Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga Makalah Tanam Paksa (Cultuurstelsel) ini dapat diselesaikan dengan baik. Tidak
lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW,
keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
Makalah Sejarah Indonesia yang berjudul Makalah Tanam Paksa (Cultuurstelsel) ini. Dan kami
juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu
dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini
sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih
banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Tanam Paksa (Cultuurstelsel) ini sehingga kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, karena
kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita
sebagai manusia. Semoga Makalah Tanam Paksa (Cultuurstelsel) ini dapat bermanfaat bagi kita
semuanya.

Indonesia, Januari 2023


Penyusun
DAFTAR ISI

 KATA PENGANTAR
 DAFTAR ISI
 BAB I PENDAHULUAN
o A. Latar Belakang
o B. Rumusan Masalah
 BAB II PEMBAHASAN
o A. Pengertian Tanam Paksa
o B. Terjadinya Sistem Tanam Paksa
o C. Wilayah Indonesia yang Terpengaruhi oleh Tanam Paksa
 1. Pulau Jawa
 2. Pulau Sumatera
o D. Reaksi Terhadap Tanam Paksa
 1. Erdward Douwes Dekker (1820-1887)
 2. Baron Van Howvel(1812-1879) dan Frans Van De Putte
o E. Dampak Sistem Tanam Paksa
 1. Tanah dan Tenaga Kerja
 2. Politik Ekonomi Uang
 3. Kelaparan
 4. Penyakit
 5. Teknologi Baru
 BAB III PENUTUP
o A. Kesimpulan
o B. Saran
 DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Yang menjadi latar belakang munculnya sistem tanam paksa adalah sistem pajak tanah yang
dilakukan oleh Raffles yang kemudian diteruskan oleh Komisaris Jendral Van Der Capellen, dan
Du Bus De Gisignies telah mengalami kegagalan. Kegagalan yang dimaksud dalam hal ini
adalah kegagalan dalam merangsang para petani untuk meningkatkan produksi tanaman
perdagangan untuk ekspor. Pemerintah Hindia Belanda mengangkat jendral baru untuk Indonesia
dengan alasan untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor pada tahun 1830, peningkatan
tanaman ekspor dirasa sangat perlu oleh pemerintah Belanda karena untuk menopang keadaan
ekonomi Belanda dengan hutangnya yang sangat besar.

Karena Belanda merasa tidak mempunyai jalan lain kecuali mencari pemecahan masalah di
wilayah-wilayah koloni, akhirnya menghasilkan gagasan sistem tanam paksa yang diintroduksi
oleh Gubernur Van den Bosch. sistem tanam paksa yang dijalankan oleh Van den Bosch disebut
juga Cultuurstelsel.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Apa pengertian tanam paksa?


2. Bagaimana terjadinya tanam paksa?
3. Wilayah mana sajakah yang terpengaruhi tanam paksa?
4. Bagaimana reaksi terhadap sistem tanam paksa?
5. Apakah dampak dari sistem tanam paksa?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tanam Paksa

Sistem tanam paksa adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den
Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%)
untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan
dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen
diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja
75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.

Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian
wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda.
Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang
tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian. Tanam
paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa
ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan
penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib
menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus
menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang
memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia
Belanda pada 1835 hingga 1940.

Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch
selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU
Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah
penjajahan Indonesia.

B. Terjadinya Sistem Tanam Paksa


Gubernur Jendral van den Bosch memberlakukan sistem ini dengan mengambil pelajaran dari
sistem pajak tanah yang gagal pada era sebelumnya oleh Raffles. Sistem pajak tanah yang tidak
mampu membuat para penduduk pribumi meningkatkan tanaman ekspor maka Gubernur Jendral
van den Bosch mencoba untuk meningkatkan hasil tanaman ekspor dengan mengadakan kerja
sama dengan para bupati dan pejabat daerah yang dekat dengan rakyat. Sistem feodal di
pedesaan harus dimanfaatkan agar para petani mampu menghasilkan tanaman ekspor yang
banyak, untuk itulah Gubernur Jendral van den Bosch mencoba untuk mengadakan kerja sama
dengan para pegawai pemerintahan yang dekat dengan petani.

