Anda di halaman 1dari 8

Sistem Tanam Paksa

Sebagai akibat perang-perang Napoleon hutang dalam negeri Belanda dan


pembayaran bunga atas hutangnya itu membumbung tinggi. Keadaan tetap memburuk
ketika uni Belanda-Belgia yang dibentuk oleh Kongres Wina pada tahun 1815 runtuh
dalam revolusi Belgia pada tahun 1830. Usaha Belanda untuk menaklukkan kembali
Belgia pada tahun 1831-1832 menemui kegagalan, dan pada tahun 1839 Belanda
mengakui kemerdekaan Belgia. Dengan demikian, Belanda telah kehilangan sebagian
dari wilayah negaranya, dan masih menanam uang lebih banyak lagi dalam suatu usaha
yang gagal untuk mendapatkannya kembali.

Selama Perang Jawa berlangsung pihak Belanda memikirkan berbagai rencana


untuk Jawa. Semuanya mempunyai sasaran umum, yaitu bagaimana dapat memperoleh
hasil daerah tropis dalam jumlah dan harga yang tepat sehingga akan diperoleh
keuntungan, suatu sasaran yang telah menjadi fokus pemikiran orang-orang Belanda
sejak keberangkatan pelayaran mereka yang pertama pada tahun 1595. Pada tahun 1829
Johannes van den Bosch menyampaikan kepada raja Belanda usulan-usulan yang kelak
akan disebut cultuurstelsel (sistem penanaman). Raja menyetujui usulan-usulan
tersebut, dan pada bulan Januari 1830 van den Bosch tiba di Jawa sebagai Gubernur
Jendral yang baru (1830-1833).

Rencana Bosch adalah bahwa setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya
guna ditanami komiditi ekspor (khususnya kopi, tebu dan nila) untuk dijual kepada
pemerintah kolonial dengan harga yang sudah pasti. Dengan demikian, maka desa akan
mampu melunasi hutang pajak tanahnya, dan van den Bosch memperkirakan bahwa
hasil panen dari 20 persen (kelak 33 persen) bumi desa tersebut akan cukup memadai
untuk tujuan ini. Apabila pendapatan desa dari penjualan hasil panennya kepada
pemerintah lebih banyak daripada pejak tanah yang harus dibayarnya, maka desa
tersebut masih harus membayar kekurangannya dari sumber-sumber lain. Pernyataan-
pernyataan van den Bosch pada tahun 1833 mengenai kaitan antara pajak tanah dengan
pembayaran-pembayaran pemerintah untuk hasil bumi kurang jelas, dan dia malahan
membicarakan tentang produksi komoditi ekspor sebagai sesuatu yang lebih
menguntungkan bagi desa daripada menanam padi. Bagaimanapun juga, prinsipnya
jelas: yaitu bagi desa harus ada nilai tukar antara pajak tanah yang didasarkan atas
komoditi beras dan komoditi ekspor kepada pemerintah.1

Ketentuan-ketentuan pokok Sistem Tanam Paksa yang tertera dalam stadsblad


tahun 1834, No. 22 beberapa tahun setelah tanam paksa mulai dijalankan di Pulau Jawa,
berbunyi seperti berikut:

1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka


menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman dagangan
yang dapat dijual di pasar Eropa.
2. Bagian tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh
melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh
melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam dagangan dibebaskan dari
pembayaran pajak tanah.
5. Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib
diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda jika nilai hasil-hasil tanaman
dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat,
selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah,
sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau
ketekunan dari pihak rakyat.
7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala-
kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada
pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-
tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Dalam teori setiap pihak akan memperoleh keuntungan dari sistem ini. Desa
masih memiliki tanah yang cukup luas untuk kegunaanya sendiri dan akan mendapatkan
penghasilan dalam bentuk tunai. Sebagai pengganti pendapatan yang tidak jelas dari
pajak tanah, maka pemerintah akan mendapatkan komoditi daerah tropis yang sangat
murah harganya sehingga menurut perkiraan van den Bosch masih dapat bersaing
dengan gula Hindia Barat di pasaran dunia yang dihasilkan oleh tenaga budak.
1
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), hlm. 184.
Kemudian komoditi-komoditi tersebut akan dikapalkan ke Eropa oleh Perusahaan
Dagang Belanda (Nederlandsche Handelmaatschaapij) yang didirikan pada tahun 1824
atas prakarsa raja Belanda. Hal ini akan mematahkan dominasi pelayaran Inggris-
Amerika di kawasan Malaya-Indonesia, dan akan memberi penghasilan angkutan
kepada negeri Belanda.

