Anda di halaman 1dari 20

HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum agraria


Dosen Pengampu: Evita Premila Djilham Nuhqila, M.H.

MAKALAH

HES 4G
Disusun Oleh Kelompok 1:
M. Ihsan Al Qod’ri 1860101223266
Resti Isma Anggraeni 1860101223273
Syifa Niharul Mahamida 1860101223285
Winda Ayu Larasati 1860101223292
Nadila Dwi Lestari 1860101223305

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID
ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG 2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga makalah
ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa abadi tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah mengantarkan manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang
benderang.
Makalah ini dibuat guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Agraria. Dengan
bantuan beberapa pihak, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Abd. Aziz, M.Pd.I. selaku Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung.
2. Ibu Arifah Millati selaku ketua Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung.
3. Ibu Dr. Zulfatun Ni’mah, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah UIN
Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
4. Evita Premila Djilham Nuhqila, M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum tata
negara yang telah memberikan pengarahan dalam penulisan makalah ini.
5. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan laporan penelitian ini.
Dengan penuh harap semoga jasa kebaikan mereka diterima Allah SWT dan tercatat sebagai
amal shalih. Akhirnya, makalah ini penulis suguhkan kepada segenap pembaca, dengan harapan
adanya saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi perbaikan. Semoga karya ini bermanfaat
dan mendapat ridha Allah SWT.

Tulungagung, 17 februari 2024

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1

B. Rumusan masalah ........................................................................................................ 2

C. Tujuan penulisan.......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Ketentuan Hukum Agraria pada Masa Kolonial ........................................................... 3

B. Kondisi politik agraria kolonial .................................................................................... 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada abad-abad terakhir, dunia telah menyaksikan perjalanan panjang kolonialisme
yang menciptakan perubahan mendalam dalam politik dan hukum agraria di wilayah-
wilayah yang menjadi korban penjajahan. Hukum dan politik agraria kolonial tidak
hanya mencerminkan interaksi kompleks antara kebijakan penguasaan tanah dan
struktur politik, tetapi juga memperlihatkan dampak mendalam terhadap masyarakat
lokal dan lingkungan.
Pertama, perjalanan kolonialisme diwarnai oleh dorongan para penjajah untuk
menguasai sumber daya alam yang melimpah, termasuk tanah pertanian yang subur. Hal
ini melahirkan kebutuhan akan regulasi hukum agraria yang dapat mengatur kepemilikan
dan pemanfaatan tanah tersebut. Selain itu, politik agraria kolonial turut dipengaruhi
oleh tujuan ekonomi penjajahan, seperti eksploitasi hasil bumi dan penanaman tanaman
tertentu yang menguntungkan penjajah. Dalam konteks ini, hukum agraria digunakan
sebagai instrumen untuk mendukung struktur kekuasaan, menciptakan landasan bagi
redistribusi tanah dan sistem perpajakan yang mendukung kepentingan penjajah.
Dinamika ketidaksetaraan sosial juga terwujud melalui hukum agraria kolonial,
menciptakan disparitas kepemilikan tanah antar kelompok etnis atau kelas sosial
tertentu. Implikasinya tidak hanya pada tingkat ekonomi, tetapi juga menciptakan
ketegangan sosial yang dapat berlanjut hingga setelah masa penjajahan. Perubahan ini
tidak hanya berdampak pada tingkat lokal, tetapi juga membawa konsep hukum Barat
yang baru terkait hak-hak properti dan transaksi tanah. Hal ini sering kali bertentangan
dengan sistem hukum dan kearifan lokal yang sudah ada, menciptakan dinamika tata
kelola tanah yang kompleks.
Dengan demikian, makalah ini akan membahas tentang hukum dan politik agraria
kolonial sebagai pembelajaran pada materi kali ini. Dengan menelusuri sejarah ini, kita

1
dapat memahami lebih dalam tentang kompleksitas hukum dan politik agraria yang
terbentuk selama periode kolonial.
B. Rumusan masalah
1. bagaimana ketentuan hukum agraria pada masa kolonial ?
2. bagaimana kondisi politik agraria pada masa kolonial?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk memahami ketentuan hukum agraria pda masa kolonial
2. Untuk memahami kondisi politik agraria pada masa kolonial

