Anda di halaman 1dari 6

TUGAS KONVERSI ENERGI

Carbon Capture and Storage (CCS)

Disusun Oleh :
Erena Rosetta Puspitaningtyas (1610501019)
Faraida Izza Nailul Amani (1610501046)
Sistem Tenaga Listrik / Semester 5
Dosen Pengampu : Deria Pravitasari, S.T., M. Eng.

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TIDAR
MAGELANG
2018
CARBON CAPTURE AND STORAGE (CCS)
I. PENDAHULUAN
Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan salah satu upaya mitigasi terhadap
perubahan iklim atau pemanasan global yang diakibatkan oleh meningkatnya emisi
gas rumah kaca. Peningkatan gas rumah kaca ini biasanya disebabkan oleh aktivitas
manusia, seperti pembakaran dan kegiatan industri yang menghasilkan polusi emisi
gas karbondioksida (CO2). Contohnya, pabrik dan pembangkit listrik yang berasal
dari bahan bakar fosil atau batu bara.
Di Eropa, studi tentang pengembangan teknologi CCS dalam rangka mitigasi
terhadap perubahan iklim telah dilakukan selama lebih dari 20 tahun (Coninck &
Anderson, 2006). Meskipun teknologi CCS belum matang, sebagian besar
pembangkit listrik tenaga batu bara ada yang sudah menyumbang pangsa yang
besar untuk mengurangi emisi CO2 dan polutan lingkungan[1].
Principal Manager Global Carbon Capture and Storage (CCS) Institute, Alice
Gibson mengatakan cadangan minyak fosil dunia saat ini ada 6 triliun barel dan
hanya akan bertahan 75 tahun dari sekarang[2]. Akibatnya dalam beberapa decade
terakhir kadar CO2 di atmosfer telah meingkat sekitar 39%. Tanpa kebijakan untuk
menanggulangi emisi ini diperkirakan pada tahun 2030 emisi dari karbon akan
meningkat sekitar 90%. Untuk menanggulangi masalah kadar CO2 di atmosfer
yang terus meningkat, maka dapat diterapkan teknologi baru yang disebut CCS
atau Carbon Capture Storage. Menurut Alice, penggunaan teknologi CCS, yaitu
menangkap emisi CO2 atau karbondioksida, adalah solusi tepat untuk menghemat
cadangan minyak fosil dunia.
II. TINJAUAN SINGKAT TEKNOLOGI CCS
Gas Karbondioksida (CO2)
Gas CO2 merupakan gas rumah kaca yang paling banyak dihasilkan oleh berbagai
kegiatan manusia, yang konsentrasinya di udara (atmosfer) makin meningkat
seiring dengan bertambahnya berbagai kegiatan industri. Dalam rangka
menentukan tempat atau site untuk konstruksi penangkapan dan penyimpanan CO2
perlu diperhatikan faktor-faktor geologi supaya tempat penyimpanancukup aman
dan terhindar dari kebocoran.

1
Teknologi Carbon Capture and Storage (CCS)
Secara singkat, Carbon Capture and Storage (CCS) adalah proses menginjeksikan
CO2 kedalam tanah. Penerapan teknologi CCS ini dibagi menjadi beberapa tahapan
yaitu capture, separation, transport, storage, dan monitoring[3], yang meliputi :
1. Capture (Penangkapan)
CO2 ditangkap (capture) dari penghasil CO2 yang besar misalnya pembangkit
listrik berbahan bakar fosil. Ada 3 cara yang umum digunakan, yait post-
combustion (setelah pembakaran), pre-combustion (sebelum pembakaran), dan
oxy-fuel combustion.
2. Separation (Pemisahan)
Pada tahap ini, CO2 dipisahkan dari gas buang/bahan bakar sebelum
ditransportasikan. Ada beberapa cara yang umum digunakan, yaitu absorption,
adsorption, chemical looping combustion, membrane separation, hydrate-
based separation, dan cryogenic distillation.
3. Transport CO2 (pemindahan CO2).
Setelah proses pemisahan, milyaran ton emisi CO2 dikompresi menjadi cair
agar mudah diangkut ke tempat penyimpanan yang sesuai. Untuk
penyimpanan di tambang migas offshore. CO2 diangkut melalui jalur pipa
offshore, menggunakan kapal atau kombinasi keduanya.
4. Storage (Penyimpanan)
Tempat penyimpanan paling praktis untuk menyimpan emisi karbon dalam
jumlah banyak biasanya reservoir minyak atau gas yang sudah tua.
5. Monitoring (Pemantauan)
Memantau dan memverifikasi jumlah CO2 yang tersimpan sangatlah penting
jika penyimpanan CO2 digunakan untuk memenuhi komitmen nasional dan
atau internasional sebagai dasar perdagangan emisi. Setiap tempat
penyimpanan CO2 harus diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya kebocoran
CO2 dari tempat penyimpanan.
Adapun beberapa metode penerapan CCS yaitu:
1. Penginjeksian CO2 ke dalam batuan reservoir pada ladang-ladang migas untuk
kepentingan menyimpan CO2 sekaligus meningkatkan produksi minyak.

