Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA

PERJUANGAN BANGSA INDONESIA DI MASA PENJAHAN BELANDA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
DIVA KRISTI (19080041)
FEBBY WULANDARI (19080042)
GIO PRANATA (19080043)
YULINAR INDAH SRI REJEKI P. (19080045)

UNIVERSITAS NEGERI PADANG


2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Harapan kami
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pacar
pembaca. Untuk kedepannyaagar dapat memperbaiki bentuk maupun menambah
isi makalah menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami. Kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Padang, Februari 2020


Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 3
A. Eksploitasi Politik dan Ekonomi dan Belanda di Indonesia .............. 3
B. Kondisi Bangsa Indonesia Akibat Penjajahan ................................... 7
C. Perlawanan Bangsa Indonesia di Berbagai Daerah ........................... 14
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 26
A. Kesimpulan ........................................................................................ 26
B. Saran .................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Selain
kaya akan sumber daya alamnya, masyarakat Indonesia juga bersifat ramah-
tamah. Negara lain menjadi memiliki keinginan untuk menguasai Indonesia
karena keadaan Indonesia yang seperti itu, sehingga terjadinya kolonialisme.
Era kolonial di Indonesia ditandai dengan masuknya Barat (Eropa) ke
Indonesia untuk mengeksploitasi bangsa Indonesia, baik aspek sumber daya
alamnya maupun sumber daya manusianya. Dalam sejarahnya, usaha bangsa
Barat untuk mendapatkan benua baru dipelopori oleh bangsa Portugis dan
Spanyol yang ingin mendapatkan rempah-rempah.
Selain keduanya, pada tahun 1596, pedagang Belanda dengan empat
buah kapal berlabuh di Banten. Mereka mencari rempah-rempah disana dan
daerah sekitarnya untuk diperdagangkan (Sudirman, 2014:217). Keberadaan
Belanda di Indonesia memang cukup lama, tak heran jika banyak kebijakan
dan peristiwa penting yang melibatkan interaksi rakyat nusantara dengan
pemerintahan Belanda. Kebijakan-kebijakan yang bangsa Belanda terhadap
bangsa Indonesia memberikan dampak yang tidak bagus untuk bangsa
Indonesia. Dengan adanya kebijakan tersebut bangsa Indonesia mengalami
perlawanan di berbagai daerah, kelaparan, kemiskinan bahkan penderitaan
yang sangat dalam.
Beberapa peristiwa yang tidak mungkin dilupakan adalah eksploitasi
politik dan ekonomi dan Belanda di Indonesia, kondisi bangsa Indonesia
akibat penjajahan, dan perlawanan bangsa Indonesia di berbagai daerah. Oleh
sebab itu, maka dibuatnya makalah ini agar dapat menambah pengetahuan
tentang perjuangan bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda.

1
2

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis paparkan diatas.
Maka disusunlah rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana eksploitasi politik dan ekonomi dan Belanda di Indonesia?
2. Bagaimana kondisi bangsa Indonesia akibat penjajahan?
3. Bagaimana perlawanan bangsa Indonesia di berbagai daerah?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari makalah ini
adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui eksploitasi politik dan ekonomi dan Belanda di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui kondisi bangsa Indonesia akibat penjajahan.
3. Untuk mengetahui perlawanan bangsa Indonesia di berbagai daerah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Eksploitasi Politik dan Ekonomi dan Belanda di Indonesia


Masuknya kekuasaan Belanda melalui VOC (Verenigde Oost
Compagnie) pada abad XV dengan memonopoli perdagangannya, menguasai
pelabuhan-pelabuhan dan menguasai daerah tertentu untuk menghasilkan
keuntungan besar bagi Belanda. Dengan keadaan geografis, klim dan sumber
daya alam yang melimpah menjadikan nusantara daerah yang subur dan kaya.
Hal tersebut memberikan poin ganda yang membuat Belanda tertarik secara
khusus dala melihat nusantara sebagai daerah jajahan. Budaya nusantara yang
ramah dan masih kuatnya sistem feodal raja memberikan jalan bagi Belanda
untuk berkuasa. Belanda memanfaatkan struktur feodal raja dan mengadakan
hubungan dengan raja atau bupati setempat untuk memperoleh atau membeli
barang-barang yang dibutuhkannya.
Politik Adu Domba (Devide at Empera) digunakan oleh VOC untuk
memecah belah hubungan antar kerajaan yang ada dan menjadikan Belanda
penguasa yang mengatur keadaan ekonomi dan politik penguasa raja-raja.
Kedatangan Raffles (1811-1816) sebagai penguasa inggris yang ingin
menghapuskan ikatan feodal dengan cara membebaskan petani dari pajak
natuna (hasil bumi dan barang lain) dan kerja wajib yang kemudian diganti
dengan pajak uang (landrent, belanda: landrente) mengalami kegagalan.
Pada masa-masa terakhirnya perang jawa (1825-1830) perlawanan
masyarakat pribumi terhadap Belanda menjadi awal masa kedudukan
pemerintah Belanda yang eksploitatif.
Konsep Raffes mengenai landrente mendasari Gubernur Jendral J. Van
Den Bosch menerapkan kebijakan tanam paksa (culture stelsel) yang
diberlakukan sejak 1830. Penggunakan kebijakan tanam paksa berhasil untuk
proses ekslploitasi ekonomi yang maksimal oleh Belanda. Dalam konsep
tanam paksa di padukan unsur-unsur tradisional untuk mengukuhkan
keharusan tanam paksa, yaitu menguasai tanah dan tenaga kerja melalui

