Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH

POLITIK AGRARIA
“ POLITIK AGRARIA PADA MASA PEMERINTAHAN VAN DAN BOSCH”

DISUSUN OLEH:

NAMA : YUYUN PUTRI W.T


NIM : C1E119122
JURUSAN : ILMU
POLITK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022

KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadiran ALLAH SWT, atas segala limpahan
rahmat dan karunianya sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “POLITIK
AGRARIA PADA MASA PEMERINTAHAN VAN DAN BOSCH”
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan
ALLAH SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini
penulis mengutarakan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini

Kendari, 15 NOVEMBER 2022

penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….……..ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………

1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………..

1.3 Tujuan Penulisan ………………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Agraria pada masa pemerintahan Van dan Bosch………………………………
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Politik agraria diartikan sebagai arah dan kebijakan negara dalam mengubah dan menata kembali
struktur penguasaan tanah dan sumber daya alam untuk kepentingan pemerataan pembangunan.
secara garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh Negara dalam memelihara, mengawetkan,
memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber
alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan Negara, yang bagi
Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar (UUD) 1945.

Politik Agraria dapat dilaksanakan, dijemalkan dalam sebuah Undang- Undang mengatur agrarian
yang memuat asas-asas, dasar-dasar, dan soal-soal agraria dalam garis besarnya, dilengkapi dengan
peraturan pelaksanaannya . Problem utama yang dihadapi oleh setiap negara agraris ialah ketika
manusia membutuhkan tanah dan hasilnya untuk kelangsungan hidup, membutuhkan tanah untuk
tempat hidup dan usaha, bahkan sesudah meninggalpun masih membutuhkan sejengkal tanah.
Sehubungan dengan luas tanah dalam negara itu terbatas, terlebih ketika kita membicarakan lahan
pertanian padahal jumlah penduduk semakin lama semakin bertambah. Oleh karena itu masalah
utama yang dihadapi oleh setiap negara yang mengaku agraris adalah, mengingat keadaan alam dan
luas tanah dalam negara, dalam hubungannya dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah,
bagaimana cara memelihara, mengawetkan, memperuntukan, mengusahakan mengurus dan membagi
tanah serta hasilnya sedemikian rupa sehingga menguntungkan bagi kesejahteraan rakyat dan negara.
Dalam Politik Agraria, permasalahan diatas adalah permasalahan pokok yang ingin dipecahkan.
Politik agrarian mempunyai objek, hubungan manusia dengan tanah, beserta segala persoalan dan
Lembaga-lembaga masyarakat yang timbul karenanya, yang bersifat politis, ekonomis, sosial dan
budaya. Pemikiran tentang politik agrarian Indonesia pasca kolonial telah merebak seiring dengan
perjuangan kemerdekaan (dekolonisasi).
1.2 RUMUSAN MASALAH

A. Jelaskan bagaimana politik agraria pada masa Van dan Bosch

1.3 TUJUAN PENULISAN

Agar kita semua mengetahui bagaimana politik agrarian terjadi pada masa Van dan Bosch

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Agraria pada masa pemerintahan Van dan Bosch


Masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa dimulai pada tahun 1830. Pemerintah
Belanda untuk pertama kalinya mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau ini. Tidak ada
tantangan serius terhadap kekuasaan mereka sampai abad 20. Pihak Belanda juga telah mampu
terlibat langsung di Jawa sampai daerah pedalaman. Dominasi politik akhirnya tercapai di seluruh
Jawa pada tahun 1830.
Kondisi finansial Belanda pada tahun 1830 ternyata tidak semulus dengan keberhasilannya
menguasai Jawa. Keuntungan yang diperoleh dari penguasaannya di Jawa habis digunakan untuk
biaya militer dan administrasi. Sulitnya kondisi finansial Belanda kemudian mendorong pemerintah
Belanda untuk membuat berbagai kebijakan di daerah koloninya. Salah satu usaha penyelamatan
keuangan tersebut adalah diterapkannya sistem tanam paksa atau culturstelsel.
Belakang Latar Tanam Paksa
Faktor utama diberlakukannya sistem tanam paksa di Indonesia adalah adanya kesulitan keuangan
yang dialami oleh Pemerintah Belanda. Pengeluaran Belanda digunakan untuk membiayai keperluan
militer sebagai akibat Perang Belgia pada tahun 1830 di Negeri Belanda dan Perang Jawa atau Perang
Diponegoro (1825-1830) di Indonesia. Perang Belgia berakhir dengan kemerdekaan Belgia
(memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keuangan Belanda memburuk. Perang Diponegoro
merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi
yaitu sekitar 20 juta gulden.
Usaha untuk menyelamatkan keuangan Belanda sebenarnya sudah dilakukan sejak masa
pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Van der Capellen menerapkan suatu kebijakan yang
menjamin orang Jawa untuk menggunakan dan memetik hasil tanah mereka secara bebas. Kebijakan
yang ditempuh saat itu diharapkan dapat mendorong orang Jawa untuk menghasilkan produk yang
dapat dijual sehingga lebih memudahkan mereka membayar sewa tanah. Kebijakan ini menemui
kegagalan karena pengeluaran tambahan akibat Perang Jawa dan merosotnya harga komoditi
pertanian tropis di dunia.
Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persainganpersaingan dagang
internasional. Persaingan dagang tersebut diantaranya dengan pihak Inggris, dan setelah berdirinya
Singapura pada tahun 1819 menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di
kawasan Asia Tenggara. Permasalahan di kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya
harga kopi dalam perdagangan Eropa, dimana kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan
utama bagi Belanda. Selama Perang Jawa berlangsung, pihak Belanda memikirkan berbagai rencana
untuk memperoleh keuntungan besar dari koloni-koloninya terutama Pulau Jawa. Pada tahun 1829
Johannes Van den Bosch menyampaikan kepada Raja Belanda usulan-usulan yang kelak disebut
culturstelsel.
Van den Bosch ingin menjadikan Jawa sebagai aset yang menguntungkan tanah air dalam tempo
sesingkat mungkin dengan menghasilkan komoditi pertanian tropis, terutama kopi, gula, dan nila
(indigo), dengan harga murah sehingga dapat bersaing dengan produk serupa dari belahan dunia lain.
Van den Bosch menyarankan sebuah sistem yang dia klaim lebih sesuai dengan tradisi orang Jawa,
yang didasarkan atas penanaman dan penyerahan secara paksa hasil bumi (forced cultivation) kepada
pemerintah.5 Raja menyetuji usulan-usulan tersebut, dan pada bulan Januari 1830 Van den Bosch tiba
di Jawa sebagai Gubernur Jenderal yang baru.
Ketentuan Tanam Paksa
Johannes Van den Bosch adalah pelaksana sistem Tanam Paksa, dia diangkat menjadi Gubernur
Jendral pada 19 Januari 1830 dan dasar pemerintahannya tertuang dalam RR 1830.6 Sistem tanam
paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835 dan menjelang tahun 1840
sistem ini telah berjalan di Jawa.
Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar
pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Ketentuan-
ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) No. 22 tahun 1834.
Ketentuan-ketentuan pokoknya antara lain:

1. Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami
tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu
tidak lebih dari seperlima dari seluruh sawah desa.

2. Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak.

3. Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang
diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri.
4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebasakan dari
pembayaran pajak tanah.

5. Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang. Jika
harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya
tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam
supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor.

6. Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat,
maka akan ditangggung oleh pihak pememrintah.

7. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai
Eropa hanya sebagai pengawas.

Pelaksanaan Tanam Paksa


Ketentuan-ketentuan tentang tanam paksa ternyata hanya tertulis di atas kertas. Terdapat
perbedaan besar antara ketentuan yang sudah ditetapkan dengan keadaan sebenarnya di lapangan.
Penyimpangan-penyimpangan yang muncul antara lain:
1. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya
dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal
seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah
mereka.

2. Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk culturstelsel adalah seperlima sawah,
namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah
sawah.

3. Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi
waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 66 hari dalam setahun, namun
dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.

4. Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk
dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah.

Sistem tanam paksa ini agaknya menunjukkan keberhasilan dalam perbaikan keuangan,
ditunjukkan bahwa Jawa mampu menghasilkan surplus meskipun dalam paksaan. Surplus ini
hanya digunakan untuk menopang pemerintahan Belanda di Jawa, upaya-upaya penaklukannya
di daerah luar Jawa, dan perekonomian dalam negara Belanda. Investasi yang utama adalah
tenaga kerja orang Jawa dan Sunda, sedangkan teknik-teknik pertanian maupun administrasinya
bersifat tradisional. Pihak Belanda berhasil memeras perekonomian Jawa, sedangkan
keuntungan-keutungan yang berarti yang dikembalikan hanya kepada sekelompok kecil
masyarakat pribumi.

