Sumber
arus DC
Elektrolit
Dengan memberikan tegangan melewati dua elektroda, dapat dihasilkan hidrogen dan
oksigen (proses ini disebut elektrolisis, yang sebenarnya telah ditemukan oleh William
Nicholson pada tahun 1800). Proses yang terjadi pada sel bahan bakar merupakan kebalikan
dari proses ini.
diumpankan gas hidrogen pada anoda dan gas oksigen pada katoda, elektrolisis akan berjalan
ke arah kebalikannya dan aliran listrik dapat dihasilkan melewati sirkuit antara kedua
elektroda tersebut.
Francis Bacon (1904-1992), seorang pria berkebangsaan Inggris, adalah orang pertama yang
berhasil membuat sel bahan bakar pada tahun 1932. Bacon menggunakan gas O2 dan H2
murni, elektroda nikel, dan elektrolit basa (KOH), yang kemudian disebut Alkaline Fuel Cell
(sel bahan bakar tipe basa). 27 tahun kemudian, Bacon dan rekan-rekannya baru berhasil
membuat sel bahan bakar dengan daya 5 kW, menunjukkan betapa sulitnya membuat
perkembangan di bidang ini.
Berselang setelah ditemukan Alkaline Fuel Cell, di tahun 1950-an, perusahaan Amerika
Serikat, General Electric (GE), berhasil mengembangkan sel bahan bakar tipe baru, dengan
membran polimer sebagai elektrolitnya, yang kemudian disebut Proton Exchange Membrane
Fuel Cell (PEMFC). PEMFC yang ditemukan oleh GE mampu menghasilkan sekitar 1 kW,
dan memiliki keunggulan pada design, lebih compact, bila dibandingkan sel bahan bakar
yang ditemukan oleh Bacon saat itu.
Sel bahan bakar mulai mendapat perhatian ketika NASA mulai menggunakan sel bahan
bakar buatan GE sebagai sumber energi pada komputer dan alat komunikasinya pada tahun
1965.
Sel bahan bakar LTCC dapat menggunakan berbagai macam bahan bakar terutama
hidrogen dan metanol, serta bahan bakar lain seperti asam format. Asam format merupakan
sumber energi yang sangat baik, tetapi dapat menyebabkan korosi pada material sel bahan
bakar biasa.
format.
(6,18,19,20)
Sejumlah 50 mL bahan bakar yang terdiri atas 67 % metanol dalam air kini dapat untuk 27
jam waktu bicara pada telepon seluler atau 1 hingga 2 bulan dalam keadaan standby. Dalam
rangkaian sel bahan bakar mikro ini, terdapat prosesor bahan bakar tempat berlangsungnya
reaksi reformasi kukus. Di sini campuran metanol dan air akan bereaksi dalam saluran
mikro seukuran rambut manusia yang telah dilapisi atau diisi oleh katalis. Dari reaksi
tersebut akan dihasilkan gas hidrogen yang akan memasuki sel bahan bakar dan bereaksi
dengan gas oksigen menghasilkan arus listrik dan air.(21)
Eo = 0 V
Katoda
Eo = 1,23 V
Membran
Anoda
Katoda
2.1.4 Jenis-Jenis
Sel bahan bakar diklasifikasikan berdasarkan jenis elektrolitnya.
menentukan jenis reaksi kimia yang terjadi di dalam sel, jenis katalis yang diperlukan,
rentang suhu operasi sel, jenis bahan bakar, dan faktor-faktor lainnya. Karakteristik tersebut
menentukan aplikasi yang sesuai untuk masing-masing sel bahan bakar.
Di bawah ini
merupakan beberapa jenis sel bahan bakar yang saat ini masih dalam tahap pengembangan.
1.
Proton Exchange Membrane Fuel Cells (PEMFC) atau sering juga disebut Polymer
Electrolyte Membrane Fuel Cells memiliki berbagai kelebihan dibandingkan jenis sel
bahan bakar lainnya. Antara lain PEMFC memiliki berat dan volume yang kecil, lebih
efisien, dan suhu operasinya rendah, yaitu sekitar 80C.
