Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

"Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas Fiqih "

SARIQAH, MENYAMUN, MERAMPOK, BUGHAT

:Di susun oleh

M Fikri Firdaus
M Haikal Rabbani
M Irfan Rachman
Rizki Fadilah Akbar
Najwa Nazihah Nurafa
Rini Fitriani

PESANTREN PERSATUAN ISLAM NO 03 PAMEUNGPEUK

TINGKAT MU’ALLIMIN
Latar Belakang Masalah

Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek bagi kehidupan manusia pastinya memiliki
sebuah dasar yang paling penting yaitu keadilan. Dalam hal ini, segala jenis kejahatan memang
diharapkan pupus di dalam dunia ini. Akan tetapi, terbukti dari mulai awal kehidupan makhluk
bernama manusia wujud kejahatan tetap ada dan tidak pernah luput di atas bumi. Kejahatan tersebut
berupa pembunuhan, penderaan, dan lain-lain. Oleh karena itu, ketika Islam turun, ia memiliki hukum
dan hukuman bagi pelaku kejahatan-kejahatan. Pada zaman akhir saat ini banyak manusia yang telah
melupakan kewajiban dan larangan dalam agama Islam khususnya. Di kota besar ataupun di pedesaan
sering kali terjadi tindakan kriminalitas,umumnya mereka mencuri ataupun menyamun(merampok).
.Demi memenuhi kebutuhan hidup sehingga mereka berani untuk melakukan tindakan haram tersebut

Menyamun, merampok dan merompak sering dinamakan Hirabah dari segi bahasa diambil dari
kata Harbun yang artinya adalah perang. Menurut istilah hirabah berarti mengambil harta orang lain
dengan kekerasan/ancaman senjata dan kadang-kadang disertai dengan pembunuhan. Dalam bahasa
ْ َ‫ ق‬Arab kata hirabah sama artinya dengan
ِ ‫ط ُع الطَّ ِري‬
Istilah pengadangan di .)penghadangan di jalan( ‫ْق‬
jalan tidak hanya berarti menyamun tetapi merampok dan merompak, hanya perbedaannya terletak
pada tempat kejadian. Mencuri ataupun merampok dalam islam dapat diartikan sebagai tindakan
mengambil hak harta orang lain tanpa sepengetahuan atau tidak dari pemiliknya. Dalam islam
mencuri dan menyamun adalah perbuatan yang dilarang. Kebanyakan orang hanya mengerti dasar
hukum mencuri dan menyamun secara mendasar. Dan tanpa ada pemikiran untuk dapat memahami
.lebih mendalam mengenai hukum tindakan tersebut dalam kajian islam yang sesungguhnya

Perdamaian adalah salah satu prinsip yang ditanamkan oleh ajaran Islam kepada kaum muslimin,
karena kata Islam yang menjadi nama agama berasal dari kata As-Salaam yang artinya perdamaian.
Karena As-salam dan Al-islam itu sama-sama bertujuan menciptakan ketentraman, keamanan, dan
ketenangan. Akan tetapi jika hubungan yang semestinya terjalin itu menjadi pecah,dan putusnya tali
persaudaraan, sehingga sebagian berbuat dzalim kepada yang lain, maka pada saat itu kaum bughat
(pemberontak) wajib diperangi. Pemberontakan menurut arti bahasa adalah mencari atau menuntut
sesuatu. Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama mazhab
.yang berbeda-beda

Imam Al-Mawardi mendefinisikan pemberontakan adalah segala larangan syara’ (melakukan hal- .1
hal yang dilarang dan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had
.atau ta’zir
Ulama syafi’i mengartikan pemberontakan adalah orang-orang muslim yang menyalahi imam .2
dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan
memiliki kekuatan, argumentasi, dan pikiran. Dalam hal ini, antara perampokan dengan
.pemberontakan terdapat beberapa kemiripan

Ketiga istilah yaitu menyamun, merampok, mempunyai arti sama yakni mengambil barang orang
lain secara terang-terangan ( si pemilik barang tahu), membawa senjata (kayu, batu, pisau, senjata api
yang dapat di gunkan berkelahi). Bedanya hanya pada tempat dan suasana. Kalau nyamun di lakukan
di tempat yang sunyi, tidak ada banyak orang. Kalau merampok di lakukan di tempat yang ramai.
.Misalnya di pasar, di rumah, mall, dan lain lain

SARIQAH (MENCURI)

A. Pengertian Pencurian

Secara bahasa mencuri adalah mengambil harta atau selainnya secara sembunyi-sembunyi. Dari
arti bahasa ini muncul ungkapan “fulan istaraqa assam’a wa an-nadhara” (Si Fulan mencuri
pendengaran dan penglihatan). Mencuri adalah perbuatan seorang mukallaf (baligh dan berakal)
mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi, mencapai jumlah satu nishab dari tempat
simpanannya, dan orang-orang yang mengambil tersebut tidak mempunyai andil pemilikan terhadap
barang yang diambil.