BAB III
KESIMPULAN
Politik agraria diartikan sebagai arah dan kebijakan negara dalam mengubah dan menata
kembali struktur penguasaan tanah dan sumber daya alam untuk kepentingan pemerataan
pembangunan. secara garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh Negara dalam memelihara,
mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah
dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan Negara, yang
bagi Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar (UUD) 1945. Problem utama
yang dihadapi oleh setiap negara agraris ialah ketika manusia membutuhkan tanah dan hasilnya untuk
kelangsungan hidup, membutuhkan tanah untuk tempat hidup dan usaha, bahkan sesudah
meninggalpun masih membutuhkan sejengkal tanah. Sehubungan dengan luas tanah dalam negara itu
terbatas, terlebih ketika kita membicarakan lahan pertanian padahal jumlah penduduk semakin lama
semakin bertambah. Oleh karena itu masalah utama yang dihadapi oleh setiap negara yang mengaku
agraris adalah, mengingat keadaan alam dan luas tanah dalam negara, dalam hubungannya dengan
jumlah penduduk yang semakin bertambah, bagaimana cara memelihara, mengawetkan,
memperuntukan, mengusahakan mengurus dan membagi tanah serta hasilnya sedemikian rupa
sehingga menguntungkan bagi kesejahteraan rakyat dan negara. Masuknya penjajah Belanda dengan
sistem perkebunan barunya berciri usaha pertanian besar dan kompleks, padat modal, teknologi
modern dan ber- orientasi komersil, membutuhkan jumlah tenaga kerja yang relatif banyak. Melalui
VOC-nya sebagai suatu sindikat dagang, pemerintah Belanda menerapkan sistem monopoli dan
pungutan paksa. Meningkatnya permintaan akan bahan rempah-rempah di pasar internasional
menyebabkan kolonial Belanda mengadakan perluasan kebun dan tidak hanya sebatas rempah-
rempah, tetapi juga kopi di Priyangan dan perkebunan tebu di Jawa Tengah serta Jawa Timur .
Ditetapkannya Undang-undang Agraria (1870) sebagai tuntutan gerakan liberal, mempunyai tujuan
sebagai berikut: (1) memberikan pengakuan kepada hak pemilik tanah oleh pribumi sebagai “hak
milik mutlak” (eigendom), sehingga memungkinkan penjualan dan persewaan, (2) asas domein yang
men- dasari undang-undang agraria itu, peng- usaha swasta diberi kesempatan untuk dapat menyewa
tanah dalam jangka panjang dan murah. Karena itu, ber- dasarkan perjalanan sejarahnya, berbagai
kebijakan yang termaktub dalam undang- undang agraria (1870) pada tataran praktisnya hanya
merupakan peraturan untuk melayani kepentingan pengusaha besar. Peraturan mengenai penggunaan
tanah juga dikeluarkan oleh pemerintah kolonial yang tercantum melalui Agrarisch Wet (pasal 21)
Indische Staatregeling sebagai berikut: (1) Gubernur Jenderal tidak diperbolehkan menjual tanah, (2)
dalam larangan tersebut tidak termasuk tanah- tanah kecil untuk perluasan kota dan desa serta untuk
mendirikan perusahaan- perusahaan, (3) Gubernur Jenderal menyewa tanah menurut undang-undang
(tidak termasuk tanah penduduk asli yang telah digarap atau tempat ternak, (4) melalui peraturan
tersebut dibuat tanah hak paling lama 75 tahun, (5) Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai
penggunaan tanah melanggar hak-hak rakyat, (6) persewaan tanah rakyat asli diatur dalam undang-
undang.

Sistem tanam paksa ini agaknya menunjukkan keberhasilan dalam perbaikan keuangan,
ditunjukkan bahwa Jawa mampu menghasilkan surplus meskipun dalam paksaan. Surplus ini hanya
digunakan untuk menopang pemerintahan Belanda di Jawa, upaya-upaya penaklukannya di daerah
luar Jawa, dan perekonomian dalam negara Belanda. Investasi yang utama adalah tenaga kerja orang
Jawa dan Sunda, sedangkan teknik-teknik pertanian maupun administrasinya bersifat tradisional.
Pihak Belanda berhasil memeras perekonomian Jawa, sedangkan keuntungan-keutungan yang berarti
yang dikembalikan hanya kepada sekelompok kecil masyarakat pribumi

DAFTAR PUSTAKA
1. https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-politik-agraria-atau-politik-
pertanahan/123638
2. https://m.mediaindonesia.com/opini/153721/politik-agraria-jokowi-jk
3. https://ilmupolitik.unja.ac.id/wp-content/uploads/2019/12/Buku-ajar-polAG_bab-11.pdf
4. http://eprints.unm.ac.id/3911/1/Ahmadin_ATTORIOLONG_JANUARI%202007_55-70.pdf
5. http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id/files/2012/03/Sejarah-Hukum-Agraria-Masa-Hindia-
Belanda.pdf

Anda mungkin juga menyukai