Rencana Bosch adalah bahwa setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya
guna ditanami komiditi ekspor (khususnya kopi, tebu dan nila) untuk dijual kepada
pemerintah kolonial dengan harga yang sudah pasti. Dengan demikian, maka desa akan
mampu melunasi hutang pajak tanahnya, dan van den Bosch memperkirakan bahwa
hasil panen dari 20 persen (kelak 33 persen) bumi desa tersebut akan cukup memadai
untuk tujuan ini. Apabila pendapatan desa dari penjualan hasil panennya kepada
pemerintah lebih banyak daripada pejak tanah yang harus dibayarnya, maka desa
tersebut masih harus membayar kekurangannya dari sumber-sumber lain. Pernyataan-
pernyataan van den Bosch pada tahun 1833 mengenai kaitan antara pajak tanah dengan
pembayaran-pembayaran pemerintah untuk hasil bumi kurang jelas, dan dia malahan
membicarakan tentang produksi komoditi ekspor sebagai sesuatu yang lebih
menguntungkan bagi desa daripada menanam padi. Bagaimanapun juga, prinsipnya
jelas: yaitu bagi desa harus ada nilai tukar antara pajak tanah yang didasarkan atas
komoditi beras dan komoditi ekspor kepada pemerintah.1
Dalam teori setiap pihak akan memperoleh keuntungan dari sistem ini. Desa
masih memiliki tanah yang cukup luas untuk kegunaanya sendiri dan akan mendapatkan
penghasilan dalam bentuk tunai. Sebagai pengganti pendapatan yang tidak jelas dari
pajak tanah, maka pemerintah akan mendapatkan komoditi daerah tropis yang sangat
murah harganya sehingga menurut perkiraan van den Bosch masih dapat bersaing
dengan gula Hindia Barat di pasaran dunia yang dihasilkan oleh tenaga budak.
1
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), hlm. 184.
Kemudian komoditi-komoditi tersebut akan dikapalkan ke Eropa oleh Perusahaan
Dagang Belanda (Nederlandsche Handelmaatschaapij) yang didirikan pada tahun 1824
atas prakarsa raja Belanda. Hal ini akan mematahkan dominasi pelayaran Inggris-
Amerika di kawasan Malaya-Indonesia, dan akan memberi penghasilan angkutan
kepada negeri Belanda.
Dalam kenyataannya tidak pernah ada ‘sistem’ sama sekali. Dalam pelaksanaan
rencana-rencana van den Bosch di Jawa tersebut terdapat banyak variasi antara daerah
yang satu dengan daerah yang lain. Konsepnya tentang akan diperolehnya keuntungan
oleh semua pihak berubah menjadi salah satu diantara kisah-kisah pemerasan yang lebih
besar di dalam sejarah penjajahan. Para oejabat lokal, baik yang berkebangsaan Belanda
maupun Indonesia, menetapkan taksiran besarnya pajak dan banyaknya komoditi ekspor
bagi setiap desa, kemudian memaksa desa untuk merealisasikannya. Dengan semakin
meningkatnya pembayaran untuk hasil-hasil bumi, maka para pejabat memanfaatkannya
sebagai kesempatan untuk menaikkan taksiran pajak tanah, sehingga sebagian besar
kelebihan pembayaran komoditi tersebut kembali kepada pemerintah. Sebenarnya
sistem paksa ini sama dengan penyerahan wajib komoditi ekspor kepada pemerintah,
dan sangat mirip dengan sistem penyerahan wajib yang dijalankan VOC terhadap kopi
di Priangan abad ke-18.
Penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh van Niel menunjukkan bahwa selama
Sistem Tanam Paksa berlaku, tanah-tanah yang dikenakan Sistem Tanam Paksa rata-
rata meliputi hanya 5% dari seluruh tanah pertanian di Jawa. Dilain pihak, persentase
keluarga-keluarga petani yang terlibat dalam Sistem Tanam Paksa tinggi sekali. Selama
Sistem Tanam Paksa berlaku, persentase keluarga-keluarga petani yang terlibat dalam
Sistem Tanam Paksa mencapai jumlah yang melebihi 70% dari seluruh jumlah
keluarga-keluarga petani di Jawa.3 Angka-angka di atas ini memberi kesan bahwa
banyak tenaga kerja dikerahkan untuk penanaman paksa di bidang-bidang tanah yang
relatif terbatas. Pembagian luas tanah untuk penanaman paksa menurut jenis tanaman
dalam tahun 18834 adalah sebagai berikut:
2
Ibid., hlm 185.
3
Robert van Niel, “Measurement of Change under the Cultivation System in Java, 1837-1851”,
Indonesia, 1972, No. 14 (Oktober), Cornell Modern Indonesia Project, hlm. 91.
4
D.H. Burger, Sejarah Ekonomi-Sosiologis Indonesia (terjemahan Prof.Prajudi Atmosudirdjo), Jakarta,
1957, hlm. 207
Tembakau 86
Kayu Manis 30
Kapas 5
Perkembangan yang tampak dalam masa ini adalah kenaikan produksi hasil-
hasil tanaman perdagangan yang pesat yang diakibatkan oleh penanaman paksa sejak
tahun 1830 yang dilihat dari angka-angka ekspor hasil-hasil pertanian. Misalnya, selama
tahun 1830 sewaktu penanaman paksa baru dimulai ekspor kopi berjumlah 288 ribu
pikul, ekspor gula berjumlah 108 ribu pikul, dan ekspor nila berjumlah 42 ribu pound
dalam tahun 1831.
Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1840, ekspor kopi dari Jawa sudah
meningkat sampai 132 ribu pikul dan ekspor gula telah meningkat sampai 1032 ribu
pikul sedangkan nilai ekspor nila mengalami peningkatan sampai 2132 ribu pound.5
Akibat cultuurstelsel bagi pihak Belanda sangat jelas yaitu segera dicapai
keuntungan yang sangat besar dan ajek. Sudah sejak tahun 1831 anggaran belanja
kolonial Indonesia sudah seimbang, dan sesudah itu hutang-hutang lama VOC
dilunaskan. Uang dalam jumlah yang sangat besar dikirim ke negeri Belanda; dari tahun
1831 hingga tahun 1877 perbendaharaan kerajaan Belanda telah menerima 832 juta
gulden. Sebelum tahun 1850 kiriman uang tersebut berjumlah sekitar 19 persen dari
pendapatan negara Belanda dan pada tahun 1851-1860 kira-kira 32 persen. Pendapatan-
pendapatan ini membuat perekonomian dalam negeri Belanda tetap stabil; hutang-
5
J.S. Furnifall, Netherlands India (Cambridge: Cambridge University Press, 1961), hlm. 129.
hutang dilunasi, pajak-pajak diturunkan, kubu-kubu pertahanan, terusan-terusan, dan
jalan kereta api negara dibangun, semuanya dengan keuntungan-keuntungan yang
diperas dari desa-desa Jawa. Amsterdam sekali lagi menjadi pasar dunia yang penting
bagi hasil bumi daerah tropis, khususnya kopi dan gula.
DAFTAR PUSTAKA
Ricklefs, M.C. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Robert van Niel, “Measurement of Change under the Cultivation System in Java 1837-
6
M.C. Ricklef, op. cit., hlm. 190.
Burger, D.H. 1957. Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jakarta: Paradnja
Paramita.