Anda di halaman 1dari 11

TINDAK PIDANA PENCURIAN ATAU JARIMAH SARIQAH

DALAM PANDANGAN ISLAM

Disusun oleh:
Imro’ah Qurotul ‘Aini
(18410548)

Dosen Pengampu:
Ari Wibowo, SHI., S.H., M.H.,

PROGAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
TAHUN 2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara etimologi Jarimah yaitu melukai, berbuat dan kesalahan, Sedangkan


menurut terminology. Jarimah dalam syari’at Islam yaitu larangan-larangan syara’
yang diancam oleh Allah SWT., dengan hukuman had atau ta’zir. kata jinayah ialah
perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa
atau harta benda ataupun yang lain-lainya Pengertian Jarimah Sariqah atau Pencurian
yakni Menurut Muhammad Syaltut Pencurian adalah mengambil harta orang lain
dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai m
enjaga barang tersebut. Sedangkan Menurut Sayyid Sabiq Pencurian adalah
mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi misalnya mencuri suara,
karena mencuri suara dengan sembunyi-sembunyi dan dikatakan pula mencuri
pandang karena memandang dengan sembunyi-sembunyi ketika yang dipandang
lengah.
Definisi lain tentang Pencurian adalah perbuatan mengambil harta orang lain
secara diam-diam dengan tujuan tidak baik. Yang dimaksud dengan mengambil harta
secara diam-diam adalah mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan
tanpa kerelaanya, seperti mengambil barang dari rumah orang lain ketika
penghuninya sedang tidur.
Dalam hukum Islam, kejahatan (jarimah/jinayat) didefinisikan sebagai
larangan-larangan hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya membawa
hukuman yang ditentukan-Nya, atau tidak melakukan suatu perbuatan yang tidak
diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya
dilarang oleh syari’at. Dengan kata lain, melakukan (commission) atau tidak
melakukan (ommission) suatu perbuatan yang membawa kepada hukuman yang
ditentukan oleh syari’at adalah kejahatan.1
Suatu hukuman dibuat agar tidak terjadi jarimah atau pelanggaran dalam
masyarakat, sebab dengan larangan-larangan saja tidak cukup. Meskipun hukuman itu
juga bukan sebuah kebaikan, bahkan dapat dikatakan sebagai perusakan bagi si
pelaku. Namun hukuman tersebut sangat diperlukan sebab bisa membawa
ketentraman dalam masyarakat, karena dasar pelarangan suatu perbuatan itu adalah
pemeliharaan kepentingan masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Dasar Hukum Jarimah Sariqah
2. Apakah Alasan Teoritis Larangan Jarimah
3. Bagaimana Sanksi Pidana Jarimah Sariqah
4. Bagaimana Relevansi Jarimah Sariqah

1
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet-5,
1993,hlm. 2 .
5. Bagaimana Cara melakukan Pembuktian Jarimah Sariqah

C. Tujuan
1. Mampu memahami terkait Dasar Hukum Jarimah Sariqah
2. Mampu mengerti alasan Teoritis Larangan Jarimah Sariqah
3. Mampu mengetahui Sanksi Pidana Jarimah Sariqah
4. Mampu Mengerti Relevansi Jarimah Sariqah
5. Dapat Mengetahui cara melakukan Pembuktian Jarimah Sariqah

D. Sasaran
Sasaran dari penulisan makalah ini sendiri adalah penulis dan pembaca
makalah ini, sert seluruh mahasiswa/i mata kuliah Jinayat kelas B dan Dosen
pengampu yang dapat memberikan masukan terhadap tulisan yang dibuat oleh
penulis.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Dasar hukum berupa sumber-sumber HPI (al-Qur’an, Hadits, Ijtihad)

