Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“KEHIDUPAN MASYARAKAT PADA MASA PENJAJAHAN”

Disusun oleh ;

Anggia Anasta Febbian Yusuf

Kelas ;

VIII.D

SMP NEGERI 1 MONTONG


2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt atas segala limpahan Rahmat, Inayah,Taufik dan

Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul

“Kehidupan masyarakat pada masa penjajahan”

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yangkami miliki

sangat kurang. Oleh karena itu, saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan

masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.  

Akhirnya penulis berharap semoga Allah swt memberikan imbalan yangsetimpal pada

merela yang telah memberikan bantun dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai

ibadah,Amin Yaa Rabbal Alamin.Demikianlah semoga makalah ini bermanfaat bagi kita

khususnya dan pembaca umumnya. Dan semoga hasil makalah ini dapat turut serta dalam

membangun peningkatan mutu SMP N 1 Montong. Amiin.

Montong, 30 Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

SAMPUL............................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
I.1. Latar Belakang..................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................... 3
1.3. Tujuan Masalah................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 4

2.1. Pengaruh Monopoli dalam perdagangan.......................................................... 4


2.2. Pengaruh kebijakan Kerja Paksa...................................................................... 10
2.3. Pengaruh Sistem Sewa tanah............................................................................ 12
2.4. Pengaruh Sistem Tanam Paksa......................................................................... 15
BAB III PENUTUP........................................................................................................... 18
3.1.Kesimpulan........................................................................................................ 18
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia berada pada posisi silang dunia yang sangat strategis. Posisi tersebut

membawa pengaruh baik dan buruk terhadap kehidupan bangsa. Di bumi Indonesia terdapat

kekayaan alam yang melimpah terutama bahan-bahan vital dan strategis seperti minyak bumi,

timah, besi, mangaan, batu bara, dan lain sebagainya (Sunarso dkk, 2008: 167). Selain itu,

bentuknya yang berupa kepulauan dengan jumlah 17.000 lebih pulau besar dan kecil serta

keanekaragaman flora dan fauna menjadi daya tarik tersendiri bagi bangsa-bangsa lain di

dunia. Salah satu flora atau tumbuhan yang menjadi incaran bangsa Barat ialah rempah-

rempah. Rempah-rempah memiliki nilai jual tinggi di pasar dunia dan sangat penting bagi

negara-negara yang mengalami musim salju atau musim dingin.

Kenyataan seperti di atas ternyata banyak menarik bangsa Barat untuk datang ke

Indonesia. Bermacam-macam rempah-rempah yang terdapat di Indonesia dibutuhkan oleh

bangsa Barat sebagai penghangat di musim dingin. Selama musim dingin di Eropa, tidak ada

satu cara pun yang dapat dilakukan agar semua hewan ternak tetap hidup; karenanya, banyak

hewan ternak disembelih dan dagingnya diawetkan. Untuk itu diperlukan garam dan rempah-

rempah (Ricklefs, 2008: 62).

Runtuhnya pendudukan Kolonial Belanda di Indonesia dimulai pada tanggal 8

Desember 1941, ketika Jepang menyerang Pearl Harbour, Hongkong, Filipina, dan Malaysia.

Pada tanggal 10 Januari 1942, Jepang juga menyerbu pasukan Belanda yang ada di Indonesia.

Di tahun yang sama, pangkalan Inggris di Singapura yang menurut dugaan tidak mungkin

terkalahkan, menyerah pada 15 Februari. Akhirnya, tanggal 8 Maret 1942 pihak Belanda di

Jawa menyerah secara resmi dan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer

ditawan Jepang (Ricklefs, 2009: 418).

Peristiwa-peristiwa semacam itu harusnya tidak terlupakan, bagaimanapun majunya

sebuah bangsa dan negara. Sejarah adalah bagian dasar dari suatu proses, bahkan permulaan

untuk dapat menginjak masa kini. Dalam kritik aliran Hegel dan Taine (via Wellek dan

Warren, 1995: 111), kebesaran sejarah dan sosial disamakan dengan kehebatan artistik.

Seniman menyampaikan kebenaran yang sekaligus juga merupakan kebenaran sejarah dan
sosial. Karya sastra merupakan dokumen karena merupakan monumen (document because

they are monuments). Hal itu menjadi anggapan dasar antara kejeniusan sastra dengan

zamannya. “Sifat mewakili zaman” dan “kebenaran sosial” dianggap sebagai sebab dan hasil

kehebatan nilai artistik suatu karya sastra. Sastra bagi aliran ini bukan cerminan proses sosial,

melainkan intisari dan ringkasan dari semua sejarah.