PEMFC menggunakan
polimer padat sebagai elektrolit dan karbon berpori yang mengandung katalis platina sebagai
elektroda. Untuk beroperasi, PEMFC hanya membutuhkan hidrogen, oksigen dari udara
bebas, dan tidak memerlukan fluida yang bersifat korosif seperti beberapa jenis sel bahan
bakar lainnya. Karena singkatnya waktu pemanasan dan bobotnya yang ringan, PEMFC
sangat cocok untuk digunakan pada kendaraan dan alat-alat elektronik.
Proses yang terjadi saat PEMFC beroperasi adalah sebagai berikut:
a. Gas hidrogen sebagai bahan bakar dialirkan menuju anoda, sedangkan gas oksigen dari
udara bebas dialirkan menuju katoda.
b. Di anoda, katalis platinum menyebabkan hidrogen pecah menjadi ion hidrogen yang
bermuatan positif (H+) dan elektron yang bermuatan negatif (e-).
c. Membran pada PEMFC hanya melewatkan ion H+ menuju katoda, sedangkan elektron
akan melewati sirkuit luar menuju katoda dan menghasilkan arus listrik.
d. Di katoda, elektron dan ion H+ bergabung dengan gas oksigen dari udara membentuk air
yang akan keluar dari sel bahan bakar.
Anoda
Elektrolit
Katoda
2.
Tipe sel ini adalah jenis yang tertua. AFC digunakan pada pesawat luar angkasa Amerika
Serikat sejak 1960-an. AFC sangat mudah terkontaminasi oleh CO2, sehingga memerlukan
gas hidrogen dan oksigen murni. Keracunan CO2 pada sel ini mempengaruhi operasi dan
usia sel. Sel bahan bakar ini menggunakan larutan kalium hidroksida dalam air sebagai
elektrolit. AFC beroperasi pada 100C dan 250C. Kini, terdapat AFC yang beroperasi pada
suhu rendah, yaitu antara 23C hingga 70C. Namun, sel jenis ini harganya sangat mahal,
sehingga tidak cocok untuk dikomersialkan.
Proses yang terjadi saat AFC beroperasi adalah sebagai berikut:
a. Gas hidrogen sebagai bahan bakar dialirkan menuju anoda, sedangkan gas oksigen
dialirkan menuju katoda.
b. Di anoda, katalis platinum menyebabkan hidrogen pecah menjadi ion hidrogen yang
bermuatan positif (H+) dan elektron yang bermuatan negatif (e-).
c. Ion H+ akan bereaksi dengan ion OH- dari elektrolit dan membentuk air, sedangkan
elektron akan melewati sirkuit luar menuju katoda dan menghasilkan arus listrik.
d. Di katoda, elektron akan bergabung dengan oksigen dan air untuk membentuk ion OHyang bergerak menyeberangi elektrolit menuju anoda untuk memulai proses selanjutnya.
10
Anoda
Elektrolit
Elektrolit
3.
PAFC sangat potensial digunakan untuk pembangkit tenaga listrik berskala kecil. Suhu
operasinya lebih tinggi daripada PEMFC, sehingga memerlukan waktu pemanasan yang
lama. Hal ini menyebabkan PAFC tidak cocok digunakan di kendaraan. Selain itu sel ini
memiliki berat dan volume yang besar, serta harga yang mahal.
PAFC menggunakan asam fosfat sebagai elektrolit dan karbon berpori yang mengandung
katalis platinum sebagai elektroda.
11
Anoda
Elektrolit
Katoda
4.
SOFC menggunakan keramik yang keras dan tak berpori sebagai elektrolitnya (umumnya
zirkonium oksida). Sel ini beroperasi pada suhu tinggi sekitar 1000oC. Tingginya suhu ini
menyebabkan SOFC tidak membutuhkan logam mulia sebagai katalisnya, sehingga dapat
menurunkan harga jualnya. SOFC juga dapat mengubah bentuk bahan bakar dalam sel,
sehingga tidak dibutuhkan reformer pada sistemnya.
diperlukan untuk mengoperasikan SOFC memiliki kekurangan, antara lain waktu pemanasan
(warm-up time) yang lama dan dibutuhkannya sistem pengamanan panas di bagian luarnya.
Oleh karena itu, SOFC tidak sesuai untuk diaplikasikan pada kendaraan dan alat elektronik.