3
4

penguasa pribumi dan menggunakan paksaan untuk menanam tanaman


ekspor kepada petani dengan memperkenalkan unsur-unsur modern yaitu
manajemen produksi dan pemasaran di bawah monopoli pemerintahan
kolonial. Masuknya modal di Hindia-Belanda ditandai dengan dibuatnya jalur
kereta api pertama di Hindia-Belanda yang dikelolah oleh perusahaan swasta
Nederlandsch Indische Spoorweg (NIS). Pembangunan jalur kereta api ini
difungsikan untuk mengangkut hasil-hasil tanaman perkebunan untuk
didistribusikan. Jenis tanaman untuk keuntungan Belanda antaralain, kopi,
tebu, indigo dan tembakau.
Sekitar tahun 1850 di Belanda mulai muncul gerakan menentang
kesewenang-wenangan Belanda dalam menerapkan Sistem Tanam Paksa
(1830-1870). Tanam Paksa sangat menguntungkan bagi Belanda, akan tetapi
membawa kesengsaraan bagi bangsa Indonesia. Berbagai golongan liberalis
di Belanda menuntut agar tanam paksa dihapuskan. Baik itu kaum humanis
maupun kapitalis menolak adanya sistem tanam paksa. Kaum Humanis
didasarkan pada sistem tanam paksa tidak berperikemanusiaan, sedangkan
kaum kapitalis berlandaskan bahwa sistem tanam paksa tidak menciptakan
sistem ekonomi yang sehat. Politik ekonomi liberal dilatarbelakangi oleh hal-
hal sebagai berikut :
1. Pelaksanaan tanam paksa memberi keuntungan yang besar kepada
Belanda,tetapi menimbulkan penderitaan rakyat pribumi.
2. Berkembangnya faham liberalisme di Eropa.
3. Kemenangan partai liberal di Belanda.
4. Adanya Traktar Sumatera 1871,yang memberikan kebebasan bagi
Belanda untuk meluaskan wilayahnya ke Aceh.

Pelaksanaan politik ekonomi liberal ditandai dengan beberapa


peraturan antara lain :
1. Reglement op het belied der regering in Nedherlandsh Indie (1854) :
Berisi tentang tata cara pemerintahan di Indonesia.
5

2. Indishe Comtabiliteit Wet (1867) : Berisi tentang perbendaharaan


negara Hindia Belanda
3. Suiker Wet : Yaitu UU gula yang menetapkan bahwa tanaman tebu
adalah monopoli pemerintah yg secara berangsurangsur akan dialihkan
kepada fihak swasta.
4. Agrarish Wet (undang-undang Agraria) 1870.

Undang-undang Agraria 1870 isinya :


Isi undang-undang Agraria tahun 1870 : 1) gubernur jenderal tidak
diperbolehkan menjual tanah milik pemerintah, tanah dapat disewakkan
paling lama 75 tahun, 2) tanah milik pemerintah antara lainh hutan yang
belum dibuka, tanah yang berada diluar wilayah milik desa dan penghuninya,
dan tanah milik adat, 3) tanah milik penduduk antara lain sawah, ladang dan
sejenisnya yang dimiliki langsung oleh penduduk desa. tanah semacam ini
boleh disewakan kepada swasta selama 5 tahun. Tujuan UU Agraria 1870
adalah : melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasaan pemodal
asing, member peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah dari
penduduk Indonesia dan membuka kesempatan kerja kepada penduduk
Indonesia, terutama menjadi buruh di perkebunan.
Setelah UU Agraria 1870 diterapkan, di Indonesia memasuki
Imperalisme modern dengan diterapkan Opendeur Politik,yaitu politik pintu
terbuka terhadap modal-modal swasta asing, hal itu berati Indonesia
dijadikan tempat untuk berbagai kepentingan yaitu:
1. mendapatkan bahan mentah atau bahan baku industri di Eropa.
2. mendapatkan tenaga kerja yg murah.
3. menjadi tempat pemasaran barang-barang produksi Eropa.
4. menjadi tempat penanaman modal asing.
6

Dampak Politik Pintu Terbuka


1. Memberikan keuntungan yg besar bagi kaum swasta Belanda
2. Hasil-hasil produksi perkebunan dan pertambangan mengalir ke
Belanda.
3. Negeri Belanda menjadi pusat perdagangan hasil dari tanah jajahan.
4. Kemerosotan tingkat kesejahteraan penduduk.
5. Adanya krisis perkebunan pada tahun 1885 karena jatuhnya harga gula
dan kopi.
6. Menurunnya konsumsi bahan makanan,terutama beras.
7. Menurunnya usaha kerajinan rakyat karena telah tersaingi dengan Import
dari Eropa.
8. Pengangkutan dengan gerobak menjadi merosot penghasilannya setelah
adanya angkutan kereta api.
9. Rakyat menderita karena masih diterapkan kerja rodi dan adanya
hukuman yg berat bagi yg melanggar peraturan poenalie sanctie. Pada
tahun 1888 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang
disebut Koeli Ordannantie. Peraturan ini memberikan jaminan bagi
majikan apabila pekerja melarikan diri sebelum masa kerja mereka
berakhir. Hukuman yang diberikan kepada para pekerja di perkebunan
Belanda disebut Poenalie santie. Hukuman ini khususnya di perkebunan
Belanda di daerah Sumatera Timur.

Pada masa sekarang pengeksploitasian masih dilakukan oleh negara-


negara asing di Indonesia. Adapun peta kepemilikan AS dan negara lain atas
wilayah migas dan gas metana batubara di Indonesia pada tahun 2012 adalah
sebagai berikut.
7

B. Kondisi Bangsa Indonesia Akibat Penjajahan


Dalam berbagai bidang kehidupan bangsa Indonesia, ternyata tidak
sedikit yang berasal dari tradisi yang diwariskan sebagai akibat dari masa
kolonial Eropa di Indonesia pada zaman dulu. Bangsa Eropa yang paling
lama menjajah Indonesia adalah Belanda selama 350 tahun, selain itu
Indonesia pernah diduduki oleh bangsa Eropa lainnya seperti Spanyol
Portugis, Perancis dan Inggris. Kemudian ada masa penjajahan Jepang di
Indonesia selama 3,5 tahun. Karena Belanda paling lama menjajah Indonesia,
maka sudah sewajarnya pengaruh dari sistem yang dianut Belanda masih
mengakar dalam berbagai aspek kehidupan bangsa kita.
Sebagai hasil dari pendudukan Belanda selama ratusan tahun di
Indonesia, akan ada akibat dari penjajahan yang masih bisa kita saksikan dan
rasakan hingga hari ini karena hal tersebut ada dalam berbagai bidang
kehidupan yang kita jalani. Akibat penjajahan Belanda tidak seluruhnya
merupakan hal yang buruk. Masih ada beberapa hal positif yang bisa
didapatkan, namun keinginan untuk menjadi bangsa yang merdeka telah
8

mendorong rakyat untuk berjuang mati-matian menuntut kemerdekaan.


