Anda di halaman 1dari 5

Perbedaan Sistem Tanam Paksa di Jawa dan Sumatera Bagian Barat (Tapanuli dan

Minangkabau)
Tanam paksa muncul setelah perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada
tahun 1825-1830. Perang ini telah banyak menghabiskan kas pemerintah Hinda-Belanda.
Sehingga pemerintahan Hindia-Belanda pun menerapkan culturstelsel (tanam paksa) dibawah
Gubernur Jenderal Johanes van den Bosch. Akibat lainnya juga dikarenakan gubernur
sebelumnya, yaitu Van Der Capellen dan Du Bus Gisignies yang gagal meningkatkan
produksi tanaman ekspor. Kebijakan Tanam Paksa (1816-1830) adalah dengan menanam
beberapa tanaman yang menjadi incaran bagi orang Eropa, seperti kopi, teh, tebu, dan nila.
Maka, pemerintah Hindia-Belanda menerapkan peraturan kepada rakyat untuk menanam
sekitar 20% komoditi kopi.

Pemerintah Hindia-Belanda membuat peraturan sistem tanam paksa dalam staatsblad


1834 No. 22, yaitu sebagai berikut:

1. Melalui persetujuan, penduduk menyediakan sebagian tanahnya untuk penanaman


tanaman perdagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
2. Tanah yang disediakan untuk penanaman tanaman perdagangan tidak boleh melebihi
seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman perdagangan tidak boleh
melebihi pekerjaan yang dibutuhkan untuk menanam padi.
4. Bagian tanah yang ditanami tanaman perdagangan dibebaskan dari pembayaran pajak
tanah.
5. Hasil tanaman perdagangan yang berasal dari tanah yang disediakan wajib diserahkan
kepada pemerintah Hindia-Belanda. Apabila nilai hasil tanaman perdagangan yang
ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya
harus diserahkan kepada rakyat.
6. Kegagalan panen tanaman perdagangan harus dibebankan kepada pemerintah,
terutama apabila kegagalannya bukan disebabkan oleh kelalaian penduduk.
7. Penduduk desa akan mengerjakan tanah mereka dengan pengawasan kepala-kepala
mereka, dan pegawai-pegawai Eropa membatasi pengawasannya pada segi-segi teknis
dan ketepatan waktu dalam pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan.1
1
Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo. 1991. “Sejarah Perkebunan di Indonesia”: Kajian Sosial-Ekonomi.
Yogyakarta: Aditya Media hlm. 56.
Tanam paksa merupakan sistem yang diterapkan oleh van den Bosch mengharuskan
rakyat untuk membayar ke pemerintah dalam bentuk barang (natura). Misalnya, rakyat
diwajibkan menanam tanaman yang laku dijual di pasaran Eropa dan Amerika, seperti kopi,
tebu dan nila, maka hasil tanaman itu nantinya diserahkan kepada pemerintah untuk di
ekspor. Jadi, pembayaran pajak bukan dalam bentuk uang melainkan barang hasil panen.

Sistem tanam paksa memiliki rumusan yaitu penyerahan wajib dan sistem pajak tanah.
Penyerahan wajib pernah diterapkan di masa Rafles, namun tidak berhasil. Penyebab dari
gagalnya Raffles karena kebijakan itu tidak bisa diterapkan oleh penduduk pribumi yang
masih dipengaruhi oleh sistem feodal. Padahal Raffles ingin menghapuskan sistem ini dan
kerja rodi di Jawa. Tetapi karena sistem ini masih memiliki pengaruh, maka van den Bosch
memanfaatkannya.

Ada beberapa unsur yang terlibat dalam sistem tanam paksa, diantaranya birokrasi
pemerintahan Barat, para kepala-kepaa pribumi, organisasi desa, tanah pertanian rakyat,
tenaga kerja rakyat. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor setinggi-
tingginya. Namun karena tuntutan tersebut dan beberapa praktek penyimpangan yang
dilakukan, maka ada tekanan berat yang dirasakan oleh masyarakat pedesaan.

Beberapa daerah yang dijadikan sebagai tempat sistem tanam paksa ada 18 keresidenan,
diantaranya Banten, Priyangan, Krawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara,
Rembang, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Kedu, Bagelan, Banyuman, Madiun, dan
Kediri. Dengan menanam tanaman yang laku di pasaran Eropa seperti kopi, tebu, dan indigo
(nila). Hal ini mendatangkan keuntungan bagi pemerintahan Hindia-Belanda sehingga bisa
melunasi semua hutangnya.