Walaupun demikian, sel ini sangat sesuai digunakan untuk pembangkit tenaga listrik
berskala besar, sehingga dapat menyediakan listrik untuk pabrik maupun sebuah kota.
SOFC juga merupakan sel bahan bakar yang paling tahan terhadap sulfur dan karbon
monoksida (CO).
Proses yang terjadi saat SOFC beroperasi adalah sebagai berikut:
a. Gas hidrogen sebagai bahan bakar dialirkan menuju anoda, sedangkan gas oksigen dari
udara bebas dialirkan menuju katoda.
b. Di katoda, katalis menyebabkan elektron dari sirkuit luar bergabung dengan oksigen dan
membentuk ion oksigen bermuatan negatif (O2-).
c. Ion O2- mengalir melalui elektrolit menuju anoda.
12
d. Di anoda, katalis menyebabkan hidrogen bereaksi dengan ion O2- membentuk air dan
elektron.
e. Elektron akan melalui sirkuit luar menuju katoda dan menghasilkan arus listrik.
Skema kerja SOFC dapat dilihat pada Gambar 2.8.(17)
Anoda
Elektrolit
Katoda
5.
MCFC menggunakan elektrolit yang terdiri dari campuran lelehan garam karbonat yang
tersuspensi pada pori matriks keramik inert litium aluminium oksida (LiAlO2). Sel ini juga
sangat sesuai digunakan untuk pembangkit tenaga listrik berskala besar. Suhu operasinya
sekitar 600oC, lebih rendah daripada SOFC. Hal ini menyebabkan tidak diperlukannya
material khusus untuk MCFC, sehingga harganya bisa lebih murah.
Seperti SOFC, MCFC juga resisten terhadap CO dan CO2, tetapi tidak terlalu resisten
terhadap sulfur dan partikulat dari batu bara. Kelemahan utama dari MCFC adalah usianya
yang tidak terlalu panjang. Tingginya suhu operasi sel dan elektrolit yang korosif dapat
mengurangi usia MCFC.
Proses yang terjadi saat MCFC beroperasi adalah sebagai berikut:
a. Gas hidrogen sebagai bahan bakar dialirkan menuju anoda, sedangkan gas oksigen dari
udara bebas, CO2, dan elektron dari sirkuit luar dialirkan menuju katoda.
b. Di katoda, oksigen, CO2, dan elektron bereaksi membentuk ion oksigen yang bermuatan
positif dan ion karbonat yang bermuatan negatif (CO32-).
c. Ion karbonat bergerak melalui elektrolit menuju anoda.
13
d. Di anoda, katalis mendorong hidrogen untuk bergabung dengan ion karbonat membentuk
air, CO2, dan melepaskan elektron yang akan mengalir melalui sirkuit luar.
e. CO2 yang terbentuk di anoda didaur ulang kembali menuju katoda.
Skema kerja MCFC dapat dilihat pada Gambar 2.9.(17)
Anoda
Elektrolit
Katoda
Perbandingan skema kerja keseluruhan sel dapat dilihat pada Gambar 2.10.(18)
Gas Sisa
Arus
Gas Sisa
Udara
Bahan
Bakar
Anoda
Elektrolit
Katoda
14
Rasio H/C yang tinggi pada metanol juga menyebabkan terbentuk gas
hidrogen dengan konsentrasi tinggi dari metanol (efisiensinya mencapai 75%).(8,10,26) Oleh
karena itu, metanol sangat cocok bila digunakan sebagai sumber hidrogen pada sel bahan
bakar.