Berikut ini adalah akibat dari penjajahan bangsa Eropa di Indonesia.
1. Terpecahnya Persatuan Bangsa
Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, politik adu domba
yang diterapkan oleh Belanda berhasil menurunkan kekuasaan kerajaan-
kerajaan di Nusantara yang dulunya kuat. Politik adu domba atau divide
et impera ala Belanda telah berhasil melemahkan dan memecah
kerajaan-kerajaan Indonesia yang kemudian sibuk bertikai sendiri
mengenai masalah perebutan kekuasaan. Dengan pertikaian yang terus
menerus, pada akhirnya para penguasa kerajaan terpaksa meminta
bantuan kepada Belanda dan membuat mereka terjebak di bawah
komando Belanda akibat bantuan yang bersyarat tersebut.
2. Pemecahan Wilayah Nusantara
Akibat penjajahan adalah pembagian wilayah Nusantara menurut
kekuasaan Belanda. Wilayah Hindia Belanda pada awal penjajahan
Belanda khususnya Jawa dibagi menjadi 9 prefektur dan 30 regentschap.
Pada masa kini, prefektur adalah sama dengan wilayah propinsi.
Sedangkan Regentschap atau karesidenan adalah wilayah yang terdiri
dari beberapa kabupaten, atau afdeeling.
a. Setiap prefektur dipimpin oleh seorang Prefek dari Eropa,
sedangkan tiap regentschap atau karesidenan dipimpin oleh
seorang Residen yang berasal dari bangsawan pribumi.
Regentschap secara struktur berada di bawah pemerintahan
propinsi dan di atas pemerintahan Kabupaten.
b. Gubernur Jenderal membawahi setiap prefektur dan regent sebagai
pemimpin tertinggi pemerintahan kolonial Belanda.
c. Gubernur Jenderal dibantu enam departemen yaitu Departemen
Kehakiman, Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen
Kebudayaan dan Kepercayaan, Ekonomi dan Kesejahteraan
Rakyat.
9

3. Perubahan Kebijakan Pemerintahan


Akibat dari penjajahan juga terjadi perubahan dalam politik di
pemerintahan sebagai hasil dari kebijakan Pax Nederlandica pada akhir
abad ke 19 hingga awal abad ke 20. Pax Nederlandica adalah perubahan
dalam sistem pemerintahan dari administrasi tradisional kepada sistem
administrasi modern. Tujuan penerapannya adalah untuk menggantikan
posisi pemerintah daerah yang penting kepada pemerintah Belanda
dengan mengangkat dan menggaji pegawai yang akan memegang
jabatan struktur birokrasi. Jabatan tertinggi yang bisa dipegang oleh
pribumi dalam struktur tersebut adalah Bupati, Wedana dan Patih.
4. Penerapan Trias Politica
Penerapan Trias Politica yang berasal dari akibat penjajahan
Belanda sekarang masih digunakan dalam sistem pemerintahan di
Indonesia. Pada struktur tersebut, pemerintah Belanda membagi badan
yudikatif / peradilan menjadi tiga macam berdasarkan golongan
masyarakat di Hindia Belanda. Tiga golongan tersebut yaitu peradilan
orang Eropa, peradilan Timur Asing, dan peradilan pribumi. Sedangkan
dalam bidang legislatif, Belanda membentuk Volksraad atau Dewan
Rakyat pada 1918. Sistem hukum Belanda juga digunakan sebagai dasar
perundang-undangan di Indonesia hingga saat ini.
5. Dampak di Bidang Budaya dan Bahasa
Akibat dari penjajahan juga mempengaruhi kebudayaan bangsa
Indonesia mulai dari kosa kata atau perbendaharaan kata, seni musik,
seni tari, model pakaian, arsitektur dan cara berpikir rakyat kita. Dampak
pada budaya yang pertama adalah pada perbendaharaan kata bangsa
Indonesia yaitu pada kata – kata serapan. Misalnya sepatu dari kata
sapato (portugis), bangku dari kata banco (portugis), kelas dari kata klas
(belanda), pistol dari pistool (belanda), buku dari book (inggris) dan
telepon dari telephone (inggris).
10

6. Warisan Bangunan Bersejarah


Berbagai hal baru juga diperkenalkan kepada rakyat Indonesia
sebagai akibat penjajahan, misalnya seperti musik barat atau
internasional, seni tari seperti dansa, juga banguna-bangunan bersejarah
yang pernah menjadi saksi bisu perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Bangunan-bangunan dengan daya arsitektur khas Eropa kini menjadi
cagar budaya yang dilestarikan seperti pada kawasan Kota Tua Jakarta.
Selain itu juga terdapat berbagai benteng bersejarah di seluruh penjuru
negeri seperti Fort de Kock di Bukittinggi, Fort Marlborough di
Bengkulu, benteng Spellwijk di Banten, Vredeburg di Yogyakarta dan
lainnya.
7. Masuknya Agama Kristen
Akibat dari penjajahan lainnya adalah kemunculan agama Katolik
dan Kristen Protestan yang dibawa oleh para penjajah dari Eropa.
Portugis dengan semboyan Gold, Glory dan Gospel membawa
penyebaran agama Kristen dan Katolik di Indonesia. Salah satu penyebar
agama Katolik yang terkenal adalah Fransiscus Xaverius yaitu seorang
misionaris dari Portugis di Maluku pada tahun 1546 – 1547. Sedangkan
penyebaran agama Kristen Protestan terjadi saat pemerintahan Gubernur
Jenderal Raffles oleh Nederlands Zendeling Genootschap (NZG) yaitu
suatu organisasi yang menyebarkan agama Kristen Protestan dengan
dasar Alkitab. Beberapa tokohnya yang terkenal adalah Ludwig Ingwer
Nommensen dan Sebastian Qanckaarts.
8. Penggunaan Mata Uang
Sebagai akibat penjajahan dari bangsa Eropa, rakyat Indonesia
diperkenalkan pada penggunaan mata uang yang menjadi bagian
dari sejarah terbentuknya bank pada masa pemerintahan Gubernur
Raffles ketika ia menjalankan kebijakan sistem sewa tanah. Perkenalan
uang kertas dan logam mendorong kemunculan perbankan modern di
Hindia Belanda, salah satunya adalah de Javasche Bank di Batavia pada
11

