Perusahaan juga membuka diri untuk menyerap seng dari tambang lain.
Nantinya, hasil pemurnian akan didistribusikan kepada pasar Asia, seperti
Jepang dan China.
Hendra berharap, proses akuisisi proyek smelter ini dapat rampung dalam 6
bulan ke depan. Persiapan perizinan cukup panjang karena melibatkan
berbagai unsur, seperti penanaman modal asing (PMA), Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM), dan perpajakan.
Dia berharap, pengoperasian smelter seng dapat dilakukan pada akhir 2020
atau awal 2021. Dengan demikian, sistem pengolahan logam perseroan kian
terintegrasi.
Dalam prosesnya, pabrik seng oksida akan menyerap seng dengan kadar
konsetrat rendah 20%-30%, kemudian ditingkatkan menjadi kadar 52%.
Setelah itu, seng akan dimasukan ke dalam smelter agar menghasilkan logam
dengan kadar seng 99%.
“Kontribusi kedua proyek seng itu sekitar Rp173 miliar bagi kami. Artinya,
karena kami hanya memegang 50%, kontribusi laba [dari proyek] sebenarnya
dua kali lipat dari itu [Rp346 miliar],” paparnya.
Batu Hijau adalah kawasan pertambangan yang dimiliki oleh PT Newmont Nusa Tenggara atau
PTNNT. Pantaslah jika kawasan Batu Hijau memiliki sistem tata lingkungan yang baik karena
salah satu misi PTNNT adalah menjadi perusahaan tambang yang terdepan dalam bidang
perlindungan lingkungan. PT Newmont Nusa Tenggara memiliki keyakinan bahwa sistem
pengelolaan yang disertai tata kerja lingkungan yang baik akan mampu mewujudkan perusahaan
yang efektif dan sukses sesuai dengan visi PTNNT itu sendiri.
PTNNT telah menerapkan Sistem Manajemen Lingkungan(SML) ISO 14001 yang merupakan
komitmen terhadap setiap operasi dan fasilitas tambang Newmont di wilayah Asia Pasifik. SML
ini merupakan bagian dari kegiatan operasi yang terdiri dari pengelolaan hidrokarbon, bahan
kimia, batuan sisa hingga pengelolaan limbah dan air dan masih banyak lagi yang kesemuanya
dianggap mampu membuat PTNNT mewujudkan komitmennya.
Namun, dari berbagai strategi pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan PTNNT , saya
merasakan ada satu hal yang kurang karena semua metode yang dilakukan masih
menitikberatkan pada teknik secara fisika dan kimia. Padahal di masa sekarang, kegiatan
pertambangan yang berbasis pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan sudah dapat dilakukan
dengan pendekatan biologis untuk mewujudkan penerapan dari Green Technology
atau Teknologi Hijau.
Melalui artikel ini saya hendak memberikan gambaran mengenai salah satu pendekatan secara
biologis yang dapat meningkatkan teknologi pertambangan untuk mengurangi dampak buruk
terhadap lingkungan yakni dengan menggunakan mikroorganisme berupa bakteri yang dapat
memecah material batuan dan mengekstraksi mineral dari bijihnya maupun tailing sisa peleburan
batuan tambang sehingga dapat diperoleh peningkatan keuntungan dan manfaat hasil yang lebih
besar dibanding teknologi pertambangan konvensional. Teknologi ini disebut Biomining.
Definisi Biomining secara utuh adalah proses ekstraksi mineral berharga dari bijihnya ataupun
dari sisa tailing pertambangan dengan menggunakan bantuan mikroorganisme khususnya bakteri.
Biomining ini merupakan teknologi yang efektif sekaligus ramah lingkungan yang dapat
digunakan untuk menambang logam maupun material berharga.
Biomining ini merupakan penerapan dari proses bioleaching dan/atau biooksidasi. Keduanya
memberikan pengertian berupa konversi mineral/logam yang berasal dari bijih mineralnya (ores)
menjadi bentuk yang lebih larut dalam air (bioleaching) ataupun dalam wujud residu berupa
padatan (biooksidasi) yang diaplikasikan dalam skala operasi yang lebih besar oleh industri
pertambangan.
Dalam kegiatan industri pertambangan, Biomining ini dapat digunakan untuk memeroleh
berbagai logam mineral seperti seng (Zn), kobalt (Co), tembaga (Cu), Emas (Au) dan masih
banyak lagi. Namun dalam artikel ini saya akan lebih fokus membahas tentang penerapan
Biomining untuk memeroleh logam tembaga (Cu) dan emas (Au) yang menggunakan bijih
kualitas rendah (Low grade ores) maupun tailing sisa untuk mendapatkan persen hasil logam
yang lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan teknik tambang konvensional
Teknologi Biomining untuk memeroleh tembaga menggunakan prinsip dari proses bioleaching
yang mengubah bijih tembaga yang umumnya berbentuk tembaga sulfida tak larut menjadi
bentuk tembaga sulfat yang lebih larut dalam air. Proses ini bertujuan untuk menciptakan kondisi
asam dari senyawa sulfur yang tereduksi sehingga dapat menghasilkan logam terlarut tembaga
yang diinginkan untuk diproses lebih lanjut dalam proses smelting. Mikroba yang digunakan
adalah bakteri Acidithiobacillus ferrooxidans yang secara alami hidup dan terdapat di dalam bijih
mineral hasil tambang dan melalui biomining populasi bakteri tersebut ditingkatkan dan
digunakan dalam reaksi berbasis microbial leaching.
Proses reaksi utama pada bioleaching pada tembaga dimulai ketika terjadi oksidasi spontan dari
sulfida oleh ion Fe(III) yang dihasilkan dari proses oksidasi ion Fe(II) oleh bakteri A.
ferrooxidans. Fe(II) yang dioksidasi oleh bakteri ini terkandung secara alami dalam bijih
tembaga. Reaksi oksidasi spontan CuS dengan ion Fe(III) berlangsung dalam kondsi anaerob
(tidak ada O2) sehingga dihasilkan ion Cu(II) serta ion Fe(II) pada akhir reaksinya. Efisiensi dari
proses leaching ini dapat dilakukan dengan menggunakan tempat pembuangan seperti kolam
besar yang dalam untuk menciptakan kondisi anoksigenik.
Proses berikutnya adalah tahapan yang disebut "Metal Recovery" dari Ion Cu(II) yang terbentuk
dari reaksi awal. Potongan besi (scrap steel ion) atau (Fe0) ditambahkan ke dalam kolam
pengendapan untuk memeroleh kembali tembaga dari cairan leaching melalui proses reaksi
kimia sebagaimana yang ditunjukkan dalam gambar 1 sehingga dihasilkan mineral tembaga yang
lebih murni (Cu0). Selain itu reaksi ini menghasilkan larutan kaya ion Fe(II) yang selanjutnya
akan dipompa kembali menuju kolam oksidasi yang tidak terlalu dalam untuk selanjutnya
dioksidasi kembali menjadi ion Fe(III) oleh bakteri pengoksidasi besi. Larutan asam yang
mengandung ion Fe (III) ini lalu dipompa kembali kebagian atas pengumpulan untuk selanjutnya
ion Fe(III) ini digunakan mengoksidasi kembali CuS untuk menghasilkan logam tembaga yang
lebih larut dalam air.
Kolam leaching yang digunakan dalam proses bimining tembaga ini juga diatur sedemikian rupa
mengalami kenaikan temperatur pada tiap prosesnya yang juga memengaruhi jenis populasi
mikroba yang berperan untuk mengoksidasi besi (ion Fe(II)). Dimulai dari A. ferrooxidans yang
aktif mengoksidasi dan hidup pada kisaran suhu 30 oC, kemudian pada suhu yang lebih tinggi
digantikan oleh Leptospirilum ferrooxidans dan Sulfobacillus, lalu pada suhu 60-80 oC proses
oksidasi besi dilakukan oleh Arkea (Organisme yang hidup dalam lingkungan ekstrim dan
berbeda dengan bakteri) seperti Sulfolobus.
Selain tembaga, salah satu mineral berharga yang menjadi komoditi utama dalam industri
pertambangan adalah emas seperti yang dilakukan oleh PTNNT yang merupakan perusahaan
tambang yang fokus terhadap penambangan emas dan tembaga. Emas dalam bahasa latin atau
dalam bentuk mineralnya disebut Au dapat diperoleh kembali dari bijihnya dengan cara
melarutkannya dengan larutan sianida. Di dalam bijih atau yang biasa disebut refraktori, partikel-
partikel emas biasanya tertutupi oleh sulfida tak larut. Kemudian melalui proses yang didasarkan
pada prinsip biooksidasi, bakteri akan mengoksidasi sulfida yang menutupi mikropartikel emas
dalam bijih maupun konsentratnya.
Pada tahap pertama, bakteri berperan dalam mempercepat proses pemecahan mineral arsenopirit
(FeAsS) pada bijih yang mengandung deposit emas. Bakteri pengoksidasi ini adalah bakteri A.
ferrooxidans yang akan mengoksidasi sulfur dan ion logam arsen (As) ke tingkat oksidasi yang
lebih tinggi melalui proses reduksi oksigen oleh H2 dan ion Fe (III). Proses ini terjadi di
membran sel bakteri A. ferrooxidans tersebut.
Pada tahap kedua, bakteri kemudian mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ (dengan mereduksi O2).
Lalu logam emas akan dioksidasi ke tingkat yang lebih tinggi dari yang semula memiliki
bilangan oksidasi 3 (Au3+) menjadi 5 (Au5+) dan terlepas menjadi mineral bebas Au dengan
menggunakan elektron yang diperoleh dari hasil reduksi kembali Fe3+ menjadi Fe2+ sehingga
siklus akan berlanjut dan Fe2+ ini dioksidasi kembali.
Emas atau Au yang sudah terlepas ini berikutnya akan dikomplekskan dengan larutan sianida
(CN-) dengan menggnakan metode tradisional untuk memeroleh emas murni. Namun tidak
seperti proses leaching pada tembaga yang menggunakan kolam atau dump yang besar, proses
leaching pada emas ini dilakukan dalam tangki bioeaktor kecil. Proses perolehan kembali
mineral emas (Recovery) dengan menggunakan Biomining ini akan meningkatkan hasil emas
yang diperoleh hingga mencapai lebih dari 95%. Selain itu efek toksik dari residu As dan CN-
yang dihasilkan dalam proses penambangan akan dihilangkan di dalam bioreaktor leaching emas
Arsen atau As akan dihilangkan dalam bentuk endapan bersama besi sedangkan CN- dihilangkan
melalui oksidasi bakteri yang pada proses akhirnya akan menghasilkan CO2 dan urea melalui
proses perolehan kembali mineral Au lebih lanjut. Bioreaktor mikroba skala kecil seperti yang
digunakan dalam Biomining emas ini telah cukup populer di beberapa negara seperti di Ghana,
Afrika (gambar 2) karena merupakan teknologi penambangan emas yang lebih ramah
lingkungan.
1388649604175661198
Penggunaan teknologi Biomining ini menjadi sangat beralasan dan dapat menjadi sebuah
alternatif karena saat ini bijih mineral berharga yang berkualitas tinggi sudah berkurang secara
drastis akibat tingginya permintaan dunia terhadap logam dan mineral, khususnya tembaga dan
emas. Hal ini menyebabkan hanya tersisa bijih kualitas rendah yang untuk mengolahnya
diperlukan energi tinggi dan bahan baku yang memakan biaya tinggi jika menggunakan teknik
tambang konvensional. Selain itu terdapat biaya lingkungan tambahan yang harus dikeluarkan
oleh perusahaan tambang akibat tingginya polusi udara berupa emisi gas SO2 yang berbahaya
akibat kegiatan pertambangan. Ditambah pula dengan semakin ketatnya standar lingkungan yang
mengatur tentang tata kelola limbah berbahaya hasil kegiatan pertambangan akan menyebabkan
biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan tambang terhadap perlindungan lingkungan semakin
tinggi.
Pada akhirnya, tidak dapat diragukan lagi bahwa Biomining merupakan salah satu
terobosan Green Technology yang mampu menghasilkan dan mengekstraksi logam atau mineral
berharga dengan meminimalkan efek buruk yang dihasilkan terhadap lingkungan. Semakin
menipisnya kandungan bijih mineral kualitas tinggi pada bumi, memberikan konsekuensi bahwa
cara paling ekonomis untuk tetap memeroleh mineral berharga yang penting adalah dengan
menggunakan bijih kualitas rendah yang jumlahnya masih cukup melimpah ataupun tailing sisa
pertambangan. Proses fisika-kimia atau yang biasa disebut pirometaurgi dan teknologi tambang
konvensional haruslah diakui tidak lagi efektif akibat biaya yang mahal, energi yang diperlukan
dan polusi yang dihasilkan sedangkan Biomining adalah jawaban yang tepat untuk meningkatkan
hasil tambang seperti emas maupun tembaga hingga mencapai nilai dua kali lipat dari hasil
pertambangan biasa dan sudah dapat diterapkan dalam berbagai kegiatan industri pertambangan
yang memerhatikan pengelolaan lingkungan di dalam sistemnya seperti PTNNT. Jadi, apakah
PTNNT seharusnya juga sudah mulai memikirkan dan mau menerapkan Biomining dalam
kegiatan pertambangannya ? Menurut saya jawabannya adalah Ya.
Pertambangan bijih atau logam seng terdapat di beberapa daerah Indonesia. Lokasi
pertambangan seng tersebut antara lain di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi
Tenggara.
Proses pengolahan seng hingga menjadi seng lembaran, biasa dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan swasta yang ada di kota-kota besar.
Seng
Seng (bahasa Belanda: zink) adalah unsur kimia dengan lambang kimia Zn, nomor
atom 30, dan massa atom relatif 65,39. Ia merupakan unsur pertama golongan 12 pada tabel
periodik. Beberapa aspek kimiawi seng mirip dengan magnesium. Hal ini dikarenakan ion kedua
unsur ini berukuran hampir sama. Selain itu, keduanya juga memiliki keadaan oksidasi +2. Seng
merupakan unsur paling melimpah ke-24 di kerak Bumi dan memiliki
lima isotop stabil. Bijih seng yang paling banyak ditambang adalah sfalerit (seng sulfida).
b. Sifat Fisik
Seng merupakan logam yang berwarna putih kebiruan, berkilau, dan bersifat diamagnetik
berstruktur kristal heksagonal.
Keras dan rapuh pada kebanyakan suhu
Pada suhu 100-150 °C : dapat ditempa
Suhu > 210 °C : kembali menjadi rapuh dan dapat dihancurkan menjadi bubuk dengan
memukul-mukulnya
Mampu menghantarkan listrik.
titik lebur (420 °C) dan tidik didih (900 °C)
c. Sifat Mekanik
V. Paduan Seng
a. Seng paduan–tuangan (Zinc die- casting Alloys)
Proses pengecoran merupakan salah satu proses pembentukan benda kerja yang efisien dan
dapat membentuk benda kerja hingga bagian yang tersulit secara tepat dan akurat dengan sedikit
atau tidak sama sekali memerlukan proses pemesinan (macining). Keberhasilan dalam proses
pembentukan benda kerja dengan cara pengecoran relative ditentukan oleh tingkat kerumitan
bentuk benda kerja itu sendiri.
Paduan Seng merupakan salah satu bahan cor yang baik dimana Seng memiliki titik cair
yang rendah, sehingga dapat dibentuk dengan berbagai metoda pengecoran. Pressure die Casting
dengan “hot chamber system” merupakan proses pengecoran yang paling mudah dan cepat.
Paduan Seng yang dibentuk melalui proses pengecoran digunakan secara luas dalam
pembuatan peralatan rumah tangga tempat peralatan optic, sound reproducing instrument part,
mainan dan komponen ringan dari kendaraan dan lain lain. Paduan Seng juga dapat difinishing
dengan pengecatan atau “electroplating”. Dalam pelaksanaannya Proses pembentukan benda
kerja dengan cara pengecoran yang menggunakan paduan seng ini sering ditambahkan unsur
Aluminium untuk menurunkan titik cairnya serta meningkatkan tegangannya dengan komposisi
sebagaimana diperlihatkan pada bagian dari diagram keseimbangan dari paduan Seng-
Aluminium berikut. Diagram kesimbangan paduan Seng-Aluminium (Gambar 1.18)
mengindikasikan bahwa dengan penambahan sedikit kadar Aluminium yang masuk kedalam
larutan padat dari Seng akan menghasilkan eutectic dimana pada Aluminium mengandung 5 %
Seng. Sebagaimana dilakukan pada beberapa jenis paduan lainnya dimana dilakukan “ageing”
untuk penuaan melalui pemadatan cepat dalam proses die-Casting, walaupun mengakibatkan
penurunan angka kekerasan, nilai impact serta kekuatan tariknya akan tetapi keuletan (ductility)
nya akan meningkat secara actual tergantung pada lamanya proses dan kondisi ageing tersebut,
biasanya mencapai 5 minggu. Dengan demikian akan diperoleh sifat yang disebut “original-
properties”. Setelah proses ageing ini Casting akan menyusut untuk waktu selama 8 tahun
dengan kehilangan dimensinya sebesar 0,0015 mm/mm, akan tetapi keadaan ini dapat direduksi
dengan proses stabilizing yakni memberikan pemanasan pada temperature 1000 C sebelum
machining.