15
H = +128 kJ mol-1
Dapat dilihat bahwa proses ini sangat endotermik dan menghasilkan gas karbon monoksida
(CO) yang dapat meracuni katalis pada sel bahan bakar. Oleh karena itu, proses ini tidak
sesuai digunakan pada sel bahan bakar.(10)
b. Oksidasi Parsial Metanol (OPM)
Reaksi yang terjadi pada oksidasi parsial metanol (OPM) adalah sebagai berikut:
CH3OH + 1/2O2 2H2 + CO2
Ho = -155 kJ mol-1
Berbeda dengan DM, reaksi OPM merupakan reaksi yang eksoterm. Panas yang dihasilkan
dari reaksi tersebut dapat mengakibatkan sintering (penggumpalan) dari partikel katalis,
16
sehingga katalis menjadi terdeaktivasi. Jumlah hidrogen maksimal, yaitu sekitar 66% hanya
dapat dipenuhi bila oksigen yang digunakan untuk reaksi merupakan oksigen murni. Jika
reaksi OPM diterapkan dalam kendaraan yang menggunakan sel bahan bakar, hidrogen yang
diproduksi hanya sekitar 41% karena oksigen yang digunakan bukan oksigen murni,
melainkan oksigen dari udara bebas. Deaktivasi juga akan terjadi saat menggunakan udara
bebas sebagai reaktan karena senyawa sulfur dan klorin dari udara akan dapat meracuni
material katalis.(10)
c. Reformasi Kukus Metanol (RKM)
Dibandingkan dengan kedua reaksi di atas, reaksi RKM lebih baik karena dapat
menghasilkan gas hidrogen dengan konsentrasi tinggi (75%) dan gas karbon monoksida
dengan konsentrasi yang sangat rendah.(9) Selain itu, selektivitasnya terhadap gas karbon
dioksida juga sangat tinggi.(10) Reaksi yang terjadi pada RKM adalah sebagai berikut:
CH3OH + H2O 3H2 + CO2
Pemaparan lebih jauh mengenai reaksi RKM dapat dilihat pada sub.bab 2.7.
d. Reformasi Kukus Metanol Oksidatif (RKMO)
Cara ini merupakan kombinasi antara reaksi reformasi kukus metanol dan oksidasi parsial
metanol. Reaksi yang terjadi pada RKMO adalah sebagai berikut:
CH3OH+(1 x)H2O+ x O2 (3 x) H2+CO2 (3)
Dengan cara ini, panas yang dihasilkan dari reaksi oksidasi parsial metanol dapat digunakan
pada reaksi reformasi kukus metanol.(27)
17
Satu contoh sederhana untuk katalisis heterogen yaitu bahwa katalis menyediakan suatu
permukaan di mana pereaksi-pereaksi (atau substrat) untuk sementara terjerap. Ikatan dalam
substrat-substrat menjadi lemah sedemikian sehingga memadai terbentuknya produk baru,
ikatan antara produk dan katalis lebih lemah, sehingga akhirnya terlepas.
Katalis untuk sintesis metanol dari hidrogen dan karbon dioksida ternyata dapat juga
digunakan untuk katalis RKM karena reaksi RKM merupakan reaksi kebalikan dari reaksi
sintesis metanol.(28) Katalis yang umum digunakan adalah katalis berbasis logam Cu karena
katalis tersebut mampu memberikan aktivitas dan selektivitas yang tinggi pada suhu operasi
rendah dibandingkan dengan katalis berbasis logam lainnya.(11)
Pada tahun 1980-an, Takezawa melaporkan penelitian mereka tentang katalis Cu/SiO2 yang
dibandingkan dengan katalis Pt/SiO2. Ternyata katalis Cu/SiO2 dengan persen berat Cu lebih
besar atau sama dengan 10% atau dikalsinasi pada suhu yang tinggi memiliki selektivitas
yang lebih tinggi dan aktivitasnya lebih baik karena adanya CuO yang terreduksi menjadi Cu
selama reaksi RKM.(29)
Lindstrom telah meneliti bahwa semakin banyak jumlah mol Cu pada katalis untuk RKM,
maka katalis akan semakin selektif terhadap CO2, menghasilkan gas hidrogen dengan
konsentrasi lebih tinggi pada seluruh rentang suhu.