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ketentuan Hukum Agraria pada Masa Kolonial
Dari segi masa berlakunya, hukum agraria di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu:
1. Hukum Agraria Kolonial, Hukum agraria ini berlaku sebelum Indonesia merdeka
bahkan berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960.
2. Hukum Agraria Nasional, Hukum agraria ini berlakunya setelah diundangkannya
UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960.
Beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa hukum dan kebijaksanaan agraria yang
berlaku sebelum indonesia merdeka disusun berdasarkan tujuan pemerintahan Hindia
Belanda, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pada masa terbentuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie).
Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang
telah ditetapkan oleh VOC, antara lain:
a. Contingenten
Pajak atas hasil tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial. Petani
harus menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa
dibayar sepeser pun.
b. Verplichte leveranten
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang
kewajiban menyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya
juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-
benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka
hasilkan.
c. Roerendiensten
Kebijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat
indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian

3
2. Pada masa Pemerintah Gubernur Herman Willem Deandles (1800-1811)
kebijaksanaan yang ditentukan oleh Gubernur ini adalah menjual tanah-tanah rakyat
Indonesia kepada rakyat China, Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah yang
dijual tersebut disebut dengan tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom
yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom
lainnya adalah hak-hak kepada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut
landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak pertuanan misalnya:
a. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan
kepala-kepala kampung/desa,
b. Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa
dari penduduk,
c. Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa uang maupun hasil
pertanian dari penduduk.
d. Hak untuk mendirikan pasar-pasar,
e. Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan.
f. Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput bagi
keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-
gudangnya dan sebagainya.
3. Pada masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816).
Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Gubernur Thomas Stamford Raffles adalah
landrent atau pajak tanah. Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah, tetapi
ditugaskan oleh kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan
jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.
b. Kepala desa diberi kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan
tanah oleh para petani.
c. Praktik pajak tanah menjungkirbalikkan hukum yang mengatur pemilikan tanah
rakyat sebagai akibat besarnya kekuasaan kepala desa.

4
4. Pada masa Pemerintahan Gubernur Johanes Van den Bosch.
Pada tahun 1830 Gubernur Johanes Van den Bosch menetapkan kebijakan pertanahan
yang dikenal dengan sistem tanam paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam
paksa ini, petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara
langsung maupun tidak langsung yang dibutuhkan oleh pasar internasional. Hasil
pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan
apapun, sedangkan pada rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib
menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa. kerjanya atau 66 hari
untuk satu tahunnya.
5. Pada masa berlakunya Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55
Dengan berlakunya Agrarische Wet, politik monopoli (politik kolonial konservatif)
dihapuskan dan diganti dengan politik liberal yaitu pemerintah tidak ikut mencampuri
dibidang usaha, pengusaha diberikan kesempatan dan kebebasan mengembangkan
usaha dan modelnya dibidang pertanian di Indonesia. Agrarische Wet merupakan hasil
dari rancangan Wet (undang-undang) yang diajukan oleh mentri jajahan de wall.
Agrarische Wet di undangkan dalam stb. 1870 No 55, sebagai tambahan ayat-ayat baru
pada pasal 62 RR Stb. 1854 No. 2. Semula RR terdiri dari 3 ayat, dengan tambahan 5
ayat baru (ayat 4 sampai dengan ayat 8) oleh Agrarische Wet, maka pasal 62 RR
kemudian menjadi pasal 51 IS, Stb. 1925 No. 447. Isi pasal 51 IS adalah sebagai
berikut:
a. Gubernur jendral tidak boleh menjual tanah.
b. Dalam tanah di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang
diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan- kegiatan
usaha..
c. Gubernur jendral dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan dengan ordonansi. Menurut ketentuan yang ditetapkan oleh ordonansi,
diberikan tanah dengan hak Erfpacht selama tidak lebih dari 75 tahun.
d. Gubernur Jendral menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang melanggar
hak-hak rakyat pribumi.