Hal ini dikarenakan para penduduk pribumi juga dikenakan pajak oleh Gubernur Jendral van den
Bosch, yang mana pajak yang dikenakan bukan berupa uang melainkan berupa tanaman ekspor
yang telah mereka tanam. Pajak berupa hasil pertanian mereka ini juga menjadi ciri dari sistem
tanam paksa yang dilakukan oleh van den Bosch, hasil dari pajak-pajak tersebut kemudian
dikirim ke negeri Belanda untuk dijual kepada pembeli dari Amerika dan Eropa dengan harga
yang dapat menguntungkan Belanda. Sistem pajak tanah yang berlangsung selama tahun 1810-
1830, penanaman dan penyerahan wajib telah dihapuskan kecuali daerah Parahyangan dan Jawa
Barat. Namun di daerah Parahyangan para penduduk pribumi diwajibkan menanam kopi dan
pajak yang diserahkan kepada pihak Belanda harus berupa kopi yang telah ditanam oleh
penduduk pribumi, sedangkan untuk tanaman yang lainnya tidak terdapat wajib pajak.

Pajak yang menjadi beban petani kepada bupati tidaklah termasuk dalam pembebasan pajak oleh
pemerintah kolonial Belanda, hal ini dilakukan karena dalam masyarakat terdapat beberapa pajak
yaitu pajak yang diberikan kepada pemerintah kolonial Belanda dan pajak yang diserahkan
kepada Bupati ataupun pihak pemerintah yang terdapat di daerah-daerah. Sistem pajak tanah
dengan memberikan hasil pertanian ini dianggap akan berhasil oleh van den Bosch, karena pajak
tanah yang diterapkan pada era sebelumnya sangat menyiksa petani.

C. Wilayah Indonesia yang Terpengaruhi oleh Tanam Paksa

1. Pulau Jawa
Pulau Jawa merupakan salah satu target utama sistem tanam paksa karena di pulau Jawa terdapat
sumber daya alam dan sumber daya manusia yang sangat besar yang pastinya dapat menunjang
potensi untuk mengisi kekosongan kas Negara Belanda yang sedang kosong melompong. Berikut
ini beberapa daerah di Pulau Jawa yang menjadi tempat eksekusi sistem tanam paksa.

a. Jawa Tengah dan Jawa Timur

Salah satu potensi yang sangat besar untuk daerah ini yaitu pemanfaatan lahan untuk ditanami
oleh tanaman gula, dan merupakan daerah pengekspor gula pada waktu itu. Selain itu, tanaman
yang menjanjikan adalah teh dan tembakau untuk dijual di pasaran Eropa dan Belanda berhasil
mengeruk dan menarik keuntungan yang sebanyak-banyaknya sehingga kas Belanda terisi
bahkan berlebih sehingga dimanfaatkan untuk memperkaya diri tanpa harus memperhatikan
nasib bangsa Indonesia yang semakin lama semakin terpuruk serta terlindas oleh roda tanam
paksa yang ditetapkan oleh Belanda.

b. Jawa Barat dan Banten

Penghasilan terbesar dari daerah ini adalah kopinya yang sangat terkenal dan salah satu tambang
emas bagi Belanda yang bertujuan menarik keuntungan sebesar-besarnya dari bangsa Indonesia.
Selain itu, tanaman lain yang dapat menunjang kualitas dari daerah ini adalah teh dan tembakau.

2. Pulau Sumatera

Keterlibatan Belanda dalam kegiatan ekonomi di Sumatera Utara diawali oleh Jacobus Nienhuys.
Daerah perkebunan yaitu seperti Deli Serdang yang pada tahun 1865 merupakan daerah
penghasil tembakau sebesar 189 bal. Belanda pun memperoleh keuntungan besar. Selain itu,
daerah lainnya yaitu seperti Asahan atau Kisaran yang merupakan penghasil karet, sehingga
merupakan pengantar ekspor Indonesia dalam hal karet yang merupakan penghasil karet yang
mumpuni atau bagus pada saat itu. Walaupun tidak terlalu terkenal namun ada daerah penghasil
yang juga terlibat sistem tanam paksa yaitu seperti di Siak Sri Indrapura yang merupakan
penghasil sawit dan karet walaupun tidak terlalu besar jumlahnya karena pada saat itu, Sultan
Siak yaitu Sultan Syarif Khosim I dan Sultan Syarif Khosim II menolak sistem tanam paksa pada
rakyatnya.
D. Reaksi Terhadap Tanam Paksa

Tanam paksa mendapat reaksi yang cukup keras dari masyarakat. Reaksi ini datang dari Douwes
Dekker dan Baron Van Howvel serta Frans Van De Putte.

1. Erdward Douwes Dekker (1820-1887)

Erward Douwes Dekker adalah residen di Lebak, Serang, Banten. Pada tahun 1860 beliau
menulis buku Max Havelaar yang berisi tentang penderitaan bangsa Indonesia akibat
pelaksanaan tanam paksa. Dalam menulis buku tersebut ia menggunakan nama samaran yaitu
Multattuli.