jumlah Cu yang besar dan menggunakan penyangga zirkonia diuji aktivitasnya dan ternyata
menghasilkan gas hidrogen di atas 60% pada temperatur rendah. Hasil percobaan dari
Linstrom dapat dilihat pada Tabel 2.1.(30)
Tabel 2.1 Hasil percobaan Linstrom
Katalis
Komposisi (%mol)
Di sisi lain, hasil analisis EXAFS (Extended X-Ray Absorption Fine Structure) Szizybalski
menunjukkan bahwa semakin besar jumlah oksigen dalam kumpulan logam Cu, maka
aktivitas pada reaksi RKM akan makin meningkat. Setelah beberapa saat yang cukup lama
(673 K, 2% volume H2/He), katalis masih tetap aktif. Konsentrasi Cu juga memegang
18
peranan penting. Pada konsentrasi Cu yang rendah (lebih rendah dari 15%), akan dicapai
interaksi yang terbaik.(10)
penyangga ZrO2 dalam katalis Cu/ZrO2 dapat dilihat pada Gambar 2.12.(10)
Gambar 2.12 Skema representasi partikel Cu pada penyangga ZrO2 dalam katalis Cu/ZrO2
a) setelah direduksi oleh hidrogen; b) setelah dialiri gas oksigen pada umpan RKM.
Naiknya aktivitas katalitik setelah dialiri gas oksigen berhubungan dengan adanya transisi
dari permukaan mikrostruktur partikel Cu ideal (Gambar 2.12 a) menjadi partikel Cu yang
lebih acak (terstabilkan oleh oksigen), sehingga menghasilkan bentuk permukaan yang
19
termodifikasi. Bentuk permukaan seperti b merupakan bentuk yang lebih aktif pada reaksi
RKM.
prekursor, dan terkadang langkah-langkah sintesis (seperti pencucian dan kalsinasi), juga
menentukan aktivitas katalis.
dengan penyangga zirkonia tersebut terbukti lebih aktif, menghasilkan gas CO lebih sedikit,
dan stabil lebih lama. Penelitian yang dilakukan Szizybalski tersebut menggunakan metanol
dan air yang diumpankan ke reaktor sebanyak 1:1 dengan laju 0,07 mL/menit. Oksigen
ditambahkan ke campuran reaktan tersebut dengan laju 50 mL/menit selama 5 menit.(10)
Hasil penelitian Szizybalski didukung oleh Dutta yang meneliti TPR (Temperature
Programmed Reduction) dari katalis Cu/ZrO2.
Gambar 2.13.
Hasil analisis TPR akan menunjukkan temperatur reduksi dari oksida, keadaan elektronik,
dan interaksi katalis dengan penyangganya. Puncak ganda pada daerah sekitar 160oC terjadi
karena Cu2+ Cu+ Cuo mengalami kontak yang kuat dengan penyangga ZrO2. Intensitas
puncak kedua di daerah sekitar 190-200oC akan semakin besar seiring dengan meningkatnya
konsentrasi Cu. Hal tersebut disebabkan oleh masih adanya endapan CuO yang berinteraksi
dengan ZrO2.(31)
20
Breen dan Ross melaporkan bahwa aktivitas katalis Cu/ZrO2 meningkat dengan
meningkatnya jumlah Cu pada kondisi RKM (H2O:CH3OH = 1,3:1). Dilaporkan juga
bahwa tidak ada CO yang terdeteksi dalam jumlah yang signifikan sampai pada suhu 280oC.
Penambahan alumina dan oksida zink pada katalis tersebut ternyata dapat meningkatkan
dispersi Cu. Katalis dengan performa terbaik ada pada katalis Cu-Zn-Zr-Al.(32)
Na2ZrO3
+ HCl
ZrOCl2 8H2O
Gambar 2.14 Diagram pembuatan zirkonil klorida dari zirkon
Terdapat dua metode untuk membuat zirkonia dari zirkonil klorida, yaitu dekomposisi termal
dan presipitasi.
dilakukan. Namun, sulit untuk dapat menghasilkan zirkonia dengan kemurnian tinggi
dan ukuran partikel yang seragam menggunakan metode ini.
21
ZrOCl2 8H2O
Larutan
+ Presipitat NH4OH
Intermediet Zr(OH)4
Dicuci
Cl--bebas presipitat
Filtrasi
Butiran basah Zr(OH)4
Pendinginan kering (N
cair)
Kalsinasi
Butiran zirkonia ZrO2
Gambar 2.15 Diagram pembuatan zirkonia dari zirkonil klorida dengan metode presipitasi
22
Pada metode ini, ukuran dan bentuk partikel dapat dimodifikasi dengan mengontrol proses
presipitasi dan kondisi kalsinasi.