Pencurian dalam syari’at Islam dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu pencurian
yang dapat dijatuhi hukuman had dan pencurian yang dapat dijatuhi hukuman ta’zir.
Pencurian yang dapat dijatuhi hukuman had terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu
pencurian kecil dan pencurian besar. Menuru Awdah, pencurian kecil adalah
mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi, sedangkan menurut Al-Sayid
Sabiq pencurian kecil adalah pencurian yang wajib divonis dengan hukuman potong
tangan. Adapun syarat-syarat pencuri yang divonis dengan ancaman hukuman potong
tangan, adalah sebagai berikut:
a. Cakap hukum (taklif), yaitu bahwa pencuri tersebut telah dewasa (baligh) dan
berakal.
b. Kehendak sendiri atau ikhtiar, yaitu bahwa pencuri tersebut mempunyai kehendak
sendiri bukan karena terpaksa.
c. Sesuatu yang dicuri bukan barang syubhat, yaitu sesuaru benda atau barang yang
tidak ada unsur kepemilikan dari sipencuri.2

Di antara hal penting yang diperintahkan oleh agama Islam untuk menjaganya
adalah harta. Islam telah memerintahkan supaya memperoleh harta tersebut dengan
cara yang halal (pada dasarnya segala sesuatu diperbolehkan), dan melarang
memperolehnya dengan cara yang haram. Islam juga telah menjelaskan berbagai jenis
usaha yang haram, sebagaimana yang Allah firmankan:

َّ ََ ‫َْمَ َك َك َل ََ َّم َر َّام مَ َكل‬


َ‫ل َص َْدَق‬

“… Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang


diharamkan-Nya atasmu…” [Al-An’aam: 119] 3

Termasuk dari usaha yang haram adalah mencuri. Yaitu mengmbil harta orang
lain dengan sembunyi-sembunyi dan tanpa diketahui. Perbuatan ini termasuk dari
dosa besar, dan hukumannya telah ditetapkan dalam al-Qur-an, as-Sunnah dan Ijma’.
Allah Ta’ala berfirman:

‫َّمسدَا َ َْقمر ل‬
‫َّمس َا‬ َ ‫رسَم ال َيم ًَءَ ق َز ا َ َي لقيَ َد َيم ََم َد‬
‫طقََق َْقمر ل‬ َ ‫قهل ل ناَِّ اَك ََمك َا‬
َّ َ ‫ََ لكك َل َْ لء‬
َّ َْ ‫يء‬
َ‫قه‬

2
https://almanhaj.or.id/1436-hadd-sariqah-mencuri.html
3
https://almanhaj.or.id/1436-hadd-sariqah-mencuri.html
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka ker-jakan dan sebagai siksaan
dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” [Al-Maa-idah : 38]4

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia menjelaskan


bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memotong (tangan)
pencuri baju besi seharga tiga dirham. Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,

“Para ahli fiqih telah sepakat bahwa pemotongan tangan pencuri wajib
dilaksanakan apabila dua orang muslim yang adil dan merdeka bersaksi atas
pencurian tersebut.” 5

Apabila seorang yang baligh, berakal, dan dalam keadaan tidak terpaksa
mencuri, maka ia wajib mendapat hukum hadd dengan adanya pengakuan darinya
atau kesaksian dua orang yang adil. Disyaratkan pula pada harta yang dicuri,
hendaknya mencapai satu nishab dan dalam keadaan terjaga (disimpan). Dari ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘anha, ia menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

َ ‫ا يَق َ ُ َ َع‬
َ‫ط َق ك‬ ‫َمس َساَقل َلف َّلكَّ قمر ل‬
‫َّمس ل‬ َ ََ.
ِ َ‫لم لْقَق لٍ َي‬

“Tidaklah dipotong tangan pencuri kecuali pada (harta senilai) seperempat


dinar atau lebih.” Ibnu Mundzir rahimahullah berkata, “Para ahli fiqih telah sepakat
bahwa pemotongan tangan hanya berlaku bagi orang yang mencuri harta dari tempat
penyimpanan.”6

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma, dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