Dalam kenyataannya tidak pernah ada ‘sistem’ sama sekali. Dalam pelaksanaan
rencana-rencana van den Bosch di Jawa tersebut terdapat banyak variasi antara daerah
yang satu dengan daerah yang lain. Konsepnya tentang akan diperolehnya keuntungan
oleh semua pihak berubah menjadi salah satu diantara kisah-kisah pemerasan yang lebih
besar di dalam sejarah penjajahan. Para oejabat lokal, baik yang berkebangsaan Belanda
maupun Indonesia, menetapkan taksiran besarnya pajak dan banyaknya komoditi ekspor
bagi setiap desa, kemudian memaksa desa untuk merealisasikannya. Dengan semakin
meningkatnya pembayaran untuk hasil-hasil bumi, maka para pejabat memanfaatkannya
sebagai kesempatan untuk menaikkan taksiran pajak tanah, sehingga sebagian besar
kelebihan pembayaran komoditi tersebut kembali kepada pemerintah. Sebenarnya
sistem paksa ini sama dengan penyerahan wajib komoditi ekspor kepada pemerintah,
dan sangat mirip dengan sistem penyerahan wajib yang dijalankan VOC terhadap kopi
di Priangan abad ke-18.

Dibanding dengan penyerahan wajib yang dipaksakan VOC kepada penduduk,


maka Sitem Tanam Paksa menaruh beban yang lebih berat di atas pundak rakyat. Jika
selama zaman VOC pelaksanaan penyerahan wajib diserahkan kepada para kepala
rakyat sendiri, selama tanam paksa para pegawai Eropa dari pemerintah kolonial
langsung melaksanakan dan mengawasi penanaman paksa tersebut. Hal ini sering
berarti peningkatan “efisiensi” dari Sistem Tanam Paksa, dalam arti kata bahwa hasil
produksi tanaman dagangan dapat ditingkatkan berkat pengawasan dan campur tangan
langsung dari pegawai Belanda tersebut. Di lain pihak, peningkatan “efisiensi” ini tentu
berarti penambahan bahan yang harus dipikul rakyat.

Struktur admnistrasi cultuurstelsel sesuai dengan konservatisme kebijakan


Belanda yang baru setelah tahun 1830. Desa menjadi unit dasar pemerintahan. Kepala
desa merupakan mata rantai antara petani dan pejabat-pejabat bangsa Indonesia yang
lebih tinggi tingkatannya, yang mencapai puncaknya pada bupati, yaitu seorang
bangsawan yang mengepalai kabupaten. Bupati bertanggungjawab kepada pemerintahan
bangsa Eropa, tetapi bangsa Eropa juga terlibat pada tingkatan-tingkatan yang lebih
rendah.2 Untuk menjamin bahwa para pegawai Belanda maupun para Bupati dan kepala
desa menunaikan tugasnya dengan baik, pemerintah kolonial memberikan perangsang
finansial kepada mereka dengan nama cultuurprocenten, selain pendapatan biasa
mereka. Cultuurprocenten ini merupakan persentase tertentu dari penghasilan yang
diperoleh dari penjualan tanaman-tanaman ekspor tersebut yang diserahkan kepada
pegawai Belanda dan para bupati dan kepala-kepala des ajika mereka berhasil dalam
mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan kepada tiap-tiap desa. Cara-
cara ini tentu saja banyak menimbulkan penyelewengan yang sangat menekan dan
merugikan rakyat, karena pegawai-pegawai Belanda, para bupati dan kepala desa
mempunyai vested interest dalam usaha meningkatkan produksi tanaman-tanaman
perdagangan untuk ekspor.

Penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh van Niel menunjukkan bahwa selama
Sistem Tanam Paksa berlaku, tanah-tanah yang dikenakan Sistem Tanam Paksa rata-
rata meliputi hanya 5% dari seluruh tanah pertanian di Jawa. Dilain pihak, persentase
keluarga-keluarga petani yang terlibat dalam Sistem Tanam Paksa tinggi sekali. Selama
Sistem Tanam Paksa berlaku, persentase keluarga-keluarga petani yang terlibat dalam
Sistem Tanam Paksa mencapai jumlah yang melebihi 70% dari seluruh jumlah
keluarga-keluarga petani di Jawa.3 Angka-angka di atas ini memberi kesan bahwa
banyak tenaga kerja dikerahkan untuk penanaman paksa di bidang-bidang tanah yang
relatif terbatas. Pembagian luas tanah untuk penanaman paksa menurut jenis tanaman
dalam tahun 18834 adalah sebagai berikut:

Jenis Tanaman Luas Tanah (dalam bahu)


Gula 32.722
Nila 22.141
The 324

2
Ibid., hlm 185.
3
Robert van Niel, “Measurement of Change under the Cultivation System in Java, 1837-1851”,
Indonesia, 1972, No. 14 (Oktober), Cornell Modern Indonesia Project, hlm. 91.
4
D.H. Burger, Sejarah Ekonomi-Sosiologis Indonesia (terjemahan Prof.Prajudi Atmosudirdjo), Jakarta,
1957, hlm. 207
Tembakau 86
Kayu Manis 30
Kapas 5
Perkembangan yang tampak dalam masa ini adalah kenaikan produksi hasil-
hasil tanaman perdagangan yang pesat yang diakibatkan oleh penanaman paksa sejak
tahun 1830 yang dilihat dari angka-angka ekspor hasil-hasil pertanian. Misalnya, selama
tahun 1830 sewaktu penanaman paksa baru dimulai ekspor kopi berjumlah 288 ribu
pikul, ekspor gula berjumlah 108 ribu pikul, dan ekspor nila berjumlah 42 ribu pound
dalam tahun 1831.

Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1840, ekspor kopi dari Jawa sudah
meningkat sampai 132 ribu pikul dan ekspor gula telah meningkat sampai 1032 ribu
pikul sedangkan nilai ekspor nila mengalami peningkatan sampai 2132 ribu pound.5

Meskipun menjanjikan keuntungan yang melimpah, namun sebagian penduduk


hanya diberikan sedikit keuntungan. Pihak yang semakin makmur akibat tanam paksa
adalah mereka yang memiliki tanah. Akan tetapi yang paling beruntung adalah para
pengusaha Cina serta para administrator dan para pejabat pribumi yang sebagian besar
tidak hanya menerima persentase namun juga memiliki ‘tanah jabatan’ berdasarkan
jabatan mereka. Walaupun di beberapa daerah terdapat petunjuk tentang perluasan
kepemilikan tanah dalam rangka menyebarkan beban, namun di daerah-daerah lainnya
pemilikan tanah telah menjadi semakin terpusat di tangan golongan elite desa yang
kaya. Orang-orang lainnya hanya mendapat sedikit keuntungan, dan banyak yang
mengambil pilihan tradisional, yaitu melarikan diri untuk mengelakkan beban mereka.
Di beberapa daerah telah timbul penderitaan yang ekstrem.

Akibat cultuurstelsel bagi pihak Belanda sangat jelas yaitu segera dicapai
keuntungan yang sangat besar dan ajek. Sudah sejak tahun 1831 anggaran belanja
kolonial Indonesia sudah seimbang, dan sesudah itu hutang-hutang lama VOC
dilunaskan. Uang dalam jumlah yang sangat besar dikirim ke negeri Belanda; dari tahun
1831 hingga tahun 1877 perbendaharaan kerajaan Belanda telah menerima 832 juta
gulden. Sebelum tahun 1850 kiriman uang tersebut berjumlah sekitar 19 persen dari
pendapatan negara Belanda dan pada tahun 1851-1860 kira-kira 32 persen. Pendapatan-
pendapatan ini membuat perekonomian dalam negeri Belanda tetap stabil; hutang-
5
J.S. Furnifall, Netherlands India (Cambridge: Cambridge University Press, 1961), hlm. 129.
hutang dilunasi, pajak-pajak diturunkan, kubu-kubu pertahanan, terusan-terusan, dan
jalan kereta api negara dibangun, semuanya dengan keuntungan-keuntungan yang
diperas dari desa-desa Jawa. Amsterdam sekali lagi menjadi pasar dunia yang penting
bagi hasil bumi daerah tropis, khususnya kopi dan gula.