(14)
dikontrol.
menjadi zirkonia ZrO2.(33) Namun, semua proses di atas membutuhkan perlakuan tertentu
yang menambah harga jual dari zirkonia.
Pada strukturnya, terdapat sharing sisi tepi SiO4 tetrahedral dan ZrO8
dodekahedral.
Zr
Gambar 2.16 Struktur zirkon
23
Zirkon merupakan hasil samping dari pertambangan timah. Keberadaan zirkon di alam
sangat melimpah. PT Timah Tbk. sendiri menghasilkan zirkon sekitar 200 ton per tahun.
Karena memiliki koefisien ekspansi termal yang rendah dan ketahanan termal yang tinggi,
zirkon banyak ditemui pada berbagai industri keramik dan barang pecah belah.(35)
tergantung pada kebutuhan dan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain sifat kimia dari
komponen katalis, prekusor, perbedaan komposisi, sifat fisik dan kondisi reaksi yang
digunakan untuk menghilangkan kontaminan.(36) Terdapat dua metode yang paling sering
digunakan untuk sintesis katalis RKM, yaitu impregnasi dan kopresipitasi.
2.5.1 Impregnasi
Pengertian dari impregnasi adalah proses penjenuhan total sesuatu menggunakan zat tertentu.
Misalnya penjenuhan kapas menggunakan eter.(37) Banyak katalis yang disintesis dengan
metode ini. Metode ini merupakan teknik preparasi katalis yang paling sering digunakan
daripada metode lainnya. Alasan utamanya adalah karena kemudahan dalam pengerjaannya.
Tujuannya adalah untuk mengisi pori-pori menggunakan larutan garam logam dengan
konsentrasi tertentu.(38) Setelah diimpregnasi, langkah selanjutnya adalah pengeringan dan
pemanasan pada suhu tinggi (kalsinasi), sehingga terjadi dekomposisi prekursor menjadi
spesi aktif.(8)
Terdapat dua metode impregnasi, yaitu impregnasi basah (wet impregnation) dan impregnasi
kering (dry impregnation).(39) Pada impregnasi basah, jumlah larutan prekursor fasa aktif
ditambahkan ke penyangga melebihi volume pori penyangga. Walaupun metode ini adalah
yang termudah, tetapi dapat menghasilkan deposisi prekursor fasa aktif yang sangat banyak
pada bagian luar penyangga setelah dikeringkan dan menghasilkan distribusi fasa aktif mirip
kulit telur pada bagian luar penyangga. Distribusi seperti ini bermanfaat bila dilihat dari sisi
aplikasi karena dapat mengurangi kebutuhan penetrasi reaktan ke dalam katalis, sehingga
dapat meningkatkan aktivitas katalis.
permukaan katalis selama reaksi. Oleh karena itu metode impregnasi lain dikembangkan
untuk mengatasi masalah ini, yaitu impregnasi kering.
impregnasi tetes menggantung (incipient wetness impregnation). Pada metode ini, jumlah
larutan prekursor fasa aktif yang ditambahkan sama dengan jumlah volume penyangga.
Kondisi pengeringan sangat mempengaruhi distribusi prekursor fasa aktif pada material
24
penyangga. Oleh karena itu, perlu dilakukan kontrol laju pengeringan. Ilustrasi metode
impregnasi ditunjukkan oleh Gambar 2.17. (34)
Penyangga
Kalsinasi
Reduksi
Larutan garam
logam
T = 400oC
Penyangga terimpregnasi
Katalis Aktif
Gambar 2.17 Ilustrasi metode impregnasi
2.5.2 Kopresipitasi
Kopresipitasi menurut kamus Oxford adalah proses yang menyebabkan suatu zat dari bentuk
cairan menjadi berbentuk padat. Pada metode ini komponen-komponen prekursor katalis
dicampurkan kemudian diendapkan bersama-sama pada pH tertentu dengan penambahan
bahan pengendap. Pengendapan ini dikarenakan oleh pengaruh ion senama yang
ditambahkan pada larutan. Hal ini tentu saja membuat zat yang kelarutannya kecil untuk
mengendap lebih dahulu.(3)
campuran yang merata antar komponen katalis dan pembentukan partikel yang sangat kecil
untuk menyediakan luas permukaan yang luas.(40)
Contoh gambaran umum kopresipitasi menurut Purnama adalah sebagai berikut. Larutan
Cu(NO3)2/Zn(NO3)2 dan larutan kopresipitat (Na2CO3) dicampurkan bersama pada
temperatur yang lebih tinggi dari lingkungan sekitarnya, misalnya 65oC, sambil terus diaduk.