Secara hakiki pencurian adalah pengambilan harta milik orang lain secara diam-diam. Sedangkan
menurut istilah syara' mencuri ialah mukallaf yang mengambil harta orang lain secara sembunyi-
sembunyi, jika harta tersebut mencapai satu nishab, terambil dari tempat simpanannya, dan orang
yang mengambil tidak mempunyai andil kepemilikan terhadap harta tersebut.

Berpijak dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa praktik pencurian yang pelakunya
diancam dengan hukuman had memiliki beberapa syarat berikut ini:

1. Pelaku pencurian adalah mukallaf.

2. Barang yang dicuri milik orang lain.


3. Pencurian dilakukan dengan cara diam-diam atau sembunyi-sembunyi.

4. Barang yang dicuri disimpan di tempat penyimpanan.

5. Pencuri tidak memiliki andil kepemilikan terhadap barang yang dicuri. Jika pencuri memiliki andil
kepemilikan seperti orang tua yang mencuri harta anaknya maka orang tua tersebut tidak dikenai
hukuman had, walaupun ia mengambil barang anaknya yang melebihi nishab pencurian.

6. Barang yang dicuri mencapai jumlah satu nisab Praktik pencurian yang tidak memenuhi syarat-
syarat di atas pelakunya tidak dikenai had.

B. Pembuktian Praktik Pencurian

Disamping syarat-syarat di atas, had mencuri tidak dapat dijatuhkan sebelum tertuduh praktik
pencurian benar-benar diyakini secara syara' telah melakukan pencurian yang mengharuskannya
dikenai had. Tertuduh harus dapat dibuktikan melalui salah satu dari tiga kemungkinan berikut:

1. Kesaksian dari dua orang saksi yang adil dan merdeka.

2. Pengakuan dari pelaku pencurian itu sendiri.

3. Sumpah dari penuduh Jika terdakwa pelaku pencurian menolak tuduhan tanpa disertai sumpah,
maka hak sumpah berpindah kepada penuduh. Dalam situasi semisal ini, jika penuduh berani
bersumpah, maka tuduhannya diterima dan secara hukum tertuduh terbukti melakukan pencurian.

C. Had Pencurian

Jika praktik pencurian telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dijelaskan di atas, maka
pelakunya wajib dikenakan had mencuri, yaitu potong tangan. Allah Swt. berfirman dalam surat al-
Maidah ayat 38:

ِ ‫ َوهَّللا ُ ع‬.ِ ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوا أَ ْي ِديَهُ َما َج َزا ٌء بِ َما َك َسبَا نَ َكاالً ِّمنَ هَّللا‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َو الس‬

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah kedua tangannya
sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah Maha

Ayat di atas menjelaskan had pencurian secara umum. Adapun teknis pelaksanaan had pencurian
yang lebih detail dijelaskan dalam hadis Rasulullah berikut:

َ ‫ق فَا ْقطَعُوا يَ َدهُ ثُ َّم إِ ْن َس ِر‬


‫ق‬ َ ‫ق فَا ْقطَعُوا ِرجْ لَهُ إِ ْن َس ِر‬
َ ‫ق فَا ْقطَعُوا يَ َدهُ ثُ َّم إِ ْن َس ِر‬
َ ‫ق إِ ْن َس ِر‬ َّ ِ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ أَ َّن النَّب‬
ِ ‫ فِي الس‬:‫ي ص قَا َل‬
ِ ‫َّار‬ ِ ‫ع َْن أَبِي ه َُر ْي َرةَ َر‬
)‫فَا ْقطَعُوا ِرجْ لَهُ (رواه الدار القطني‬
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah bersabda mengenai pencuri: "jika ia
mencuri (kali pertama) potonglah satu tangannya, kemudian jika ia mencuri (kali kedua) potonglah
salah satu kakinya, jika ia mencuri (kali ketiga) potonglah tangannya (yang lain), kemudian jika ia
mencuri (kali keempat) potonglah kakinya (yang lain)." (HR. al-Darul-quṭni)

Bersandar pada hadis tersebut sebagian ulama diantaranya imam Malik dan imam Syai’i
berpendapat bahwa had mencuri mengikuti urutan sebagaimana berikut:

1. Potong tangan kanan jika pencurian baru dilakukan pertama kali.

2. Potong kaki kiri jika pencurian dilakukan untuk kali kedua

3. Potong tangan kiri jika pencurian dilakukan untuk kali ketiga

4. Potong kaki kanan jika pencurian dilakukan untuk kali keempat

5. Jika pencurian dilakukan untuk kelima kalinya maka hukuman bagi pencuri adalah ta’zir dan ia
dipenjarakan hingga bertaubat.