1828 yang menjadi cikal bakal sejarah bank Indonesia sebagaimana bisa
disaksikan pada .sejarah museum BI di kota tua Jakarta.
9. Kenaikan Ekonomi
Pembangunan jalan raya pos Anyer-Panarukan membuat
kebangkitan ekonomi Indonesia pada masa itu terjadi karena
infrastruktur sudah didukung dengan jaringan transportasi. Misalnya
perkembangan transportasi kereta api mulai masa sistem tanam paksa
atau cultuurstelsel untuk mengantar hasil perkebunan dan sebagai alat
transportasi masyarakat.
10. Sistem Pendidikan
Pada saat kebijakan politik etis diberlakukan oleh pemerintah
kolonial saat itulah pendidikan juga mulai dianggap penting. Kebutuhan
tenaga kerja di sector-sektor swasta dan pemerintahan mendorong
pemerintah kolonial untuk memperhatikan bidang pendidikan. Namun
pada masa itu sebagai akibat penjajahan, sekolah didirikan dengan
sistem pendidikan barat dan hanya berlaku untuk anak bangsawan
pribumi.
Akibat dari penjajahan bangsa asing di Indonesia telah membawa
banyak pengaruh pada berbagai aspek kehidupan rakyat. Yang paling
utama adalah bahwa pada saat penjajahan berlangsung, rakyat Indonesia
kehilangan identitasnya sebagai bangsa yang dulu termasuk sebagai
bangsa unggulan di Asia Tenggara, terbukti dengan banyaknya kerajaan
besar bersejarah di Indonesia yang menguasai cakupan wilayah yang
besar.
Potensi rakyat sebagai warganegara yang memiliki hak setara pun
diinjak dan tidak dibiarkan berkembang agar rakyat tetap tidak memiliki
kepintaran sehingga dapat melawan para penjajah. Maka dari itu,
dampak dari penjajahan terhadap suatu negara biasanya tidak akan
membawa hasil yang baik. Cepat atau lambat, rakyat yang merasa
kehidupannya ditekan pasti akan berusaha memperjuangkan
kemerdekaan dan kebebasannya dari belenggu penjajahan.
12

11. Kebijakan yang Menindas Pribumi


Masa penjajahan Belanda di Indonesia menerapkan kebijakan yang
aneh-aneh dan menyiksa rakyat pribumi. Contohnya menerapan tanam
paksa di era Johannes van den Bosch. Penduduk pribumi disuruh
menanam rempah-rempah dengan aturan-aturan tertentu yang
ketimpangannya sangat jauh. Sangat menguntungkan pihak Belanda dan
sangat merugikan pribumi. Begitu tanaman rempah sudah siap panen,
Belanda membeli semua dengan harga murah. Mayat petani
bergelimpangan karena lelah, letih dan kelaparan. Bahkan lebih parah
lagi, mayat mereka tidak dikubur. Contoh kedua adalah pembangunan
infrastrukutr Anyer hingga Panyarukan. Jalan besar ini biasa disebut
dengan Jalan Raya Pos.
Tujuan pembuatan untuk mempertahankan Jawa dari serangan
Inggris sehingga mobilisasi pasukan berjalan lebih mudah. Waktu itu,
Belanda dan Perancis berperang melawan Inggris. Situasi keuangan di
Hindia Belanda cukup sulit, serangan lawan politik Daendels dan
beberapa kendala lain membuat Daendels membuat kebijakan yang
brutal. Yaitu sistem kerja paksa menggunakan tenaga pribumi secara
gratisan. Sehingga para pekerja paksa mati karena dua hal. Pertama
masalah lelah dan kesehatan. Kedua karena dibunuh oleh Belanda karena
gagal memenuhi target. Jalan Raya ini memang selesai dalam satu tahun
tapi harus dibayar oleh banyak nyawa pribumi. Sekarang, kita mengenal
jalan ini sebagai jalan pantai utara.
12. Kemiskinan di Segala Tempat
Kakek dan nenek kita di era penjajahan Belanda sangatlah miskin.
Itu karena kebijakan Belanda yang seenak perutnya sendiri. Mereka
terlalu mengeksploitasi pribumi dengan bayaran murah seperti tanam
paksa di era Van den Bosch atau lebih parahnya lagi mengeksploitasi
tanpa dibayar seperti pembangunan Jalan Raya Pos di era Daendels.
Memajaki pribumi dengan harga yang terlalu banyak. Mereka berpesta
di atas penderitaan dan kesengsaraan rakyat pribumi. Bahkan ada
13

kejadian yang kurang etis ketika Hindia Belanda menariki pajak pribumi
untuk merayakan hari kemerdekaan Belanda.
13. Devide et Impera atau Politik Adu Domba
Untuk mempertahankan cengkeramannya di tanah Nusantara,
Belanda menggunakan politik adu domba. Mereka tidak mau rakyat
pribumi bersatu dan menyerang balik. Karena itulah mereka politik kotor
itu. Belanda mendekati beberapa kalangan kerajaan atau kelompok
masyarakat untuk dibantu dan memusuhi kalangan kerajaan atau
kelompok masyarakat yang lain. Setelah kelompok atau kalangan
kerajaan yang dibantu Belanda berhasil meraih kemenangan, maka
Belanda akan mengontrol suatu wilayah yang dimiliki kelompok
tersebut. Ada beberapa contoh bagaimana politik adu domba bekerja.
Contoh politik adu domba adalah ketika perseteruan antara kaum adat
dan kaum paderi di kisah perjuangan Imam Bonjol.
14. Belanda Mengontrol Melalui Pribumi yang Diangkat
Selain mencegah persatuan bangsa Indonesia, politik adu domba
mempunyai fungsi lain yaitu bisa mengendalikan tokoh yang
berpengaruh. Contohnya adalah kasus di Kesultanan Banten. Ada
perselisihan di keluarga Kesultanan Banten antara pendukung Sultan
Ageng dan pendukung Sultan Haji. Kelompok Sultan Haji lebih dekat
dengan sejarah VOC belanda. Di akhir kisah, Sultan Haji dikepung oleh
pendukung Sultan Ageng. Tapi VOC datang membantu Sultan Haji dan
memukul mundur pendukung Sultan Ageng. Sebagai balas budi, Sultan
Haji bisa dikontrol VOC dan VOC mendapat kendali atas Priangan dan
Cirebon.
15. Peperangan yang Meluas
Tingkah sewenang-wenang Belanda tentu memberikan kesan
diktator. Dimana ada kediktatoran, tentu ada penindasan. Dimana ada
penindasan, maka akan ada perlawanan melawan si penindas. Cukup
banyak pribumi Nusantara yang bangkit membawa senjata untuk
melawan Belanda penindas ini. Pahlawan nasional dari
14

