Anda di halaman 1dari 10

ABSTRAK

Permintaan energi dunia diperkirakan akan meningkat karena perbaikan standar hidup
negara-negara berkembang dan perkembangan ekonomi global. Peningkatan keberlanjutan
pasokan energi harus dipertimbangkan sebagai suatu keharusan untuk menghindari merusak
sumber daya alam untuk generasi manusia berikutnya dan efek yang lebih dramatis seperti
pemanasan atmosfer global. Pemanfaatan sumber energi bebas CO2, sebagai energi
terbarukan, adalah salah satu cara yang paling menjanjikan. Namun demikian, produksi energi
besar-besaran dengan sumber energi seperti itu jauh dari praktis layak dalam jangka pendek-
menengah dan solusi inovatif harus diterapkan CO2. Asumsi umum ini juga berlaku untuk
semua pembawa energi seperti hidrogen atau listrik. Dalam makalah ini, analisis proses
produksi hidrogen yang dilakukan dan diskusi tentang perlunya mengembangkan skema
produksi bebas CO2 seperti cracking metana ditampilkan.
Steam methane reforming (SMR) merupakan proses yang paling menjanjikan untuk
produksi hidrogen. Beberapa penelitian telah menunjukkan keunggulannya dari sudut pandang
ekonomi. Saat ini pengembangan proses didasarkan pada aspek teknis dan ekonomi, namun
dalam waktu dekat, dampak lingkungan akan memainkan peran penting dalam desain proses
tersebut. Dalam artikel ini, proses SMR dipelajari dari sudut pandang dampak lingkungan
secara keseluruhan, menggunakan analisis exergoenvironmental. Analisis ini menyajikan
kombinasi analisis energi dan penilaian siklus hidup. Komponen di mana reaksi kimia terjadi
adalah yang paling komponen tanaman penting dari sudut pandang exergoenvironmental,
karena, secara umum, ada dampak lingkungan yang tinggi terkait dengan komponen-
komponen ini. Hal ini terutama disebabkan oleh penghancuran energi di dalam komponen, dan
ini pada gilirannya terutama disebabkan oleh bahan kimia reaksi. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa potensi terbesar untuk mengurangi keseluruhan dampak lingkungan
dikaitkan dengan reaktor pembakaran, pembaru uap, yang unit pemisahan hidrogen dan
penukar panas utama. Dampak lingkungan dalam hal ini komponen terutama dapat dikurangi
dengan meningkatkan efisiensi eksergetiknya. Sensitivitas analisis untuk beberapa variabel
lingkungan eksternal yang penting juga disajikan dalam makalah ini.
Kata kunci: Produksi hidrogen, Reformasi Metana Uap, Analisis Energi;
Latar Belakang
Penggunaan bahan bakar fosil di seluruh dunia memiliki demand yang terus meningkat
tajam setiap tahunnya. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan populasi manusia secara
signifikan. Proyeksi peningkatan impor minyak bumi untuk konsumsi diperkirakan mencapai
60% produksi optimum saat ini untuk negara-negara maju seperti Amerika Serikat pada tahun
2025 mendatang.(U.S. Department of Energy (2006) U.S. Government (2007)). Semenjak
tahun 1970 ketika embargo minyak pertama terjadi, telah timbul minat dalam masyarakat untuk
melakukan penelitian serta pengembangan energi terbarukan yang lebih efisien.(W.J. Piel,
2001).
Saat ini bahan bakar fosil telah menyumbang 80% energi primer di dunia. Hal ini
menimbulkan dampak yang sangat besar pada lingkungan. Salah satunya perubahan iklim yang
didorong oleh aktivitas manusia, khususnya produksi emisi gas rumah kaca, berdampak
langsung terhadap lingkungan. Kebutuhan energi yang aman dan dapat mudah diakses sangat
penting untuk keberlanjutan masyarakat modern. Dalam situasi seperti ini dibutuhkan sumber
energi peralihan dari konvensional ke terbarukan secara berkelanjutan dan dapat memenuhi
permintaan energi dunia saat ini. Hal ini sesuai dengan komitmen Indonesia dalam mendukung
Protokol Kyoto dalam UNFCCC, yaitu salah satunya adalah terkait dengan pembatasan emisi
karbon dengan menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan serta mendorong
penelitian dan pengembangan bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan.(Sulistyono,
2012)
Hidrogen, menjadi kapasitas sumber energi yang diharapkan menjadi solusi dari
permasalahan ini. Hidrogen adalah bentuk sekunder dari energi, diproduksi dengan
menggunakan tiga kelas sistem cadangan energi yang berbeda, yaitu bahan bakar fosil
(batubara, minyak bumi, gas alam dan sebagian besar persediaan yang belum terpakai seperti
minyak serpih, minyak dari pasir minyak, gas alam dari lokasi bertekanan geo, dan lain - lain.),
reaktor nuklir termasuk fisi reaktor dan pembibit, dan sumber daya energi terbarukan (termasuk
pembangkit listrik tenaga air, pembangkit tenaga angin, sistem konversi energi panas laut
termasuk produksi biomassa, konversi energi fotovoltaik, sumber energi geothermal, dan lain
- lain.). Saat ini, produksi hidrogen bergantung pada proses ekstraksi hidrogen dari bahan bakar
fosil. Konsumsi hidrogen terbesar terjadi di penyulingan minyak bumi dan di industri
petrokimia untuk amonia dan methanol sintesis. (Richa Kothari, 2006).
Sebagian besar hidrogen diproduksi dengan steam reforming gas alam (terutama
metana) dan bahan bakar fosil lainnya. Oleh karena itu, penggunaan hidrogen tetap memiliki
pro dan kontra terhadap polusi yang dapat dipertimbangkan. Kehawatiran terus meningkat
tentang kemungkinan adanya perubahan iklim dan peningkatan emisi gas rumah kaca sebagai
tanggapan terhadap Protokol Kyoto. Cara memproduksi hidrogen tanpa emisi CO2 akan
dibutuhkan. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan rantai proses yang lengkap
untuk produksi dan penggunaan hidrogen. (Kuuskaraa VA, 2003).
Sebagai salah satu negara penghasil emisi terbesar, Indonesia turut berkontribusi
dengan memberikan sumbangsih untuk menekan angka emisi karbon hingga 41% pada tahun
2030 (Dunne, 2019). Hidrogen sebagai salah satu opsi dengan kemungkinan yang cukup besar
dalam realisasi. Pada grafik berikut, dapat terlihat optimisasi pasar global untuk energi
hidrogen dapat mencapai $201 Milyar dolar USA. Dengan melihat potensi tersebut, Indonesia
tentu akan sangat disayangkan jika melepaskan kesempatan yang besar dalam menciptakan
peluang penerimaan (income) baru dari hasil ekspor sumber energi terbarukan dari hidrogen
seperti dan turunannya, seperti metanol dan amonia.(H2X. Global n.d.)