َِّ ‫مص َا‬َ ‫ب‬َ َ‫ي لا َِّ لا لهك لف ا‬


َ ْ‫َ َف َز ََلَ ًَ َسََاَ َاذ َّ لخ ِت ََك ََم ََم ًَ ِا ل‬ َ ‫لاهَمَ َك لف َ ََمق َاا َ ََ َقمَ َك لف لا ََفَ لا‬
َ ‫ء َفزِ ً ََم َر َْ َا َِّ َْ َم َك لف‬
‫َ َماَ َْ َا َِّ َْ َقمقَعََ َااَو‬
َ َ‫َ َكيَم لا ََف‬َ َ‫ط َق ََ َقمَ َك لف َقم لي َْ لنِّ َ َ َيَِّ ََ َسمَ َب َقم َْ لم َي َِّ يَهَ لْ َيفَ ا َ َن َا َقق‬
َ َ‫قمع‬.
َ

“Barangsiapa yang terpaksa mencuri untuk dimakan tanpa


menyembunyikannya, maka itu tidak mengapa baginya (tidak ada hukum potong
tangan). Namun barangsiapa keluar (dari kebun, ladang, dsb) dengan sesuatu, maka ia
wajib membayar denda dua kali lipat. Dan barangsiapa mencuri dari buah-buahan
tersebut setelah dimasukkan dalam jariin dan harganya setara dengan baju besi (yang
ketika itu berharga seperempat dinar-pent.), maka ia harus dipotong tangannya.” 7

4
https://almanhaj.or.id/1436-hadd-sariqah-mencuri.html
5
https://almanhaj.or.id/1436-hadd-sariqah-mencuri.html
6
https://almanhaj.or.id/1436-hadd-sariqah-mencuri.html
7
https://almanhaj.or.id/1436-hadd-sariqah-mencuri.html
Orang yang Dicuri Hartanya Boleh Memaafkan Pencuri Sebelum Diajukan
Perkaranya kepada Hakim Dari Shafwan bin Umayyah Radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata,
“Suatu hari aku tidur di masjid di atas selendangku yang seharga 30 dirham.
Kemudian datang seseorang dan mengambilnya dariku. Lalu laki-laki itu ditangkap
dan dibawa ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memutuskan
agar dipotong tangannya.” 8

B. Alasan teoritis/logis terhadap larangan jarimah

Suatu perbuatan dianggap jarimah apabila dapat merugikan tata aturan


masyarakat, atau kepercayaankepercayaannya, atau merugikan kehidupan masyarakat,
baik berupa benda, nama baik, atau perasaannya dengan pertimbangan-pertimbangan
yang lain yang harus dihormati dan dipelihara. Suatu hukuman dibuat agar tidak
terjadi jarimah atau pelanggaran dalam kehidupan masyarakat, sebab dengan
larangan-larangan saja tidak cukup. Meskipun hukuman itu dirasakan kejam bagi si
pelaku, namunhukuman itu sangat diperlukan karena dapat menciptakan ketentraman
dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat, karena dasar pelanggaran suatu
perbuatan itu adalah pemeliharaan kepentingan masyarakat itu sendiri.9
Jarimah itu merupakan laranganlarangan syara’ yang diancamkan dengan
hukuman hadd atau ta’zir. Dengan menyebutkan kata-kata syara’ dimaksudkan bahwa
larangan-larangan harus datang dari ketentuan-ketentuan syara’. Berbuat atau
tidakberbuat baru dianggap sebagai jarimah apabila diancamkan hukuman kepadanya.
Karena perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut datang dari syara’, maka
perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang
yang berakal sehat dan dapat memahami pembebanan dan orangnya disebut mukallaf,
sebab pembebanan itu artinya panggilan, dan orang yang tidak dapat memahami
seperti hewan dan benda-benda mati tidak mungkin menjadi obyek panggilan
tersebut.
Alasan Teoritis / Logis yang dapat saya cantumkan yakni adalah beberapa
unsur, dari uraian di atas dapat diketahui bahwa unsur-unsur jarimah secara umum
yang harus dipenuhi dalam menetapkan suatu perbuatan jarimah yaitu:
a. Unsur formil (rukun syar’i) yakni adanya nash yang melarang perbuatan dan
mengancam hukuman terhadapnya.
b. Unsur materiil (rukun maddi) yakni adanya tingkah laku yang membentuk
jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat.
c. Unsur moril ( rukun adabi) yakni pembuat, adalah seorang mukallaf (orang yang
dapat dimintai pertanggung jawaban terhadap jarimah yang diperbuatnya)