Sumatera ada Cut Nyak Diendan Teuku Umar yang berlaga di Perang
Aceh, Sisingamangaraja XII dan Tuanku Imam Bonjol. Pahlawan
nasional dari Jawa ada Sultan Ageng Tirtayasa dan Diponegoro. Di
Kalimantan ada Pangeran Antasari yang merupakan pahlawan nasional
dari Banjarmasin. Pahlawan nasional dari Sulawesi contohnya Sultan
Hasanuddin. Pahlawan nasional dari Bali contohnya I Gusti Ketut
Jelantik. Di Maluku ada Kapitan Pattimura dan Martha Christina
Tiahahu. Dimana ada perang, tentu menyebabkan banyak bencana lain.
Seperti kematian, kelaparan, kehancuran dan kemiskinan. Ketika para
pejuang kita kalah, maka keadaan semakin buruk. Para pejuang
dieksekusi atau diasingkan ke daerah yang sangat jauh dari daerah asal
mereka. Setelah itu, Belanda semakin menindas daerah yang
memberontak.

Demikian informasi tentang akibat penjajahan Belanda di Indonesia.


Akibat penjajahan Belanda di Indonesia perlu diketahui sebagai bukti bahwa
kolonialisme dan imperialisme itu sangatlah kejam dan sebagian besar hanya
menguntungkan pihak yang menjajah.

C. Perlawanan Bangsa Indonesia di Berbagai Daerah


Pada awalnya Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang.
Faktor khusus yang menyebabkan bangsa Belanda harus melakukan
penjelajahan samudera adalah ditutupnya pelabuhan Lisabon bagi para
pedagang Belanda. Belanda berhasil mengusai berbagai wilayah yang ada di
Indonesia salah satunya adalah dengan menggunakan strategi devide et impera
(adu domba). Belanda membela salah satu pihak yang bersengketa kemudian
mengambil keuntungan dari konflik intern dalam sebuah wilayah. Kemudian
Belanda memaksa untuk memonopoli perdagangan yang ada di Indonesia.
Tanggapan rakyat Indonesia dengan sikap Belanda kemudian dengan
mengadakan berbagai perlawanan fisik. Ciri perjuangan bangsa Indonesia
melawan Belanda sebelum abad ke-20 adalah:
15

1. Bersifat kedaerahan
2. Perjuangan berupa fisik
3. Tergantung pada pemimpin
4. Sering gagal karena berbagai kendala salah satunya persenjataan
5. Tidak adanya persatuan yang kuat sehingga mudah diadu domba
6. Bersifat sporadic yang artinya tidak terorganisir dengan baik
7. Belum ada tujuan yang jelas.

Berbagai perlawanan yang terjadi pada masa penjajahan Belanda antara


lain:

1. Perang Paderi (1803 – 1838)


Perang Paderi merupakan perang yang
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol melawan
pemerintah kolonial Belanda. Peristiwa ini
berawal dari gerakan Paderi untuk
memurnikan ajaran Islam di
wilayah Minangkabau, Sumatra Barat.
Perang ini dikenal dengan nama Perang
Paderi karena merupakan perang antara kaum Paderi/kaum putih/golongan
agama melawan kaum hitam/kaum Adat dan Belanda. Tokoh-tokoh
pendukung kaum Paderi adalah Tuanku Nan Renceh, Tuanku Kota Tua,
16

Tuanku Mensiangan, Tuanku Pasaman, Tuanku Tambusi, dan Tuanku


Imam. Jalannya Perang Paderi dapat dibagi menjadi 3 tahapan
a. Tahap I, tahun 1803 – Ciri perang tahap pertama ini adalah
murni perang saudara dan belum ada campur tangan pihak luar,
dalam hal ini Belanda. Perang ini mengalami perkembangan baru
saat kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda. Sejak itu
dimulailah Perang Paderi melawan Belanda.
b. Tahap II, tahun 1822 – Tahap ini ditandai dengan meredanya
pertempuran karena Belanda yang makin melemah berhasil
mengadakan perjanjian dengan kaum Paderi. Pada tahun 1825,
berhubung dengan adanya perlawanan Diponegoro di Jawa,
pemerintah Hindia Belanda dihadapkan pada kesulitan baru.
Kekuatan militer Belanda terbatas, dan harus menghadapi dua
perlawanan besar yaitu perlawanan kaum Paderi dan perlawanan
Diponegoro. Oleh karena itu, Belanda mengadakan perjanjian
perdamaian dengan Kaum Paderi. Perjanjian tersebut adalah
Perjanjian Masang (1825) yang berisi masalah gencatan senjata di
antara kedua belah pihak. Setelah Perang Diponegoro selesai,
Belanda kembali menggempur kaum Paderi di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Ellout tahun 1831. Kemudian, disusul
juga oleh pasukan yang dipimpin Mayor Michiels.
c. Tahap III, tahun 1832 – Perang pada tahap ini adalah perang
semesta rakyat Minangkabau mengusir Belanda. Sejak tahun 1831
kaum Adat dan kaum Paderi bersatu melawan Belanda yang
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.
Pada tanggal 16 Agustus 1837 jam 8 pagi, Bonjol secara keseluruhan
diduduki Belanda. Tuanku Imam mengungsi ke Marapak. Pertempuran
itu berakhir dengan penangkapan Tuanku Imam, yang langsung dibawa ke
Padang. Selanjutnya atas perintah Letkol Michiels, Tuanku Imam
diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat pada tahun 1838. Kemudian pada
17

tahun1839 dipindah ke Ambon. Tiga tahun kemudian dipindah ke Manado


sampai meninggal pada tanggal 6 November 1964 pada usia 92 tahun.