5
e. Gubernur Jendral tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat asal
pembukaan hutan yang dipergunakan untuk keperluan sendiri, demikian juga
tanah-tanah sebagai tempat penggembalaan umum atau atas dasar lain merupakan
kepunyaan desa, kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan pasal 133 atau
untuk keperluan penanaman tanaman-tanaman yang diselenggarakan atas perintah
penguasa menurut peraturan-peraturan yang bersangkutan, semuanya dengan
pemberian ganti kerugian yang layak.
f. Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pribadi yang
turun-temurun (hak milik adat) atas permintaan pemiliknya yang sah dapat
diberikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan pembatasan-pembatasan yang
diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam
surat eigendomnya, yaitu mengenai kewajibanya terhadap negara dan desa yang
bersangkutan, demikian juga mengenai wewenangnya untuk menjualnya kepada
bukan pribumi.
g. Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada non pribumi
dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan ordonansi.
6. Pada masa berlakunya Agrarische Besluit Sth. 1870 No.118 Ketentuan-ketentuan
Agrarische Wet pelaksanaanya diatur lebih lanjut dalam peraturan dan keputusan.
Agrarische Besluit terdiri atas tiga, yaitu:
a. Pasal 1-7 tentang hak atas tanah.
b. Pasal 8-8 b tentang pelepasan tanah, dan
c. Pasal 19-20 tentang peraturan campuran 1
Hukum agraria kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, yaitu dengan. berlakunya
hukum agraria yang berdasarkan atas hukum adat, disamping hukum agraria yang
didasarkan atas hukum barat. Sifat dualisme hukum tersebut meliputi bidang- bidang yaitu:

1
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, (Jakarta:Kencana Prenada Media
Group,2008), hal.17-22.

6
1. Hukum. Pada saat yang sama berlaku macam-macam hukum agraria, yaitu hukum
agraria barat, hukum agraria adat, hukum agraria swapraja, hukum agraria
administratif, dan hukum agraria antar golongan.
2. Hak Atas Tanah. Pada saat yang sama berlaku macam-macam hak atas tanah yang
berbeda hukumnya. yaitu:
a. Hak atas tanah yang tunduk pada hukum agraria barat yang diatur dalam KUH
Perdata, misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfecht.
b. Hak atas tanah yang tunduk pada hukum agraria adat daerah masing-masing yang
disebut tanah-tanah hak adat, misalnya tanah yasan, tanah kas desa, tanah bengkok,
tanah ganjaran, tanah kuburan, tanah pengembalaan (tanah pangonan).
c. Hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah swapraja, misalnya Grant
Sultan (semacam hak milik adat yang diberikan oleh pemerintah swapraja kusus
bagi kaula swapraja, didaftar di kantor pejabat swapraja).
d. Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah hindia belanda, misalnya
hak Agrarische Eigendom (tanah milik adat yang ditundukkan dirinya pada hukum
agraria barat).
3. Hak Jaminan Atas Tanah
Beberapa Hak jaminan atas tanah pada masa berlakunya hukum agraria kolonial. Yaitu:
a. Lembaga Hypotheek diperuntukkan bagi hak-hak atas tanah yang tunduk pada
hukumk barat, yaitu hak eigendom, hak opstal, dan hak erfpecht, yang diatur dalam
pasal 1162 sampai dengan pasal 1332 KUH Perdata.
b. Lembaga Credietverband diperuntukkan bagi tanah-tanah yang tunduk pada
hukum adat.
c. Lembaga jonggolan di jawa, di Bali disebut Makantah dan di batak disebut Tahan,
dalam hubunganya dengan utang-piutang dikalangan masyarakat, dimana pihak
debitur menyerahkan tanahnya sebagai jaminan utang kepada kreditur.
4. Pendaftaran Tanah
Berdasarkan Overschrijving Ordonnantie Stb. 1834 No. 27. pendaftaran tanah.
dilakukan oleh kantor pendaftaran tanah atas tanah-tanah yang tunduk pada hukum

