POLITIK AGRARIA
“ POLITIK AGRARIA PADA MASA PEMERINTAHAN VAN DAN BOSCH”
DISUSUN OLEH:
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadiran ALLAH SWT, atas segala limpahan
rahmat dan karunianya sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “POLITIK
AGRARIA PADA MASA PEMERINTAHAN VAN DAN BOSCH”
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan
ALLAH SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini
penulis mengutarakan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini
penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….……..ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Agraria pada masa pemerintahan Van dan Bosch………………………………
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
Politik agraria diartikan sebagai arah dan kebijakan negara dalam mengubah dan menata kembali
struktur penguasaan tanah dan sumber daya alam untuk kepentingan pemerataan pembangunan.
secara garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh Negara dalam memelihara, mengawetkan,
memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber
alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan Negara, yang bagi
Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar (UUD) 1945.
Politik Agraria dapat dilaksanakan, dijemalkan dalam sebuah Undang- Undang mengatur agrarian
yang memuat asas-asas, dasar-dasar, dan soal-soal agraria dalam garis besarnya, dilengkapi dengan
peraturan pelaksanaannya . Problem utama yang dihadapi oleh setiap negara agraris ialah ketika
manusia membutuhkan tanah dan hasilnya untuk kelangsungan hidup, membutuhkan tanah untuk
tempat hidup dan usaha, bahkan sesudah meninggalpun masih membutuhkan sejengkal tanah.
Sehubungan dengan luas tanah dalam negara itu terbatas, terlebih ketika kita membicarakan lahan
pertanian padahal jumlah penduduk semakin lama semakin bertambah. Oleh karena itu masalah
utama yang dihadapi oleh setiap negara yang mengaku agraris adalah, mengingat keadaan alam dan
luas tanah dalam negara, dalam hubungannya dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah,
bagaimana cara memelihara, mengawetkan, memperuntukan, mengusahakan mengurus dan membagi
tanah serta hasilnya sedemikian rupa sehingga menguntungkan bagi kesejahteraan rakyat dan negara.
Dalam Politik Agraria, permasalahan diatas adalah permasalahan pokok yang ingin dipecahkan.
Politik agrarian mempunyai objek, hubungan manusia dengan tanah, beserta segala persoalan dan
Lembaga-lembaga masyarakat yang timbul karenanya, yang bersifat politis, ekonomis, sosial dan
budaya. Pemikiran tentang politik agrarian Indonesia pasca kolonial telah merebak seiring dengan
perjuangan kemerdekaan (dekolonisasi).
1.2 RUMUSAN MASALAH
Agar kita semua mengetahui bagaimana politik agrarian terjadi pada masa Van dan Bosch
BAB II
PEMBAHASAN
1. Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami
tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu
tidak lebih dari seperlima dari seluruh sawah desa.
2. Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak.
3. Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang
diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri.
4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebasakan dari
pembayaran pajak tanah.
5. Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang. Jika
harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya
tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam
supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor.
6. Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat,
maka akan ditangggung oleh pihak pememrintah.
7. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai
Eropa hanya sebagai pengawas.
2. Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk culturstelsel adalah seperlima sawah,
namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah
sawah.
3. Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi
waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 66 hari dalam setahun, namun
dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
4. Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk
dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah.
Sistem tanam paksa ini agaknya menunjukkan keberhasilan dalam perbaikan keuangan,
ditunjukkan bahwa Jawa mampu menghasilkan surplus meskipun dalam paksaan. Surplus ini
hanya digunakan untuk menopang pemerintahan Belanda di Jawa, upaya-upaya penaklukannya
di daerah luar Jawa, dan perekonomian dalam negara Belanda. Investasi yang utama adalah
tenaga kerja orang Jawa dan Sunda, sedangkan teknik-teknik pertanian maupun administrasinya
bersifat tradisional. Pihak Belanda berhasil memeras perekonomian Jawa, sedangkan
keuntungan-keutungan yang berarti yang dikembalikan hanya kepada sekelompok kecil
masyarakat pribumi.