2. Perlawanan Patimura terhadap Belanda


Ketika Belanda kembali berkuasa di
Maluku pada tahun 1817, monopoli
diberlakukan lagi. Diberlakukan lagi sistem
ekonomi uang kertas yang sangat dibenci dan
keluar perintah sistem kerja paksa (rodi).
Belanda tampaknya juga tidak mau
menyokong dan memerhatikan keberadaan
gereja Protestan dan pengelolaan sekolah- sekolah protestan secara layak.
Inilah penyebab utama meletusnya Perang Maluku yang dipimpin Kapitan
Pattimura. Pada tanggal 15 Mei 1817, pasukan Pattimura mengadakan
penyerbuan ke Benteng Duurstede. Dalam penyerangan tersebut, Benteng
Duurstede dapat diduduki oleh pasukan Pattimura bahkan residen van den
Berg beserta keluarganya tewas.
Tentara Belanda yang tersisa dalam benteng tersebut menyerahkan
diri. Dalam penyerbuan itu, Pattimura dibantu oleh Anthonie Rheebok,
Christina Martha Tiahahu, Philip Latumahina, dan Kapitan Said Printah.
Berkat siasat Belanda yang berhasil membujuk Raja Booi, pada tanggal 11
November 1817, Thomas Matulessy atau yang akrab dikenal dengan gelar
Kapitan Pattimura berhasil ditangkap di perbatasan hutan Booi dan Haria.
Akhirnya vonis hukuman gantung dijatuhkan kepada empat
pemimpin, yaitu Thomas Matullessy atau Kapitan Pattimura, Anthonie
Rheebok, Said Printah, dan Philip Latumahina. Eksekusi
hukuman gantung sampai mati dilaksanakan pada pukul 07.00 tanggal 10
Desember 1817 disaksikan rakyat Ambon.
18

3. Perlawanan Diponegoro terhadap Belanda


Sebelum Perang Diponegoro meletus,
terjadi kekalutan di Istana Yogyakarta.
Ketegangan mulai timbul ketika Sultan
Hamengku Buwono II memecat dan
menggeser pegawai istana dan bupati-
bupati yang dahulu dipilih oleh Sultan
Hamengku Buwono I. Kekacauan dalam
istana semakin besar ketika mulai ada campur tangan Belanda. Tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan Belanda menimbulkan kebencian
rakyat. Kondisi ini memuncak menjadi perlawanan menentang Belanda.
Sebab-sebab umum perlawanan Diponegoro.
a. Kekuasaan Raja Mataram semakin lemah, wilayahnya dipecah-
pecah.
b. Belanda ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan dan
pengangkatan raja pengganti.
c. Kaum bangsawan sangat dirugikan karena sebagian besar sumber
penghasilannya diambil alih oleh Belanda. Mereka dilarang
menyewakan tanah bahkan diambil alih haknya.
d. Adat istiadat keraton menjadi rusak dan kehidupan beragama menjadi
merosot.
e. Penderitaan rakyat yang berkepanjangan sebagai akibat dari berbagai
macam pajak, seperti pajak hasil bumi, pajak jembatan, pajak jalan,
pajak pasar, pajak ternak, pajak dagangan, pajak kepala, dan pajak
tanah.

Hal yang menjadi sebab khusus perlawanan Pangeran Diponegoro


adalah adanya rencana pembuatan jalan yang melalui makam leluhur
Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Dalam perang tersebut, Pangeran
Diponegoro mendapatkan dukungan dari rakyat Tegalrejo, dan dibantu
19

Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirjo, dan


Pangeran Dipokusumo.
Pada tanggal 20 Juli 1825, Belanda bersama Patih Danurejo IV
mengadakan serangan ke Tegalrejo. Pangeran Diponegoro bersama
pengikutnya menyingkir ke Selarong, sebuah perbukitan di Selatan
Yogyakarta. Selarong dijadikan markas untuk menyusun kekuatan dan
strategi penyerangan secara gerilya. Agar tidak mudah diketahui oleh
pihak Belanda, tempat markas berpindah-pindah, dari Selarong ke Plered
kemudian ke Dekso dan ke Pengasih. Perang Diponegoro menggunakan
siasat perang gerilya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Berbagai upaya untuk mematahkan perlawanan Pangeran
Diponegoro telah dilakukan Belanda, namun masih gagal. Siasat Benteng
stelsel (sistem Benteng) yang banyak menguras biaya diterapkan juga.
Namun sistem benteng ini juga kurang efektif untuk mematahkan
perlawanan Diponegoro. Jenderal De Kock akhirnya menggunakan siasat
tipu muslihat melalui perundingan. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran
Diponegoro bersedia hadir untuk berunding di rumah Residen Kedu di
Magelang.
Dalam perundingan tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap dan
ditawan di Semarang dan dipindah ke Batavia. Selanjutnya pada tanggal 3
Mei 1830 dipindah lagi ke Manado. Pada tahun 1834 pengasingannya
dipindah lagi ke Makassar sampai meninggal dunia pada usia 70 tahun
tepatnya tanggal 8 Januari 1855.
20