7
barat dan pendaftaran tanah ini menghasilkan tanda bukti berupa sertifikat yang
diberikan kepada pemegang haknya.
Hukum agraria kolonial bagi rakyat Indonesia asli tidak menjamin kepastian hukum.
Tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam bidang hukum agraria bagi rakyat Indonesia
asli disebabkan oleh dua hal yaitu:
a. Dari Segi Perangkat Hukum
Bagi orang-orang yang tunduk pada hukum barat, perangkat hukumnya tertulis, yaitu
diatur dalam KUH Perdata, sedangkan bagi rakyat indonesia asli berlaku hukum
agraria adat, yang perangkat hukumnya tidak tertulis, yang terdapat dalam kebiasaan-
kebiasaan masyarakat yang berlaku sebagai hukum.
b. Dari Segi Pendaftaran Tanah.
Untuk tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat, misalnya hak eigendom, hak opstal,
hak erfpacth dilakukan pendaftaran tanah dengan tujuan memberikan jaminan hukum
dan menghasilkan tanda bukti yang berupa sertifikat. 2
B. Kondisi politik agraria kolonial
Sebagai sebuah Produk Politik Agraria, UUPA 1960 isinya menentang strategi
kapitalisme, karena kapitalisme melahirkan kolonialisme, yang menyebakan “penghisapan
manusia atas manusia lainnya”. UUPA 1960 juga bertolak belakang dengan strategi
sosialisme, yang dianggap menghilangkan hak-hak individual atas tanah. Politik agrarian
yang terkandung dalam UUPA 1960 sebagai sebuah produk kebijakan politik adalah
Populisme, dimana adanya pengakuan terhadap hak individu atas tanah, tetapi hak tersebut
dating berbarengan dengan adanya unsur fungsi sosial yang mengikuti. Melalui prinsip Hak
Menguasai dari Negara, pemerintah mengatur agar tanah-tanah” dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). UUPA 1960 mendasarkan
diri pada asumsi manusia yang monodualis, yakni sebagai individu dan sebagai mahluk
social. 3

2
Urip Santoso, Ibid, hal. 24-26
3
Arief Rahman, Politik Agraria, (Jambi: Salim Media Indonesia, 2019), hal. 21.

8
a) Masa Kekuasaan VOC
Aktivitas perekonomian masa itu, peranan orang-orang Eropa di Hindia Belanda
(Indonesia) menjadi sangat penting. Bahkan keterlibatan dan intervensi lebih jauh
dalam aktivitas perekonomian (perdagangan), semakin nyata tatkala sindikat
perdagangan bernama VOC mendukungnya. Mengetahui peran penting VOC dalam
aktivitas perdagangan, sangat penting karena melalui peran itulah juga menjadi dasar
penetapan berbagai kebijakan politik dalam bidang agraria.
Ada beberapa kebijakan yang sangat menindas rakyat Indonesia , yaitu: 4
1. Contingenten , yaitu pajak atas hasil tanah pertanian yang diserahkan kepada penguasa
colonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya kepada
kompeni tanpa dibayar sepeserpun.
2. Verplichte Leveranten, yaitu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan
para raja tentang kewajiban menyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran
yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Rakyat tani tidak bisa berbuat
apa-apa dan tidak bisa berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
3. Roerendiensten, yaitu kebijakan yang dikenal dengan nama kerja rodi, yang
dibebankan kepada rakyat Indonesia tidak mempunyai tanah pertanian.
Pola-pola pemilikan tanah dan penguasaan tenaga kerja, pun tampak menjadi bagian
integral yang menyatu dalam pelaksanaan program-program VOC. Karena itu, demi
eksisnya pertahanan VOC di Indonesia, maka ia mulai membuat prasarana yang diperlukan
seperti berupaya membangun benteng-benteng, loji, gudang penyimpanan hasil bumi,
pabrik dan juga rumah tempat tinggal.
Dalam merealisasi keinginannya, untuk pertama kali VOC menuntut pengerahan tenaga
rakyat dari para Bupati. Tenaga rakyat ini digunakan untuk menebang dan mengumpulkan
kayu dari hutan jati. Blandbong adalah istilah yang dipergunakan untuk menyebut kerja
wajib umum ini. Kerja sebagai blandbong hanya mendapat upah relatif kecil yang tidak

4
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, cetakan keenam (Jakarta; Kencana Prenada Media
Group, 2017), hal 14.