Sebagian ulama lain diantaranya Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa
hukuman potong tangan dan kaki hanya berlaku sampai pencurian kedua, yakni potong tangan kanan
untuk pencurian pertama dan potong kaki kiri untuk pencurian kedua, sedangkan untuk pencurian
ketiga dan seterusnya hukumnya adalah ta'zir.

D. Nisab (kadar) Barang yang Dicuri

Para ulama berbeda pendapat terkait nisab (kadar minimal) barang yang dicuri.

• Menurut madzhab Hanai, nishab barang curian adalah 10 dirham.

• Menurut jumhur ulama, nishab barang curian adalah ¼ dinar emas, atau tiga dirham perak. Dalil
yang dijadikan sandaran jumhur ulama terkait penetapan had nishab ¼ dinar emas atau tiga dirham
perak adalah: Hadis yang diriwayatkan imam Muslim dalam kitab shahihnya dan imam Ahmad dalam
kitab musnadnya, dimana Rasulullah SAW bersabda:

َ َ‫َار ف‬
)‫صا ِعدًا (رواه احمد ومسلم وابن ماجه‬ ٍ ‫ق فِي ُرب ِْع ِد ْين‬ ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهَا أَ َّن َرسُو ُل هَّللا ِ ص َكانَ يَ ْقطَ ُع يَ َد الس‬
ِ ‫َّار‬ ِ ‫ع َْن عَائِ َشةَ َر‬

Artinya: “Dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW. Menjatuhkan had potong tangan pada pencuri
seperempat dinar atau lebih.” (H.R. Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah(.

Dan hadits yang di riwayatkan oleh Bukhari:


َ َ‫تُ ْقطَ ُع ْاليَ ُد فِي ُرب ِْع ِد ْينَارًا ف‬
)‫صا ِعدًا (رواه البخري‬

Artinya:”Tangan dipotong (pada pencurian) ¼ dinar atau lebih.”

Adapun tentang harga dinar atau dirham selalu berubah-ubah. Satu dinar emas diperkirakan seharga 10-12
dirham. Jika dihargakan dengan emas, satu dinar setara dengan 13,36 gram emas. Jadi diperkirakan nishab
barang curian adalah 3,34 gram emas (1/4 dinar).

E. Pencuri yang Dimaafkan

Ulama sepakat bahwa pemilik barang yang dicuri dapat memaakan pencurinya, sehingga pencuri
bebas dari had sebelum perkaranya sampai ke pengadilan. Karena had pencuri merupakan hak hamba
(hak pemilik barang yang dicuri). Jika perkaranya sudah sampai ke pengadilan, maka had pencuri
pindah dari hak hamba ke hak Allah. Dalam situasi semisal ini, had tersebut tidak dapat gugur
walaupun pemilik barang yang dicuri memaakan pencuri. Teks syar’i yang menjelaskan tentang
masalah tersebut adalah, hadis riwayat Abu Dawud dan Nasa'i yang artinya: ”Diriwayatkan dari Amr
bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : “Maakanlah had
selama masih berada ditanganmu, adapun had yang sudah sampai kepadaku, maka wajib
.dilaksanakan.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)

F. Hikmah Had bagi Pencuri

Adapun hikmah dari had mencuri antara lain sebagai berikut:

1. Seseorang tidak akan dengan mudah mengambil barang orang lain karena hal tersebut akan
memunculkan efek ganda. Ia akan menerima sanksi moral yaitu malu, sekaligus mendapatkan sanksi
yang merupakan hak adam yaitu had.

2. Seseorang akan memahami betapa hukum Islam benar-benar melindungi hak milik seseorang.
Karunia Allah terkait harta manusia bukan hanya dari sisi jumlahnya, lebih dari itu, saat harta tersebut
telah dimiliki secara syah melalui jalur halal, maka ia akan mendapatkan jaminan perlindungan.

3. Menghindarkan manusia dari sikap malas. Mencuri selain merupakan cara singkat memiliki
sesuatu secara tidak syah, juga merupakan perbuatan tidak terpuji yang akan memunculkan sifat
malas. Sifat ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

4. Membuat jera pencuri hingga dirinya terdorong untuk mencari rezeki yang halal.

MENYAMUN

A. Pengertian Menyamun
Menyamun berasal dari kata dasar samun yang berarti rompak, rampok, dan rampas. Menyamun
ialah kejahatan yang bersifat mengancam harta dan jiwa, sehingga perbuatan itu sama dengan
mencuri, bahkan melebihinya kadang-kadang disertai pembunuhan. Maka dari itu hukumnya haram.
Menyamun adalah mengambil harta milik orang lain secara paksa dengan kekerasan, ancaman senjata
dan terkadang disertai penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan di tempat yang sunyi.

