Anda di halaman 1dari 7

Kompas.

id / 10 Januari 2024

KESELAMATAN KERJA

Refleksi Bencana Kebakaran Smelter di


Morowali
Banyak hal yang harus diperbaiki dalam hilirisasi pertambangan agar kecelakaan
kerja tak terus merenggut korban jiwa.

Oleh
SUYANTO MAHDIPUTRA
10 Januari 2024 09:00 WIB

SUPRIYANTO (Ilustrasi)

Suasana libur Natal 2023 dinodai dengan bencana memilukan yang mencoreng dunia
pertambangan Indonesia. Sehari sebelum Natal, pada 24 Desember 2023 sekitar
pukul 06.00, terjadi kebakaran smelter yang menyebabkan 13 tenaga kerja tewas di
tempat kejadian dan 46 orang lainnya mengalami luka bakar di sekujur tubuh
diperkirakan hingga 70 persen.

Belakangan, saat artikel ini ditulis, korban meninggal bertambah menjadi 19 orang
dari total 59 korban kecelakaan kerja (Kompas.com, 28/12/2023). Korban tewas
terdiri dari 11 tenaga kerja Indonesia dan 8 tenaga kerja asing dari China.
Bencana yang berulang
Bencana kecelakaan kerja di PT ITSS tersebut menelan korban terbanyak, tetapi
bukan yang pertama sejak program hilirisasi pertambangan dicanangkan Pemerintah
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.

Berikut adalah beberapa catatan kecelakaan serupa sebelumnya yang merenggut


korban selama satu tahun terakhir, sebagai pengingat betapa seriusnya insiden
kecelakaan kerja seperti di Morowali ini harus segera kita hentikan.

Pada 2 Oktober 2023, ledakan smelter di kiln 17 Smelter E di area PT IWIP


menewaskan dua pekerja. Pada 23 September 2023, seorang pekerja terbakar di
kolam limbah panas di area smelter PT GNI di Morowali Utara.

Pada 26 Juni 2023, ledakan tungku (furnace explosion) di smelter 2 PT GNI di


Morowali Utara menyebabkan satu orang meninggal dan melukai enam pekerja
lainnya akibat dari semburan api.

Pada 27 April 2023, longsor pada area penumpukan limbah (slag dumping area) di
IMIP menyebabkan dua pekerja PT IGCNSI meninggal tertimbun slag panas.

Pada 29 Januari 2023, kendaraan truk pembawa nickel ore tergelincir, mengakibatkan
satu pekerja tewas di area kerja PT GNI. Pada 7 Januari 2023, seorang pekerja di IWIP
tewas terlindas loader di gudang ore pada area industri Smelter H.

Pada 22 Desember 2022, ledakan tungku di smelter PT GNI di Morowali Utara


menyebabkan dua orang tewas.
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG

Pekerja mengolah bijih nikel menjadi feronikel di smelter milik Grup Harita Nickel, di Pulau Obi,
Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Sabtu (8/4/2023).

Hilirisasi mineral
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang kemudian disempurnakan oleh UU
Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba),
memberikan mandat untuk menasionalisasi pengelolaan sumber daya mineral.
Ekspor sumber daya mineral dalam bentuk bahan mentah (baca: menjual ”Tanah Air”)
yang hanya mempunyai nilai tambah sangat kecil harus dihentikan.

Pada saat yang sama, program hilirisasi digalakkan, yakni dengan mewajibkan
pengusaha pertambangan membangun pabrik pengolahan di dalam negeri sehingga
produk tambangnya bisa mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi. Sebagai contoh
di produk nikel. Nilai bahan baku nikel mentah (nickel ore) saat ini dihargai sekitar 30
dollar AS per ton.

Ketika nickel ore tersebut diolah di pabrik smelter menjadi nickel pig iron (NPI),
harganya akan naik menjadi sekitar 3,3 kali lipat. Sementara apabila diolah menjadi
bahan feronikel (FeNi), bisa naik menjadi 6,8 kali lipat.

Ketika bahan tersebut diolah lebih lanjut dan menghasilkan produk nickel matte,
nilainya bisa bertambah menjadi 44 kali lipat. Terlebih lagi apabila nickel ore tersebut
diolah dengan menggunakan teknologi hydrometallurgy yang dapat menghasilkan
produk mixed hydroxide precipitate (MHP) sebagai bahan baku baterai, nilai
tambahnya bisa melejit menjadi 120 kali lipat.

Ketika nickel ore tersebut diolah di pabrik smelter menjadi nickel pig iron,
harganya akan naik menjadi sekitar 3,3 kali lipat.

Sebelum UU Minerba diterapkan, di dunia pertambangan nikel Indonesia, kita hanya


mempunyai dua operator smelter nikel, yaitu PT Antam dan PT Vale/Inco, yang
beroperasi sejak 1976/1977. Hingga kini, PT Antam mengoperasikan tiga tungku
(furnace) di Smelter Pomalaa berkapasitas produksi 27.000 ton nikel per tahun di
dalam produk feronikel. Sementara PT Vale mengoperasikan 4 tungku di Smelter
Sorowako dengan kapasitas produksi 70.000 ton nikel per tahun di dalam
produk nickel matte.