Nantinya di ada beberapa wilayah yang produksinya bagus, misalnya tanaman kopi
ditanam di 18 keresidenan tersebut, tetapi produksinya yang paling tertinggi berada di
Priyangan Jawa Barat, Kedu Jawa Tengah, Pasuruan dan Besuki di Jawa Timur. Untuk
tanaman tebu produksinya yang paling tinggi berada di daerah Pasuruan, Surabaya dan
Besuki. Kemudian tanaman Indigo (nila) berpusat di 11 keresidenan, tetapi produksinya yang
paling tinggi di Banyumas dan Bagelen. Adapun tanaman yang ditanam dalam skala kecil
seperti tembakau, merica dan kayu manis, ditanam di beberapa daerah tertentu saja. Seperti
tembakau di Rembang, merica di Pacitan dan kayu manis Krawang.
Dibalik keberhasilan sistem tanam paksa yang dilakukan, terdapat penyelewengan
terhadap penduduk. Mereka dipaksa untuk bekerja dengan upah yang tidak sebanding. Selain
itu, mereka juga dipaksa untuk membangun beberapa fasilitas, seperti jalan raya, pembukaan
lahan dan membuat saluran irigasi. Pemerintah Hindia-Belanda hanya memanfaatkan mereka
dengan upah yang murah atau tidak dibayar sama sekali. Para pegawai yang ditugaskan pun
juga bertindak semena-mena terhadap mereka.

Dari data-data yang didapat, keuntungan yang didapat oleh pemerintah Hindia-Belanda
pada tahun 1841-1863 sebesar 461 juta, tahun 1836-1866 diperoleh keuntungan sebesar 692
juta, tahun 1867-1877 diperoleh keuntungan 151 juta. Oleh kerana itu, pemerintah Hindia-
Belanda mampu membayar semua utang negeri Belanda, bahkan Belanda berhasil
menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan komoditi tropis. Nederlandsche Handels
Maatschappij (NHM) juga berperan dalam kegiatan ekspor industri tenun ke Indonesia.

Setelah sistem tanam paksa telah menindah hak rakyat maka kaum liberal menghapus
sistem tersebut. Dimana sistemnya diubah dengan sistem perusahaan milik swasta. Tetapi,
keuntungannya tetap diberi untuk negeri jajahan. Sejak tahun 1870, kaum liberal telah
mendominasi perusahaan swasta, bahkan para pemodal asing mulai menanamkan modal
untuk membuka perusahaan perkebunan di Indonesia.

Berbeda halnya dengan sistem tanam paksa yang ada di Sumatera Barat. Pemerintah
Hindia-Belanda ingin memperluas sistem ini. Di Sumatera Barat, pemerintah Hindia-Belanda
mempercayakannya kepada gubernur Michiels. Ia mewajibkan kepada penduduk untuk
menanam tanaman setidaknya berjumlah 150 batang kopi. Ia juga mewajibkan pembangunan
jalan untuk memudahkan mobilitas ke daerah pedalaman dan mengumpulkan hasil panen.

Daerah-daerah yang menjadi pusat penanaman tanam paksa agak jauh dari pusat
Minangkabau, seperti Kerinci, Muaro Bungo, Talu, Ophir, dan daerah lainnya. Tidak seperti
di Jawa, di Minangkabau setiap penduduk wajib menanam tanaman kopi. Sehingga kopi
menjadi komoditi yang paling banyak dihasilkan di daerah ini. Perbedaan yang terlihat paling
mencolok bahwa penduduk Jawa yang diterapkan sistem tanam paksa tidak memberontak
sama sekali. Sedangkan di Sumatera Barat, banyak penduduk yang memberontak karena
merasa ditindas.
Referensi
Hermawati, M. (2013). Tanam Paksa Sebagai Tindakan Eksploitasi. Jurnal Pendidikan
Sejarah , 64-70.

Kartodirjo, S. (1991). Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi.


Yogyakarta: Aditya Media.

Suryani, A. (2019). Studi Komparatif: Sistem Tanam Paksa Sumatera Barat Dengan Jawa
Abad 19. Jurnal Kapita Selekta Geografi , 11-20.

Anda mungkin juga menyukai