Menurut Imam Malik penyamun adalah penghambat jalan. Sedangkan menurut Imam Syafi'i,
penyamun ialah yang menyatakan diri untuk mengambil barang orang atau untuk membunuh. Akan
tetapi mereka sepakat bahwa penyamun adalah orang yang mengangkat senjata dan menghambat di
jalanan dengan niat untuk mengambil harta orang lain.

B. Dasar Hukum Menyamun

َ‫ف أَوْ يُ ْنفَوْ ا ِمن‬


ٍ َ‫صلَّبُوا أَوْ تُقَطَّ ُع اَي ِد ِه ْم وضاَرْ ُجلِ ِهم ِّم ْن ِخال‬
َ ُ‫ض فَ َسادًا أَ ْن يُقَتَّلُوا أَوْ ي‬ ِ ْ‫اربُونَ هَّللا َ َو َرسُولَهُ َويَ ْس َعوْ نَ فِي ااْل َر‬ِ ‫إِنَّ َما َج َزا ٌءث الَّ ِذينَ يُ َح‬
ِ ‫ َو لَهُ ْم ْفي اآْل ِخ َر ِة َع َذابٌ ع‬.‫ك لَهُ ْم خؤجْ ٌي فِي ال ُّد ْنيَا‬
‫َظي ٌم‬ ِ ْ‫ااْل َر‬
َ ِ‫ َذل‬.‫ض‬

Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya
dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik (secara silang) atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat azab
yang besar…” (QS. Al-Maidah :33)

:Berdasarkan Qur'an Surat Al-Maidah ayat 33, had penyamun adalah

a). Apabila mereka mengambil harta dan membunuh korbannya, hadnya dihukum mati, kemudian
.disalib

b). Apabila mereka membunuh korbannya tetapi tidak mengambil hartanya, hadnya adalah dihukum
.mati sebagaimana qishash

c). Apabila mereka mengambil harta, tetapi tidak membunuh korbannya, maka hadnya adalah
dipotong tangan dan kakinya dengan cara silang (tangan kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri
.dengan kaki kanan)

d). Apabila meeka tidak mengambil harta dan tidak membunuh misalnya, tertangkap sebelum sempat
berbuat sesuatu, atau memang sengaja hanya menakut-nakuti, maka hadnya adalah dipenjarakan atau
.diasingkan

C. Hukuman Terhadap Tindak Pidana Penyamun

Jika mereka membunuh orang yang setingkat dengan mereka dengan sengaja dan tanpa hak serta .1
tidak mengambil harta benda, maka mereka harus di hukum mati. Jika mereka membunuh tanpa
.sengaja, maka mereka tidak dibunuh
Jika mereka membunuh dan mengambil harta benda nisab pencurian atau lebih banyak, maka .2
.mereka dibunuh

Jika mereka mengambil harta benda nisab pencurian atau lebih banyak dari tempat .3
penyimpanannya dan tidak ada sybhat bagi mereka, namun tidak membunuh, maka tangan dan kaki
.mereka di potong berlainan, jika mereka melakukannya lagi maka dipotong kembali

Jika mereka menakut-nakuti orang yang melewati jalan dan tidak merampas harta benda serta .4
.tidak membunuh orang, maka mereka dipenjara

D. Penyamun yang Bertaubat

Telah menjadi ijma’ ulama atas gugurnya had harabah jika penyamun tersebut bertaubat
sebelum mereka tertangkap, sebab jika taubatnya setelah tertangkap maka tidak dapat merubah
sedikitpun ketentuan sangsi hukum terhadapnya. Hukum-hukum yang menjadi hak Allah menjadi
gugur, yaitu potong tangan dan kaki sebab taubat. Akan tetapi yang berkaitan dengan hak adami
berupa jiwa, harta tidak bias gugur begitu saja. Firman Allah dalam Q.S Al-Ma'idah ayat 34, yang
artinya: "Kecuali orang-orang yang taubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai
(menangkap) mereka, maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha
."Penyayang

E. Hikmah Dilarangnya Penyamun

Hikmah dari dilarangnya perbuatan menyamun merampok dan merompak diantaranya adalah
: sebagai berikut

.a). Orang akan menghindari dari tindakan kejahatan baik menyamun, merampok, dan merompak

.b). Melindungi hak milik harta benda dan jiwa seseorang dengan aman

.c). Mendorong manusia untuk mamiliki harta dengan cara sah dan halal

.d). Terwujudnya lingkungan yang aman , damai dan sejahtera

MERAMPOK

A. Pengertian perampokan

Istilah perampok dalam bahasa arab dinamakan dengan istilah Quttha’ al- thariq ‫ قطا ع الطريق‬yakni
orang yang memutuskan jalan, Dalam hukum pidana Islam perilaku kriminal perampok diistilahkan
dalam kitab-kitab fikih klasik, yakni muharib.

perampokan adalah pengambilan harta secara terang-terangan dan kekerasan. Para fuqaha
sepakat bahwa perampokan (hirabah) adalah mengangkat senjata dan mengganggu lalu lintas di luar
kota. Hirabah atau perampokan dapat digolongkan kepada tindak pidana pencurian dalam arti majazi,
bukan dalam arti hakiki. sehingga dengan demikian perampokan (Hirabah) dapat disebut dengan
istilah sariqah kubra (pencurian berat). Perampokan (Hirabah) dinamakan dengan pencurian
besar/berat, karena dampak madharatnya, tidak hanya menimpa para pemilik harta yang dirampas
saja, akan tetapi juga menimpa semua masyarakat secara umum. Dengan demikian, ancaman
hukuman/sanksi hadd-nya diperberat. Perbedaan yang asasi antara pencurian dengan perampokan
terletak pada cara pengambilan harta, yaitu pada jarinah pencurian men gambil barang secara diam-
diam, sedangkan jarinah perampokan mengambil barang itu dengan cara terang-terangan dan disertai
dengan kekerasan.

Istilah hirabah diambil dari kata harb artinya perang. Hirabah atau perampokan dapat dilakukan
baik secara berkelompok, maupun secara perorangan atau individu yang mempunyai kemampuan
untuk melakukannya. Para fuqaha mengategorikan perampokan itu dengan pencurian besar. Akan
tetapi pengertian muharib saat ini di Indonesia biasa disebut dengan pelaku teroris. Pelaku teroris
(muharib) dimaksud harus memenuhi dua syarat pokok, yaitu: jami’ dan mani’. Jami’ yakni segala
tindakan kejahatan perilaku manusia, sedangkan mani’ adalah segala tindakan pencegahan perilaku
manusia untuk berperilaku hirabah. Dengan demikian hirabah termasuk dosa besar. Oleh karena itu,
Al-Qur'an memutlakkan orang yang melakukan hirabah sebagai orang yang menyerang Allah,
Rasulnya, dan orang yang berusaha membuat kerusakan di atas bumi. Allah Swt. telah menetapkan
hukuman atau sanksi yang bisa menjadikan pelakunya jera dan menghilangkan rintangan tersebut
dan menghilangkan hal-hal yang menyakitkan dari tengah jalan. Hal ini Allah Swt. memberikan
sanksi terhadap pelaku hirabah itu di dalam Surah al-Ma’idah ayat 33.

karena itu perbuatan perampokan yang membuat kerusuhan atau kekacauan di bumi, yakni
melakukan sesuatu yang biasa merusak kehidupan, seperti membunuh ma nusia, merampas harta,
maupun menimbulkan ketakutan dan keresahan dalam masyarakat, maka patut mendapat hukuman
yang berat seperti yang dijelaskan di dalam Alquran surah al-Ma’idah ayat 33, yaitu sebagai berikut:

1). Hukum bunuh dengan secara hebat dan berwibawa.

2). Hukum salib, yaitu dibuat kayu palang, lalu dinaikkan ke kayu palang itu, dan dibiarkan di sana
sampai mati. Atau dibunuh setelah beberapa waktu tergantung itu.

3). Dipotong tangannya, dan kakinya berselang seling.

4). Dibuang dari bumi. Hukuman bagi pelaku kejahatan perampokan sebagai mana disebutkan dalam
Alquran surah alMâ’idah ayat 33 tersebut di atas para ulama berbeda pendapat, seperti ulama
Hanafiyah, ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah, tingkatan hukuman had perampok adalah sesuai
dengan urutan yang disebutkan pada ayat muharabah tersebut. Karena hukuman harus sesuai dengan
kadar tingkatan kejahatan.

B. Hukum Perampokan

Q.S Al-Ma'idah ayat 33

‫ف أَوْ يُ ْنفَوْ ا‬
ٍ َ‫صلَّبُوا أَوْ تُقَطَّ ُع اَي ِد ِه ْم وضاَرْ ُجلِ ِهم ِّم ْن ِخال‬
َ ُ‫ض فَ َسادًا أَ ْن يُقَتَّلُوا أَوْ ي‬
ِ ْ‫اربُونَ هَّللا َ َو َرسُولَهُ َويَ ْس َعوْ نَ فِي ااْل َر‬
ِ ‫إِنَّ َما َج َزا ٌءث الَّ ِذينَ يُ َح‬

‫ َو لَهُ ْم ْفي اآْل ِخ َر ِة َع َذابٌ َع ِظي ٌم‬.‫ك لَهُ ْم خؤجْ ٌي فِي ال ُّد ْنيَا‬ ِ ْ‫ِمنَ ااْل َر‬
َ ِ‫ َذل‬.‫ض‬

Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya
dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik (secara silang) atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat azab
yang besar…” (QS. Al-Maidah :33).