2. Baron Van Howvel(1812-1879) dan Frans Van De Putte

Baron Van Howvel merupakan salah satu seseorang anggota parlemen negeri Belanda. Ia sempat
beberapa tahun menetap di Indonesia yaitu di Batavia. Bersama dengan Frans Van De Putte ia
menentang sistem tanam paksa lewat parlemen Belanda. Van De Putte menulis buku Suiker
Contracten (Kontrak Gula).

E. Dampak Sistem Tanam Paksa

1. Tanah dan Tenaga Kerja

Pelaksanaan sistem tanam paksa telah mempengaruhi dua unsur pokok kehidupan agraris
pedesaan Jawa, yaitu tanah dan tenaga kerja. Sistem tanam paksa pertama-tama mencampuri
sistem pemilikan tanah penduduk pedesaan, karena para petani diharuskan menyerahkan
tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor. Tuntutan akan kebutuhan tanah pertanian untuk
penanaman tanaman ekspor yang dilakukan dengan ikatan desa telah mempengaruhi pergeseran
sistem pemilikan dan penguasaan tanah. Ini terjadi karena berbagai hal, baik karena adanya
pertukaran atau pembagian tanah-tanah pertanian untuk pemerataan pembagian kewajiban
menyediakan tanah dan kerja kepada pemerintah, maupun karena kecenderungan perusahaan
pemilikan tanah perseorangan menjadi tanah komunal desa.

Selain tanah, sistem tanam paksa membutuhkan pengerahan tenaga kerja rakyat secara besar-
besaran untuk penggarapan lahan, penanaman, pemanenan, pengangkutan, dan pengolahan di
pusat-pusat pengelolaan atau pabrik. Pengerahan tenaga kerja yang dibutuhkan itu dilakukan
dengan menggunakan ikatan organisasi desa. Oleh karena itu, sistem tanam paksa menyentuh
unsur tenaga kerja dari kehidupan masyarakat agraris pedesaan Jawa. Dalam praktiknya, semua
kerja yang dibutuhkan dilakukan dengan sistem kerja paksa.

2. Politik Ekonomi Uang

Pelaksanaan sistem tanam paksa juga besar artinya dalam mengenalkan ekonomi uang ke dalam
lingkungan kehidupan pedesaan agraris. Kehidupan perekonomian desa yang semula masih
tradisional dan subsisten, secara berangsur-angsur berkenalan dengan ekonomi uang, yakni
melalui proses komersialisasi produksi pertanian dan pasaran kerja. Pengenalan penanaman
tanaman ekspor dan penyerapan tenaga kerja bebas yang berlangsung sejak sistem tanam paksa,
pada dasarnya telah menjadi pintu masuknya peredaran uang ke daerah pedesaan secara luas,
yang besar pengaruhnya dalam membawa pergeseran perekonomian desa ke arah kehidupan
ekonomi pasar. Peredaran uang itu masuk antara lain melalui sistem pembayaran upah tanaman
kepada petani penanam (plantloon), pembayaran ”uang penggalak tanaman” (cultuurprocenten)
kepada para pejabat, pembayaran upah kerja bebas, dan dalam perkembangan terakhir
pembayaran sewa tanah pada petani.

3. Kelaparan

Bahaya kelaparan melanda daerah Jawa Tengah pada tahun 1849 sampai 1850, terutama terjadi
di residen Semarang. Pada tahun 1850, residen Semarang penduduknya berkurang 9% sebagai
akibat dari kematian dan pengungsian penduduk menuju daerah lain. Sebab yang mendasari
terjadinya kelaparan adalah (1) Kesewenang-wenangan pemerintah dan penyalahgunaan para
kepala pribumi, (2) Beberapa tanaman pemerintah yang wajib dilaksanakan oleh penduduk
seperti kopi, tembakau, tebu, dan nila, (3) Perluasan tanaman nila secara besar-besaran.
Tanaman nila ini menuntut lebih banyak tenaga pengerjaan serta memberikan upah sedikit dan
lebih merugikan jika dibanding dengan tanaman lain. Melihat kenyataan ini, maka pemerintah
melakukan penggantian tanaman nila dengan tanaman tebu. Tanaman nila bagi penduduk
menimbulkan keberatan besar dan berpengaruh pada harga padi yang sangat mahal. Selain
disebabkan oleh pelaksanaan sistem tanam paksa, ada juga sebab lain seperti kegagalan panen,
berjangkitnya wabah penyakit, dan sebagainya.

Kekurangan bahan makanan secara mengerikan sempat terjadi di Demak dan Grobogan sebagai
akibat kegagalan panen karena panen yang ada diserang oleh hama belalang dan berbagai praktik
pemerasan, di mana tentang hal ini pihak pemerintah Belanda sendiri tidak pernah memikirkan
terhadap akibat-akibat yang mengkhawatirkannya. Di daerah Demak, kesengsaraan terjadi
karena terlalu tingginya pemungutan pajak tanah dan pelaksanaan dinas-dinas wajib untuk
pembuatan benteng yang terlalu memberatkan.

