Anda di halaman 1dari 3

Nama : Imro’ah Qurrotul ‘Aini

NIM : 18410548
Mata Kuliah : Hukum Agraria (F)

Sejarah Keagrariaan di Indonesia


• Sebelum Agrarische Wet

Sebelum adanya peraturan pertanahan yang di buat oleh Belanda di Indonesia,


Indonesia saat itu telah memiliki hukum pertanahan sendiri. Hukum pertanahan
tersebut berasal dari hukum adat masing-masing daerah, karena pada saat itu belum ada
persatuan antar suku dan bangsa. Hukum pertanahan adat itu sampai sekarang masih
berlaku dan sering disebut hak ulayat adat.

Secara singkat pengertian dari tanah ulayat adalah tanah yang di miliki oleh suatu
masyarakat adat yang tatacara kepemilikanya memiliki aturan yang khas tiap-tiap
daerah. Luas tanah ulayat tidak mampu didefinisikan secara pasti namun kebiasaan
masyarakat adat utuk menentukan luas tanah ulayat dengan cara seluas mata
memandang adalah milik masyarakat adat tersebut. Tanah ulayat merupakan tanah
milik adat (masyarakat adat) dengan pemisahan antara tanah dengan bangunan yang di
atasnya (pemisahan horizontal).

• Masa Agrarische Wet – Kemerdekaan

Sekitar tahun 1830 pemerintah penjajahan (VOC/Belanda)berusaha mempersempit


kesempatan pihak-pihak pengusaha swasta untuk memperoleh jaminan yang kuat atas
tanah-tanah yang diusahainya, seperti untuk memperoleh hak eigendom. Kepada para
pengusaha oleh pemerintah hanya dapat diberikan hak sewa atas tanah-tanah kosong
dengan waktu yang terbatas yaitu tidak lebih dari 20 tahun sebagai hak persoonliij.
Tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan hutang. Demikian juga dengan hak
erfpacht oleh pemerintah tidak dapat diberikan, karena masih menghargai hak-hak adat
yang tidak rnengenal adanya hak erfpact. Adanya peraturan-peraturan pertanian besar
akan bertentangan dengan politik perekonomian Pemerintah (Cultuur stelsel) yang
memaksa penduduk menanam tanaman tertentu sesuai dengan yang diperintahkan.

Tahun 1860-1870, diajukan rancangan wet yang mengatur tentang pertanian yang dapat
dilakukan di tanah bangsa Indonesia. Penduduk Indonesia diberi izin menyewakan
tanah kepada bukan bangsa Indonesia. Dalam rancangan wet tersebut dimuat antara
lain:
▪ Tanah negara (domein negara) dapat diberikan hak erfpacht paling lama 90
tahun.
▪ Persewaan tanah negara tidak dibenarkan.
▪ Persewaan tanah oleh orang Indonesia kepada bangsa lain akan diatur.
▪ Hak tanah adat diganti dengan hak eigendom
▪ Tanah komunal diganti menjadi milik, jasa.
▪ Wet ini hanya berlaku di Jawa dan Madura.

Akhirnya pada tahun 1870 dibawah pimpinan Menteri Jajahan De Waal, Agrarische
Wet ini ditetapkan dengan S.1870-55. Yang dimaksud dengan agrarische wet 1870
adalah suatu undang-undang yang dibuat di negeri belanda pada tahun 1870. Agrarische
Wet tahun 1870 menghilangkan kesulitan-kesulitan berkenaan dengan pemberian tanah
berdasarkan peraturan tahun 1856, dengan mengijinkan para pemilik modal untuk
memperoleh hak sewa turun temurun (erpacht) dari pemerintah untuk periode sampai
dengan 75 tahun dan juga menyewa tanah dari penduduk pribumi. Pada saat yang sama
undang-undang tersebut menjamin kepemilikan penduduk pribumi atas hak-hak adat
mereka yang telah ada atas tanah, dan memungkinkan pula meraka mendapatkan hak
milik pribadi. Walaupun di dalam AW diberikan kepastian hukum kepada rakyat
pribumi, dimana rakyat harus berikan hak-haknya yang pasti apabila tanahnya
disewakan dan harus diberikan ganti rugi apabila tanah nya diambil alih untuk
kepentingan umum, Akan tetapi pada dasarnya tujuan dari AW adalah untuk membuka
kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada pengusaha swasta agar dapat
berkembang di hindia belanda.