4. Perang Puputan Jagaraga di Bali


Pada tahun 1844, sebuah kapal dagang
Belanda kandas di daerah Prancak (daerah
Jembara), yang saat itu berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Buleleng. Kerajaan-
kerajaan di Bali termasuk Buleleng pada saat
itu memberlakukan hak tawan karang.
Dengan demikian, kapal dagang Belanda
tersebut menjadi hak Kerajaan Buleleng. Pemerintah kolonial Belanda
memprotes Raja Buleleng yang dianggap merampas kapal Belanda, namun
tidak dihiraukan. Insiden inilah yang memicu pecahnya Perang Bali, atau
dikenal juga dengan nama Perang Jagaraga.
Belanda melakukan penyerangan terhadap Pulau Bali pada tahun
1846. Yang menjadi sasaran pertama dan utama adalah Kerajaan Buleleng.
Patih I Gusti Ktut Jelantik beserta pasukan menghadapi serbuan Belanda
dengan gigih. Pertempuran yang begitu heroik terjadi di Jagaraga yang
merupakan salah satu benteng pertahanan Bali. Belanda
melakukan serangan mendadak terhadap pasukan Bali di benteng
Jagaraga. Dalam pertempuran tersebut, pasukan Bali tidak dapat
menghalau pasukan musuh. Akhirnya pasukan I Gusti Ktut Jelantik
terdesak dan mengundurkan diri ke daerah luar benteng Jagaraga.
Waktu benteng Jagaraga jatuh ke pihak Belanda, pasukan Belanda
dipimpin oleh Jenderal Mayor A.V. Michiels dan sebagai wakilnya adalah
van Swieten. Raja Buleleng dan patih dapat meloloskan diri dari
kepungan pasukan Belanda menuju Karangasem. Setelah Buleleng secara
keseluruhan dapat dikuasai, Belanda kemudian berusaha menaklukkan
kerajaan-kerajaan lainnya di Pulau Bali. Terrnyata perlawanan sengit dari
rakyat setempat membuat pihak Belanda cukup kewalahan. Perang
puputan pecah di mana-mana, seperti Perang Puputan Kusamba (1849),
Perang Puputan Badung (1906), dan Perang Puputan Klungkung (1908).
21

5. Perlawanan Antasari terhadap Pemerintah Belanda


Campur tangan pemerintah Belanda
dalam urusan pergantian kekuasaan di Banjar
merupakan biang perpecahan. Sewaktu Sultan
Adam Al Wasikbillah memegang tahta
kerajaan Banjar (1825 – 1857), putra mahkota
yang bernama Sultan Muda Abdurrakhman
meninggal dunia. Dengan demikian calon
berikutnya adalah putra Sultan Muda Abdurrakhman atau cucu Sultan
Adam. Yang menjadi masalah adalah cucu Sultan Adam dari putra
mahkota ada dua orang, yaitu Pangeran Hidayatullah dan Pangeran
Tamjid. Sultan Adam cenderung untuk memilih Pangeran Hidayatullah.
Alasannya memiliki perangai yang baik, taat beragama, luas pengetahuan,
dan disukai rakyat. Sebaliknya Pangeran Tamjid kelakuannya kurang
terpuji, kurang taat beragama dan bergaya hidup kebarat-baratan meniru
orang Belanda.
Pangeran Tamjid inilah yang dekat dengan Belanda dan dijagokan
oleh Belanda. Belanda menekan Sultan Adam dan mengancam supaya
mengangkat Pangeran Tamjid. Di mana-mana timbul suara
ketidakpuasan masyarakat terhadap Sultan Tamjidillah II (gelar Sultan
Tamjid setelah naik tahta) dan kebencian rakyat terhadap Belanda.
Kebencian rakyat lama-lama berubah menjadi bentuk perlawanan yang
terjadi di mana-mana. Perlawanan tersebut dipimpin oleh seorang figur
yang didambakan rakyat, yaitu Pangeran Antasari.
Pangeran Hidayatullah secara terang-terangan menyatakan memihak
kepada Pangeran Antasari. Bentuk perlawanan rakyat terhadap Belanda
mulai berkobar sekitar tahun 1859. Pangeran Antasari juga diperkuat oleh
Kyai Demang Lehman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, dan Kyai Langlang.
Penyerangan diarahkan pada pos- pos tentara milik Belanda dan pos-pos
missi Nasrani. Benteng Belanda di Tabania berhasil direbut dan dikuasai.
Tidak lama kemudian datang bantuan tentara Belanda dari Jawa yang
22

dipimpin oleh Verspick, berhasil membalik keadaan setelah terjadi


pertempuran sengit. Akibat musuh terlalu kuat, beberapa orang pemimpin
perlawanan ditangkap. Pangeran Hidayatullah ditawan oleh Belanda pada
tanggal 3 Maret 1862, dan diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Pada
tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari wafat. Sepeninggal Pangeran
Antasari, para pemimpin rakyat mufakat sebagai penggantinya adalah
Gusti Mohammad Seman, putra Pangeran Antasari.

6. Perlawanan Kerajaan Aceh terhadap Belanda


Penandatanganan Traktat Sumatra
antara Inggris dan Belanda pada tahun 1871
membuka kesempatan kepada Belanda
untuk mulai melakukan intervensi ke
Kerajaan Aceh. Belanda menyatakan perang
terhadap Kerajaan Aceh karena Kerajaan
Aceh menolak dengan keras
untuk mengakui kedaulatan Belanda. Inilah awal pertempuran terjadi
antara pasukan Aceh dengan sebagian tentara Belanda yang mulai
mendarat di Aceh.Dalam pertempuran itu pasukan Aceh mundur ke
kawasan Masjid Raya. Pasukan Aceh tidak semata-mata mundur tapi juga
sempat memberi perlawanan sehingga Mayor Jenderal Kohler sendiri
tewas. Dengan demikian, Masjid Raya dapat direbut kembali oleh pasukan
Aceh.
Daerah-daerah di kawasan Aceh bangkit melakukan perlawanan.
Para pemimpin Aceh yang diperhitungkan Belanda adalah Cut
Nya’Din, Teuku Umar, Tengku Cik Di Tiro, Teuku Ci’ Bugas, Habib
Abdurrahman, dan Cut Mutia. Belanda mencoba menerapkan siasat
konsentrasi stelsel yaitu sistem garis pemusatan di mana Belanda
memusatkan pasukannya di benteng-benteng sekitar kota termasuk
Kutaraja. Belanda tidak melakukan serangan ke daerah-daerah tetapi
23