4. Penyakit

Penyakit tampaknya juga berhubungan dengan tempat tinggal dan makanan serta minuman atau
kebiasaan-kebiasaan lain dalam kehidupan sosial budaya orang-orang desa. Di kabupaten
Demak, Grobogan, dan Semarang kelaparan menyebabkan banyak kematian. Selama panen
gagal dan kelaparan, banyak penduduk-penduduk daerah ini yang menikmati makan hanya sekali
sehari ditambah dengan makanan tambahan kecil seperti jagung, singkong, ubi. Oleh karena itu
kegagalan panen dan kelaparan di Semarang sering diikuti oleh penyakit. Pengabaian terhadap
masalah kebersihan juga menyebabkan penduduk mudah terserang penyakit. Perubahan-
perubahan yang terjadi pada tanah-tanah daratan juga mempengaruhi penyakit, khususnya
perluasan pekerjaan-pekerjaan irigasi, pembukaan sawah-sawah baru, dan perbaikan komunikasi
dan transportasi.

Menghadapi situasi yang demikian, tidak ada pemecahan atas permasalahan yang timbul ini,
selain dengan cara-cara tradisional dan keyakinan. Penduduk di Jawa pada umumnya meyakini
dua penyebab utama timbulnya penyakit yakni fisikal dan spiritual. Yang pertama menyangkut
penyakit yang timbul dari sebab-sebab nyata seperti sakit perut, luka, dan sebagainya. Penyakit
ini biasanya diobati dengan ramuan obat lokal yang dibuat dari tanaman yang tumbuh di halaman
rumah orang desa. Sedang yang kedua, disebabkan oleh kekuatan supranatural seperti ilmu
hitam. Dalam hal ini pasien dibawa ke dukun untuk mendapat pertolongan.

Kebijakan kesehatan pemerintah Belanda di Jawa abad ke-19 hanya berorientasi kepada orang
Eropa dan kolonial. Penekanan dan pelayanan kesehatan lebih ditujukan untuk melindungi
kesehatan orang-orang Eropa, baik sipil maupun militer daripada untuk penduduk pribumi.
Fasilitas-fasilitas kesehatan lebih banyak dikonsentrasikan di kota-kota pusat administratif
Belanda seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Penduduk di luar kota berada di luar
kepentingan dan bahkan pelayanan pengobatan untuk pribumi pun sangat terbatas, karena
halangan warna kulit dan biaya.

5. Teknologi Baru

Secara tidak langsung pelaksanaan sistem tanam paksa, pada dasarnya telah mengenalkan
teknologi baru, terutama dalam pengenalan biji-biji tanaman perdagangan, seperti tebu, indigo
dan tembakau, beserta cara penanamannya, meskipun pengenalan teknologi pertanian baru yang
terjadi pada masa itu belum dapat merangsang perubahan dan pertumbuhan perekonomian rakyat
pedesaan pada umumnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Tanam paksa adalah suatu aturan yang sengaja ditetapkan oleh Belanda untuk mengisi
kekosongan kas Negara Belanda dari pembiayaan biaya perang melawan Belgia maupun di
Indonesia, serta Karena hutang luar negeri Belanda. Namun, secara tidak langsung setelah
diutusnya Van Den Bosch, maka ia menetapkan aturan-aturan tanam paksa yang ternyata adalah
kebalikan dari aturan-aturan tanam paksa yang telah dibentuk sebelumnya di Belanda.

Jadi, intinya apabila bangsa Indonesia tidak melakukan perubahan pada aspek iptek, bangsa
Indonesia akan tergilas bangsa lain dan dapat dibodoh-bodohi dan dimanfaatkan kelemahan
Indonesia untuk keuntungan bangsa lain. Oleh karena itu, marilah kita sebagai Bangsa Indonesia
bersama-sama mewujudkan Indonesia untuk tidak dapat lagi dibodoh-bodohi.

B. Saran

Demikianlah pembuatan makalah ini, penulis juga menyadari makalah ini masih banyak
kesalahan dan kekurangan maka dari pada itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan makalah yang akan datang akan lebih baik lagi. Kritik dan saran
penulis ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad ke-20 (Jilid I): Dari Kebangkitan Nasional sampai
Linggarjati. Yogyakarta: Kanisius.

Mubyarto, dkk. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja. Jakarta: Bentang.

Mulyoto. 1999. Sejarah Indonesia Madya. Surakarta: UNS Press.

Noer Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa. Bandung: Insist.

Sartono Kartodidrjo & Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial
Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.

Anda mungkin juga menyukai