2
Teknologi ini dikenal dengan nama teknologi EOR (Enhanced Oil Recovery).
Teknologi ini terutama diterapkan pada sumur-sumur migas yang sudah lemah
tenaga waduknya (reservoir drive), atau dikenal dengan nama depleted
reservoir.
2. Penginjeksian CO2 ke dalam batubara yang tak dapat diambil (unmineable
coal). Penginjeksian ini dimaksudkan untuk menyimpan CO2 sekaligus untuk
meningkatkan produksi CBM (Coal Bed Methane).
3. Penginjeksian CO2 ke dalam akifer dalam berair asin. Penginjeksian ini
semata-mata untuk keperluan penyimpanan CO2 tanpa ada maksud untuk
meningkatkan produksi migas ataupun CBM.
4. Pemerangkapan atau karbonasi mineral dengan menggunakan batuan ofiolit
atau batuan basa – ultrabasa. CO2 di atmosfer akan bereaksi dengan batuan
ofiolit dengan membentuk mineral karbonat. Sebenarnya reaksi ini secara
alami sudah berlangsung, namun diperlukan waktu yang lama sekali untuk
dapat
terjadinya reaksi antara gas CO2 di atmosfer dengan batuan ofiolit. Oleh karena
itu pada saat ini berbagai ahli sedang melakukan penelitian untuk mempercepat
proses reaksi tersebut (Bachri, 2008; 2010).
III. PENERAPAN TEKNOLOGI CCS DI INDONESIA
Professor Geologi Universitas Edinburgh, Stuart Haszeldine mengungkapkan
"Cukup banyak tempat penyimpanan potensial di bumi ini. Yang diperlukan adalah
reservoir berpori dan berlapis yang ditutup batuan lumpur dan garam, kedua bahan
yang mudah dicari di dunia." Saline aquifers merupakan batuan berpori berisi air
yang sangat asin. Lapisan ini dapat menjadi tempat untuk menyimpan CO 2. Studi
Geologi menunjukkan bahwa terdapat banyak lapisan saline aquifers yang
berpotensi menampung semua emisi CO2 di Eropa sampai abad berikutnya.

Peneliti dari Lemigas, Leti Brioleti mengatakan CO2 tidak hanya dihasilkan dari
pengoboran kilang migas tapi juga bersumber dari industri baja, semen, petro
chemical, LNG, Automotiv, pembakaran hutan, Biomass, juga perumahan. Khusus
lapangan migas di Indonesia, diperkirakan emisi CO2 terbesar berada di lapangan

3
migas Natuna (60% ), Jawa (20%), Kalimantan(14%), Sumatra (12%) dan Papua
(2%) [4].

Secara umum, terdapat beberapa sumber emisi CO2 di Indonesia [5], antara lain :

1. Sumur-sumur produksi migas


Di Indonesia bagian timur, rata-rata sumur-sumur produksi migas menghasilkan
emisi CO2 relatif kecil, yatu sama dengan atau kurang dari 3%, sementara
sumur-sumur di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan rata-rata memproduksi CO2
sekitar 10%.
2. Program PLTU berbasiskan batubara (Program percepatan tenaga listrik 10.000
MW)
Program ini berpotensi meningkatkan pencemaran udara dengan CO2 hasil
pembakaran batubara. Namun karena harga batubara relatif murah dan tersedia
melimpah di Indonesia, maka pemerintah mengambil kebijakan memanfaatkan
batubara untuk bahan bakar PLTU.
3. Industri non migas, seperti pupuk, semen, dan industri petrokimia lainnya yang
menggunakan batubara sebagai bahan bakar.
4. Kebakaran hutan
Kebakaran hutan yang disebabkan oleh kegiatan manusia sangat berpotensi
menghasilkan CO2 yang mencemari atmosfer, namun hal ini di luar jangkauan
program CCS.

Kesimpulan yang dapat diambil, yaitu : penempatan lokasi CCS di Indonesia bagian
barat hendaknya memperhatikan keberadaan sesar-sesar lokal aktif. Penerapan
teknologi EOR tepat karena ketersediaan sumber emisi CO2 dari ladang-ladang
migas keberadaan sumur-sumur tua relatif tinggi. Selain itu, penggunaan lapisan
batubara dalam (reservoir CBM) dapat menjadi alternatif masa depan untuk wilayah
Indonesia bagian barat. Lalu, mineral trapping dapat dijadikan pilihan yang tepat
untuk wilayah Indonesia bagian timur, mengingat banyaknya ketersediaan batuan
ofiolit. Di bidang pembangkit, penggunaan akifer berair asin dapat diaplikasikan
untuk menyimpan CO2 yang dihasilkan PLTU. Maka dari itu, perlu adanya kegiatan
penelitian mengenai sesaran akifer air asin di seluruh wilayah Indonesia.

4
REFERENSI

[1] Widjanarko, Stephanus dan Bachtiyor Ubaydullaev. 2011. The Role of Carbon
Capture and Storage in the Global Energy Portfolio. International
Jurnal Technology. Vol._. No. 1. Hal : 65-73. [diakses pada tanggal
24 Oktober 2018]

[2] Sulaiman, Stefanno Reinard. 2015. CCS, Teknologi Tepat Hadapi Susutnya
Cadangan Minyak Dunia.
<regional.kompas.com/read/2015/02/17/140230026/
CCS.Teknologi.Tepat.Hadapi.Susutnya.Cadangan.Minyak.Dunia>
[diakses pada tanggal 27 Oktober 2018]

[3] Terra. 2016. CCS (Carbon Capture & Storage).


<medium.com/@TERRAITB/ccs-carbon-capture-storage-
7ca4e53d2784 > [diakses pada tanggal 29 Oktober 2018]

[4] Sarifudin, Amir. 2009. Penelitian Teknologi CCS Pertama di Indonesia.


<techno.okezone.com/amp/2009/09/11/56/256792/penelitian-
teknologi-ccs-pertama-di-indonesia > [diakses pada tanggal 27
Oktober 2018]

[5] Nugroho, Hadi dan Syaiful Bachri. 2015. Geologi Indonesia Bagian Barat dan
Bagian Timur serta Kaitannya dengan Prospek Carbon Capture
and Storage (CCS). Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral Vol.
16 No. 3. Hal :151 – 159. [diakses pada tanggal 24 Oktober 2018]

Anda mungkin juga menyukai