Gambar 1.1. Potensi Energi Terbarukan di Indonesia (sources : Kementerian ESDM(2021))

Mengesampingkan potensi yang sangat luar biasa dari sektor produksi hidrogen
tersebut, terdapat banyak tantangan yang timbul dalam adaptasi dan implementasinya.
Tingginya biaya yang diperlukan untuk teknologi produksi menjadi salah satu permasalahan
krusial. Infrastruktur yang dibutuhkan dalam penyimpanan (storage) yang aman serta
distribusinya adalah permasalahan yang perlu untuk dipertimbangkan. Hal yang menjadi tujuan
utama artikel ini adalah manajemen produksi serta supply chain produksi hidrogen di kilang
minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan produksi pada unit-unit yang terdapat di dalam
prosesnya.
Manajemen produksi merupakan salah satu bagian dari manajemen yang berfungsi
untuk menyelenggarakan berbagai koordinasi terkait produksi barang atau jasa pada suatu
perusahaan. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh perusahaan, perlu diterapkan
keputusan-keputusan agar produk baran atau jasa dapat sesuai dengan apa yang direncanakan
(Suwondo, 2013).
Produksi hidrogen di kilang minyak bumi dapat ditempuh melalui beberapa cara.
Namun ada 3 cara yang paling umum dan banyak dilakukan pada kilang minyak bumi yaitu
steam-methane reforming, partial oxidation, dan autothermal reforming.
1. Steam-methane Reforming (SMR)
Steam-methane reforming merupakan proses yang paling sering digunakan
dalam memproduksi hidrogen. Reaksi ini terjadi secara endotermis menggunakan
katalis dengan rentang temperatur 970-1100 K dan tekanan mencapai 3.Mpa. Pada
proses ini katalis yang umum digunakan adalah katalis nikel. Karena perbandingan
rasio yang besar antara hidrogen dan oksigen pada bahan bakar fosil membuat proses
ini menjadi pilihan terbaik untuk proses reforming. Feed yang digunakan dalam proses
ini adalah gas alam dan hidrokarbon sampai ke nafta. Proses SMR ini tidak
membutuhkan steam yang besar. Reaksi yang terjadi dalam proses steam reforming
adalah:
CnHm+ nH2O --> nCO + (n + m/2)H2
CO + H2O --> CO2 + H2
Kelemahan dari sistem ini ialah banyaknya CO2 yang terbentuk seiring proses
produksi hidrogen. Proses ini juga menggunakan bahan bakar fosil baik pada proses
manufaktur dan juga sebagai sumber panas (Kothari, 2006). Keuntungan dari proses ini
ialah tidak memerlukan oksigen , memiliki suhu operasi yang rendah dari pada proses
Partial Oxidation dan menghasilkan konversi hidrogen yang tinggi (3:1), (Holladay,
2009).

