Anda di halaman 1dari 4

Injeksi CO2 sebagai Alternatif untuk Meningkatkan Produksi Migas

Oleh: Riko Susetia Yuda


CO2 atau karbondioksida merupakan senyawa kimia yang berbentuk gas pada keadaan
temperature dan tekanan standar serta hadir di atmosfer bumi dengan konsentrasi kira-kira 387
ppm berdasarkan volumenya. CO2 merupakan gas yang tidak berwatna dan tidak berbau. Ketika
dihirup pada konsentrasi yang lebih tinggi daripada konsentrasinya di atmosfer, maka akan terasa
asam di mulut dan mengengat di hidung dan tenggorokan. Gas ini dihasilkan oleh semua
makhluk hidup saat proses respirasi, pembakaran bahan bakar fosil, letusan gunung api, atau
proses geothermal lain seperti pada mataair panas. CO 2 merupakan gas rumah kaca yang telah
terdeteksi peningkatannya sekitar 35% di atmosfer sejak revolusi industri akibat aktivitas
manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan. Hal ini dapat memicu
pemanasan global sehingga akan terjadi perubahan iklim yang sangat ekstrem di bumi.
Konferensi perubahan iklim di Warsawa, Polandia pada tahun 2013 lalu telah
menghasilkan kesepakatan yaitu upaya mitigasi dengan cara mengurangi emisi CO 2 secara cepat
mencapai ambang batas kenaikan suhu bumi yaitu di bawah 2 oC dan ditekan hingga 1,5oC.
Kesepakatan tersebut sebagai pengganti Protokol Kyoto untuk memerangi dampak perubahan
iklim. Kenaikan suhu 2oC ini dihitung sejak masa pra-revolusi Indsutri yaitu lebih dari 100 tahun
lalu. Untuk mengetahui berapa banyak CO 2 maksimum agar kenaikan suhu bumi tidak melewati
ambang batas ini adalah sekitar 1 trilyun ton. Nilai tersebut disebut sebagai carbon budget. Salah
satu upaya untuk mengurangi emisi CO2 tersebut adalah melalui teknologi Carbon Capture and
Storage (CCS). Teknologi ini merupakan suatu proses menangkap sisa CO 2 dari sumber yang
besar seperti pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil, mentransportasikannya ke lokasi
penyimpanan, dan diendapkan ke tempat yang mana tidak dapat lepas ke atmosfer lagi yaitu
formasi geologi bawah permukaan. Metode CCS untuk formasi geologi bawah permukaan ini
disebut juga geo-sequestration, yaitu menginjeksikan CO2 umumnya dalam bentuk superkritis
yang ditargetkan pada lapangan migas, saline formation, lapisan batubara tak tertambang, dan
saline-filled basalt formation. Mekanisme penjebakan fisika (batuan penudung impermeabel)
dan geokimia akan mencegah CO2 lepas ke permukaan.
Peluang Metode CCS di Indonesia
Metode CCS ini sangat cocok diterapkan di Indonesia untuk lapangan migas yang mulai
mengalami penurunan produksi. Produksi minyak mentah Indonesia telah mengalami penurunan
sejak 1995 dengan tingkat penurunan sebesar 12% per tahun (Priyono, 2011). Produksi minyak
tersebut masih didominasi oleh teknik perolehan primer dan sekunder, sedangkan teknik
perolehan tersier (Enhanced Oil Recovery/EOR) masih sangat jarang sekali dilakukan. Padahal
Indonesia masih memiliki Original Oil in Place (OOIP) kira-kira sebesar 75 miliar barrel dan
cadangan terbukti sebesar 4,04 miliar barrel. EOR merupakan metode untuk memproduksi
minyak dengan cara menginjeksikan beberapa zat agar minyak yang tersisa dapat terangkat naik
yang mana tidak dapat diambil pada teknik perolehan primer maupun sekunder. Injeksi zat
tersebut dapat mengubah komposisi minyak, suhu reservoar, dan karakter interaksi fluida-batuan.
Skala efisiensi EOR dapat beragam mulai dari 100% (skala lab) dan 45-75% (skala lapangan).
Gambar 1. Mekanisme Carbon Capture and Storage (CCS) (Sumber: www.rmcmi.org)

Indonesia merupakan negara dengan emisi CO2 terbesar ke-6 di tahun 2011 menurut
World Resource Institute. Berdasarkan Buku Putih Energi Indonesia 2005-2025, proyeksi emisi
CO2 meningkat dari 183,1 juta ton di tahun 2002 menjadi 584,9 juta ton pada tahun 2020 (3,2
kali lipat). Hal ini tidak berbeda jauh dari data IEA (International Energy Agency) untuk tahun
2011 yaitu sekitar 430-440 juta ton atau menurut PBL Netherland Environmental Assesment
Agency sebesar 490 juta ton di tahun 2012. Berkaca dari uraian data tersebut, tentu saja potensi
sumber CO2 sangat melimpah ruah. Untuk metode CCS, perolehan gas CO2 dapat berasal dari
pemrosesan gas alam sekitar 132,5 MMscfd, pemrosesan minyak 899,41 MMscfd, dan
pembangkit listrik sekitar 6.817,91 MMscfd serta sumber yang lainnya seperti pabrik petrokimia.
Gambar 2. Target EOR di Indonesia (Muslim dkk., 2013)