8
https://almanhaj.or.id/1436-hadd-sariqah-mencuri.html
9
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, Cet. Ke5,1993, hlm. 1.
Disamping unsur umum, pada tiap-tiap jarimah juga terdapat unsur-unsur
khusus untuk dapat dikenakan hukuman seperti, unsur pengambilan dengan diam-
diam bagi jarimah pencurian. Misalnya suatu perbuatan dikatakan pencurian
manakala barang yang diambil berupa harta, pengambilannya secara diam-diam, dan
barang tersebut dikeluarkan dari tempat simpanannya. Jika tidak memenuhi ketentuan
tersebut seperti barang tidak berada dalam tempat yang tidak pantas, nilainya kurang
dari ¼ (seperempat) dinar, atau dilakukan secara terang-terangan. Meskipun
memenuhi unsur-unsur umum, bukanlah dikenakan pencurian yang dikenakan
hukuman potong tangan seperti dalam ketentuan nash Al-Qur’an. Pelakunya hanya
terkena hukuman ta’zir yang ditetapkan oleh penguasa.10

C. Sanksi pidana bagi jarimah

Hukuman yang ditinjau dari segi terdapat atau tidaknya Nash dalam AlQur’an
dan Hadist Hukuman yang ditinjau dari segi terdapat atau tidaknya Nash dalam
AlQur’an daan Al-Hadist, maka pemidanaannya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hukuman yang ada nashnya yaitu hudud, qishash, diyat dan kifarat, dan hukuman
yang tidak ada nashnya yaitu hukuman ta’zir. Hukuman untuk jarimah hudud adalah
hukuman-hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai ketetapan yang tiddak
dapat diganggu gugat oleh manusia. Jarimah hudud ini ada tujuh macam, yaitu
jarimah zina, jarimah qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina) jarimah syurbul
khamr (minum-minuman keras), jarimah pencurian, jarimah hirabah
(perampok,gangguan keamanan), jarimah riddah (murtad), dan jarimah al-baqyu
(pemberontakan).
Hukuman untuk jarimah pencurian dalam hukum pidana Islam mengancam
hukuman potong tangan dan kaki bagi pelaku tindak pidana pencurian. Dalam hal ini
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah : 38, yang artinya: “Dan
pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah kedua tangannya sebagai
balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah, dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha bijaksana”. (Q.S. Al-Maidah (38).
Berdasarkan ayat Al-Qur’an di atas, maka dapat dipahami bahwa AlQur’an
secara tegas mengungkapkan sanksi terhadap pelanggaran pidana pencurian, yaitu
hukuman potong tangan (had). Kemudian, hukuman untuk jarimah gangguan
keamanan (hirabah) dalam hukum Islam telah menetapkan ancaman hukuman
terhadap pelaku tindak pidana gangguan keamanan (hirabah),
Adapun unsur-unsur pencurian dalam hukum pidana Islam yaitu yang
pertama, pengambilan secara diam-diam, hal ini terjadinya pengambilan barang
secara sembunyi-sembunyi dan pemilik tidak merelakannya. Kemudian yang kedua,
barang yang diambil berupa harta, yaitu barang yang dicuri tersebut harus bernilai
harta dan mempunyai nilai ekonomis yang halal menurut Islam atau yang bernilai