2. Partial Oxidation
Oksidasi parsial mengubah hidrokarbon menjadi hidrogen dengan
mengoksidasi sebagian hidrokarbon dengan oksigen. Ketika memproduksi hidrogen
dengan metode partial oxidation reaksi yang terjadi adalah reaksi eksotermik. Reaksi
eksotermik ini adalah reaksi hidrokarbon dengan oksigen serta steam pada temperatur
yang cukup tinggi. Penggunaan katalis pada proses ini tergantung pada jenis feed dan
proses yang akan dijalankan. Suhu operasi dari proses ini sekitar 1300-1500 Celsius
(tanpa menggunakan katalis). Proses ini bisa menerima semua jenis bahan bakar gas
dan liquid. Reaksi yang berjalan dalam proses ini ialah:
2CnHm + H2O+23/2O2 --> nCO + nCO2 +(m+1)H2
(Kothari, 2006)
Kelebihan yang dimiliki oleh proses ini adalah penurunan kebutuhan untuk
desulfurisasi feed, beberapa jenis feed tidak memerlukan katalis dan slip metana yang
rendah. Kekurangan dari proses ini adalah rasio H 2 yang dihasilkan rendah, suhu
pemrosesan yang sangat tinggi dan karena adanya residual hasil pembakaran (jelaga)
menambah kerumitan proses ini. Proses ini juga menghasilkan karbon monoksida
beserta karbon dioksida yang merupakan emisi. (Holladay, 2009).
3. Autothermal Reforming (ATR)
Proses ini menggunakan oksidasi parsial untuk menghasilkan panas dan steam
reforming untuk meningkatkan produksi hidrogen. Gabungan kedua proses ini
membuat proses autothermal reforming menjadi proses yang netral secara thermal.
Biasanya proses ini dijalankan pada tekanan yang lebih rendah dari pada partial
oxidation dan memiliki slip metana yang rendah. Proses ini tidak memerlukan sumber
panas ekstenal karena memanfaatkan proses partial oxidation yang bersifat eksotermis
untuk reaktor. Kekurangan dari proses ini adalah diperlukannya unit yang mahal dan
kompleks untuk memisahkan dan memasukkan oksigen murni ke reaktor atau dengan
pengenceran dengan nitrogen. Kekurangan lainnya dari proses ini ialah riwayat
komersialnya yang terbatas dan kebutuhannya akan udara atau oksigen (Holladay,
2009).
Berdasarkan teknologi proses serta sumber bahan pembentukannya, hidrogen dapat
dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu Gray Hydrogen, Blue Hydrogen, Turquoise Hydrogen,
Pink Hydrogen, dan Green Hydrogen.
1. Gray Hydrogen diproduksi dari gas alam dan batu bara dengan proses SMR atau
gasifikasi dan memiliki kandungan Carbon footprint yang tinggi. Harga produksi gray
hydrogen dari gas alam yaitu sebesar $0.5-1.7/KgH2 sedangkan harga untuk produksi
dari batu bara sebesar $1.2-2.10/KgH2.
2. Blue Hidrogen diproduksi dari gas alam dan batu bara dengan proses SMR atau
gasifikasi dengan CCS dan kandungan Carbon footprintnya sekitar 10-15%. Harga
produksi blue hydrogen dari gas alam sebesar $1-2/KgH2 sedangkan untuk produksi
dari batu bara sekitar $1.5-2.8/KgH2.
3. Turquoise Hydrogen diproduksi dari gas alam dengan proses methane pyrolysis dan
carbon footprintnya berbentuk solid carbon (byproduct) dengan harga produksinya
$3.10-3.80/KgH2.
4. Pink Hidrogen diproduksi dari energi nuklir dengan proses electrolysis atau thermal
splitting dan kandungan carbon footprintnya cukup sedikit. Harga produksi Pink
Hydrogen ini sekitar $2.50-3.23/KgH2.
5. Green Hidrogen diproduksi dari renewable electricity dengan proses elektrolisis dan
carbon footprintnya sedikit. Harga produksi green hydrogen sekitar $3-8/KgH2.

