Anda di halaman 1dari 18

LATAR BELAKANG DAN MAKNA TANAM PAKSA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia Masa
Kolonial yang diampu oleh:

Prof. Dr. Aman, M.Pd., dan Asyhar Bashari, M.Pd

Disusun oleh:

1. Isabel Putri Yustianka (21406241009)


2. Desti Novita Ningrum (21406241015)
3. Ulya Vida Amalia (21406241033)
4. Febri Vico Saputra (21406241035)
5. Fathimah Al Zahra (21406241063)
6. Niku Gending Larasati (21406244027)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Allah SWT yang telah melimpahka rahmat serta hidayah-Nya. Sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Latar Belakang dan Makna Tanam
Paksa”. Sholawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada junjungan kita, Nabi
Agung Muhammad SAW sebagai suri tauladan bagi kita. Ucapan terima kasih
juga kami sampaikan kepada pihak-pihak terkait yang telah membantu selama
proses penyusunan dan penyelesaian makalah ini.
Makalah ini sendiri berisi mengenai latar belakang dan makna sistem
tanam paksa yang diberlakukan di Indonesia pada kolonialisme. Tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Sejarah Indonesia Masa Kolonial yang diampu oleh Prof. Dr. Aman, M.Pd., dan
Asyhar Bashari, M.Pd.

Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan


maupun penulisan makalah ini, maka dari itu kami memerlukan bantuan berupa
kritik, saran maupun masukan dari Bapak/Ibu dosen, serta rekan dari pembaca
makalah ini, supaya kedepannya kami bisa lebih baik lagi dalam hal penyusunan
makalah. Kami berharap jika makalah ini bisa berguna dan memberikan manfaat
bagi para pembaca.

Yogyakarta, 01 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4
A. Latar Belakang ......................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 5
C. Tujuan ....................................................................................................... 5
D. Manfaat ..................................................................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 7
A. Sekilas Tentang Tanam Paksa .............................................................. 7
B. Latar Belakang Munculnya Tanam Paksa ............................................ 8
C. Tokoh Dibalik Tanam Paksa............................................................... 11
D. Aturan dalam Sistem Tanam Paksa ..................................................... 15
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengeluaran biaya dalam perang-perang besar yang dilakukan oleh


Belanda pada akhirnya telah memberikan dampak yang memberatkan bagi
Belanda. Bisa dikatakan sebagai hal yang memberatkan karena hal tersebut
berakibat pada kondisi dimana Pemerintahan Belanda mengalami kekosongan kas
sebagai akibat adanya pembiayaan perang. Maka dari itu, Pemerintah Belanda
kembali memutar otak untuk bisa mengembalikan kondisi ekonomi yang terjadi
dengan memanfaatkan wilayah jajahan sebagai ladang eksploitasi. Berdasarkan
hal tersebut, pertanian menjadi salah satu sektor yang dipilih untuk dijadikan
sebagai ladang eksploitasi oleh pihak kolonial. Di Indonesia, pertanian menjadi
salah satu sektor penting dalam kehidupan masyarakat dengan didukung oleh
kondisi geografis yang sangat memungkinkan untuk melakukan aktivitas
pertanian. Namun, kondisi tersebut belum digunakan secara maksimal oleh
masyarakat di Indonesia. Pengembangan tanaman yang dilakukan oleh para petani
pada masa itu masih hanya berputar pada kebutuhan konsumsi masyarakat sekitar
saja. Baru semenjak kedatangan bangsa Eropa di Indonesia, pertanian yang ada
mulai ikut berkembang meskipun dibumbui dengan sistem yang tidak sehat.

Kedatangan bangsa Eropa di Indonesia pada akhirnya telah membawa


banyak perubahan pada sistem pertanian. Perubahan yang ada juga diikuti dengan
perkembangan dalam aspek komoditi tanaman yang dikembangkan oleh para
petani. Kegiatan pertanian yang sebelumnya hanya berputar pada tanaman
konsumsi lokal saat itu telah berkembang pada penanaman komoditi ekspor.
Perubahan tersebut yang akhirnya menjadikan petani mulai memperoleh
keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Namun perlu
diketahui juga bahwa perkembangan tersebut mulai dimanfaatkan oleh pihak
kolonial, dimana pada periode sebelumnya pihak kolonial yang telah gagal
menjalankan sistem pajak tanah, kini mulai merotasi kebijakan yang ada dengan
kebijakan baru yang tentu bersifat eksploitatif.
Salah satu kebijakan baru dari pemerintah kolonial pada saat itu adalah
Tanam Paksa atau cultuur-stelsel yang merupakan langkah awal Van den Bosch
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi pihak kolonial yang bersumber dari
eksploitasi wilayah jajahan 1. Selain peraturan mengenai kewajiban para petani
agar menanam tanaman yang memiliki nilai ekspor, perlu diketahui juga bahwa
wilayah atau lahan yang digunakan dalam culturstelsel ini tetap dikenakan pajak
oleh Belanda. Tanam paksa yang dikembangkan oleh pihak Belanda ini tidak
hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan dana perang namun juga
digunakan sebagai lahan mengambil keuntungan besar secara singkat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran singkat mengenai tanam paksa?
2. Bagaimana latar belakang munculnya kebijakan tanam
paksa di Indonesia?
3. Siapa saja tokoh di balik tanam paksa?
4. Bagaimana aturan yang diterapkan saat tanam paksa?

C. Tujuan
1. Menjelaskan gambaran singkat mengenai tanam paksa.
2. Menjelaskan latar belakang munculnya kebijakan tanam paksa di
Indonesia.
3. Menjelaskan tokoh di balik tanam paksa.
4. Menjelaskan aturan yang diterapkan saat tanam paksa

1
Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan Di Indonesia; Kajian Sosial Ekonomi,
Aditya Media, Yogyakarta, hlm. 5
D. Manfaat
1. Pembaca dapat mengetahui gambaran singkat mengenai
tanam paksa.
2. Pembaca dapat mengetahui latar belakang munculnya
kebijakan tanam paksa di Indonesia.
3. Pembaca dapat mengetahui tokoh di balik tanam paksa.
4. Pembaca dapat mengetahui aturan yang diterapkan saat
tanam paksa.
BAB II PEMBAHASAN

A. Sekilas Tentang Tanam Paksa

Pada akhir abad 18 di bawah kepemimpinan Thomas Raffles, pemerintah


Belanda berhasil mengambil alih kekuasaan wilayah Hindia Belanda pada tahun
1816. Belanda sukses menumpaskan sebuah pemberontakan di Jawa yaitu Perang
Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah itu tepatnya pada tahun 1830,
Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch menggagas sistem tanam paksa atau
cultuurstelsel. Tanam paksa merupakan peraturan yang mengharuskan setiap desa
menyisihkan sebagian dari tanah kepemilikan kurang lebih sebesar 20% untuk
ditanami berbagai komoditi ekspor seperti kopi, beras, lada, kapas, coklat, dll.
Hasil yang berupa tanaman tersebut nantinya akan dijual kepada pemerintah
kolonial dengan harga yang sudah ditetapkan dan hasil panen diberikan kepada
pemerintah Belanda. Bagi masyarakat desa yang tidak mempunyai tanah,
diwajibkan untuk bekerja di kebun milik pemerintah selama 75 hari dalam setahun
sebagai pengganti dari sistem pajak. Namun praktik yang sebenarnya terjadi,
peraturan tersebut tidak dihiraukan karena semua wilayah pertanian tetap secara
wajib hukumnya untuk ditanami tanaman yang laku dipasaran khususnya untuk
diekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah Belanda. Selain itu, tempat
yang digunakan untuk praktik tanam paksa pun dikenakan pajak. Tanam paksa
yang diberlakukan dari masa Letnan Jenderal Stamford Raffles hingga
pemerintahan Komisaris Jenderal Van der Cappelen dan Du Buss, diterapkan
sebagai pengganti sistem sewa tanah yang bisa dibilang gagal diterapkan secara
maksimal. Sistem tanam paksa telah mengalihkan peran pemerintah kolonial dan
para penguasa pribumi, merubah kondisi sosial masyarakat pribumi dengan
menciptakan konsep tanah komunal dan memperkenalkan system ekonomi uang
di pedesaan. Kebijakan baru itu dibuat juga dengan harapan dapat mengisi
kekosongan dari kas pihak Belanda yang sedang mengalami keterpurukan
ekonomi akibat dari peperangan yang saat itu sedang dihadapi yaitu perang di
Eropa melawan Belgia dan perang Hindia Belanda melawan Diponegoro yang
sangat menguras kas negara. Tanam paksa (Cultuur Stelsel) merupakan periode
sangat eksploitatif dalam praktik ekonomi di Hindia Belanda dan jauh lebih parah
dan kejam dibandingkan dengan system monopoli VOC karena sasarannya dari
pemasukan hasil penerimaan negara yang dibutuhkan pemerintah. Ketika masa
VOC, petani secara wajib menjual komoditi tertentu kepada VOC, namun ketika
sistem tanam paksa dijalankan, petani harus menanam tanaman tertentu dan
sekaligus harus menjualnya dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah. Peran
dari tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar untuk modal saat
zaman keemas an kolonialis liberal Hindia-Belanda pada tahuin 1835 – 1944. Dari
sinilah gelar Graafoleh raja Belanda diberikan untuk Van den Bosch pada tanggal
25 Desember 1839.

B. Latar Belakang Munculnya Tanam Paksa

Pada awal abad ke-19, terjadi perubahan politik di Indonesia. Indonesia


memiliki letak yang strategis yaitu terletak di persimpangan dua samudera dan
dua benua, selain itu Indonesia terletak di jalur perdagangan dunia serta memiliki
kekayaan alam yang berlimpah. Bangsa-bangsa di dunia menjadi tertarik untuk
menguasai Indonesia. Belanda merupakan salah satu dari sekian bangsa yang
memiliki keinginan kuat untuk menguasai Indonesia. Salah satu upaya yang
dilakukan oleh Belanda untuk menaklukan Indonesia dengan mendirikan
Veereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602.

Belanda mendapat keuntungan besar dari VOC dan mengakibatkan bangsa


Eropa yang lain datang ke Indonesia untuk mencari rempah-rempah di Indonesia.
Ambisi Belanda untuk terus meraup keuntungan dari perdagangan rempah-
rempah di Indonesia yang tinggi, menyebabkan pemerintah Belanda berusaha
untuk memonopoli perdagangan di Indonesia. Selain itu, Belanda mulai
menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia dan melakukan imperialisme serta
kolonialisme.

Pada pergantian tahun 1799 ke 1800, VOC dibubarkan karena komisi yang
menyelidiki kebangkrutan VOC dan mengeluarkan kesimpulan bahwa VOC sulit
untuk dipertahankan kembali. Penyebab bangkrutnya VOC dapat diketahui
dengan terjadinya perang antara Belanda dengan Inggris yang mengakibatkan
kompeni mengalami krisis keuangan yang signifikan. Hak Oktroi yang dimiliki
VOC diperpanjang yang sebelumya hanya sampai tahun 1798, kemudian sampai
31 Desember 1800. Hal tersebut mengakibatkan Indonesia berada dalam
kekuasaan pemerintah Hindia Belanda dimulai pada 1 Januari 1800.

Selepas Syarikat Hindia Timur Belanda (SHTB) menjadi mufis pada akhir
abad ke-18 dan selepas penguasaan United Kingdom yang singkat di bawah
Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih pemilikan SHTB
pada tahun 1816.2 Pada tahun 1830 situasi di negeri Belanda serta jajahannya
sengat buruk, begitu juga dengan semakin besarnya beban hutang yang dimiliki.
Pengeluaran Belanda digunakan untuk membiayai keperluan militer sebagai
akibat dari Perang Belgia (1830) di negeri Belanda dan Perang Jawa atau Perang
Diponegoro (1825-1830) di Indonesia.3 Guna menyelamatkan keadaan tersebut,
pemerintah Belanda mengangkat Van den Bosch sebagai Gubernur Jenderal di
Indonesia dengan tugas mencari siasat bagaimana caranya mengisi kekosongan
kas negara Belanda. Sebelum diangkat menjadi Gubernur Jendral, Van den Bosch
menyampaikan beberapa gagasan kepada Raja Belanda yang nantinya dikenal
dengan cultuur stelsel. Sistem cultuur stelsel memaksa para penduduk untuk
menanam berbagai hasil perkebunan yang menjadi permintaan komoditas pasar
dunia, seperti kopi, teh, gula. Hasil pertanian kemudian diekspor ke luar negeri
dengan harga murah supaya dapat bersaing dengan produk serupa dari negara lain.

Munculnya sistem tanam paksa (cultuur stelsel) bermula dari kebijakan sistem
pajak tanah yang dijalankan oleh Thomas Stamford Raffles yang kemudian
dilanjutkan oleh Komisaris Jenderal Van der Capellen serta Gubernur Jenderal De
Gisignies yang mengalami kegagalan akibat ketidakmampuan pemerintah dalam
memajukan petani untuk dapat meningkatkan hasil tanaman perdagangan untuk
diekspor. Sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang digagas oleh Van den Bosch
ini memiliki strategi untuk meningkatkan hasil tanaman ekspor dengan upaya
melangsungkan kerja sama denga para pejabat daerah yang memiliki hubungan
dekat dengan rakyat, terutama dengan petani. Sistem tanam paksa (cultuur stelsel)
dapat dikatakan sebagai pembaharuan sistem pajak tanah yang mana penduduk
2
AMAN, INDONESIA: DARI KOLONIALISME SAMPAI NASIONALISME. (Yogyakarta:
Pujangga Press, 2014), hlm. 1.
3
Zulkarnain Z, “SERBA-SERBI TANAM PAKSA”. (ISTORIA: Jurnal Pendidikan Dan Sejarah,
Vol. VIII, No. 1, September 2010), hlm. 30.
pribumi diharuskan membayar pajak bukan berupa uang, tetapi berupa tanaman
ekspor yang mereka tanam. Pada dasarnya, sistem tanam paksa (cultuur stelsel)
merupakan gabungan dari sistem penyerahan wajib pajak dan sistem pajak tanah.4
Gubernur Jenderal Van den Bosch mewajibkan setiap desa harus menyisihkan
sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor. Sedangkan penduduk
desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada
kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.5

Tanam paksa (cultuur stelsel) adalah era paling eksploitatif dalam praktik
ekonomi Hindia Belanda.6 Sistem tanam paksa lebih keras dibandingkan dengan
sistem monopoli VOC. Kejamnya sistem tanam paksa dipicu oleh adanya tuntutan
pemasukan penerimaan negara yang dibutuhkan oleh pemerintah. Akan tetapi,
sistem tanam paksa (cultuur stelsel) lebih sistematis dan melibatkan beberapa
unsur pokok, seperti birokrasi pemerintahan kolonial, organisasi desa, serta tanah
dan tenaga rakyat yang membedakan dengan sistem monopoli VOC. Keburukan
dari sistem tanam paksa ialah apabila petani mengalami gagal panen tanaman
wajib, maka itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab petani dan apabila petani
memberikan hasil panen melebihi ketentuan dari jumlah pajak yang seharusnya,
pemerintah tidak akan mengembalikan kepada rakyat.

Cultuurstelsel sering diartikan sebagai sistem tanam paksa. Namun yang


sebenarnya terjadi tidaklah demikian. Cultuurstelsel dalam Bahasa Inggris
diartikan sebagai cultivation system atau culture system. Jika diartikan dalam
Bahasa Indonesia yakni sebagai sistem pembudidayaan ataupun dapat disebut
sebagai budidaya tanam, hal ini demikian karena rakyat memiliki kewajiban untuk
menaman tanaman dari hasil ekspor yang kemudian laku jika dijual di Eropa.
Dinamakan cultuurstelsel karena adanya pembangunan ekonomi yang
dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1830 sampai sekitar abad
ke-19. Kemudian, dalam historiografi Indonesia yang tradisional, istilah
cultuurstelsel diubah menjadi “Tanam Paksa” karena dalam pelaksanaannya

4
Aprilia, A. T., Irawan, H., Budi, Y. “Meninjau Praktik Kebijakan Tanam Paksa di Hindia
Belanda 1830-1870”. (Estoria: Journal of Social Science and Humanities, Vol. 1, No. 2, April
2021), hlm. 124.
5
AMAN, op.cit., hlm. 22.
6
Ibid
ternyata memunculkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat sebab bagi siapapun
yang melanggar dan tidak ikut aturan tersebut akan langsung mendapat hukuman
fisik.

Sistem yang seharusnya menjadi pembudayaan tanaman ternyata praktik


di lapangan tidaklah demikian, dapat diamati dari sudut pengelolaannya bahwa
aspek dari politik kolonial sangat dominan. Usaha produksi harusnya dijalankan
oleh petani atau rakyat dibawah pengawasan dari para penguasa daerah setingkat
bupati sampai desa. Ditambah saat itu relasi politik Mataram dan Belanda menjadi
saling ketergantungan sejak tahun 1755, terutama setelah adanya Perang
Diponegoro yang mana Belanda waktu itu membantu keraton. Dengan adanya
sebab-sebab politik tersebut memunculkan dan mendorong terjadinya sistem
tanam paksa.

C. Tokoh Dibalik Tanam Paksa

1. Johannes Van den Bosch


Johannes Van den Bosch merupakan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda ke-43 yang lahir di Herwinjen, 01 Februari 1780. Van den Bosch
diangkat menjadi Gubernur Jenderal dengan tujuan untuk mencari cara
mengisi kekosongan kas pemerintah Belanda. Tanam Paksa (cultuur
stelsel) merupakan sistem yang dilaksanakan oleh Van den Bosch untuk
mengisi kas pemerintah Belanda semasa Perang Diponegoro dan
Pemberontakan Belgia. Dalam waktu yang darurat ini, Van den Bosch
memperkenalkan kepada Raja William I tentang sistem tanam paksa
(cultuur stelsel) dan Van den Bosch yakin bahwa sistem tersebut mampu
menutup hutang pemerintah Belanda.
Gambar 1: Van den Bosch (https://www.kompas.com/)

Tujuan Van den Bosch dijadikan Gubernur Jenderal Hinda Belanda


adalah mentransformasikan pulau Jawa menjadi eksportir besar-besaran
dari produk-produk agrarian, dengan keuntungan dari penjualannya
terutama mengalir ke keuangan Belanda.7 Masa jabatan Van den Bosch
sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda ialah selama tiga tahun (1880-
1883). Akibat sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang mampu
menyejahterakan negeri Belanda, Van den Bosch selaku penggagas
dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.8
2. Eduard Douwes Dekker

Eduard Douwes Dekker ialah seorang keturunan Belanda yang berjasa


dalam memperjuangkan keadilan masyarakat Indonesia, yang terutama pada
masa tanam paksa (cultuur stelsel). Lahir di Amsterdam, 02 Maret 1820,
Eduard Douwes Dekker dikenal sebagai penulis terkenal Belanda dengan
tulisan-tulisan radikal. Pada tahun 1838, Eduard Douwes Dekker menuju
Hindia Belanda dan bekerja sebagai pegawai sipil disaat Belanda mengalami
krisis keuangan. Selama di Hindia Belanda, Eduard Douwes Dekker melihat
bagaimana pelaksanaan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) oleh pemerintah
Belanda yang terkesan tidak adil dalam memperlakukan masyarakat
Indonesia, terutama untuk menyejahterakan rakyat.

7
Zulkarnain Z, op.cit., hlm. 32.
8
Ibid.
Gambar 2: Eduard Douwess Dekker
(https://id.wikipedia.org/wiki/Eduard_Douwes_Dekker)

Pada tahun 1860, Eduard Douwes Dekker memprotes kebijakan tanam


paksa (cultuur stelsel) dengan mempublikasikan karyanya yang berupa buku
berjudul Max Havelaar yang berisikan kritikan terhadap kebijakan politik
tanam paksa masa pemerintah Hindia Belanda dan mengungkap eksploitasi
Belanda terhadap masyarakat Indonesia. Buku Max Havelaar menjadi tombak
dalam menentang kebijakan tanam paksa (cultuur stelsel) di pulau Jawa yang
dianggap keterlaluan dalam memperlakukan bangsa Indonesia. Pada tahun
1870, kritik Eduard Douwes Dekker tentang tanam paksa (cultuur stelsel) baru
mendapat perhatian dari pemerintah Hindia Belanda. Sehingga, tanam paksa
(cultuur stelsel) mendapat banyak kritikan keras dan akhirnya diberhentikan
oleh pemerintah Hindia Belanda dengan mengeluarkan UU Agraria 1870 dan
UU Gula 1870.

3. Francen van de Putte

Isaac Dignas Francen van de Putte, sosok negarawan liberal yang lahir
pada 22 Maret 1822. Francen van de Putte dikenal sebagai politikus liberal
yang memiliki peran penting di Belanda hingga akhir abad ke-19. Francen van
de Putte menulis buku Suiker Contracten yang membahas tentang upaya untuk
menentang kebijakan tanam paksa (cultuur stelsel) yang dilaksanakan oleh
pemerintah Belanda. Francen van de Putte berhasil menghapuskan aturan-
aturan yang tidak sesuai dengan zaman, untuk kemudian dikeluarkan
peraturan-peraturan baru.9

Gambar 3: Francen van de Putte


(https://commons.wikimedia.org/wiki/Main_Page)

Upaya untuk menghapuskan aturan-aturan yang telah melekat kuat dari


tahun 1830-an tidaklah mudah. Francen van de Putte menerima tentangan
yang cukup kuat dan terpaksa mengundurkan diri dari posisi sebagai Menteri
Urusan Kolonial disaat mengumumkan kebijakan guna menghapus sistem
tanam paksa (cultuur stelsel). Kegigihan Francen van de Putte dalam
menghapuskan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) tidak berakhir sia-sia,
yang mana berhasil membatasi tanaman tanam paksa dan memangkas jumlah
lahan pemerintah. Sehingga, terbitlah Undang-Undang Perbendaharaan
(Comtabilitet) pada tahun 1867 berkat perjuangan Francen van de Putte yang
menentukan bahwa, anggaran belanja Indonesia ditetapkan oleh parlemen dan
pengawasan dijalankan oleh Dewan Pengawas Keuangan Negara
(Rekenkamer).

9
A Kardiyat Wirhayanto, “KEBIJAKAN EKONOMI KOLONIAL TAHUN 1830-1910”.
D. Aturan dalam Sistem Tanam Paksa

Belanda menetapkan beberapa peraturan untuk mewujudkan suksenya sistem


tanam paksa ini, diantaranya:
1. Menyisihkan tanah sebesar 20 %
Setiap rakyat pribumi diminta untuk menyediakan sebesar seperlima
bagian dari total luas tanah pertaniannya untuk kepentingan cultuurstelsel ini.
Tanah tersebut digunakan untuk menanami tanaman ekspor, seperti teh, kopi,
dan kakao.10
2. Tanaman cutuurstelsel bebas pajak
Hasil dari tanaman yang disediakan untuk kepetingan sistem ini dianggap
sebagai pembayaran pajak.
3. Gagal panen tanaman cultuurstelsel menjadi tanggung jawab
pemerintah Belanda.
Apabila tanaman cultuurstelsel mengalami kegagalan yang bukan karena
kesalahan petani, maka kerugiannya akan ditanggung sepenuhnya oleh
Pemerintah Belanda. Sebaliknya apabila hasil panen tanaman tersebut
berlebih dari ketentuan yang telah dibuat, maka pemerintah Belanda tidak
akan mengambil tanaman yang lebih tersebut, atau dengan kata lain, hasil
panen tersebut dikembalikan pada rakyat pribumi.
4. Waktu pengerjaan tanaman cultuurstelsel adalah 3 bulan.
Para petani diberikan waktu 3 bulan untuk menyelesaikan penanaman
tanaman cultuurstelsel. Karena, jika melebihi batas waktu tersebut, risiko
kegagalannya akan lebih besar dan akan besar pula kerugian yang diterima
Belanda.
5. Bagi yang tidak memiliki tanah pertanian, bekerja di pabrik atau
perkebunan milik Belanda.
Rakyat pribumi yang tidak memiliki tanah pertanian diperintahkan untuk
menggantinya dengan bekerja di pabrik ataupun perkebunan milik Belanda

10
CNN Indonesia, “Sistem Tanam Paksa Belanda di Masa Penjajahan, Sejarah dan Aturannya”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220711110107-31-819882/sistem-tanam-paksa-
belanda-di-masa-penjajahan-sejarah-dan-aturannya (2022) , diakses pada 4 Oktober 2022.
selama seperlima tahun atau 66 hari.11 Pada pelaksanaannya, terdapat banyak
penyimpangan dalam aturan-aturan tersebut, diantaranya:
1. Luas tanah yang seharusnya hanya seperlima yang digunakan untuk tanaman
cultuurstelsel menjadi lebih dari seperlima total luas tanah bahkan seluruh
tanah dengan alasan agar pemerintah Belanda mudah dalam mengawasinya
dan para petani juga lebih mudah dalam pengerjaan dan pengairannya.
2. Tanaman ekspor untuk kepentingan cultuurstelsel ini harus lebih
dipriotitaskan sehingga tanaman pribadi milik rakyat menjadi terbengkalai.
3. Pembayaran pajak tetap harus dibayarkan untuk tanaman cultuurstelsel.
4. Kelebihan hasil panen tidak dikembalikan pada petani.
5. Gagal panen dengan alasan apapun menjadi tanggung jawab petani.12

11
Verelladevanka Adrymarthanio, “Sistem Tanam Paksa: Latar Belakang, Aturan, Kritik, dan
Dampak”, https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/02/122535879/sistem-tanam-paksa-latar-
belakang-aturan-kritik-dan-dampak? (2021) , diakses pada 4 Oktober 2022.
12
Rifan Aditya, “Sejarah Tanam Paksa, dari Latar Belakang, Peraturan, hingga Penyimpangan”,
https://www.suara.com/news/2021/08/26/132241/sejarah-tanam-paksa-dari-latar-belakang-
peraturan-hingga-penyimpangan? (2021), diakses pada 4 Oktober 2022.
BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN
Tanam paksa (cultuur stelsel) pada mulanya diberlakukan
untuk menutupi kekosongan kas Belanda. Digagas oleh seorang
bernama Van Den Bosch , gubernur jenderal Hindia Belanda ke-43,
tanam paksa mulai dilakukan sejak 1830 hingga akhir abad 19.
Kebijakan ini merupakan strategi yang diterapkan Belanda untuk
meningkatkan hasil tanaman ekspor dengan upaya melangsungkan
kerja sama denga para pejabat daerah yang memiliki hubungan dekat
dengan rakyat, terutama dengan petani. Dalam kebijakannya 20%
tanah desa harus disiapkan untuk ditanami komoditi ekspor dan bagi
penduduk yang tidak memiliki lahan akan dipekerjakan selama 75 hari
pada kebun-kebun milik pemerintah.

Dalam Bahasa Indonesia cultuur stelsel memiliki arti sistem


pembudidayaan ataupun dapat disebut sebagai budidaya tanam.
Pergeseran makna cultuur stelsel sendiri terjadi karena pada
pelaksanaannya memunculkan penderitaan dan kesengsaraan rakyat
sebab bagi siapapun yang melanggar dan tidak ikut aturan tersebut
akan langsung mendapat hukuman fisik. Beberapa tokoh yang terlibat
dalam kebijakan tanam paksa antara lain Johannes Van den Bosch,
Eduard Douwes Dekker, dan Francen van de Putte. Dalam upaya
mewujudkan kebijakannya Belanda tentu menerapkan beberapa aturan
yang pada akhirnya memberatkan masyarakat pribumi. Aturan
tersebut adalah menyisihkan tanah sebesar 20 %, tanaman
cutuurstelsel bebas pajak, gagal panen tanaman cultuur stelsel menjadi
tanggung jawab pemerintah Belanda, Waktu pengerjaan tanaman
cultuurstelsel adalah 3 bulan, dan bagi yang tidak memiliki tanah
pertanian, bekerja di pabrik atau perkebunan milik Belanda.
DAFTAR PUSTAKA

AMAN. (2014). INDONESIA: DARI KOLONIALISME SAMPAI


NASIONALISME. Yogyakarta: Pujangga Press.
Aprilia, A. T., Irawan, H., & Budi, Y. (2021). Meninjau Praktik Kebijakan Tanam
Paksa di Hindia Belanda 1830-1870. Estoria: Journal of Social Science
and Humanities, 1(2), 119-134.
Kompas. (2021). Biografi Eduard Douwes Dekker, Penentang Sistem Tanam
Paksa. Tersedia pada
https://www.kompas.com/skola/read/2021/02/05/141045269/biografi-
eduard-douwes-dekker-penentang-sistem-tanam-paksa?page=all. Diakses
pada 25 September 2022.
Kompas. (2022). Bongkar Sosok di Balik Terhapusnya Tanam Paksa di Hindia
Belanda. Tersedia pada
https://www.kompasiana.com/jurnalismekepsejarah01/6281ba824b9a473f
e12a6072/bongkar-sosok-dibalik-terhapusnya-tanam-paksa-di-hindia-
belanda. Diakses pada 25 September 2022.
Kompas. (2022). Tokoh Belanda yang Bersimpati pada Indonesia. Tersedia pada
https://www.kompas.com/stori/read/2022/03/17/170000179/tokoh-
belanda-yang-bersimpati-terhadap-penderitaan-bangsa-
indonesia?page=all. Diakses pada 25 September 2022.
Mas Pur. (2020- Desember. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Freedomsiana.
Diperoleh dari https://www.freedomsiana.id/sistem-tanam-paksa-
cultuurstelsel/ .
Wiharyanto, A. K. Kebijakan Ekonomi Kolonial Tahun 1830 1901.
Zulkarnain, Z. (2010). SERBA-SERBI TANAM PAKSA. ISTORIA: Jurnal
Pendidikan Dan Sejarah, 8(1).
Zulkarnain. (2010). Serba-serbi Tanam Paksa. Istoria Vol.VIII, No 1, pp. 30-46.

Anda mungkin juga menyukai