9
sesuai dengan kerja yang harus mereka lakukan. Kerja wajib umum selalu dituntut oleh
penguasa pribumi terhadap para sikep. Bahkan di beberapa wilayah, tuntutan terhadap
tenaga kerja wajib tanam tidak saja didasarkan pada pemilikan tanah tetapi juga bagi
mereka yang hanya memiliki rumah (numpang karang atau indung tempel). Kebijakan
politik ini disebut “menumpangkan”, karena alasan bahwa yang dilakukan oleh Belanda
dari tahun 1619 hingga masuknya Jepang tahun 1942 adalah mencari produk pertanian di
Indonesia khususnya Jawa untuk dijual di pasaran dunia tanpa mengubah stuktur ekonomi
pribumi secara asasi. 5
b) Masa Tanam Paksa
Pada tahun 1980 Gubernur Van Den Bosch menetapkan kebijakan pertanahan yang
dikenal dengan system tanam paksa atau cultuurstelsel. Dalam sistem tanam paksa ini
rakyat dipaksa menanam satu jenis tanaman tertentu yang langsung maupun tidak
langsung dibutuhkan oleh pasar internasional. Hasil pertanian diserahkan kepada
pemerintahan kolonial tanpa mendapat imbalan apa pun, sedangkan bagi rakyat yang
tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima
bagian dari masa kerjanya 66 hari untuk waktu satu tahunnya. 6
Menurut peneliti Boeke (1980) menjelaskan tentang dampak sosial dan ekonomi
yang ditimbulkan oleh sistem tanam paksa bahwa: “… apa yang dianggap sebagai
suatu ciri khas yang intrinsik dan tetap dari kehidupan ekonomi Indonesia (Timur)
merupakan gejala yang pada dasarnya bersifat spiritual. Kondisi ini tercipta secara
historis; ia tidak tumbuh dari hakekat jiwa timur yang tidak dapat berubah saat
berpapasan dengan semangat dinamisme barat, melainkan tumbuh dari wujud politik
penjajahan yang memberi tekanan secara politis pada pola pertanian tradisional
Indonesia…”
Karena adanya perdebatan mengenai tanam paksa yang memuncak akhirnya
menimbulkan pemikiran tentang politik kolonial yang bagaimana yang harus

5
Ahmadin, Masalah Agraria di Indonesia Masa Kolonial, Jurnal Attoriolong, Vol. IV, No. 1, (Juni, 2007),
hal. 58-59.
6
Urip Santoso, Hukum Agraria……, hal 16-17.

10
diterapkan agar sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga pada akhirnya sistem
tanam paksa dihapuskan. Dengan dihapuskannya sistem tanam paksa yang merupakan
pelaksanaan politik kolonial yang konservatif, maka mulailah politik liberal.
c) Masa Faham Liberal
Pada tahun 1870 yang dianggap sebagai titik balik sejarah kolonial belanda,
disahkannya Undang-Undang Agraria yang disebut dengan Agrarische Wet.
Agrarische Wet merupakan hasil dari rancangan Wet (undang-undang) yang
diajukan oleh Menteri Jajahan de Waal. Agrarische Wet diundangkan dalam Stb.1970
No 55 , sebagai tambahan ayat-ayat baru pasal 62 Regering Reglement
(RR) Stb.1854 No 2 yang terdiri dari 8 ayat. Pasal 62 RR kemudian menjadi pasal
51 Indische Staatsregeling (IS) Stb 1925 no 447, yang isinya seperti berikut:7
1. Gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah;
2. Dalam tanah diatas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang
diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan
usaha;
3. Gubernur jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan–ketentuan
yang ditetapkan ordonansi. Tidak termasuk yang boleh disewakan tanah-tanah
kepunyaan orang-orang pribumi asal pembukaan hutan, demikian juga tanah-tanah
yang sebagai tempat pengembangan umum atas dasar lain merupakan kepunyaan
desa;
4. Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi, diberikan tanah
dengan hak erfpacht selama tidak lebih dari 75 tahun;
5. Gubernur jenderal menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang
melanggar hak –hak rakyat pribumi;
6. Gubernur jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat
asal pembukaan hutan yang digunakan untuk keperluan sendiri, demikian
juga tanah-tanah sebagai tempat penggembalaan umum atau atas dasar

7
Ibid, hal 20-23.

11
lain merupakan kepunyaan desa, kecuali untuk kepentingan umum
berdasarkan pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman-tanaman yang
diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan yang bersangkutan,
semuanya dengan pemberian ganti kerugian yang layak;
7. Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai
pribadi yang turun temurun (yang dimaksudkan adalah hak milik adat)
atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadanya dengan
hak eigendom, dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagai
yang ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam surat
eigendomnya, yaitu mengenai kewajibannya terhadap Negara dan desa
yang bersangkutan, demikian juga mengenai wewenangnya untuk
menjualnya kepada bukan pribumi;
8. Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada
nonpribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan ordonansi.
Ketentuan-ketentuan dari Agrarische Wet pelaksanaannya diatur lebih lanjut didalam
berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu diantaranya yang penting
ialah yang diatur dalam Koninkjlk Besluit yang kemudian dikenal dengan nama
Agrarisch Besluit dan diundangkan dalam S 1870 No 118 memuat pernyataan yang
dikenal dengan “domein veklaring”. Pasal 1 dari Agrarisch Besluit ini menentukan:
“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan ke-2 dan ke-3 dari Undang-undang
tersebut (ayat 5 dan 6 Pasal 51 IS) maka tetap dipegang teguh dasar hukum yang 13
menyatakan bahwa: semua tanah yang tidak ada buktinya hak eigendom adalah kepunyaan
negara”. 8
Pada bulan Agustus 1899, Conrad Theodor van Deventer menulis artikel “Een
Eereschlud” (Hutang Budi) dalam majalah De Gids yang isinya menuntut agar kolonial
Belanda memberikan ganti rugi terhadap kekayaan alam yang telah dieksploitasi sejak
sistem tanam paksa (1867). Negeri jajahan menurutnya telah memperoleh keuntungan kira-