BAB III
KESIMPULAN
Politik agraria diartikan sebagai arah dan kebijakan negara dalam mengubah dan menata
kembali struktur penguasaan tanah dan sumber daya alam untuk kepentingan pemerataan
pembangunan. secara garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh Negara dalam memelihara,
mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah
dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan Negara, yang
bagi Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar (UUD) 1945. Problem utama
yang dihadapi oleh setiap negara agraris ialah ketika manusia membutuhkan tanah dan hasilnya untuk
kelangsungan hidup, membutuhkan tanah untuk tempat hidup dan usaha, bahkan sesudah
meninggalpun masih membutuhkan sejengkal tanah. Sehubungan dengan luas tanah dalam negara itu
terbatas, terlebih ketika kita membicarakan lahan pertanian padahal jumlah penduduk semakin lama
semakin bertambah. Oleh karena itu masalah utama yang dihadapi oleh setiap negara yang mengaku
agraris adalah, mengingat keadaan alam dan luas tanah dalam negara, dalam hubungannya dengan
jumlah penduduk yang semakin bertambah, bagaimana cara memelihara, mengawetkan,
memperuntukan, mengusahakan mengurus dan membagi tanah serta hasilnya sedemikian rupa
sehingga menguntungkan bagi kesejahteraan rakyat dan negara. Masuknya penjajah Belanda dengan
sistem perkebunan barunya berciri usaha pertanian besar dan kompleks, padat modal, teknologi
modern dan ber- orientasi komersil, membutuhkan jumlah tenaga kerja yang relatif banyak. Melalui
VOC-nya sebagai suatu sindikat dagang, pemerintah Belanda menerapkan sistem monopoli dan
pungutan paksa. Meningkatnya permintaan akan bahan rempah-rempah di pasar internasional
menyebabkan kolonial Belanda mengadakan perluasan kebun dan tidak hanya sebatas rempah-
rempah, tetapi juga kopi di Priyangan dan perkebunan tebu di Jawa Tengah serta Jawa Timur .
Ditetapkannya Undang-undang Agraria (1870) sebagai tuntutan gerakan liberal, mempunyai tujuan
sebagai berikut: (1) memberikan pengakuan kepada hak pemilik tanah oleh pribumi sebagai “hak
milik mutlak” (eigendom), sehingga memungkinkan penjualan dan persewaan, (2) asas domein yang
men- dasari undang-undang agraria itu, peng- usaha swasta diberi kesempatan untuk dapat menyewa
tanah dalam jangka panjang dan murah. Karena itu, ber- dasarkan perjalanan sejarahnya, berbagai
kebijakan yang termaktub dalam undang- undang agraria (1870) pada tataran praktisnya hanya
merupakan peraturan untuk melayani kepentingan pengusaha besar. Peraturan mengenai penggunaan
tanah juga dikeluarkan oleh pemerintah kolonial yang tercantum melalui Agrarisch Wet (pasal 21)
Indische Staatregeling sebagai berikut: (1) Gubernur Jenderal tidak diperbolehkan menjual tanah, (2)
dalam larangan tersebut tidak termasuk tanah- tanah kecil untuk perluasan kota dan desa serta untuk
mendirikan perusahaan- perusahaan, (3) Gubernur Jenderal menyewa tanah menurut undang-undang
(tidak termasuk tanah penduduk asli yang telah digarap atau tempat ternak, (4) melalui peraturan
tersebut dibuat tanah hak paling lama 75 tahun, (5) Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai
penggunaan tanah melanggar hak-hak rakyat, (6) persewaan tanah rakyat asli diatur dalam undang-
undang.
Sistem tanam paksa ini agaknya menunjukkan keberhasilan dalam perbaikan keuangan,
ditunjukkan bahwa Jawa mampu menghasilkan surplus meskipun dalam paksaan. Surplus ini hanya
digunakan untuk menopang pemerintahan Belanda di Jawa, upaya-upaya penaklukannya di daerah
luar Jawa, dan perekonomian dalam negara Belanda. Investasi yang utama adalah tenaga kerja orang
Jawa dan Sunda, sedangkan teknik-teknik pertanian maupun administrasinya bersifat tradisional.
Pihak Belanda berhasil memeras perekonomian Jawa, sedangkan keuntungan-keutungan yang berarti
yang dikembalikan hanya kepada sekelompok kecil masyarakat pribumi
DAFTAR PUSTAKA
1. https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-politik-agraria-atau-politik-
pertanahan/123638
2. https://m.mediaindonesia.com/opini/153721/politik-agraria-jokowi-jk
3. https://ilmupolitik.unja.ac.id/wp-content/uploads/2019/12/Buku-ajar-polAG_bab-11.pdf
4. http://eprints.unm.ac.id/3911/1/Ahmadin_ATTORIOLONG_JANUARI%202007_55-70.pdf
5. http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id/files/2012/03/Sejarah-Hukum-Agraria-Masa-Hindia-
Belanda.pdf