Gambar 1.2. 5 Warna Hidrogen Berdasarkan Sumber dan Prosesnya

Ada beberapa tahapan pada supply chain yang harus diperhatikan mulai dari Produksi,
Penyimpanan, Transportasi dan Utilization. Model ini mengasumsikan bahwa hidrogen dapat
diproduksi dari tiga sumber energi yang berbeda (gas alam, batu bara, dan biomassa)
menggunakan dua teknologi yang terbukti secara komersial (reformasi metana uap dan
gasifikasi). Hidrogen yang dimurnikan harus dicairkan atau dikompresi sebelum disimpan atau
didistribusikan, dan diangkut menggunakan truk tangki, gerbong tangki kereta api, trailer
tabung, atau gerbong tabung kereta api.
Setelah hidrogen diproduksi dan mengalami treatment, hidrogen dapat disimpan
terlebih dahulu sebelum didistribusikan lebih jauh kepada konsumen dan industri dalam bentuk
penyimpanan fisik maupun material. Penyimpanan hidrogen dalam bentuk fisik yaitu wujud
hidrogen diubah ke bentuk lain untuk efisiensi dan kemudahan distribusi. Bentuk fisik hidrogen
dapat berupa gas terkompresi, kompresi cryo, dan penyimpanan hidrogen cair. Hal ini perlu
dilakukan karena gas hidrogen dalam bentuk wujud gas idealnya memiliki nilai densitas
volumetrik yang cukup rendah, sehingga memerlukan tangki dengan ukuran yang besar.
Dengan keterbatasan tempat dan biaya, opsi untuk menyimpan hidrogen dalam wujud gas
idealnya bukanlah hal yang bagus.
Opsi kedua yang bisa digunakan untuk menyimpan hidrogen adalah dalam bentuk
turunan dari bahan hidrogen itu sendiri. Bahan yang berbeda dapat digunakan untuk mengikat
hidrogen ke senyawa dengan densitas volumetrik yang lebih tinggi. Amonia, metanol, dan
hidrida logam adalah kandidat yang menarik untuk bahan penyimpanan berbasis hidrogen.
Amonia adalah bahan pendukung berbasis hidrogen yang menjanjikan karena kerapatan dan
fleksibilitas hidrogennya yang tinggi. Secara tradisional, amonia diproduksi melalui proses
Haber-Bosch, di mana nitrogen bereaksi dengan hidrogen pada suhu dan tekanan tinggi dan
dibantu oleh katalis. Ada banyak perusahaan penghasil amoniak di Indonesia. Oleh karena itu,
menyimpan hidrogen seperti amoniak tidak memerlukan biaya modal yang besar untuk
membangun infrastruktur baru.
Metanol juga merupakan kandidat yang menjanjikan untuk bahan ikatan hidrogen.
Karena metanol berbentuk cair pada suhu dan tekanan atmosfer, penyimpanan dan transportasi
menjadi mudah dengan infrastruktur yang ada. Metanol dapat digunakan langsung sebagai
bahan bakar cair atau dipisahkan untuk melepaskan hidrogen melalui termolisis, steam
reforming dan oksidasi parsial dengan kebutuhan energi yang rendah.
Logam hidrida baru-baru ini muncul sebagai alternatif untuk penyimpanan hidrogen
dalam keadaan padat. Keuntungan utama hidrida logam adalah densitas volummetriknya yang
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk penyimpanan gas dan cair. Selain itu,
menyimpan hidrogen sebagai hidrida logam mengurangi risiko tekanan gas hidrogen atau
hidrogen cair.
Di Indonesia sendiri pabrik hidrogen biasanya berdekatan dengan tempat atau pabrik
dimana hidrogen tersebut akan dimanfaatkan. Pabrik hidrogen di Indonesia biasanya terletak