8
Ardiwilaga & R.Rustandi, Hukum Agraria Indonesia , (Masa Baru, Jakarta, 1962), hal 147.

12
kira sebesar 200 gulden. Pengakuan jujur atas hal ini merupakan suatu kehormatan, karena
itu utang kehormatan hanya dapat dibayar dengan cara memperbaiki dan memperhatikan
nasib negeri jajahan. Krisis ekonomi sejak 1885 menyebabkan kemiskinan dan penderitaan
rakyat, karena itu sudah tiba saatnya untuk membayar hutang budi tersebut. Menurut van
Deventer bahwa pendidikan dan pembangunan ekonomi merupakan conditio sine qua non
untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, karena melalui pendidikan Indonesia akan mampu
mengurus kepentingan dirinya sendiri.
Tuntutan ini rupanya mendapat respon positif dari berbagai pihak, sehingga pada
gilirannya melahirkan kebijakan baru berupa pengadaan fasilitas umum seperti irigasi,
edukasi (lembaga pendidikan), perumahan, rumah sakit (poliklinik), dan sebagainya.
Kebijakan baru kolonial Belanda ini, dalam sejarah penjajahan Indonesia dikenal sebagai
“politik etis”. Dalam perkembangan selajutnya, realitas menunjukkan bahwa politik etis ini
justru dinikmati oleh pihak-pihak tertentu saja seperti fasilitas perumahan oleh para
pengusaha perkebunan. Sebaliknya, penduduk desa tetap hidup di bawah garis kemiskinan
dan kelaparan. Timbulnya image negatif di kalangan masyarakat mengenai penyalahgunaan
Undang-undang Agraria. 9
Pengalaman hidup rakyat Indonesia dibawah politik agraria kolonial sampai sekarang
masih menjadi sumber yang mendasari keharusan kenapa harus dilakukan pembaharuan.
Perkembangan gagasan tentang politik agrarian Indonesia menemukan bentuk
konstitusionalnya dengan dirumuskan pasal 33 UUD 1945, dan Undang-Undang Pokok
Agraria 1960. Politik agrarian sepanjang zaman orde lama dengan jelas mencerminkan
pilihan pada Populisme. Secara umum, berdasarkan strateginya, politik agraria dapat
dibedakan menjadi 3 ciri ideal yang menjadi pembeda antara satu system dengan system
lainnya. Hal itu terdiri dari: 10
1. Penguasaan Tanah
2. Tenaga Kerja

9
Ahmadin, “Masalah Agraria di Indonesia……”, hal. 65.
10
Arief Rahman, Politik Agraria, (Jambi: Salim Media Indonesia, 2019), hal. 21.