Kemudian, endapan yang terbentuk disaring, dicuci dengan aquades, dan dikeringkan pada
suhu 120oC selama beberapa jam. Prekursor lalu dikalsinasi pada suhu 350oC. Parameter
reaksi seperti pH, temperatur, waktu atau lamanya proses, urutan pencampuran, pengadukan,
dan pencucian menjadi sangat berpengaruh pada struktur dan aktivitas katalis.(9) Ilustrasi
metode kopresipitasi ditunjukkan oleh Gambar 2.18. (34)
25
Perubahan
T, pH, konsentrasi
Larutan garam logam
Penurunan
kelarutan logam
Penataan tipe geometri Bragg-Brentano pada analisis XRD diberikan pada Gambar 2.19.
Dengan penataan tersebut, maka akan dapat mengukur refleksi geometri. Sinar datang dan
sampel memenuhi sudut Bragg (theta). Setelah sinar datang didifraksikan pada sampel,
detektor mengukur intensitas sinar yang dipantulkan.
memenuhi sudut 2.
persamaan Bragg, yaitu n = 2 dhkl sin , di mana = panjang gelombang, dhkl = jarak
antarbidang hkl, = sudut difraksi, hkl = indeks Miller.
26
Pola difraksi yang didapat merupakan representasi dari garis difraksi pada sudut 2, dan
intensitasnya. Posisi puncak memuat informasi mengenai parameter lattice. Jarak garis
difraksi (contohnya pada Gambar 2.20) biasa disebut Full Width at Half Maximum (FWHM).
Bersama dengan intensitas, parameter ini menentukan ketajaman garis difraksi. Rumus dari
Scherrer dapat memperkirakan ukuran kristal dengan menghubungkan luas puncak yang
melebar dengan ketebalan kristal. Rumus Scherrer adalah sebagai berikut:
dengan = FWHM, = panjang gelombang, K = faktor bentuk kristal: 0,89 untuk bentuk
kubik and 0.94 untuk bentuk bulat, L = ketebalan kristal, = sudut Bragg.
Intensitas puncak tergantung dari distribusi kerapatan elektronnya (struktur kristal). Struktur
kristal sendiri ditentukan dari kisi kristal, simetri, penataan dan posisi atomnya. Intensitas
puncak dapat menjadi indikator untuk kristalinitas sampel. Dengan semua data di atas, maka
informasi pola difraksi, parameter kisi, dan ukuran kristal bisa didapatkan.(10)
V
CX
=
Vm (1 X )(1 x + CX )
27
dengan X = P/Po, P adalah tekanan gas yang teradsorpsi, Po adalah tekanan gas yang
membentuk lapisan tunggal, dan C adalah konstanta adsorpsi-desorpsi (C = Kads/Kdes).
Persamaan di atas dapat disesuaikan dengan hasil eksperimen yang menghasilkan data
berupa P atau V dengan cara membuat resiprok kedua sisi persamaan tersebut kemudian
mengalikan kedua sisi dengan Vm dan X/(1-X), sehingga didapat persamaan sebagai berikut.
X 1
1
(c 1) X
=
+
1 X V cVm
cVm
Persamaan akhir tersebut dapat diterapkan pada plot (x/1-x)1/V terhadap X, sehingga Vm
dan c dapat ditentukan. Melalui dua nilai tersebut, luas permukaan dapat ditentukan.(8)
diagram kerjanya ditunjukkan pada Gambar 2.21. Metanol dan air diuapkan menggunakan
evaporator dan dibawa menggunakan gas nitrogen lalu bereaksi dalam reactor yang dibantu
oleh katalis. Gas hasil reaksi dianalisis menggunakan alat kromatografi gas. (30)
6 : Reaktor
7 : Termokopel
3: Pompa
8 : Alat GC
5: Evaporator
28
Tahap reduksi adalah tahap yang sangat penting. Kesalahan pada tahap ini
Ho = -59,4 kJ/mol
29
Keberadaan belerang perlu dihindari di dalam reaktor karena tembaga sulfida (Cu2S)
cenderung tidak stabil dan masih dapat bereaksi kembali.
