Anda di halaman 1dari 2

Rumah Pusaka

Tik…tok…tik…tok, bunyi jam dinding dengan jarum jamnya yang terus menerus bergerak
tanpa berhenti. Jarum jam tersebut menunjukkan angka 08.00 WIB bersamaan dengan cahaya
matahari yang masuk ke sela-sela jendela kamar Sabarudin. Seperti biasa, kegiatan yang
dilakukannya hanya duduk di depan jendela sambil menatap matahari yang perlahan-lahan naik, ia
juga menghiraukan jam yang terus berjalan karena sebentar lagi ia akan angkat kaki dari rumah itu
karena telah dijual oleh adik-adiknya.

Selama beberapa saat, Sabarudin membenarkan cara duduknya, pandangannya mengarah


keluar jendela yang menembus masa lalu. Terkenang olehnya saat ia masih remaja dulu dan ibu
serta ayahnya masih hidup dalam keadaan sehat wal afiat. Keluarga ini memiliki 7 anggota keluarga
yang didalamnya terdapat keempat orang adik-adiknya. Kehidupan keluarga ini memiliki harta yang
melimpah sehingga serba tercukupi. Hal inilah yang membuat adik-adiknya terlihat manja, apalagi si
bungsu yang malas bersekolah dan lebih suka berkumpul dengan kawan-kawannya.

Sementara Sabarudin harus menempuh pendidikan tinggi karena ia tidak mau suatu saat
akan membebankan kedua orang tuanya. Ia harus bisa hidup mandiri. Ia juga menasehati adik-
adiknya untuk bersekolah dan nantinya akan mendapat pekerjaan yang layak. Tetapi, karena
ayahnya selalu memanjakan mereka dengan barang-barang baru yang pada saat itu hanya orang-
orang tertentu yang punya, seperti televisi, sepeda motor, dan lain-lain.

Kekecewaan juga hinggap dihatinya ketika ia mendapati Anwar (adiknya yang keempat) dan
Majid (si bungsu) memakai narkoba di rumah kawan-kawannya. Ia langsung memarahi kedua
adiknya lantaran memakai uang kedua orang tuanya untuk membeli barang haram itu.

“Anwar dan Majid lekas pulang tinggalkan rumah ini sekarang juga. Jangan pernah bergaul
dengan mereka lagi.” Bentak Sabarudin.

Mendengar perkataan abang mereka yang bagaikan guntur ditengah hujan deras, mereka
bagaikan berlari mencari tempat teduh setelah tubuh diguyuri air hujan.

Sesampainya di rumah, Sabarudin melaporkan hal tersebut kepada ibunya dan mereka pun
dimarahi. Namun respon sang ayah sangat berbeda, ia berbaring di sofa dan tidak menggubris
kelakuan anaknya itu lantaran lelah bekerja.

“Seharusnya ayah memarahi mereka berdua.” Ujar Sabarudin kepada ayahnya dengan
melihat kedua adiknya.
“Sudahlah, tidak apa-apa. Ayah capek marah-marah, mau tidur dulu. Besok ayah mau cari
uang banyak-banyak agar bisa menghidupi kalian semua.”

“Sampai kapan ayah hanya memikirkan pekerjaan saja, sementara kami tidak pernah
mendapat perhatian dari ayah.” Ucap Sabarudin dengan wajah kecewa.

Tok…tok…tok terdengar ketokan dari pintu menandakan seseorang yang ingin memasuki
kamar Sabarudin. Seketika itu Sabarudin kembali dalam kesadaran setelah hanyut dalam
lamunannya.

“masuk!” Kata Sabarudin.

Pintu terbuka dan terlihat seorang wanita berbadan tinggi disertai jilbab yang menutup
seluruh rambutnya. Ia bernama Zubaidah, adik Sabarudin yang kedua. Sabarudin membalakangi
dirinya dengan menghadap ke luar jendela. Perlahan ia mendekati abangnya itu untuk mengatakan
sesuatu.

“Bang, ikhlaskan rumah ini, kita sudah tidak punya apa-apa lagi. hanya ini peninggalan satu-
satunya dari ayah yang kita punya. Masalah tempat tinggal, abang bisa tinggal di rumahku dulu.
Walaupun sederhana tetapi bisa menampung anak dan istri abang untuk sementara.” Ujar Zubaidah
dengan suara lirih.

Sabarudin tidak menoleh sedikit pun. Ia hanya bisa menghabiskan waktunya selama berjam-
jam melihat langit sambil memendam rasa kecewa. Ia juga berharap andai waktu bisa berputar
kembali.

Anda mungkin juga menyukai