indonesia
2. Terbangunnya saluran irigasi pertanian dan perkebunan
3. Terjadinya perpindahan penduduk dalam proses transmigrasi
Dampak negatif pelaksanaan politik etis bagi Indonesia
1. Pendidikan hanya dinikmati oleh kalangan elit, seperti kaum priyayi
2. Saluran irigasi kebanyakan hanya untuk perkebunan milik pengusaha Belanda
3. Transmigran dipaksa untuk bekerja untuk perkebunan milik pengusaha Belanda

Anda mungkin juga menyukai