Merampok atau merampas harta orang lain yang kadang disertai dengan kekerasan, ancaman dan
bahkan pembunuhan merpakan perilaku yang sangat menggelisahkan dan mengerikan. Itu termasuk
perbuatan haram dan merupakan dosa besar yang wajib dijauhi oleh setiap individu. Dan merampok
juga termasuk perbuatan tercel, karena dapat merusak hubungannya dengan Rabb-Nyamaupun
sesama manusia.

Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Barangsiapa yang mengambil harta manusia dengan
tujuan merampasnya niscaya Allah akan merampas darinya. Dan barangsiapa yang mengambil
dengan tujuan merusaknya niscaya Allah akan merusaknya pula."

Dan dari Ibnu Umar ia berkata: "Bahwasannya ada segerombolan orang merampas unta rasul,
kemudian mereka murtad dari islam dan juga mereka membunuh pengembala unta rasul yang
beragama islam. Kemudian rasul mengirim sebuah pasukan untuk mengejar mereka dan pasukan
tersebut dapat menangkap mereka, kemudian tangan-tangan dan kaki-kaki mereka diperintahkan
untuk dipotong sedangkan mata mereka diperintahkan untuk dicungkili."

BUGHAT

A. Pengertian Bughat

bughat adalah bentuk jamak dari isim fail baghin yang berasal dari lafaz bagha-yabghi yang
mengandung arti mencari, durhaka, berpaling, melampaui batas atau melawan dan zhalim, dengan
demikian bughat adalah sekelompok orang yang berdurhaka dengan mengadakan perlawanan.
Pendapat lain menyebutkan bahwa kata bughat berasal dari kata bagha-yabghi yang berarti
menginginkan sesuatu.

Adapun bughat dalam pengertian syara’ adalah orang-orang yang menentang atau memberontak
pemimpin Islam yang terpilih secara sah. lain dengan kekerasan/ancaman senjata dan kadang-kadang
disertai dengan pembunuhan. Bughat adalah pemberontakan orang-orang Islam terhadap imam
(pemerintah yang sah) dengan cara tidak mentaati dan ingin melepaskan diri atau menolak kewajiban
dengan memiliki kekuatan, argumentasi. Tindakan yang dilakukan bughat bisa berupa memisahkan
diri dari pemerintahan yang sah, membangkang perintah pemimpin. Ada pula perbedaan pendapat
para ulama fiqih dalam mendefinisikan tindak pidana bughat, antara lain:

1. Ulama Malikiyyah, mendefinisikan bughat sebagai tindakan menolak untuk tunduk dan taat kepada
orang yang kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara
menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (ta’wil). Dengan kata lain, bughat adalah
sekelompok orang muslim yang berseberangan dengan imam (kepala negara) atau wakilnya, dengan
menolak hak dan kewajiban atau maksud menggulingkannya.

2. Ulama Hanafiyyah, bughat adalah keluar dari ketaatan kepada imam (kepala negara) yang sah
dengan cara dan alasan yang benar.

3. Ulama Syafi’iyyah mendefinisikannya dengan orang-orang Islam yang tidak patuh dan tunduk
kepada pemimpin tertinggi negara dan melakukan suatu gerakan massa yang didukung oleh suatu
kekuatan dengan alasan-alasan mereka sendiri.

4. Ulama Hambali mendefinisikannya dengan menyatakan ketidakpatuhan terhadap pemimpin negara


sekalipun pemimpin itu tidak adil dengan menggunakan suatu kekuatan dengan alasan-alasan sendiri.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberontakan adalah pembangkangan
terhadap kepala negara (imam) dengan menggunakan kekuatan berdasarkan argumentasi atau alasan
(ta’wil). Pendapat lain mengatakan bahwa al-baghyu adalah bergeraknya sekelompok orang
bersenjata yang terorganisir melawan pemegang otoritas hukum yang legal menurut syara’ dengan
tujuan mencopotnya dari jabatannya dengan dasar prinsip pemahaman yang mereka pegangi.

Seorang baru bisa dikategorikan sebagai bughat dan dikenai had bughat jika beberapa kriteria
ini melekat pada diri mereka:
1. Memiliki kekuatan, baik berupa pengikut maupun senjata. Dari kriteria ini bisa disimpulkan bahwa
penentang imam yang tak memiliki kekuatan dan senjata tidak bisa dikategorikan sebagai bughat.