Dari sisi teknis, Indonesia cocok dan layak untuk diterapkan metode CO 2-EOR karena
memiliki karakter minyak yang ringan (> 25 API) dengan kedalaman lebih dari 25.000 kaki serta
saturasi yang tinggi. Selain itu, hampir 62% dari OOIP atau sekitar 48,2 miliar barrel minyak
masih tersisa di dalam reservoar. Menurut Usman (2011) dalam Muslim, dkk. (2013), terdapat
58% dari 650 target EOR berada di Cekungan Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan dengan 1
dari 23 sumur cocok untuk CO 2 - flooding pada OOIP 70%. Lain halnya menurut Edward, dkk.
(2004) dalam Muslim, dkk. (2013), menyebutkan bahwa 64 dari 136 lapangan di Cekungan
Sumatera Selatan merupakan kandidat potensial untuk CO2-Flooding. Menurut BP Migas (2011),
jika metode EOR tersebut dapat diterapkan dengan baik, maka dapat menaikkan lifting minyak
sebesar 700.000 barel per hari.
Selain untuk lapangan migas yang mengalami penurunan produksi, metode CCS juga
dapat diterapkan untuk Enhanced Coal Bed Methane Recovery (ECBMR). CO2 diinjeksikan ke
dalam reservoar CBM yang kemudian akan mengisi dan teradsorpsi ke ruang pori batubara lalu
mendesak gas metana (CH4) keluar karena tingkat adsorpsi CO2 lebih besar daripada CH4. Hal ini
sangat potensial dilakukan mengingat potensi sumber daya CBM Indonesia yaitu mencapai 453
TCF. Terlebih lagi, produksi CBM di Indonesia masih dikatakan sulit berkembang karena
beberapa hal teknis, sehingga metode ini dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan produksi
CBM dengan cepat. Lapangan yang potensial untuk diterapkan metode ini adalah yang berada di
Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan Barito karena potensi CBM yang besar dan
ketersediaan CO2 yang dekat dengan lapangan sehingga akan lebih ekonomis.
Tantangan Metode CCS di Indonesia
Perlu juga disadari bahwa selain banyaknya peluang, menurut Amao (2009) terdapat pula
beberapa tantangan yang harus dihadapi untuk CO2 flooding pada EOR yaitu efisiensi penyapuan
dan kontrol mobilitas yang buruk, viscous fingering, manajemen flooding, early gas
breakthrough (GOR tinggi), korosi pada tubular, deposisi asphaltness, kehilangan injektivitas,
dan deposisi scale.
Menurut Muslim, dkk. (2013) masalah lain di Indonesia adalah tekanan reservoar yang
telah menurun sehingga dapat menyulitkan dalam mekanisme EOR miscible. Hal ini dikarenakan
untuk mekanisme tersebut tekanan harus berada di atas Minimum Miscible Pressure (MMP),
sehingga untuk tekanan reservoar yang sudah menurun, diperlukan penanganan khusus untuk
meningkatkan tekanannya di atas MMP. Penanganan ini dapat memakan waktu lama. Tantangan
lain yang harus dihadapi adalah penangkapan CO2 sumber seperti kilang, pembangkit listrik atau
pabrik petrokimia yang membutuhkan teknologi tinggi dan juga biaya yang besar pula. Adapula
masalah berupa fasilitas permukaan untuk memproses CO 2 (daur ulang) dan infrastruktur untuk
transportasi CO2, yang tidak tersedia.

Referensi:
Kompas Cyber Media. 2015. Beberapa Kesepakatan Konferensi Perubahan Iklim Paris. diakses
dari http://internasional.kompas.com/read/2015/12/13/09090031/Beberapa.Kesepakatan.
Konferensi. Perubahan.Iklim.Paris pada 25 Maret 2017 pukul 11.30 WIB.
Muslim, dkk. 2013. Opportunities and Challenges of CO2 Flooding in Indonesia. Presented on
SPE Asia Pacific Oil & Gas Conference and Exhibition held in Jakarta, Indonesia , October
22nd-24th 2013. SPE Conference Paper, SPE Journal. Texas: Society of Petroleum
Engineers.
Priyono, R, 2011, BP Migas Annual Report, BP Migas, Jakarta.
RMCMI. Tanpa Tahun. Carbon Capture and Storage. diakses dari
http://www.rmcmi.org/education/carbon-capture-storage#.WNZvTGclG00 pada 25 Maret
2017 pukul 12.00 WIB.
U.S. Energy Information Administration. 2011. Annual Energy Outlook 2011. Washington: U.S.
Energy Information Administration.
Wib, Adhi. 2013. Antara Energi Emisi Karbon dan Perubahan Iklim. diakses dari
https://energisurya.wordpress.com/2013/12/01/antara-energi-emisi-karbon-dan-perubahan-
iklim/ pada 25 Maret 2017 pukul 12.10 WIB.

Anda mungkin juga menyukai