cukup mempertahankan kota dan pos-pos sekitarnya. Namun, siasat


ini tetap tidak berhasil mematahkan perlawanan rakyat Aceh.
Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan Belanda berpikir keras
untuk menemukan siasat baru. Untuk itu, Belanda memerintahkan Dr.
Snouck Hurgronje yang paham tentang agama Islam untuk mengadakan
penelitian tentang kehidupan masyarakat Aceh. Dr. Snouck
Hurgronje memberi saran dan masukan kepada pemerintah Hindia
Belanda mengenai hasil penyelidikannya terhadap masyarakat Aceh yang
ditulis dengan judul De Atjehers. Berdasarkan kesimpulan Dr. Snouck
Hurgronje pemerintah Hindia Belanda memperoleh petunjuk bahwa untuk
menaklukkan Aceh harus dengan siasat kekerasan.
Pada tahun 1899, Belanda mulai menerapkan siasat kekerasan
dengan mengadakan serangan besar-besaran ke daerah-daerah pedalaman.
Serangan-serangan tersebut dipimpin oleh Van Heutz. Tanpa mengenal
peri- kemanusiaan, pasukan Belanda membinasakan semua penduduk
daerah yang menjadi targetnya. Satu per satu pemimpin para pemimpin
perlawanan rakyat Aceh menyerah dan terbunuh. Dalam pertempuran yang
terjadi di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Jatuhnya Benteng Kuto Reh pada
tahun 1904, memaksa Aceh harus menandatangani Plakat pendek atau
Perjanjian Singkat (Korte Verklaring). Biar pun secara resmi pemerintah
Hindia Belanda menyatakan Perang Aceh berakhir pada tahun 1904,
dalam kenyataannya tidak. Perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung
sampai tahun 1912. Bahkan di beberapa daerah tertentu di Aceh masih
muncul perlawanan sampai menjelang Perang Dunia II tahun 1939.
24

7. Perang Tapanuli (1878 – 1907)


Pada tahun 1878 Belanda
mulai dengan gerakan militernya
menyerang daerah Tapanuli, sehingga
meletus Perang Tapanuli dari tahun 1878
sampai tahun 1907. Perlawanan Belanda di
daerah Tapanuli dipimpin oleh Si
Singamangaraja XII. Sebab-sebab terjadinya
Perang Batak atau Perang Tapanuli.
Raja Si Singamangaraja XII menentang dan menolak daerah
kekuasaannya di Tapanuli Selatan dikuasai Belanda. Belanda ingin
mewujudkan Pax Netherlandica (menguasai seluruh Hindia Belanda).
Pada masa pemerintahan Si Singamangaraja XII, kekuasaan kolonial
Belanda mulai memasuki daerah Tapanuli. Belanda ingin
mewujudkan Pax Netherlandica yang dilakukan dengan berlindung di
balik kegiatan zending yang mengembangkan agama Kristen. Belanda
menempatkan pasukannya di Tarutung dengan dalih melindungi penyebar
agama Kristen. Si Singamangaraja XII tidak menentang usaha-usaha
mengembangkan agama Kristen tetapi ia tidak bisa menerima tertanamnya
kekuasaan Belanda di wilayah kekuasaannya.
Menghadapi perluasan wilayah pendudukan yang dilakukan oleh
Belanda, pada bulan Februari 1878 Si Singamangaraja XII melancarkan
serangan terhadap pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat
Tarutung (Tapanuli Utara). Pertempuran merebak sampai ke daerah
Buntur, Bahal Batu, Balige, Si Borang-Borang, dan Lumban Julu. Dengan
gigih rakyat setempat berjuang saling bahu membahu berlangsung sampai
sekitar 7 tahun. Tetapi, karena kekurangan senjata pasukan Si
Singamangaraja XII semakin lama semakin terdesak. Bahkan terpaksa
ditinggalkan dan perjuangan dilanjutkan ke tempat lain. Dalam keadaan
yang lemah, Si Singamangaraja XII bersama putra-putra dan
pengikutnya mengadakan perlawanan. Dalam perlawanan ini, Si
25

Singamangaraja, dan seorang putrinya, Lapian serta dua putranya, Sultan


Nagari dan Patuan Anggi, gugur. Dengan gugurnya Si Singamangaraja
XII, maka seluruh daerah Batak jatuh ke tangan Belanda.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan isi makalah yang telah dipaprkan oleh penulis, maka dapat
disimpulkan:
1. Masuknya kekuasaan Belanda melalui VOC (Verenigde Oost
Compagnie) pada abad XV dengan memonopoli perdagangannya,
menguasai pelabuhan-pelabuhan dan menguasai daerah tertentu untuk
menghasilkan keuntungan besar bagi Belanda.
2. Konsep Raffes mengenai landrente mendasari Gubernur Jendral J. Van
Den Bosch menerapkan kebijakan tanam paksa (culture stelsel) yang
diberlakukan sejak 1830.
3. Penggunakan kebijakan tanam paksa berhasil untuk proses ekslploitasi
ekonomi yang maksimal oleh Belanda.
4. Akibat penjajahan Belanda di Indonesia perlu diketahui sebagai bukti
bahwa kolonialisme dan imperialisme itu sangatlah kejam dan sebagian
besar hanya menguntungkan pihak yang menjajah.
5. Tanggapan rakyat Indonesia dengan sikap Belanda kemudian dengan
mengadakan berbagai perlawanan fisik di berbagai daerah yang ada di
Indonesia.

B. Kritik dan Saran


Demikianlah makalah yang penulis buat, semoga dapat bermanfaat bagi
pembaca. Apabila ada kritik dan saran yang ingin disampaikan, silakan
sampaikan kepada penulis. Apabla terdapat kesalahan mohon dapat
memaafkan dan memakluminya.

26
DAFTAR PUSTAKA

Hafizh, Henry. 2019. 5 Akibat Penjajahan Belanda di Indonesia di


https://sejarahlengkap.com/indonesia/akibat-penjajahan-belanda (diakses
pada 1 Februari 2020 pukul 14.05 WIB)

Retno, Devita. 2019. 10 Akibat Penjajahan Belanda di Indonesia di


https://sejarahlengkap.com/indonesia/akibat-penjajahan (diakses pada 1
Februari 2020 pukul 13.59 WIB)

Setyawan, Doni. 2016. Perlawanan terhadap Kolonial Belanda di


http://www.donisetyawan.com/perlawanan-terhadap-kolonial-belanda/
(diakses pada 1 Februari 2020 pukul 15.39 WIB)

Setyawan, Doni. 2016. Politik Ekonomi Liberal Zaman Kolonial Belanda di


http://www.donisetyawan.com/politik-ekonomi-liberal-zaman-kolonial-
belanda/ (diakses pada 1 Februari 2020 pukul 16.56 WIB)

Sudirman, Adi. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia. Yogyakarta: Diva Press.

27

Anda mungkin juga menyukai