Sebagai peraturan pelaksanaan dari Agrariche wet, dengan keputusan Raja, tanggal 20
Juli 1980 No. 15 ditetapkan Keputusan agraria (Agrarisch Bsluit) dengan S. 1870-118,
yang berlaku untuk Jawa Madura. Sedangkan untuk luar Jawa dan Madura sesuai
dengan apa yang ditetapkan dalam peraturan ini, akan diatur dengan suatu ordonnantie.
Pada pasal 1. Agrarisch besluit, dimuat tentang pernyataan-pernyataan secara umum
(algemene-domeinverklaring) yang menganut suatu prinsip (azas) agraria yaitu
pernyataan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendom seseorang adalah
tanah negara (domein van den Staat) Negara adalah sebagai eigenaar (pemegang hak
milik) atau jika terbukti ada hak eigendom orang lain diatasnya.

• Masa Kemerdekaam – Lahirnya UUPA (1945-1960)

Sejarah Hukum Agraria yang berlaku sebelum Indonesia merdeka masih menggunakan
hukum barat yaitu Agrarische Wet 1870 yang memberikan jaminan hukum kepada
pengusaha swasta, dengan Hak Erpacht dan Agrarische Besluit yang melahirkan azas
Domein Verklaring dimana semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan
sebagai hak Eigendom nya adalah domein atau milik negara. Maka tanah-tanah diatur
dengan hak-hak barat seperti tanah eigendom, tanah erfacht, tanah postal dan lain-lain.
Sedang tanah-tanah yang dikenal dengan hak-hak Indonesia adalah tanah-tanah ulayat,
tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan, tanah bengkok, tanah agrarich eigendom.
Sejarah Hukum agraria barat tersebut hanya mengatur sebatas perbuatan-perbuatan
hukum yang dimungkin terhadap tanah-tanah.

Dari sejarah hukum agraria yang telah dijelaskan diatas diketahui bahwa hukum agraria
sebelum terbentuknya UUPA lebih menguntungkan bagi pemerintah hindia-belanda
yang pada saat itu membuat pengundangan Agrarische wet (1870). Seperti yang
diketahui bahwa Agrarische wet terbentuk atas adanya desakan para pengusaha swasta
asing yang menanamkan modalnya di hindia belanda, sebab dengan adanya pasal 62
ayat 1,2, dan 3 (Regering Reglement) mereka sulit mendapatkan tanah yang luas
dengan jangka waktu yang lama dan hak atas tanah yang kuat maka dari itu lahirlah
Agrarische wet tahun 1870 tersebut.

Lalu dualisme hukum yang dianut oleh sejarah hukum agraria lama mengakibatkan
ketidakpastian bagi sejarah hukum agraria adat karena tanah-tanah barat didaftarkan,
terdapat lembaga kadaster namun bagi tanah-tanah adat tidak didaftarkan sehingga
tidak dapat dibuktikan sebagai tanah-tanah adat dan menjadi domein Negara (milik
Negara), adanya asas domein verklaring tersebut berarti Negara bisa berbuat apa saja
atas tanah. Untuk lebih jelasnya bisa juga melihat/memperhatikan diktum UUPA (UU
No.5/1960) mengenai peraturan perundang-undangan yang dicabut.

Perlu adanya usaha penyesuaian sejarah hukum agraria kolonial dengan keadaan dan
keperluan sesudah lahirnya UUPA atau sesudah kemerdekaan yaitu yang pertama
adalah menerapkan kebijaksanaan baru terhadap UU keagrariaan yang lama, melalui
penafsiran baru yang sesuai dengan situasi kemerdekaan, UUD 1945, dan dasar Negara
pancasila. Dalam tanah-tanah yang statusnya adalah sebagai domein Negara sebaiknya
juga dipergunakan secara baik untuk dikelola dan demi kesejahteraan rakyat. Jadi asas
domein veklaring tersebut bukanlah semata-mata Negara mengusai tetapi Negara
hanya mengelola demi kesejahteraan rakyat.

Anda mungkin juga menyukai