Combustible fuel engine (carbon based) yang dianggap efisien, rata-rata memiliki
efisiensi dibawah 40%. Banyak sekali panas yang hilang ketika merubah energi
kimia (fuel) menjadi energi gerak. Sehingga efisiensi energi didalam combustible
fuel engine (motor bakar) sangat rendah. Ketika dipakai untuk menghasilkan listrik
fuel (BBM) akan sangat banyak yg dipakai.
Fuel Cell memiliki efisiensi yang cukup tinggi hingga mencapai angka diatas 70%.
Nah, kalau saja kita dapat menghasilkan gas hidrogen, barulah dengan fuel cell akan
diperoleh efisiensi energi yg lebih baik. Untuk saat ini proses pembuatan hidrogen
dari minyak bumi (energi fosil) hingga diperoleh listrik oleh fuel cell masih
memerlukan biaya yang sangat mahal, dan juga masih mensisakan emisi karbon
saat memproduksi “hydrogen fuel” ini. Sehingga usaha untuk menghemat energi
ini masih memerlukan biaya tambahan.
Kekurangan:
1. Hidrogen
Hidrogen sulit untuk diproduksi dan disimpan. Saat ini proses produksi hidrogen
masih sangat mahal dan membutuhkan input energi yang besar (artinya: efisiensi
produksi hidrogen masih rendah). Untuk mengatasi kesulitan ini, banyak negara
menggunakan teknologi reforming hidrokarbon/fosil untuk memperoleh hidrogen.
Tetapi cara ini hanya digunakan dalam masa transisi untuk menuju produksi
hidrogen dari air yang efisien.
2. Sensitif pada Kontaminasi Zat-asing
Fuel cell membutuhkan hidrogen murni, bebas dari kontaminasi zat-asing. Zat-
asing yang meliputi sulfur, campuran senyawa karbon, dll dapat menonaktifkan
katalisator dalam fuel cell dan secara efektif akan menghancurkannya. Pada mesin
kalor pembakaran dalam (internal combustion engine), masuknya zat-asing tersebut
tidak menghalangi konversi energi melalui proses pembakaran.
3. Harga Katalisator Platinum Mahal
Fuel cell yang diaplikasikan pada industri otomotif memerlukan katalisator yang
berupa Platinum untuk membantu reaksi pembangkitan listrik. Platinum adalah
logam yang jarang ditemui dan sangat mahal. Berdasarkan survei geologis ahli
USA, total cadangan logam platinum di dunia hanya sekitar 100 juta kg (Bruce
Tonn and Das Sujit, 2001). Dan pada saat ini, diperkirakan teknologi fuel
cell berkapasitas 50 kW memerlukan 100 gram platinum sebagai katalisator (DEO,
2000). Misalkan penerapan teknologi fuel cell berjalan baik (meliputi:
penghematan pemakaian platinum pada fuel cell, pertumbuhan pasar fuel cell
rendah, dan permintaan platinum rendah) maka sebelum tahun 2030 diperkirakan
sudah tidak ada lagi logam platinum (Anna Monis Shipley and R. Neal Elliott,
2004). Untuk itulah diperlukan penelitian untuk menemukan jenis katalisator
alternatif yang memiliki kemampuan mirip katalisator dari platinum.
4. Pembekuan
Selama beroperasi, sistem fuel cell menghasilkan panas yang dapat berguna untuk
mencegah pembekuan pada temperatur normal lingkungan. Tetapi jika temperatur
lingkungan terlampau sangat dingin (-10 s/d -20 C) maka air murni yang dihasilkan
akan membeku di dalam fuel cell dan kondisi ini akan dapat merusak membranfuel
cell (David Keenan, 10/01/2004). Untuk itu harus didesain sebuah sistem yang
dapat menjaga fuel cell tetap berada dalam kondisi temperatur normal operasi.
5. Ketiadaan Infrastruktur
Infrastruktur produksi hidrogen yang efektif belum tersedia. Tersedianya teknologi
manufaktur dan produksi massal yang handal merupakan kunci penting usaha
komersialisasi sistem fuel cell