10
Ahmad Hanafi, Op.cit, hlm. 6.
menurut syara’(mal mutaqawwin). Yang ketiga, harta tersebut milik orang lain, yaitu
harta yang dicuri tersebut ada pemiliknya dan pemiliknya bukan sipencuri melainkan
orang lain. Dan yang keempat, adanya niat melawan hukum, yaitu bahwa sipelaku
pencurian mengetahui bahwa barang yang diambil tersebut bukan miliknya dan haram
untuk diambil.
Berdasarkan hal ini, apabila tindakan pencurian telah terbukti dan memenuhi
segala unsur dan syarat-syaratnya (al-sariqah al-tammah/pencurian yang telah lengkap
syarat dan rukunnya), maka tindakan pencurian seperti ini dapat diancam dengan dua
bentuk, yaitu: penggantian kerugian (dhaman) dan hukuman potong tangan (had)
terhadap pelaku pencurian. Jadi, yang menjadi persamaan dalam bentuk penjatuhan
hukuman baik dalam KUHP maupun dalam hukum Islam adalah sama-sama
menerapkan hukuman denda atau ganti kerugian sedangkan yang menjadi perbedaan
dalam bentuk penjatuhan hukuman yaitu dalam hukum Islam mengenal adanya
hukuman potong tangan sedangkan dalam KUHP hukuman yang dijatuhkan berupa
hukuman penjara.

D. Pembuktian

Dalam perkara pidana, pembuktian selalu penting dan krusial. Terkadang


dalam menangani suatu kasus, saksi-saksi, para korban dan pelaku diam (dalam
pengertian tidak mau memberikan keterangan) sehingga membuat pembuktian
menjadi hal yang penting. Pembuktian memberikan landasan dan argumen yang kuat
kepada penuntut umum untuk mengajukan tuntutan. Pembuktian dipandang sebagai
sesuatu yang tidak memihak, objektif, dan memberikan informasi kepada hakim untuk
mengambil kesimpulan terhadap suatu kasus yang sedang disidangkan. Berbeda
dengan pembuktian perkara lainnya, pembuktian dalam perkara pidana sudah dimulai
dari tahap pendahuluan, yakni penyelidikan dan penyidikan. Dengan demikian,
pembuktian dalam perkara pidana menyangkut beberapa institusi, yakni Kepolisian,
Kejaksaan dan Pengadilan.
M. Yahya Harahap mendefinisikan pembuktian sebagai ketentuanketentuan
yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-
undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna
membuktikan kesalahan terdakwa. 11
Dalam pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang
harus dipenuhi untuk membuktikan kesalahan terdakwa yaitu :

11
Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, h. 4.
 Dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah (dengan hanya satu alat
bukti belum cukup).
 Kecuali dalam pemeriksaan perkara dengan cara pemeriksaan “cepat”
dengan satu alat bukti sah saja sudah cukup mendukung keyakinan
hakim.12

Sistem atau Teori Pembuktian

Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal beberapa sistem
atau teori pembuktian yaitu :

a. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka (conviction Intime)


Sistem pembuktian ini menentukan terbukti tidaknya kesalahan terdakwa
sematamata ditentukan atas penilaian keyakinan hati nurani hakim. Pembuktian
ini tidak perlu didasarkan pada alat bukti yang ada, hakim langsung dapat menarik
kesimpulan dari keterangan terdakwa yang diberikan di persidangan. Sistem ini
memberikan kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi.
Disamping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan
pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan
keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. Begitu pula
sebaliknya hakim juga dapat membebaskan terdakwa dari apa yang didakwakan
meskipun terdakwa telah cukup terbukti dengan bukti yang lengkap, selama
hakim tidak yakin atas perbuatan terdakwa.13

b. Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positive wettelijk


bewijstheorie) Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian
yang disebut sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif
(positive wettelijk bewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena hanya
didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka
keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.14

c. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis


(conviction rasionnee) Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang
bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar
pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berdasarkan
kepada peraturanperaturan pembuktian tertentu.15