Selama hampir 50 tahun, Indonesia hanya memproduksi sekitar 100.000 ton nikel
yang proses pengolahannya dilakukan di dalam negeri. Sisanya, kita ekspor sumber
ke luar negeri dalam bentuk bahan baku mentah (nickel ore), terutama ke China dan
sebagian ke Eropa dan negara lainnya.

KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA

Pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) berbasis nikel milik PT Virtue Dragon Nickel
Industry di Konawe, Sulawesi Tenggara, Senin (25/2/2019).
Sejak program hilirisasi dilaksanakan dengan tegas oleh pemerintahan Jokowi,
dengan implementasi larangan ekspor bahan baku mineral mentah sesuai dengan
amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 beserta aturan-aturan menteri turunannya, ratusan
smelter nikel baru telah dibangun dan sebagian besar telah berproduksi.

Setidaknya ada 116 smelter nikel saat ini yang telah beroperasi dan puluhan lainnya
sedang tahap konstruksi. Smelter tersebut tersebar di Morowali, Morowali Utara,
Konawe, Kolaka, Pulau Obi, Bantaeng, Weda Bay, Kalimantan Selatan, dan beberapa
lokasi lainnya.

Produksi pengolahan nikel Indonesia meningkat drastis dari 345.000 ton pada 2017
menjadi 1,6 juta ton pada 2022. Ini memosisikan Indonesia sebagai raja produsen nikel
dengan kontribusi hampir 50 persen dari total produksi nikel dunia.

Pendapatan negara dari ekspor produk nikel pun terbang dari sekitar Rp 60 triliun
pada 2017 menjadi Rp 504 triliun pada 2022, atau 840 persen peningkatan dalam lima
tahun. Perlu diketahui dan patut disyukuri, Indonesia mempunyai cadangan nikel
terbesar di dunia, sekitar 21 juta ton, dan merupakan 22 persen dari total cadangan
dunia.

Semua smelter nikel baru yang dibangun dalam program hilirisasi ini menggunakan
teknologi China, berbeda dengan smelter yang sudah ada milik PT Antam dan PT Vale
yang dibangun dengan teknologi Barat. Teknologi furnace dari China kapasitasnya
lebih kecil dan hanya mempunyai service life antara 12 dan 24 bulan. Setelah tungku
dioperasikan selama waktu tersebut, harus dilakukan perbaikan besar kembali atau
disebut rebuild.

Ini berbeda dengan tungku teknologi Barat, misalnya dari Kanada yang dipakai di PT
Antam Pomalaa dan PT Vale Sorowako yang dapat bertahan lebih lama dan perlu
dibangun kembali (rebuild) biasanya setelah 20 tahun.

Tentu ada sisi plus dan minus antara teknologi China dan teknologi Barat, misalnya
jika dilihat dari kacamata investasi. Jika hanya melihat dari sisi ekonomi, teknologi
China mungkin bisa memberikan return on investment (pengembalian investasi) yang
lebih cepat karena biaya kapitalnya (capex) jauh lebih rendah. Namun, ada aspek
penting lain yang seharusnya menjadi faktor pertimbangan, seperti aspek
keselamatan, efisiensi, keberlanjutan, dan keramahan lingkungan.
Rekomendasi
Dari aspek keselamatan, kita harus jujur dan mengakui ada banyak hal yang harus
diperbaiki dalam implementasi program hilirisasi ini agar insiden kecelakaan kerja
tidak terus merenggut korban dan mencoreng tujuan mulia dari mandat UU Minerba
Nomor 4 Tahun 2009.

Insiden Morowali ini harus menjadi wake up call bagi pemerintah. Sudah waktunya
bagi pemerintah melakukan big clean up terhadap operasi smelter yang
tidak comply terhadap standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Beberapa poin
di bawah ini mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk membuat rencana aksi yang
konkret.
Pertama, safety audit perlu dilakukan terhadap seluruh operasi smelter, dimulai dari
smelter yang sering mengalami kecelakaan kerja. Audit sebaiknya dilakukan oleh
lembaga independen yang paham dan dikenal reputasinya di dunia pertambangan.
Hasil audit harus memberikan keluaran berupa rekomendasi rencana aksi berisi apa
yang harus dilakukan setiap operator smelter untuk menuju full compliance terhadap
standar K3 sesuai dengan standar industri pertambangan yang berlaku di Indonesia
dan secara international best practice.

Kedua, setiap operator smelter harus membuat rencana aksi perbaikan standar K3,
mempertimbangkan rekomendasi dari hasil audit dan disetujui oleh pemerintah
berwenang.

Ketiga, pemerintah perlu membentuk tim untuk memastikan pengawasan


implementasi dari rencana aksi K3 dari setiap operator smelter dapat berjalan.

Keempat, evaluasi oleh lembaga independen perlu dilakukan setiap tahun untuk
mengevaluasi progres pencapaian rencana aksi dan mengevaluasi efektivitas dari
program tersebut.

Kelima, sanksi bagi operator smelter yang tidak tunduk terhadap kebijakan
pemerintah mengenai K3 ini dapat dikaitkan dengan penangguhan insentif pajak (tax
incentive) jika diperlukan sebagai alternatif dari penghentian operasi smelter yang
mungkin justru akan menimbulkan isu baru karena melibatkan ribuan tenaga kerja
yang juga membutuhkan pekerjaan.

Suyanto Mahdiputra, Praktisi Dunia Pertambangan

Anda mungkin juga menyukai