Senyawa klorida juga merupakan racun bagi katalis karena dapat bereaksi dalam bentuk
asam klorida sesuai dengan reaksi di bawah ini.
Cu(s) + HCl(g) CuCl(s) + 0,5 H2(g)
Ho = -43,5 kJ/mol
CuCl yang dihasilkan dari reaksi ini memiliki titik leleh yang rendah (430C) dan interaksi
antar CuCl memiliki pergerakan yang tinggi pada kondisi operasi reaksi. Pergerakan yang
tinggi ini mengakibatkan rusaknya struktur kristal katalis, menyebabkan sintering dan
berkurangnya aktivitas katalis. Oleh karena itu, kehadiran senyawa klorida (1 ppm) di
dalam reaktor sebaiknya dihindari.(40)
2. Sintering termal
Agrell et.al. (2002) memberikan urutan kestabilan untuk logam: Ag < Cu < Au < Pd < Fe <
Ni < Co < Pt < Rh < Ru < Ir < Os < Re. Berdasarkan urutan tersebut, dapat dilihat bahwa
tembaga tidak stabil dan sangat rawan terhadap sintering termal. Tembaga juga memiliki
titik leleh yang cukup rendah, sehingga reformasi kukus harus berlangsung pada suhu yang
rendah.(40)
3. Pembentukan karbon
Twigg menemukan adanya pembentukan karbon pada reaksi reformasi kukus metanol. Hal
ini dapat disebabkan oleh terjadinya reaksi disproporsionasi karbon monoksida dan reaksi
karbon monoksida dengan hidrogen:
2CO CO2 + C
CO + H2 C + H2O
Reaksi ini sangat mungkin terjadi pada suhu yang rendah. Katalis yang sudah ditutupi oleh
karbon akan menjadi kurang aktif.(40)
4. Kerusakan fisik
Kerusakan fisik katalis dapat berupa pecahnya katalis akibat vibrasi atau perubahan suhu
drastis. Katalis berbasis tembaga umumnya rentan terhadap penyimpangan suhu yang akan
memicu sintering termal kristalit tembaga, sehingga dapat menurunkan aktivitas katalis.
Kontrol terhadap suhu menjadi penting untuk mencegah proses deaktivasi ini. Menurut
Catillon, penggunaan katalis tembaga tanpa menggunakan penyangga yang berdaya tahan
tinggi dapat menjadi masalah pada penerapan kendaraan bermotor.(43)
30
Konversi MeOH
Konsentrasi CO
Konsentrasi H2
f. Komposisi umpan
Zhang juga menemukan bahwa semakin banyak air yang diumpankan maka semakin besar
pula konversi metanol yang diperoleh. Selektivitas CO juga semakin kecil seiring dengan
semakin banyaknya air yang diumpankan. Mereka juga menyarankan untuk menggunakan
rasio air : metanol = 1-1,5.(3)
Konversi MeOH
Konsentrasi CO
Konsentrasi H2
31
g. Waktu Kontak
Zhang juga meneliti tentang pengaruh waktu pemakaian katalis. Semakin tinggi waktu
pemakaian katalis di reaktor maka konversi menurun. Hal ini disebabkan oleh katalis yang
telah terdeaktivasi.(3)
Waktu/jam
metanol umpan. Sedangkan selektivitas dari katalis diketahui melalui perbandingan jumlah
hidrogen terbentuk terhadap jumlah metanol yang terkonversi.(3)
Konversi dapat dihitung dengan persamaan berikut:
X=
; X = aktivitas katalis
b. Selektivitas CO
Keberadaan CO dapat merusak elektroda platina pada sel bahan bakar. Oleh karena itu,
pembentukan CO harus ditekan. Semakin sedikit produksi CO, yaitu sekitar 10-20 ppm,
maka semakin baik pula katalis tersebut.(3)
32
Sx =
mol x
molCH 3 OH masuk molCH 3 OH keluar
33