13
3. Tanggung jawab pengambilan keputusan mengenai produksi, akumulasi, dan investasi.
Dalam strategi agrarian kapitalis, sarana produksi utama (Tanah) dikuasai oleh
individu-individu non-penggarap. Yang mengerjakan tanah adalah pekerja upahan.
Hubungan antara penguasaan/ kepemilikan tanah dan pekerjaan sifatnya terpisah. Pekerja
(penggarap) menjual tanah yang dibeli dengan upah yang diberikan oleh pemilik/ penguasa
tanah. Tenaga kerja diposisikan sebagai komoditi (barang dagangan). Tanggung jawab dan
pengambilan keputusan produksi, akumulasi dan investasi terletak sepenuhnya ditangan si
pemilik/penguasa tanah.
Dalam Strategi sosiali, tanah dan sarana produksi lainnya dikuasai oleh Negara, atau
kelompok pekerja. Tenaga kerja merupakan tenaga yang memperoleh imbalan dari hasil
kerjanya. Yang di putuskan oleh organisasi yang mengatasnamakan sebagai organisasi para
pekerja. Dengan demikian, tanggung jawab atau pengambilan keputusan atas produksi,
akumulasi dan investasi terletak pada organisasi yang meng atas namakan para pekerja
tersebut (Biasanya Negara).
Dalam Strategi Populis atau Neo-Populis, satuan usaha adalah merupakan usaha
keluarga. Maka daripada itu penguasaaan atas tanah dan saran produksi lainnya tersebar
kepada mayoritas keluarga tani. Tenaga kerjanya adalah tenaga kerja keluarga jadi, produksi
secara keseluruhan merupakan pekerjaan keluarga tani tersebut. Walau kadang
tanggungjawab atas akumulasi biasanya tetap diatur oleh negara.
Dalam politik agraria kolonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapatkan hasil
bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga
setinggi-tingginya. Ada 2 tujuan politik agraria kolonial yang di jelmakan dalam Agrarische
Wet, yaitu:
1) Tujuan Primer
Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan bidang tanah yang
luas dari pemerintah pada waktu yang cukup lama dengan uang sewa yang murah.
2) Tujuan Sekunder
Melindungi hak penduduk bumi putra atas tanahnya, yaitu:
a) Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak hak bumi putra

14
b) Pemerintah hanya boleh mengambil tanah bumi putra apabila diperlukan untuk
kepentingan umum
c) Bumi putra diberikan kesempatan mendapat hak atas tanah yang kuat yaitu hak
eigendom
d) Diadakan peraturan sewa menyewa antara bumi putra dengan bukan bumi putra 11

11
Soedikno Mertokusumo, Hukum dan Politik Agraria, (Jakarta: Karurika, 1988), hal. 106.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada masa kolonial, kondisi politik hukum agraria tercermin dalam UUPA 1960 yang
menentang strategi kapitalisme dan sosialisme. UUPA 1960 lebih condong pada politik
agrarian populis, yang mengakui hak individu atas tanah namun juga mengikuti fungsi
sosial. Prinsip Hak Menguasai dari Negara dalam UUPA 1960 mengatur agar tanah
digunakan untuk kemakmuran rakyat, dengan asumsi manusia sebagai individu dan mahluk
sosial. Meskipun kemudian muncul politik etis yang menuntut pemulihan dan pemberian
ganti rugi atas eksploitasi yang dilakukan sejak sistem tanam paksa, namun realitas
menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak sepenuhnya memberikan manfaat bagi
seluruh masyarakat, terutama penduduk desa yang tetap hidup dalam kemiskinan.
Masa berlakunya hukum agraria di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu hukum agraria
kolonial dan hukum agraria nasional dan masa berlakunya setelah diundangkanya UUPA
pada tanggal 24 September 1960. Hukum agraria kolonial memiliki 3 ciri yang dimuat
dalam konsideren UUPA di bawah perkataan "menimbang" huruf b, c, dan d serta dimuat
dalam penjelasan umum angka I UUPA. Ada beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa
hukum dan kebijaksanaan agraria yang berlaku sebelum Indonesia merdeka disusun
berdasarkan tujuan pemerintahan hindia-belanda diantaranya yaitu masa terbentuknya
VOC, masa pemerintahan Gubernur Herman Willem Deandles tahun 1800-181, masa
pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles tahun 1811-1816, masa Pemerintahan
Gubernur Johanes Van den Bosch, masa berlakunya Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55, dan
pada masa berlakunya Agrarische Besluit Sth. 1870 No.118. Hukum agraria kolonial
memiliki sifat dualisme hukum diantara lain yaitu hukum, hak atas tanah, hak jaminan atas
tanah, dan pendaftaran tanah.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadin. 2007. Masalah Agraria di Indonesia Masa Kolonial. Jurnal Attoriolong. Vol. IV. No.
1.
Ardiwilaga & R.Rustandi. 1962. Hukum Agraria Indonesia. Masa Baru. Jakarta.
Arief Rahman. 2019. Politik Agraria. Jambi: Salim Media Indonesia.
Soedikno Mertokusumo. 1988. Hukum dan Politik Agraria. Jakarta: Karurika.
Urip Santoso. 2008. Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah. Jakarta:Kencana Prenada Media
Group.
Urip Santoso. 2017. Hukum Agraria Kajian Komprehensif. Jakarta; Kencana Prenada Media
Group.

Anda mungkin juga menyukai