di dekat atau di dalam kilang atau dalam pabrik petrokimia. Dan karena itu pendistribusian
hidrogen tergolong sederhana dan murah karena jarak yang ditempuh tidak jauh dan
kuantitasnya yang tidak terlalu banyak. Di Indonesia sendiri hidrogen dibutuhkan di banyak
sektor pendistribusian hidrogen dalam jumlah yang banyak dan jarak yang jauh adalah hal yang
sangat penting. Tantangan utamanya adalah pembangunan infrastruktur untuk menyokong
pendistribusian, apalagi Indonesia memiliki kondisi geografis yang mempersulit distribusi
hidrogen.
Hidrogen dengan volume yang kecil bisa didistribusi dengan jalur darat menggunakan
truk dan juga kereta agar biaya yang dikeluarkan minimal. Jika diperlukan untuk
mendistribusikan di pulau yang berbeda maka akan digunakan mode transportasi kapal. Selain
itu, penggunaan pipeline sebagai metode distribusi hidrogen bisa digunakan di jarak
pendistribusian yang lebih jauh tetapi proses ini merupakan proses yang jauh lebih kompleks
dari pada metode transportasi yang lain. Untuk mengurangi pembangunan infrastruktur
distribusi hidrogen yang baru, hidrogen bisa juga diinjeksikan pada pipa gas alam yang sudah
ada, hal ini adalah opsi yang menarik yang bisa dipilih untuk menurunkan carbon footprint dari
sektor gas. Distribusi hidrogen dalam fasa padat cukup sulit dilakukan dikarenakan kurangnya
infrastruktur yang cocok. Pendistribusian hidrogen dalam senyawa turunan dengan
infrastruktur yang lebih matang seperti ammonia, methanol dan gas alam sintetis bisa menjadi
solusi sementara ketika infrastruktur pendistribusian hidrogen dibangun. Indonesia merupakan
salah satu produsen methanol dan ammonia terbesar di dunia, oleh karena itu, Indonesia
memiliki kemampuan untuk mendistribusi hidrogen dengan material based.
-- > (bagan-bagannya)
Kelemahan manajemen produksi hidrogen di Indonesia meliputi
1. Tingginya biaya capital cost.
2. Tingginya production cost hidrogen.
3. Fasilitas dan infrastruktur yang kurang memadai.
4. Kurangnya strategi pengembangan hidrogen nasional.
5. Kurangnya pengetahuan mengenai produksi dan kebutuhan hidrogen di Indonesia
6. Penjadwalan atau scheduling untuk produksi komoditas sulit dilakukan.
7. Pengawasan produksi sukar dilakukan, karena sistem scheduling tidak mudah
diterapkan.
8. Butuh investasi atau modal yang cukup besar dalam hal persediaan bahan mentah.
9. Butuh biaya besar untuk tenaga kerja serta pemindahan bahan, karena dibutuhkan
tenaga ahli untuk melakukannya.
10. Sumber hidrogen di Indonesia masih menggunakan batu bara dan menghasilkan emisi
yang tinggi pada prosesnya.

Kondisi ideal yang dapat dicapai supply chain untuk produksi hidrogen di Indonesia ........

Solusi yang dapat ditempuh untuk optimalisasi manajemen produksi dan supply chain produksi
hidrogen di Indonesia seperti ......

Kesimpulan :
....... (Pendapat Pribadi) ........
Moradi, R., & Groth, K. M. (2019). Hydrogen storage and delivery: Review of the state of the
art technologies and risk and reliability analysis. International Journal of Hydrogen Energy,
44(23), 12254–12269. https:// doi.org/10.1016/j.ijhydene.2019.03.041

Anda mungkin juga menyukai