12
Rahman Syamsuddin, Hukum Acara Pidana dalam integrasi keilmuan, (Makassar : Alauddin
University Press, 2013), h. 135.
13
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, h. 252.
14
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, h. 251.
15
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, h. 253.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara etimologi Jarimah yaitu melukai, berbuat dan kesalahan, Sedangkan


menurut terminology. Jarimah dalam syari’at Islam yaitu larangan-larangan syara’
yang diancam oleh Allah SWT., dengan hukuman had atau ta’zir. kata jinayah ialah
perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa
atau harta benda ataupun yang lain-lainya Pengertian Jarimah Sariqah atau Pencurian
yakni Menurut Muhammad Syaltut Pencurian adalah mengambil harta orang lain
dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai m
enjaga barang tersebut. Sedangkan Menurut Sayyid Sabiq Pencurian adalah
mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi misalnya mencuri suara,
karena mencuri suara dengan sembunyi-sembunyi dan dikatakan pula mencuri
pandang karena memandang dengan sembunyi-sembunyi ketika yang dipandang
lengah.
Suatu perbuatan dianggap jarimah apabila dapat merugikan tata aturan
masyarakat.. Suatu hukuman dibuat agar tidak terjadi jarimah atau pelanggaran dalam
kehidupan masyarakat, sebab dengan larangan-larangan saja tidak cukup. Meskipun
hukuman itu dirasakan kejam bagi si pelaku, namunhukuman itu sangat diperlukan
karena dapat menciptakan ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat,
karena dasar pelanggaran suatu perbuatan itu adalah pemeliharaan kepentingan
masyarakat itu sendiri.
Hukuman untuk jarimah pencurian dalam hukum pidana Islam mengancam
hukuman potong tangan dan kaki bagi pelaku tindak pidana pencurian. dalam KUHP
maupun dalam hukum Islam adalah sama-sama menerapkan hukuman denda atau
ganti kerugian sedangkan yang menjadi perbedaan dalam bentuk penjatuhan hukuman
yaitu dalam hukum Islam mengenal adanya hukuman potong tangan sedangkan dalam
KUHP hukuman yang dijatuhkan berupa hukuman penjara. Pembuktian dipandang
sebagai sesuatu yang tidak memihak, objektif, dan memberikan informasi kepada
hakim untuk mengambil kesimpulan terhadap suatu kasus yang sedang disidangkan.
Berbeda dengan pembuktian perkara lainnya, pembuktian dalam perkara pidana sudah
dimulai dari tahap pendahuluan, yakni penyelidikan dan penyidikan. Dengan
demikian, pembuktian dalam perkara pidana menyangkut beberapa institusi, yakni
Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.

B. Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut
dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari bapak
Dosen ataupun teman-teman mata kuliah jinayat yang membacanya.
C. Daftar Pustaka
- Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet-5,
- 1993,hlm. 2
- https://almanhaj.or.id/1436-hadd-sariqah-mencuri.html
- https://almanhaj.or.id/1436-hadd-sariqah-mencuri.html
- https://almanhaj.or.id/1436-hadd-sariqah-mencuri.html
- https://almanhaj.or.id/1436-hadd-sariqah-mencuri.html
- https://almanhaj.or.id/1436-hadd-sariqah-mencuri.html
- https://almanhaj.or.id/1436-hadd-sariqah-mencuri.html
- https://almanhaj.or.id/1436-hadd-sariqah-mencuri.html
- Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, Cet.
Ke5,1993, hlm. 1.
- Ahmad Hanafi, Op.cit, hlm. 6
- Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, h. 4.
- Rahman Syamsuddin, Hukum Acara Pidana dalam integrasi keilmuan, (Makassar
: Alauddin
- University Press, 2013), h. 135.
- Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, h. 252.
- Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, h. 251.
- Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, h. 253.

Anda mungkin juga menyukai