2, Memiliki takwil (alasan) atas tindakan mereka keluar dari kepemimpinan imam atau tindakan
mereka menolak kewajiban.

3. Memiliki pengikut yang setia kepada mereka.

4. Memiliki iman yang ditaati.

B. Dasar Hukum Bughat

Terdapat beberapa ayat al-Quran dan hadits yang membicarakan persoalan bughat, antara lain:

1). Q.S Al-Hujurat ayat 9

‫طآئِفَتَا ِن ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ ا ْقتَلُوا فَاَصْ لِحُوا بَ ْينَهُ َما‬
ً ‫ َواِ ْن‬....

Artinya: “Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya.”

2). Q.S Al-Hujurat ayat 10

َ‫ َوتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّكث ْم تُرْ ًح ُمون‬.‫إِنَّ َما ْال ُم ْؤ ِمنُونَ إِ ْخ َواةٌ فَأَصْ لِحُوا بَ ْينَ اَ ْخ َو ْي ُك ْم‬

Artinya: "Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah
."hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat

3). Hadits

kaum muslimin yang melakukan tindakan bughot antara lain bahwa Rosulullah saw, pernah
bersabda: “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah
kemudian mati, maka matinya adalah dalam keadaan mati jahiliyyah.” (HR. Muslim).

Hadits di atas memperjelas hukum bughat dimana dalam nash al-qur’an diungkapkan secara global
saja, tidak secara rinci maka Rasulullah memperjelasnya, inilah pungsi hadits terhadap al-Qur’an.

C. Unsur-unsur Bughat

1. Pembangkangan terhadap kepala negara (imam)

Pembangkangan di sini dalam artian menentang kepala negara dan berupaya untuk
memberhentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara.
2. Pembangkangan dilakukan dengan kekuatan

Pembangkangan di sini dalam artian menggunakan kekuatan yang berupa anggota, senjata,
sejumlah logistik dan dana dalam rangka mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah. Menurut
Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad sebuah gerakan bisa dikatakan pemberontakan jika
sudah menggunakan kekuatan secara nyata. Sehingga jika baru sebatas ide belum bisa dikatakan
pemberontakan, tapi jika sudah tahap perhimpunan kekuatan dikategorikan sebagai ta’zir.

3. Adanya niat yang melawan hukum (al-qasd al-jinaiy)

Yang tergolong pemberontak adalah kelompok yang dengan sengaja berniat menggunakan
kekuatan untuk menjatuhkan imam maupun tidak menaatinya.

D. Tindakan Hukum Terhadap Bughat

Para bughat harus diusahakan sedemikian rupa agar sadar atas kesalahan yang mereka lakukan,
hingga akhirnya mau kembali taat kepada imam dan melaksanakan kewajiban mereka sebagai warga
negara. Proses penyadaran kepada mereka harus dimulai dengan cara yang paling halus. Jika cara
tersebut tidak berhasil maka boleh digunakan cara yang lebih tegas. Jika cara tersebut masih juga
belum berhasil, maka digunakan cara yang paling tegas. Berikut urutan tindakan hukum terhadap
bughat sesuai ketentuan Fikih Islam:

*Mengirim utusan kepada mereka agar diketahui sebab-sebab pemberontakan yang mereka lakukan.
Apabila sebab-sebab itu karena ketidaktahuan mereka atau keraguan mereka, maka mereka harus
diyakinkan hingga ketidaktahuan atau keraguan itu hilang.

*Apabila tindakan pertama tidak berhasil, maka tindakan selanjutnya adalah menasihati dan mengajak
mereka agar mau mentaati imam yang sah.

* Jika usaha kedua tidak berhasil, maka usaha selanjutnya adalah memberi ultimatum atau ancaman
bahwa mereka akan diperangi. Jika setelah munculnya ultimatum itu mereka meminta waktu, maka
harus diteliti terlebih dahulu apakah waktu yang diminta tersebut akan digunakan untuk memikirkan
kembali pendapat mereka, atau sekedar untuk mengulur waktu. Jika ada indikasi jelas bahwa mereka
meminta penguluran waktu untuk merenungkan pendapat-pendapat mereka, maka mereka diberi
kesempatan, akan tetapi sebaliknya, jika didapati indikasi bahwa mereka meminta penguluran waktu
hanya untuk mengulur-ulur waktu maka mereka tak diberi kesempatan untuk itu.
*Jika mereka tetap tidak mau taat, maka tindakan terakhir adalah diperangi sampai mereka taat dan
sadar kembali.