Pada tahun 1840 cultuurstelsel sudah menghadapi berbagai masalah. Tanda-


tanda tentang penderitaan di kalangan pribumi mulai tampak, khususnya di daerah
penanaman tebu. Batang tebu ditanam di tanah garapan tempat ditanam padi, dan
waktu yang diperlukan untuk tumbuhnya tebu dan menuainya, disusul dengan persiapan
lahan bagi penanaman padi, telah mempersulit tercapainya penggiliran yang konstan
bagi kedua komoditi tersebut. Pabrik-pabrik gula juga bersaing dengan pertanian padi
untuk jatah air. Timbul paceklik, dan harga beras menjadi goyang dengan beberapa
kenaikan harga yang tajam pada tahun 1840-an. Pada tahun 1843 timbul kelaparan yang
hebat di Cirebon. Wabah-wabah penyakit berjangkit pada tahun 1846-1849, dan
kelaparan meluas di Jawa Tengah sekitar tahun 1850. Sementara itu pemerintah
menetapkan kenaikan pajak tanah dan pajak-pajak lainnya secara drastic. Kepergian
penduduk dari desa-desa mengakibatkan semakin turunnya hasil pertanian padi. Krisis-
krisis keuangan juga terjadi di Perusahaan Dagang Belanda (NHM) maupun pada
anggaran belanja kolonial. Perluasan cultuurstelsel sedang dalam batasnya, dan pada
tahun 1845-1850 ekspor kopi, gula dan nila merosot. Akan tetapi keuntungan-
keuntungan yang diperoleh dari kopi dan gula segera meningkat lagi setelah tahun 1850,
yaitu ketika harga pasaran dunia untuk komiditi-komoditi tersebut mengalami kenaikan.
Akan tetapi, meningkatnya pengeluaran militer secara drastis mengakibatkan defisit
sejak tahun 1858 dengan anggaran keuangan kolonial yang hanya dapat diperbaiki
dengan keuntungan-keuntungan tanam paksa. Upaya menentang tanam paksa kini
muncul di negeri Belanda. Pemerintah mulai menjadi bimbang apakah sistem itu masih
dapat dipertahankan lebih lama lagi, walaupun sistem tersebut mulai mendatangkan
keuntungan lagi. Pada tahun 1848 untuk yang pertama kalinya konstitusi liberal
memberikan parlemen Belanda (Staten-Generaal) peranan yang berpengaruh dalam
urusan-urusan penjajahan. Di dalam parlemen oposisi bersatu. Kepentingan-
kepentingan kelas menengah Belanda, yang semakin bertambah kaya dari keuntungan-
keuntungan yang diterima perekonomian Belanda dari Indonesia, menuntut
diadakannya perubahan. Mereka mendesak diadakannya suatu pembaharuan ‘liberal’:
pengurangan peranan pemerintah dalam perekonomian kolonial secara drastic,
pembebasan terhadap pembatasan perusahaan swasta di Indonesia, dan diakhirinya kerja
paksa dan penindasan terhadap orang-orang pribumi. Pada tahun 1860 seorang mantan
pejabat kolonial, Eduard Douwes Dekker (1820-1887) menerbitkan sebuah novel yang
berjudul Max Havelaar dengan nama samara ‘Multatuli’. Buku ini secara sangat
mengena mengungkapkan keadaan pemerintahan kolonial yang bersifat menindas dan
korup di Jawa. Dampak langsungnyamasih diperdebatkan, tetapi dalam jangka panjang
buku ini menjadi sebuah senjata yang ampuh dalam menentang rezim penjajahan dari
abad 19.

Hasil dari perdebatan politik di negeri Belanda ini adalah dihapuskannya


cultuurstelsel sedikit demi sedikit, ketika pemerintah kolonial menghapuskan
penanaman paksa komoditi pertanian negara di seluruh wilayahnya di Indonesia.
Penghapusan tersebut dimulai dari yang paling sedikit mendatangkan keuntungan atau
yang tidak menguntungkan sama sekali: lada pada tahun 1862, cengkeh dan pala pada
tahun 1864, nila, teh dan kayu manis pada tahun 1865 dan tembakau pada tahun 1866.
Kopi dan gula, yang disebut terakhir merupakan sumber yang paling akhir dihapuskan.
Di dalam Undang-Undang Gula tahun 1870 ditetapkan bahwa pemerintah akan menarik
diri dari penanaman tebu selama 12 tahun, yang dimulai pada tahun 1878. Penanaman
paksa kopi dihapuskan melalui tahapan yang bahkan lebih lambat sejak tahun 1870-an.
Penghapusan penanaman kopi itu baru berakhir di Priangan pada awal tahun 1917, dan
di beberapa daerah pesisir utara Jawa pada bulan Juni 1919.6

DAFTAR PUSTAKA

Ricklefs, M.C. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

Robert van Niel, “Measurement of Change under the Cultivation System in Java 1837-

1851”, Indonesia, 14, 1972.

6
M.C. Ricklef, op. cit., hlm. 190.
Burger, D.H. 1957. Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jakarta: Paradnja

Paramita.

Furnifall, J.S. 1961. Netherlands India. Cambridge: Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai