Anda di halaman 1dari 27

Tanggal Pemberian Tugas : 27 februari 2018

Dosen Pembimbing : Dr. Sufriadin. ST., MT

TUGAS MAKALAH

PROSES GASIFIKASI BATUBARA

Disusun Oleh

ADITYA ANUGRAH

D621 15 003

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

GOWA

2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu produsen dan eksportir batubara terbesar di dunia.
Sejak tahun 2005, ketika melampaui produksi Australia, Indonesia menjadi eksportir
terdepan batubara thermal. Porsi signifikan dari batubara thermal yang diekspor terdiri
dari jenis kualitas menengah (antara 5100 dan 6100 cal/gram) dan jenis kualitas
rendah (di bawah 5100 cal/gram) yang sebagian besar permintaannya berasal dari
Cina dan India.
Berkaitan dengan cadangan batubara global, Indonesia saat ini menempati
peringkat ke-9 dengan sekitar 2.2 persen dari total cadangan batubara global terbukti
berdasarkan BP Statistical Review of World Energy. Sekitar 60 persen dari cadangan
batubara total Indonesia terdiri dari batubara kualitas rendah yang lebih murah (sub-
bituminous) yang memiliki kandungan kurang dari 6100 cal/gram. Oleh karenanya,
dibutuhkan adanya inovasi dalam pengelolaan Batubara di Indonesia untuk
memaksimalkan pemanfaatan potensi Batubara. Salah satunya yaitu dengan
menggunakan gasifikasi Batubara.
Gasifikasi Batubara bukan lagi teknologi baru. Gasifikasi Batubara telah
dilakukan sejak tahun 1792. Proses original yang sama dengan gasifikasi Batubara ini
didemonstrasikan pada tahun 1860. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan
gasifikasi Batubara. Apa saja hasil produk dari gasifikasi Batubara pada saat ini.
Kemudian, bagaimana prospek dari gasifikasi Batubara di Indonesia. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut merupakan fokus dalam penyusunan makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

Indonesia merupakan negara dengan peringkat ke-9 dalam cadangan Batubara


global. Sekitar 60 persen dari cadangan Batubara tersebut merupakan Batubara
dengan kualitas rendah. Oleh karenanya, perlu adanya pengembangan dalam
pengolahan potensi Batubara Indonesia. Salah satunya dengan menggunakan
Gasifikasi Batubara.
Kemudian, timbul beberapa pertanyaan yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan gasifikasi Batubara

1
2. Apa saja produk gasifikasi Batubara
3. Bagaimana Pengaruh rank dan kualitas Batubara
4. Bagaimana prospek gasifikasi Batubara Indonesia

1.3 Tujuan

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai


gasifikasi Batubara. Selain itu, penyusunan makalah ini juga bertujuan untuk
menambah pengetahuan pembaca mengenai hal-hal berkenaan dengan gasifikasi
Batubara. Seperti, prinsip dasar gasifikasi Batubara, Produk, Faktor yang
mempengaruhi dan prospek gasifikasi Batubara di Indonesia.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori

2.1.1 Sejarah Gasifikasi Batubara


Indonesia merupakan salah satu pengekspor batubara besar didunia,
Sumatera Selatan khususnya merupakan salah satu penghasil batubara
terbesar di Indonesia sekitar 39.64%, hal ini bisa terlihat pada gambar 2.1

Gambar.2.1. Provinsi Penghasil Batubara di


Indonesia

Batubara ada yang thermal (steaming) coal dan metalurgi coal. Batubara termal
biasanya di haluskan dan dibakarkan dalam boiler untuk menghasilkan listrik
dan batubara metalurgi digunakan untuk menghasilkan coke untuk pelelehan
besii dan baja. Sayangnya utilitas batubara pada teknologi yang digunakan
sekarang ini mempunyai dampak yang tidak diinginkan terhadap lingkungan.
Polutan utama meliputi oksida oksida nitrogen dan sulfur, abu dan slag, emisi
partikel dan gas rumah kaca seperti karbondioksida. Oleh karena itu diperlukan
penyikapan secara insentif tinggi untuk menurunkan emisi dan
mengembangkan efisiensi fuel (bahan bakar) teknologi utilitas batubara.
Gasifikasi batubara adalah proses untuk mengubah batubara menjadi fuel gas
yang kaya akan CO dan H2. Hal ini bukan lagi teknologi baru. Gas yang
dihasilkan dari karbonisasi coking coal telah digunakan sebagai penerangan

3
sejak tahun 1792. Proses original yang sama dengan coking ini adalah proses
yang mengubah non-coking coal yang didemonstrasikan pada tahun
1860. Tetapi pada akhirnya tidak dipakai lagi karena CO merupakan gas
beracun lebih beracun dari pada CO2 karena kecepatan CO mengikat
hemoglobin lebih cepat dibandingkan dengan CO2. Pada akhir tahun
1880 produksi kimia dari proses gasifikasi didemonstrasikan dalam pembuatan
amoniak. Teknologi ini berkembang sangat cepat ke daerah Eropa, Jepang dan
Amerika Serikat.
Sistem gasifikasi batubara modern digunakan untuk menghasilkan bahan-bahan
kimia seperti hidrogen dan metanol dan untuk menyediakan sistem yang lebih
bersih dan efisien. Ada beberapa tipe gasifier modern yang sudah ada yaitu
entrained-flow, fluidized-bed dan fixed-bed dan kondisi ketiga sistem itu sangat
berdasarkan pada tipe batubara yang digunakan.
Sampai akhir tahun 1920-an gas hasil gasifikasi diperoleh dengan oksidasi
sebagian (partial oxidation) coke dengan udara terhumidifikasi. Setelah Carl von
Linde mengkomersialkan pemisahan kriogenik dari udara selama tahun 1920-
an, proses gasifikasi menghasilkan gas sintesa dan hidrogen menggunakan
oksigen blast, hal ini merupakan tonggak perkembangan proses gasifikasi
seperti prosesWinkle fluid-bed (1926), Lurgi pressurized gasification (1931),
dan Koppers-Totzek entrained-flow (1940-an).
Perkembangan gasifikasi selanjutnya dimulai selama perang dunia kedua ketika
insinyur Jerman menggunakan proses gasifikasi untuk memproduksi bahan
bakar sintetik. Teknologi ini diekspor ke Afrika Selatan pada tahun 1950-an
yang kemudian memicu berdirinya perusahaan gasifikasi batubara terbesar
sampai saat ini yaitu South African Coal Oil and Gas Corporation (Sasol) dan
menjadi pusat gasifikasi terbesar di dunia pada akhir tahun 1970-an.
Perusahaan ini menggunakan gasifikasi batubara dan sintesis Fischer-
Tropsch sebagai dasar dari pembuatan gas sintesis kompleks dan industri
petrokimia.
Pada tahun 1950-an, baik Texaco dan Shell oil juga mengembangkan proses
gasifikasi. Dengan keberadaan gas bumi dan minyak yang banyak pada tahun
1950-an, peran gasifikasi batubara mulai menurun. Menurunnya peran ini
bukan hanya disebabkan oleh ketersediaan gas bumi dan minyak yang banyak

4
tetapi juga karena nilai kalor gas bumi dan minyak yang lebih tinggi serta
sedikitnya kandungan pengotor bila dibandingkan dengan batubara.
Untuk pemanfaatan tar dimulai pada pertengahan abad ke-19, ketika
perkembangan teknik kimia telah memungkinkan untuk melakukan distilasi dan
pemurnian tar menjadi produk pewarna sintetik dan bahan kimia. Jadi, sebelum
industri kimia yang berbahan baku migas atau disebut dengan petrokimia
berkembang, industri kimia berbasis batubara atau disebut dengan coal-
chemical telah lebih dulu eksis.
Kemudian awal tahun 1970-an krisis minyak pun mulai terjadi sedangkan di
pihak lain cadangan batubara masih dalam jumlah yang sangat besar sehingga
pengembangan teknologi proses batubara kembali dilirik. Hal ini memicu
berbagai teknologi proses alternatif pengembangan penggunaan batubara
seperti gasifikasi dan likuifaksi. Terdapat juga proses hidrogenasi batubara
dikonversi secara langsung menjadi metana sebagai pengganti gas bumi
atau Synthetic Natural Gas (SNG). Karena beroperasi pada tekanan yang tinggi
menjadikan proses hidrogasifikasi agak sulit untuk dikomersialisasikan.
Setelah embargo minyak Timur Tengah terjadi tahun 1973. Pemerintah
Amerika menyediakan dukungan dana untuk konsep penelitian gasifikasi,
termasuk penelitian pertama Integrated Gasification Combine Cycle (IGCC).
Pada proses IGCC, batubara digasifikasi dimana produk dari gasifikasi kemudian
di purifikasi untuk menghilangkan asam dan partikulat pengotor sebelum
diinjeksi ke gas turbin. Panas yang diambil dari exhaust gas turbin
dimanfaatkan untuk menghasilkan steam penggerak turbin uap. Karena
pembakaran flue gas berasal dari turbin gas hampir bebas dari asam dan
partikulat pengotor, IGCC dianggap sebagai teknologi pemusnah hujan asam.
Tetapi yang lebih penting, efisiensi dari IGCC lebih tinggi dari pada sistem
konvensional serta secara signifikan pula CO2 yang dihasilkan jauh lebih sedikit.
Hal ini membuat IGCC merupakan solusi bagi negara-negara yang harus
menurunkan emisi gas rumah kaca tetapi tidak bisa berganti ke sumber energi
lain. Pada awal 1990-an lembaga-lembaga pemerintahan Amerika dan Eropa
menyediakan dana penelitian untuk menguji kelayakan proses IGCC. Kemudian
tahun 2000–an IGCC mulai dikomersialkan.
Proses komersialisasi gasifikasi batubara dimulai oleh 3 proses gasifikasi yaitu
proses Lurgi, Winkler, dan Koppers-Totzek. Proses Lurgi beroperasi pada

5
tekanan tinggi 20–30 atm dengan temperatur 1000oC. Winkler yang
menggunakan gasifier tipe fluidized beroperasi pada temperatur 800-900oC
dengan tekanan atmosfer, begitu juga dengan proses Koppers-Totzek yang
beroperasi pada tekanan atmosfer tetapi menggunakan temperatur yang lebih
tinggi lagi sekitar 1500-1800oC tetapi proses Koppers-Totzek hampir tidak
menghasilkan produk samping dan yield gas sintesis paling tinggi yaitu 95%.
Adapun proses Otto-Rummel yang menggunakan gasifier molten bath yang
beroperasi pada temperatur 1400-1700oC dan tekanan atmosferik.
Pada masa sekarang ini pengembangan proses gasifikasi hampir menyeluruh di
seluruh benua. Di benua Afrika terdapat konsentrasi terbesar di dunia terletak
di Afrika Selatan (Sasol) dimana lebih dari 40% produksi bahan bakar sintetik
dan kimia dari gasifikasi batubara. Ada 3 pabrik Sasol (Sasol I, II, III) yang
berlokasi di Seconda dan Sasolburg. Di benua Asia, pabrik terbesar berada di
India, China, dan Jepang. Sedangkan di benua Eropa ada 5 proyek besar IGCC
beroperasi di Eropa Barat dengan konsentrasi terbesar di Itali yang memiliki 3
proyek terbesar yaitu Priolo (Sicily), Sarroch (Sardinia), dan Sannazzaro (Italia
Utara). Sedangkan 2 proyek lainnya di Puertollano (Spanyol), dan Buggenum
(Belanda). Di benua Amerika Utara kebanyakan di Kingsport, Tennessee dan
North Dakota.
Di Indonesia sendiri, sudah dibangun pilot plant gasifikasi batubara untuk
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) sistem bifuel yaitu campuran gas
batubara dan solar. Pilot plant ini dibangun atas kerjasama antara Puslitbang
Teknologi Mineral dan Batubara dengan PT PLN (Persero) dan PT Coal Gas
Indonesia. Bila pilot plant ini berhasil maka dapat mengurangi penggunaan BBM
(solar) oleh PLTD milik PT PLN sehingga dapat menekan biaya produksi listrik
sekaligus mengurangi beban subsidi pemerintah. Disamping itu juga akan
meningkatkan nilai tambah batubara, menambah devisa negara dan membuka
lapangan kerja.
Proses–proses gasifikasi diatas, rata-rata menggunakan temperatur dan atau
tekanan tinggi sehingga memerlukan kebutuhan energi panas yang sangat
besar pula. Sehingga perkembangan penelitian dalam bidang gasifikasi masih
terus dilakukan untuk menurunkan temperatur reaksi dan hasil gasifikasi yang
lebih baik lagi.

6
Penelitian terdahulu walaupun bisa mencapai yield yang tinggi tetapi masih
membutuhkan temperatur yang tinggi. Sehingga hal ini merupakan tantangan
bagi penelitian selanjutnya. Untuk lebih jelasnya penelitian yang telah dilakukan
dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel.2.1. Sejarah penelitian proses gasifikasi batubara


No Peneliti/ Cara Kondisi Yield Kelebihan Kelemahan
Pengembang Kontak Operasi (%)
1 Lurgi Fixed bed T= 1000oC <95 - Yield Temperatur
P = 20-30 tinggi dan tekanan
atm tinggi
Winkler Fluidized T = 800- < - Tekanan Temperatur
bed 900oC 95% sangat masih relatif
P = rendah tinggi
atmosferik - Yield
tinggi
3 Kopper-Totzek Entrained T = 1500- 95 - Yield Temperatur
Phase 1800 C o
tinggi masih
P = - Tekanan sangat
atmosferik rendah tinggi
4 Otto-Rummel Molten T = 1400- < 95 - Yield Temperatur
bath 1700oC tinggi masih
P = - Tekanan sangat
atmosferik rendah tinggi

2.1.2 Reaksi Gasifikasi


Prinsip reaksi kimia pada proses gasifikasi sebagai berikut :
1. Reaksi pembakaran
C + ½O2 >> CO ∆H = -111 mJ/kmol (1)
Reaksi ini eksotermis. Selanjutnya reaksi ini tidak berhenti sampai menjadi CO,
tetapi setiap oksigen bebas bereaksi dengan cepat dengan CO dalam fase gas
untuk menjadi CO2, seperti reaksi di bawah ini :
CO + ½O2 >> CO2 ∆H = -283 KJ/mol (2)
H2 + ½O2 >> H2O ∆H = -242 mJ/kmol (3)

7
2. Reaksi Boudouard
C + CO2 >> 2CO ∆H = +159.7 kJ/mol (4)
Reaksi endotermis pada reaksi boudouard yang sangat lambat.
3. Reaksi water gas
Untuk mengendalikan temperatur yang tinggi yang diperoleh dari reaksi C –
O2 dan untuk meningkatkan nilai kalor gas sintesis, melalui penambahan
hidrogen dimana hidrogen juga sebagai produk utama biasanya
ditambahkan steam sebagai reaktan. Reaksi ini merupakan reaksi endotermis
dimana mengandalkan panas yang dibebaskan dari reaksi C-O2 untuk
kebutuhan energi. Selanjutnya, laju reaksi C + H2O sangat lambat dibandingkan
C-O2. Reaksi water gas dapat dilihat pada reaksi dibawah ini :
C + H2O >> CO + H2 ∆H = +118.9 kJ/mol (5)
4. Reaksi Metanasi
Pada beberapa proses gasifikasi terutama untuk gasifikasi yang menginginkan
metana sebagai produk utama untuk proses SNG.
C + 2H2 >> CH4 ∆H = -75 kJ/mol
Reaksi dengan oksigen selalu saja eksotermis, sedangkan reaksi
dengan steam atau CO2 selalu saja endotermis. Dalam gasifier dimana oksigen
dan steam digunakan untuk mengontrol temperatur, dimana peran steam yaitu
sebagai moderator. Pada umumnya steam yang digunakan
adalah superheated dengan range temperatur 300 – 400oC. Pada beberapa
metoda gasifikasi memang ditambahkan nitrogen atau CO2 ke dalam oksigen
untuk memindahkan panas secara tidak langsung dari reaktor gasifikasi.
Selain kandungan C, H, dan O, batubara masih mengandung komponen lainnya
yaitu sulfur yang terkonversi menjadi H2S dan COS, serta komponen nitrogen
yang terkonversi menjadi elemen nitrogen, NH3, dan HCN.
Pada review sistematik Bürkle (1998) telah membuat plot kereaktifan char yang
berbeda dari bermacam-macam biomassa, batubara, dan material lainnya
seperti pada gambar 2.2.

8
Gambar 2.2. Kereaktifan beberapa material sebagai fungsi
temperatur

Material carbon black hampir mendekati carbon murni dalam bentuk partikel
koloid yang dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna atau termal
dekomposisi dari gas dan atau likuid hidrokarbon dibawah kondisi tertentu.
Penampilan secara fisiknya hitam, halus, atau berupa pelet. Digunakan untuk
industri ban, karet dan plastik, tinta printer dan pelapisan yang berhubungan
dengan luas spesifik permukaan, ukuran partikel, dan struktur, konduktivitas
dan warna.

Gambar.2.3. Representasi black karbon dalam


bentuk hexana soot segment

Black karbon dibuat dengan dua cara yaitu furnace black dan thermal black.
Proses furnace black menggunakan minyak aromatik berat sebagai feedstok.
Sedangkan proses termal black menggunakan gas alam yang terdiri dari
metana atau minyak aromatik berat sebagai feedstok.

9
Carbon black secara kimia dan fisika jelas dari soot dan black karbon, yang
terdiri dari 97% keatas kandungan carbonnya yang tersusun seperti aciniform
(seperti cluster anggur) partikulat.
2.1.3 Disain Gasifier
Ada 4 parameter disain yang utama, yaitu :
1. Temperatur
Gasifier dapat dibagi dalam 3 kategori tergantung pada keadaan fisik abu
dalam reaktor gasifikasi.
a. Abu kering
Untuk kebanyakan batubara, operasi diatas sekitar 1000oC menghasilkan
abu kering tanpa sintering atau slagging.
b. Abu agglomerasi
Operasi juga dimungkinkan terjadi pada temperatur dimana partikel abu
menjadi lengket, membentuk agglomerat. Reaktor harus didisain
sedemikian rupa sehingga abu tadi dikeluarkan dan dikontrol supaya kondisi
operasi steady state. Pada kebanyakan batubara, kondisi abu agglomerasi
terjadi pada range temperatur 1000–1200oC tergantung pada komposisi
abu.
c. Slagging
Operasi diatas 1200oC menyebabkan abu membentuk molten slag. Pada
operasi ini diperlukan pemilihan material non-korosif dan erosif. Temperatur
gasifikasi dipengaruhi oleh komposisi produk gas karena temperatur
berpengaruh pada kesetimbangan dan kinetika reaksi gasifikasi. Bahan
baku gas dari gasifier yang beroperasi dibawah kondisi slagging pada
umumnya memiliki konsentrasi CO2 dan uap air relatif rendah sedangkan
konsentrasi CO dan H2 relatif tinggi. Bila uap air digunakan sebagai agen
gasifikasi dibawah kondisi non-slagging, maka diperlukan ekses (dalam
beberapa kasus sekitar 400%) dibanding dengan jumlah batubara. Jumlah
ini disebabkan oleh kinetika dan kesetimbangan yang tidak diinginkan untuk
dekomposisi uap air pada temperatur rendah. Penggunaan uap air berlebih
ini menyebabkan berkurangnya efisiensi. Pengunaan temperatur tinggi
memerlukan oksigen lebih banyak lagi dan sebagai konsekuensinya
bertambah pula kebutuhan energi untuk pemisahan udara.

10
Untuk reaksi pada temperatur slagging, kinetika reaksi terjadi dengan cepat
dan perbedaan kereaktifan dari batubara tidak terlalu penting dibanding
operasi pada temperatur non-slagging. Tipe abu dan kandungan dari
batubara juga harus diperhatikan. Abu dengan temperatur fusi tinggi pada
umumnya tidak dinginkan pada operasi slagging. Pada beberapa kasus,
biasanya ditambahkan fluxing agentseperti batu kapur untuk menghindari
slag. Dibawah kondisi non-slaging, batubara yang lebih aktif (seperti lignit)
pada umunya lebih mudah untuk digasifikasi. Untuk gasifikasi dengan
memakai uap air biasanya beroperasi pada temperatur setinggi mungkin
untuk meningkatkan kinetika reaksi dan kesetimbangan yield. Walaupun
gasifikasi pada temperatur tinggi memiliki sejumlah kelebihan (sebagai
contohnya, laju reaksi yang tinggi dan kemampuan untuk menggasifikasi
batubara yang tidak bereaksi), teknologi yang digunakan biasanya lebih
rumit dari pada temperatur rendah.
2. Tekanan
Proses gasifikasi dapat dioperasikan baik pada tekanan atmosfer maupun
kenaikan tekanan. Kesetimbangan menunjukkan bahwa kenaikan tekanan
cenderung memperlambat dekomposisi CO2 dan uap air serta pembentukan CO
dan H2. Pada kenyataannya, efek terhadap komposisi produk gas adalah kecil
pada tekanan diatas 30 bar, dibandingkan dengan faktor lain seperti
temperatur reaksi.
Pada tekanan yang lebih tinggi akan terjadi pembentukan metana dengan
reaksi hidrogasifikasi dengan tekanan minimal 80 bar. Operasi pada kenaikan
tekanan menaikkan laju reaksi secara keseluruhan tetapi perubahan pada
umumnya sedikit signifikan terhadap tekanan karena tidak semua reaksi kimia
bisa dikontrol (sebagai contohnya, reaksi pembakaran dan dekomposisi termal
biasanya dikontrol oleh laju difusi). Kenaikan per unit volum dari gasifier tidak
terlalu signifikan terhadap tekanan, hukum akar kuadrat hanya ditujukan pada
sejumlah gasifier. Pada kenyataannya, residence time gas-solid pada disain
gasifier bertekanan bisa lebih lama dibanding gasifier tekanan atmosfer supaya
menaikkan derajat konversi.
Proses gasifikasi dengan kenaikan tekanan merupakan teknologi lebih rumit
daripada gasifikasi tekanan atmosfer untuk beberapa alasan. Alasan yang
paling banyak yaitu batubara yang diumpankan kedalam gasifier harus

11
melawan gradien tekanan. Gasifier pada proses kenaikan tekanan menyerupai
vesel bertekanan pada pressurised fluidized bed combustor.
3. Reaktan Gas
Reaktan utama sebagai oksidan pada proses gasifikasi adalah oksigen, uap
air, dan hidrogen. Penggunaan reaktan gas bisa sendiri atau pun kombinasi dari
ketiga reaktan tersebut.
a. Oksigen/Uap air
Gasifier yang menggunakan oksigen dan uap air, panas diabsorb oleh reaksi
endotermis air-gas. Panas yang terjadi dikarenakan oleh reaksi pembakaran
antara oksigen dan batubara yang merupakan heat balance secara
keseluruhan dalam gasifier.
b. Udara/Uap air
Bila digunakan udara yang mengandung nitrogen, bukan oksigen murni
maka uap air yang digunakan lebih sedikit karena lebih banyak lagi panas
sensibel yang dibutuhkan untuk membuat udara mencapai temperatur
reaksi. Heat balance menunjukkan bahwa proses yang menggunakan udara
dan uap air hanya mungkin terjadi pada tempearatur non-slagging.
c. Udara
Pada temperatur slaging proses yang hanya memakai udara sebagai
reaktan oksidan, panas dilepaskan oleh reaksi pembakaran diimbangi
dengan panas sensibel yang dibutukan agar udara mencapai temperatur
reaksi. Uap air diperlukan dalam jumlah yang sedikit untuk mengontrol
keseimbangan panas bila udara dipanaskan terlebih dahulu. Untuk kondisi
dibawah non-slagging uadara dapat digunakan sebagai oksidan tunggal bila
panas dipindahkan dari proses dengan kata lain reaksi endotermis uap air-
karbon.
d. Hidrogen
Bila proses gasifikasi menggunakan hidrogen maka produk gas yang
dihasilkan berupa metana sebagai produk utama. Proses ini dinamakan
hidrogasifikasi. Hidrogen biasanya didapat dari gasifier oksigen/uap air
konvensional.
Pemilihan reaktan disesuaikan dengan sifat atau spesifikasi dari produk gas
yang kita inginkan. Bila kita menginginkan gas dengan nilai kalor rendah
sebagai produk akhir maka pada proses gasifikasi kita menggunakan udara dan

12
uap air atau hanya menggunakan udara. Untuk menghasilkan gas dengan nilai
kalor medium maka penggunaaan nitrogen harus dihindari dan menggunakan
oksigen-uap air, atau hanya menggunakan uap air. Tanpa adanya nitrogen
membuat gas bernilai kalor medium cocok untuk dikonversi lanjut menjadi
bahan bakar liquid dan kimia, hidrogen, atau SNG (Sinthetic Natural Gas).
Sebagai alternatif, SNG dapat diproduksi secara langsung dengan proses
hidrogasifikasi dengan menggunakan hidrogen sebagai reaktan. Proses yang
hanya menggunakan uap air (dengan suplai panas secara tidak langsung)
diharapkan dapat lebih efisien daripada proses yang menggunakan oksigen-uap
air karena tidak ada energi yang dibutuhkan untuk memisahkan oksigen dari
udara. Untuk alasan serupa, proses gasifikasi air-blown dapat diharapkan lebih
efisien dari proses oxygen-blown. Pada kasus ini, keuntungan yang diperoleh
dapat menjadi hilang bila kandungan panas sensibel pada produk gas juga lebih
meningkat.
Untuk produksi SNG secara langsung dengan menggunakan proses hidrogasifier
dianggap potensial lebih efisien daripada produksi SNG dari sintesis gas yang
kemudian baru dikonversi menjadi SNG. Konversi ini merupakan reaksi yang
sangat eksotermis terjadi pada temperatur 350oC. Pengaruh utama dari
pemilihan reaktan gas yaitu adanya perbandingan antara pengunaan udara
(air-blown) dan penggunaan oksigen (oxygen blown). Air blow
gasifier biasanya beroperasi 1/3 sampai1/2 dari sistem oxygen blown.
Hidrogasifikasi biasanya beroperasi pada tekanan tinggi (80 – 200 bar).
Disain gasifier biasanya mempertimbangkan reaksi-reaksi endotermis-
eksotermis yang terjadi selama proses, sehingga tercipta suatu kesetimbangan
panas. Bila menggunakan sistem uap-air-oksigen dan uap air-udara, panas
diserap oleh reaksi air-gas. Pada gasifikasi yang hanya menggunakan uap air
sebagai pengoksidan, panas diserap oleh reaksi yang disuplai oleh sumber
panas lainya. Ada tiga pilihan yaitu :
a. perpindahan panas tidak langsung
b. paralel reaksi kimia eksotermis yang tidak melibatkan oksigen
c. pembawa panas
Hanya pembawa panas yang layak pada operasi temperatur slagging, dan alira
panas dari luar yang dibutuhkan agar dihasilkan keseimbangan panas dalam
gasifier yang hanya menggunakan udara pada temperatur non-slagging.

13
4. Metode Kontak
Metode kontak antara umpan (batubara) dan reaktan gas dalam gasifier dapat
dibedakan menjadi empat yaitu fixed bed, fluidized bed, entrained flow, dan
molten bath.
Gasifikasi batubara merupakan proses yang mengkonversi batubara dari bentuk
padatan menjadi bahan bakar gas melalui oksidasi sebagian (partial oxidation).
Gas yang dihasilkan merupakan gas sintesis (syngas) berupa CO dan H2. Karena
produk yang dihasilkan dalam bentuk gas, maka kandungan sulfur dan abu
yang merupakan produk yang tidak diinginkan dihilangkan dari gas sintesis
sehingga gas yang dihasilkan bersih.
Kontras dengan proses pembakaran (combustion) yang memerlukan udara
berlebih, proses gasifikasi terjadi pembakaran sebagian dari batubara dengan
suplai oksigen dikontrol (pada umumnya 20-70% dari jumlah O2 teoritis yang
dibutuhkan untuk pembakaran sempurna). Dalam bentuk yang paling
sederhana, reaksi stoikiometrinya sebagai berikut :
C + ½O2 gasifikasi >> CO
C + H2O gasifikasi >> CO + H2
Pada gasifikasi panas yang dihasilkan dari pembakaran digunakan untuk
devolatilisasi dan menguraikan kandungan zat terbang menjadi hidrokarbon
gas. Aliran gas yang dihasilkan merupakan campuran dari inert flue gas dan
hidrokarbon. Produk gas ini atau gas sintesis memiliki nilai kalor (calorific
value). Aliran gas biasanya mengandung sejumlah besar nitrogen yang dapat
mencapai lebih dari 60%. Hal ini dikarenakan pada proses menggunakan udara.
Beberapa proses menggunakan oksigen atau uap air untuk menyediakan
kebutuhan oksigen. Sistem ini menghasilkan aliran gas yang mengandung
calorific value yang lebih tinggi. Tetapi hal ini membutuhkan tambahan biaya
dan keselamatan yang lebih ketat.

2.2 Produk Gasifikasi

Gas sintetik hasil gasifikasi batubara dapat diproses lebih lanjut atau
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, diantaranya adalah sebagai berikut:
2.2.1 Bahan bakar sintetik (Coal to Liquid, CTL)
Salah satu alasan mengapa pembuatan bahan bakar sintetik melalui gasifikasi
batubara terus berlangsung sampai sekarang adalah karena cadangan batubara

14
dunia yang begitu melimpah. Berdasarkan data BP World Energy Review tahun
2004, dengan tingkat produksi sebesar 4,9 milyar ton per tahun (akhir 2003),
cadangan terbukti batubara dapat bertahan hingga 192 tahun. Sedangkan
minyak dan gas, dengan tingkat produksi saat itu, masing – masing hanya
mampu bertahan selama 41 tahun dan 67 tahun saja. Selain itu, harga minyak
yang fluktuatif dan cenderung tinggi menyebabkan bahan bakar sintetik dari
batubara (CTL) menjadi semakin kompetitif. Laporan departemen energi AS
(DOE Annual Energy Outlook 2005) menyebutkan potensi CTL diperkirakan
sebesar 2 juta barel per hari pada tahun 2025, ditambah Cina yang
diperkirakan memiliki potensi 1 juta barel per hari.
Pada pembuatan BBM sintetik, batubara digasifikasi terlebih dulu untuk
menghasilkan gas sintetik yang komposisi utamanya terdiri dari hidrogen (H2)
dan karbon monoksida (CO), kemudian dilanjutkan dengan proses Fischer-
Tropsch (FT) untuk menghasilkan hidrokarbon ringan (paraffin). Hidrokarbon
tersebut kemudian diproses lebih lanjut untuk menghasilkan bensin dan minyak
diesel. Karena nilai oktan pada produk bensin yang dihasilkan rendah, maka
dilakukan upaya untuk menghasilkan bensin bernilai oktan tinggi dari gas
sintetik ini. Proses tersebut dilakukan dengan memproduksi metanol dari gas
sintetik terlebih dulu, kemudian metanol diproses untuk menghasilkan bensin
bernilai oktan tinggi. Metode ini disebut MTG (Methanol to Gasoline), yang
dikembangkan oleh Mobil pada tahun 1970an.
Salah satu kisah sukses pembuatan bahan bakar sintetik dari batubara adalah
South Coal Oil and Gas Corporation atau yang dikenal dengan Sasol di Afrika
Selatan, yang saat ini memproduksi gas sintetik sebesar 55 juta Nm3 per hari
menggunakan penggas Lurgi, dan memproduksi minyak sintetik sebanyak 150
ribu barel per hari melalui sintesis Fischer-Tropsch.
Berawal dari boikot dunia terhadap politik apartheid sehingga menyebabkan
Afsel tidak dapat membeli minyak mentah di pasaran, pemerintah setempat
akhirnya meluncurkan proyek CTL setelah menyadari bahwa Afsel memiliki
cadangan batubara yang melimpah. Pabrik pertama (Sasol I) selesai didirikan di
Sasolburg pada tahun 1954, dan minyak sintetik pertama dipasarkan pada
tahun berikutnya. Pada tahun 1960, keuntungan pertama (first profit) berhasil
diraih oleh Sasol setelah 5 tahun operasional. Pabrik Sasol II diumumkan pada
tahun 1974 ketika harga minyak dunia mencapai US$13/barel saat itu (setara

15
US$40/barel tahun 2003) akibat perang Oktober di Timteng tahun 1973.
Sedangkan Sasol III diumumkan tahun 1979 ketika harga minyak mencapai
US$35/barel saat itu (setara US$80/barel tahun 2003) akibat revolusi Iran.
Sasol II dan Sasol III masing – masing selesai didirikan pada tahun 1980 dan
1984.
Saat ini, Sasol mempekerjakan 170 ribu karyawan, baik secara langsung
maupun tidak langsung, yang merupakan 2% tenaga kerja sektor formal di
Afsel. Selain itu, Sasol juga menyumbang 4% GDP atau sekitar US$ 7 milyar,
serta menyuplai 40% kebutuhan BBM dalam negeri Afsel (28% dari batubara).
[van de Venter, 2005]
2.2.2 Pembangkit listrik (Coal to Power)
Standar mutu lingkungan yang semakin ketat tentunya akan memaksa fasilitas
pembangkit listrik yang telah terpasang untuk dapat mengakomodasi peraturan
tersebut. Ada 3 pilihan yang dapat dilakukan untuk itu, yaitu modifikasi
dan upgrade fasilitas sehingga teknologi pembersihan pasca pembakaran (post-
combustion clean up technology) dapat diterapkan, modifikasi sistem
pembangkitan berbahan bakar batubara menjadi pembangkitan kombinasi
berbahan bakar gas alam (Natural Gas Combined Cycle, NGCC), dan modifikasi
sistem pembangkitan dengan memanfaatkan mekanisme gasifikasi batubara
untuk menghasilkan pembangkitan kombinasi. [Childress, 2000]

Gambar 2.4. Konsep Sistem Gasifikasi

Pada pilihan pertama di atas, biaya pemasangan peralatan pembersihan pasca


pembakaran sangat besar. Sebagai contoh, untuk pembangkit berbahan bakar
batubara serbuk (pulverized coal) yang saat ini mendominasi, biaya
pemasangan unit desulfurisasi (Flue Gas Desulfurization, FGD) dapat mencapai

16
20% dari total biaya pembangunannya. Untuk pilihan kedua yaitu mekanisme
NGCC, meskipun emisi yang rendah dapat dicapai, tapi ongkos bahan bakar
yang relatif tinggi otomatis akan mempengaruhi biaya pembangkitan. Pilihan
ketiga merupakan alternatif terbaik, dimana pembangkitan kombinasi tersebut
mampu menghasilkan emisi yang sangat rendah dengan mengoptimalkan
fasilitas pembangkit yang ada serta menggunakan bahan bakar berbiaya
rendah yaitu batubara.
Pembangkit listrik yang memanfaatkan gas sintetik hasil gasifikasi batubara
disebut dengan IGCC (Integrated Gasification Combined Cycle). Pada IGCC,
pembangkitan listrik dihasilkan dari mekanisme kombinasi antara turbin gas,
HRSG (Heat Recovery Steam Generator), dan turbin uap. Tipikal penggas yang
digunakan pada IGCC adalah bertipe entrained flow, seperti E-Gas (Conoco
Phillips), Chevron-Texaco (GE Energy), SFG (Siemens), Mitsubishi, dan Shell.
Secara garis besar, gas sintetik yang dihasilkan oleh penggas akan diproses di
pendingin gas (gas cooler) dan fasilitas pembersih gas (gas clean up) terlebih
dulu sebelum mengalir ke turbin gas. Setelah melewati siklus Brayton, gas
buang dari turbin gas kemudian mengalir ke HRSG, dimana panas dari gas
tersebut kemudian dimanfaatkan untuk menghasilkan uap air. Selain dari turbin
gas, panas buangan yang dihasilkan dari proses pendinginan gas juga dialirkan
ke HRSG pula. Uap air dari HRSG inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk
menggerakkan turbin uap melalui mekanisme siklus Rankine. Dengan
kombinasi 2 siklus ini, tidaklah mengherankan apabila efisiensi netto
pembangkitan pada IGCC lebih unggul dibandingkan dengan efisiensi pada
sistem pembangkitan konvensional (pulverized coal) yang saat ini
mendominasi.
Pada proses pembersihan gas, unsur lain yang tidak ramah lingkungan yang
dihasilkan dari gasifikasi seperti HCN, H2S, NH3, COS, uap air raksa, dan char
dibersihkan. H2S dan COS dapat diproses dengan mudah dan diubah menjadi
sulfur padat atau asam sulfat yang merupakan produk sampingan, sedangkan
NH3 dapat dibersihkan dengan menggunakan air. Uap air raksa dibersihkan
dengan melewatkan gas sintetik tekanan tinggi ke lapisan karbon aktif. Adapun
abu akan meleleh selama proses gasifikasi, yang kemudian diubah menjadi
padatan (glassy slag) yang stabil. Material ini dapat digunakan untuk campuran
bahan pada pekerjaan konstruksi.[Phillips, 2006].

17
Contoh pembangkit ini adalah Nuon IGCC yang terletak di Buggenum, Belanda,
berkapasitas 253MWe. Meskipun saat ini beroperasi secara komersial,
pembangkit ini pada awalnya merupakan demonstration plant yang dikenal
dengan proyek Demkolec. Pembangkit ini menghasilkan efisiensi netto sebesar
43% (Low Heating Value), dengan performansi baku mutu lingkungan yang
sangat bagus. Emisi NOx yang dihasilkan sangat rendah yaitu kurang dari 10
ppm, kemudian efisiensi pengambilan sulfur di atas 99%, tingkat emisi flyash,
senyawa klorida dan logam berat mudah menguap yang bisa dibilang nol, serta
air limbah yang bisa diresirkulasi kembali sehingga tidak ada buangan air
limbah ke lingkungan.[Chhoa, 2005].
Meskipun IGCC memiliki berbagai kelebihan, tapi masalah utama saat ini adalah
biaya pembangkitannya yang masih tinggi. Secara garis besar, disamping unit
pembangkitan, IGCC juga tersusun dari unit pemisah udara (Air Separation
Unit, ASU) yang berfungsi menyuplai oksigen ke penggas, dan unit penggas itu
sendiri. Unit pembangkitan (turbin gas, turbin uap, HRSG) dan unit ASU
merupakan teknologi yang sudah mapan dan terbukti sehingga dari segi
ongkos, tidak mungkin untuk ditekan lagi. Untuk menekan biaya pembangkitan
pada IGCC, satu – satunya cara adalah dengan meningkatkan performa
penggas dan membangun sistem (building block) gasifikasi yang efisien. [van
der Burgt, 1998]. Dengan upaya demikian serta makin makin menguatnya isu
lingkungan, biaya pembangkitan pada IGCC diharapkan akan semakin
kompetitif terhadap biaya pembangkitan pada pembangkit pulverized coal (PC)
yang saat ini mendominasi yang ongkos pembangkitannya cenderung
meningkat untuk mengakomodasi baku mutu lingkungan. Dan pada tahun
2010, di Amerika diharapkan biaya pembangkitan IGCC akan menyamai ongkos
pembangkitan pada PC, yaitu sekitar US$1200/kW.[Arai, 2006].
Karena pada PLTU maupun IGCC dikenal dengan istilah scale merit, maka
semakin besar unit otomatis biaya pembangkitan juga semakin rendah. Salah
satu laporan menyebutkan bahwa IGCC komersial akan bernilai ekonomis pada
kapasitas pembangkitan minimal 550 MWe.[Trapp, 2005].
2.2.3 Industri kimia (Coal to Chemical)
Gas sintetik hasil gasifikasi batubara juga dapat digunakan sebagai bahan baku
industri kimia, diantaranya untuk pembuatan ammonia, pupuk, metanol, DME
(Dimethyl Ether), olefin, paraffin, dan lain – lain.

18
Eastman Chemical di Kingsport, Tennessee, AS, memanfaatkan gasifikasi
batubara untuk memproduksi bahan baku industri kimia yaitu asam asetat.
Fasilitas ini beroperasi sejak tahun 1983, menggunakan penggas Texaco. Pada
awalnya, kapasitasnya hanya mampu memenuhi separoh dari kebutuhan asam
asetat yang diperlukan, tapi sejak tahun 1991 kapasitasnya ditingkatkan hingga
mampu memenuhi seluruh kebutuhan asam asetat untuk produksi hilir.
Perusahaan ini mengkonsumsi batubara sebanyak 1300 ton per hari untuk
gasifikasi, dan memproduksi lebih dari 400 jenis bahan kimia, serat sintetis,
serta plastik, dengan omzet sekitar US$5 miliar per tahun.[Trapp, 2001].
Di Cina yang memiliki cadangan batubara melimpah, Shell melalui
kerjasama joint venture dengan Sinopec membangun pabrik pupuk
menggunakan mekanisme gasifikasi batubara berkapasitas 2000 ton per hari di
Yueyang, propinsi Hunan. Pembangunannya sendiri dimulai tahun 2003 dan
direncanakan beroperasi pada akhir 2006. Selain itu, Shell juga menangani
sekitar 12 proyek gasifikasi batubara lainnya di Cina, dimana hampir 70%nya
untuk keperluan industri pupuk dan sisanya untuk produksi metanol, serta
hidrogen untuk keperluan pencairan batubara secara langsung. [Chhoa, 2005].
Selain Shell, GE Energy juga menyediakan teknologi gasifikasi batubara di Cina.
Sampai dengan Oktober 2006, dari 7 proyek yang direncanakan, 3 unit telah
telah beroperasi untuk memproduksi metanol dan ammonia.[Lowe, 2006].

2.3 Pengaruh Rank dan Kualitas Batubara Indonesia

Batubara peringkat rendah memiliki panas pembakaran kurang dari 5000


kcal/kg. Karena kualitasnya rendah, berakibat pada rendahnya nilai jual, karena itu
perlu diolah dahulu, misalnya dengan upgrading atau karbonisasi untuk dijadikan
batubara yang lebih baik, atau diolah dalam proses pencairan (produk cair) atau
gasifikasi (produk gas).
Batubara tersusun dari berbagai polimer berdasar senyawa aromatik dan hidro-
aromatik yang pada ujung-ujungnya terdapat gugus fungsional seperti asam
karboksilat, fenol, karboksil atau eter. Polimer aromatik tersebut berisi banyak atom
karbon yang berikatan dengan atom oksigen, nitrogen dan sulfur. Polimer-polimer
tersebut dihubungkan dengan rantai silang gugus alifatik, atom oksigen atau sulfur.
Batubara dengan kualitas tinggi memiliki ukuran dan kesejajaran polimer tinggi, tetapi
jumlah rantai silang sedikit.

19
Tabel 2.2 Komposisi batubara dalam kelas konvensional [Berkowitz, 1985]
Kelas batubara Karbon Volatil Kandungan Nilai kalor
tetap % air % Btu/lb kcal/kg
%
Lignit 37,8 18,8 43,4 7400 4110
Sub-Bituminus 42,4 34,2 23,4 9720 5398
Bituminus kualitas rendah 47,0 41,4 11,6 12880 7153

Bituminus kualitas sedang 54,2 40,8 5,0 13880 7708

Bituminus kualitas tinggi 64,6 32,2 3,2 15160 8419


Semi-bituminus kualitas 75,0 22,0 3,0 15480 8597
rendah
Semi- bituminus kualitas 83,4 11,6 5,0 15360 8530
tinggi
Semi-Antrasit 83,8 10,2 6,0 14880 8264
Antrasit 95,6 1,2 3,2 14440 8019

Komposisi gas produser merupakan fungsi dari elemen pembentuk batubara,


proses devolatilisasi dan kondisi operasi. Komposisi elemen batubara berpengaruh
pada dekomposisi yang beracuan pada teori devolatilisasi dan neraca massa elemen.
Jadi perancangan sebuah gasifier harus melibatkan perhatian pada jenis batubara.
Simulasi berikut membandingkan dekomposisi dan unjuk kerja gasifikasi tiga
jenis batubara. Ketiga jenis batubara tersebut yaitu antrasit, bituminus dan lignit. Tiga
jenis batubara tersebut memiliki analisis ultimat dan analisis proksimat yang dapat
dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 2.3 Analisis Ultimat (db) tiga jenis batubara


Nama %C %H %O %N %S abu
Antrasit 85.048 1.715 2.572 0.857 2.401 7.407
Bituminus 83.817 4.337 2.622 1.210 0.605 7.407
Lignit 54.963 6.522 29.933 0.880 0.341 7.407

20
Tabel 2.4 Analisis Proksimat (db) tiga jenis batubara
Nama VM FC abu
Antrasit 4.115 88.477 7.407
Biruminus 18.256 74.336 7.407
Lignit 42.384 50.209 7.407

Ketiga jenis batubara berdasarkan analisis proksimat dan analisis ultimat


didekomposisi. Hasil dekomposisi dengan basis daf melihatkan kadar gas metan
bituminus dan antrasit lebih banyak dari lignit, sedangkan kadar gas CO dan CO2
batubara jenis bituminus dan antrasit lebih sedikit dari batubara jenis lignit.

Tabel 2.5 Asumsi dekomposisi batubara


Nama Antrasit Bituminus Lignit
Air 0.01101 0.001700 0.258186
Abu 0.07407 0.074074 0.074074
H2 0.00122 0.030216 0.023403
CH4 0.02936 0.021151 0.005276
CO 0.00856 0.010576 0.042979
CO2 0.01345 0.024928 0.109782
C 0.70820 0.692320 0.386795
C4H4S 0.05137 0.015863 0.008936
C9H7N 0.07889 0.121808 0.082338
C10H14O2 0.02385 0.007365 0.008298

Hasil dekomposisi masing-masing jenis batubara diatas digunakan sebagai


masukan simulasi proses gasifikasi. Fraksi mol gas hidrogen maksimum yang
dihasilkan lignit lebih tinggi daripada antrasit dan bituminus, berturut-turut 0,43 dan
0,25. Fraksi mol maksimum gas hidrogen dari lignit berada pada laju udara/batubara
sekitar 1,2 kg/kg sedangkan antrasit dan bituminus berada pada sekitar 3 kg/kg.
Temperatur proses gasifikasi, seperti diduga sangat dipengaruhi oleh jenis
batubara. Temperatur maksimum sebenarnya adalah temperatur pembakaran
stoisiometri. Sesuai dengan kadar H2, temperatur gasifikasi sebaiknya dijaga sekitar
1000 oC (Ru = 2, 4 dan 4 berturut-turut untuk batubara lignit, antrasit, dan bituminus).

21
Pada temperatur sekitar 1000 oC, tar secara praktis sudah terdekomposisi lebih lanjut,
sehingga gas produser hanya sedikit mengandung tar.
Peningkatan temperatur akan meningkatkan konsentrasi CO dan H2 didalam
gas produser. Hal ini terjadi karena reaksi-reaksi reduksi dibawah ini merupakan
reaksi endotermik, yaitu:
C + CO2  2 CO
C + H2O  CO + H2
Sejauh ini hasil investigasi menyatakan rentang temperatur gasifikasi fluidisasi 850 -
900 oC [Pinto, 2003]. Perubahan temperatur gas terkait dengan rasio laju O2/batubara
dalam gasifier. Kenaikan O2/batubara akan meningkatkan temperatur. Panas
diproduksi dari oksidasi parsial untuk memenuhi kebutuhan panas reaksi endotermik
dalam proses gasifikasi [Park, 2001].
Temperatur juga mempengaruhi proses devolatilisasi. Pencapaian konversi
karbon yang tinggi dan kadar tar yang rendah terjadi pada temperatur operasi diatas
800 oC dalam gasifier. Gas produser mempunyai kadar tar rendah, jika temperatur
gasifikasi tinggi yang dapat dicapai dengan jalan menaikkan laju oksidan. Efek
kenaikan temperatur tidak hanya berakibat pada kadar tar tetapi juga pada komposisi
tar. Fenol, cresol dan benzofuran terdapat dalam jumlah yang besar pada temperatur
dibawah 800 oC. Penguraian aromatic hydrocarbons terjadi pada temperatur diatas 850
o
C [Devi dan Ptasinski, 2002].
Antrasit memiliki kadar CO maksimum paling tinggi, diikuti oleh bituminus dan
lignit. Kondisi ini sesuai dengan banyaknya kadar karbon dari masing-masing batubara.
Makin banyak kadar karbon batubara bereaksi dengan karbon dioksida melalui reaksi
Bouduoart menghasilkan CO. Perubahan temparatur dari 700 sampai 850 o
C
diobservasi menaikkan kadar H2 dari 5 menjadi 10 % dan sedikit menurunkan CO2
[Devi dan Ptasinski, 2002].
Hasil gasifikasi teoritis yang diamati berikutnya adalah kurva Rud terhadap fraksi
mol CO. Oksidan menggunakan udara tanpa kukus akan menghasilkan fraksi mol CO
maksimum ≈ 0,27. Fraksi mol CO maksimum terjadi didaerah pirolisis dan kadar CO
akan turun pada daerah gasifikasi. Fraksi mol CO selama proses gasifikasi sangat
dipengaruhi dengan penambahan kukus. Oksidan udara dan kukus menghasilkan fraksi
mol CO sekitar 0,1. Hal ini berarti penambahan kukus akan menurunkan kadar CO gas
produser. Hasil simulasi ini diperkuat oleh pengamatan Rizeq dan West (2003),
panambahan kukus mendorong terbentuknya H2 lebih banyak tetapi mengurangi fraksi

22
mol CO. Fraksi mol CO dalam gas produser turun secara tajam disebabkan oleh reaksi
geser (water shift reaction) yaitu CO bereaksi dengan kukus menghasilkan H2 dan CO2.

2.4 Prospek gasifikasi Batubara Indonesia

Ketersediaan pasokan gas bumi menjadi faktor kunci dalam menggerakkan


kegiatan operasi industri manufaktur. Potensi gas bumi dalam negeri sangat besar,
namun demikian Indonesia diperkirakan akan mengalami defisit gas bumi pada tahun
2022 apabila tidak menemukan sumber gas bumi baru, karena perhitungan kebutuhan
akan naik dibandingkan dengan pasokan, sedangkan seperti halnya dengan batubara
sebagian besar dari gas bumi tersebut dialokasikan untuk ekspor. Seperti diketahui
konsumsi gas bumi di Indonesia sebagai energi final adalah yang ketiga terbesar
setelah bahan bakar minyak (BBM) dan batubara. Peningkatan jumlah kebutuhan gas
bumi berkorelasi positif dengan semakin luasnya penggunaan gas bumi untuk
kebutuhan energi dan bahan baku industri, maupun untuk keperluan rumah tangga.
Dengan kondisi seperti ini maka teknologi gasifikasi batubara sudah saatnya
dikembangkan terutama untuk kepentingan industri dalam negeri, baik sebagai energi
maupun bahan baku. Indonesia memiliki potensi batubara yang cukup besar. Jumlah
sumber batubara di Indonesia pada tahun 2010 tercatat sebesar 105,187 miliar ton
dengan cadangan terbukti 21,131 miliar ton (Ariyono, 2011). Penghasil terbesar
batubara di Indonesia berasal dari pulau Kalimantan dan Sumatera. Data penggunaan
batubara untuk kebutuhan batubara dalam negeri dari tahun 1998 sampai 2005, yang
semula 15 juta ton menjadi sekitar 35 juta ton. Peningkatan ini sejalan dengan
perkembangan ekonomi dan industri (Tim Kajian Batubara Nasional, 2006).
Menurut Ariyono (2011), penggunaan batubara di Indonesia saat ini masih
terbatas. Pada tahun 2010 produksi batubara mencapai 275 juta ton dan tahun 2011
diproyeksikan sekitar 327 juta ton, sedangkan jumlah yang terserap pasar dalam
negeri hanya sekitar 24,36% dari total produksi nasional. Data statistik tiap tahunnya
menunjukkan peningkatan konsumsi batubara terutama pada sektor pembangkit listrik
dan industri. Pada sektor industri, selain sebagai bahan bakar, batubara juga memiliki
potensi sebagai penyedia bahan baku berupa gas sintesis yang dihasilkan melalui
proses gasifikasi. Terdapat 3 (tiga) jenis proses yang dapat menghasilkan gas dari
batubara, yaitu gasifikasi batubara permukaan (conventional gasification),
underground coal gasification (UCG) dan coal bed methane (CBM).

23
Gasifikasi Batubara merupakan konversi batubara menjadi produk gas dalam
sebuah reaktor di permukaan, dengan atau tanpa menggunakan pereaksi berupa
udara, campuran udara/uap air (steam) atau campuran oksigen/uap air. Saat ini
teknologi gasifikasi batubara merupakan salah satu pilihan yang tepat untuk
mengkonversi batubara menjadi gas karena produk gas dapat diproses lebih lanjut
untuk menjadi berbagai produk akhir seperti synthetic natural gas (SNG), ethanol,
methanol, BBM, petro - chemical , urea dan listrik melalui teknologi integrated
gasification combined cycle (IGCC) yang sangat ramah lingkungan.

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berikut adalah beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan pada
bab sebelumnya:
1. Gasifikasi batubara adalah proses untuk mengubah batubara menjadi fuel
gas yang kaya akan CO dan H2.
2. Produk hasil gasifikasi dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar sintetik,
pembangkit listrik dan bahan kimia
3. fraksi mol gas hidrogen maksimum yang dihasilkan lignit lebih tinggi
daripada antrasit dan bituminus, berturut-turut 0,43 dan 0,25. Fraksi mol
maksimum gas hidrogen dari lignit berada pada laju udara/batubara sekitar
1,2 kg/kg sedangkan antrasit dan bituminus berada pada sekitar 3 kg/kg.
Temperatur proses gasifikasi, seperti diduga sangat dipengaruhi oleh kadar
karbon. Sesuai dengan kadar H2, temperatur gasifikasi sebaiknya dijaga
sekitar 1000 oC (Ru = 2,4 dan 4 berturut-turut untuk batubara lignit,
antrasit dan bituminus). Keuntungan pada temperatur sekitar 1000 oC yaitu
tar secara praktis sudah terdekomposisi lebih lanjut, sehingga gas produser
hanya sedikit mengandung tar.
4. Saat ini teknologi gasifikasi batubara merupakan salah satu pilihan yang
tepat untuk mengkonversi batubara menjadi gas karena produk gas dapat
diproses lebih lanjut untuk menjadi berbagai produk akhir seperti synthetic
natural gas (SNG), ethanol, methanol, BBM, petro - chemical , urea dan
listrik melalui teknologi integrated gasification combined cycle (IGCC) yang
sangat ramah lingkungan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Arai, Y., Beikoku no Sekitan Gasuka Jigyouka Doukou ni tsuite, JCOAL Journal Vol. 3,

January 2006.

Bramer, EA., Brem, G., A New Technology for Fast Pyrolysis of Biomass: Development

of the PyRos Reactor, Pamflet Laboratorium Rekayasa Termal, Fakultas Teknik,

Universitas Twente, Belanda, 2006.

Childress, J., Repowering Conventional Coal Plants with Texaco Gasification: The

Environmental & Economic Solution, Gasification Technologies Conference, San

Francisco, 2000.

Chhoa, T., Shell Gasification Business in Action, Gasification Technologies Conference,

San Francisco, 2005.

Pinto, F. (2003), Effect of experiment condition on co-gasification of coal, biomass and

plastics wastes with air/steam mixture in a fluidized bed system, Portugal, Fuel,

82, 1967-1976.

Speight, J. G. (1994), The Chemistry and Technology of Coal, USA, Marcel Dekker, 2nd

edition.

26

Anda mungkin juga menyukai