E. Contoh Perbuatan Bughat

a). Pada masa Rasulallah saw di Madinah, terdapat sekelompok orang Yahudi dari Bani Quraidhah
yang melakukan pengingkaran terhadap perjanjian perdamaian yang dibuat bersama Rasulallah saw.
Mereka melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap umat Islam. Kemudian Rasulallah saw
memerangi mereka dengan membunuh mereka yang melawan kecuali anak-anak, wanita, dan orang-
.orang yang sudah jompo

b). Pada masa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq telah terjadi pembangkangan yang dilakukan umat
Islam dengan tidak mau membayar zakat. Perbuatan ini dianggap bughat, oleh karena itu Abu Bakar
.Shiddiq memerangi mereka

c). Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan telah dianggap
bughat terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thalib, oleh karena itu Khalifah Ali bin Abi Thalib
.memerangi mereka yang mengakibatkan terjadinya perang Siffin

F. Sanksi Bughat

Dalam menentukan sanksi bagi pelaku pidana bughat atau pemberontakan dibagi menjadi dua
hal, yakni: Pertama, Tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan. Yang dimaksud
tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan adalah berbagai tindak pidana yang
muncul sebagai bentuk pemberontakan terhadap pemerintah, seperti perusakan fasilitas publik,
pembunuhan, penganiayaan, penawanan dan lain sebagainya.

Sebagai konsekuensi dari berbagai kejahatan yang langsung berkaitan dengan pemberontakan
tersebut, pelaku tidak mendapat jarimah biasa, akan tetapi mendapat hukuman mati. Akan tetapi, jika
imam memberikan pengampuan (amnesti), maka pelaku pemberontakan akan mendapatkan hukuman
ta’zir.

Kedua, Tindak pidana yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan. Yang dimaksudkan
dengan tindak pidana yang tidak berkaitan dengan pemberontakan adalah berbagai tindak kejahatan
yang tidak ada korelasinya dengan pemberontakan, tapi dilakukan pada saat terjadinya
pemberontakan atau peperangan. Beberapa kejahatan tersebut seperti minum minuman keras, zina
atau perkosaan, pencurian, dan lain sebagainya. Ketika beberapa perbuatan tersebut dilakukan, maka
akan dihukumi dengan hukuman jarimah biasa dan akan mendapat hukuman hudud sesuai dengan
jarimah yang dilakukan. Sebagian penganut Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa pemberontak harus
bertanggung jawab atas semua barang yang dihancurkannya, baik ada kaitannya dengan
pemberontakan atau tidak, karena perbuatan itu mereka lakukan dengan melawan hukum.

Secara umum, pada hakikatnya hukuman bagi pelaku pemberotakan adalah hukuman mati. Hal
tersebut dikarenakan pemberontakan merupakan kejahatan yang akan menimbulkan kekacauan,
ketidaktenangan dan pada akhirnya akan mendatangkan kemunduran dalam suatu masyarakat
(negara).

Pembangkang yang taubat, taubatnya diterima dan ia tidak boleh membunuh. Oleh sebab itu,
para bughat yang tertawan tidak boleh diperlakukan secara sadis, lebih-lebih dibunuh. Mereka cukup
ditahan saja hingga sadar. Adapun harta mereka yang terampas tidak boleh disamakan dengan
ghanimah. Karena setelah mereka sadar, harta tersebut kembali menjadi harta mereka. Bahkan jika
didapati kalangan bughat yang terluka saat perang, mereka tidak boleh serta merta dibunuh. Terkait
hal ini Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa kala terjadi perang Jamal, Ali menyuruh agar
diserukan: "Yang telah mengundurkan diri jangan dikejar, yang luka-luka jangan segera dimatikan,
yang tertangkap jangan dibunuh, dan barang siapa yang meletakkan senjatanya harus diamankan."

Kesimpulan

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa perbedaan antara mencuri, merampok, menyamun dan bughat
: yaitu

Mencuri adalah mengambil harta milik orang lain yang tidak ada hak untuk memilikinya, yang
.dilakukan tanpa sepengetahuan pemiliknya, dan secara sembunyi-sembunyi

Menyamun adalah mengambil harta milik orang lain secara paksa dengan menggunakan kekerasan,
ancaman senjata dan terkadang disertai penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan di tempat-
.tempat sunyi

Merampok adalah mengambil harta milik orang lain secara paksa dengan menggunakan kekerasan,
ancaman senjata dan terkadang disertai penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan di tempat-
.tempat yang ramai
Bughat adalah pemberontakan orang-orang Islam terhadap imam (pemerintah yang sah) dengan cara
tidak mentaati dan ingin melepaskan diri atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan,
argumentasi.

SYUKRON

Anda mungkin juga menyukai