B. Rumusan Masalah :
1. Jelaskan Monopoli dalam Perdagangan
2. Jelaskan kebijakan kerja paksa
3. Jelaskan system sewa tanah
4. Jelaskan pengaruh system tanam paksa

C. Tujuan Masalah :
1. Untuk mengetahui Monopoli dalam Perdagangan
2. Untuk mengetahui kebijakan kerja paksa
3. Untuk mengetahui system sewa tanah
4. Untuk mengetahui system tanam paksa
BAB II

PEMBAHASAN

2. Kondisi Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan

Apa saja yang dialami bangsa Indonesia pada masa penjajahan? Perkembangan

kolonialisme dan imperialisme Barat di Indonesia menyebabkan perubahan masyarakat

Indonesia dalam berbagai bidang. Pemerintah kolonial menerapkan kebijakan yang

merugikan bangsa Indonesia. Akibatnya, bangsa Indonesia melakukan perlawanan untuk

mengusir penjajah. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan pemerintah kolonial terhadap

bangsa Indonesia, mari telusuri kajian di bawah ini!

2.1 Pengaruh Monopoli dalam Perdagangan

Cengkih merupakan salah satu hasil utama masyarakat Maluku. Hasil perkebunan

tersebut merupakan tanaman ekspor yang sangat dibutuhkan masyarakat Eropa. Perusahaan

dagang Belanda VOC berusaha menguasai perdagangan tersebut. Rakyat hanya

diperbolehkan menjual hasil perkebunan tersebut kepada VOC. Para pedagang lain tidak

diperbolehkan membeli hasil perkebunan dari rakyat tersebut. VOC telah melakukan

penguasaan perdagangan di Maluku, atau disebut praktik monopoli.

Itulah praktik monopoli yang dijalankan oleh VOC. mereka membeli hasil perkebunan

rakyat dengan harga yang sangat rendah. Petani tidak bisa bebas menjual kepada pedagang

lain. Pada awal kedatangannya, bangsa-bangsa Barat diterima dengan baik oleh rakyat

Indonesia. Hubungan perdagangan tersebut kemudian berubah menjadi hubungan penguasaan


atau penjajahan. VOC terus berusaha memperoleh kekuasaan yang lebih dari sekedar jual

beli. Itulah yang memicu kekecewaan, kebencian, dan perlawanan fisik.

Pada awalnya, VOC meminta keistimewaan hak-hak dagang. Akan tetapi, dalam

perkembangannya menjadi penguasaan pasar (monopoli). VOC menekan para raja untuk

memberikan kebijakan perdagangan hanya dengan VOC. Akhirnya, VOC bukan hanya

menguasai daerah perdagangan, tetapi juga menguasai politik atau pemerintahan.

Kalian tentu sering mendengar istilah monopoli. Apakah yang disebut

monopoli? Monopoli adalah penguasaan pasar yang dilakukan oleh satu atau sedikit

perusahaan. Bagaimanakah dampak monopoli? Bagi pelaku perusahaan, monopoli sangat

menguntungkan karena mereka dapat menentukan harga beli dan harga jual. Sebagai contoh,

pada saat melakukan monopoli rempah-rempah di Indonesia, VOC membuat perjanjian

dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Isinya, setiap kerajaan hanya mengizinkan rakyat

menjual hasil bumi kepada VOC. Karena produsen sudah dikuasai VOC, maka pada saat

rempah-rempah dijual, harganya sangat turun. Sebaliknya, VOC menjualnya kembali ke

Eropa dengan harga yang sangat tinggi.

VOC memang dibentuk dengan tujuan untuk menghindari persaingan diantara

perusahaan dagang Belanda dan memperkuat diri agar dapat bersaing dengan perusahaan

dagang dari hegara lain, seperti Portugis dan Inggris. Oleh pemerintah Kerajaan Belanda,

VOC diberi hak-hak istimewa yang dikenal dengan nama hak Oktroi, seperti:

1. Hak mencetak uang.

2. Hak memiliki angkatan perang.

3. Hak memerintah daerah yang diduduki.

4. Hak melakukan perjanjian dengan raja-raja.

5. Hak memonopoli perdagangan rempah-rempah.

6. Hak mendirikan benteng.

Dengan adanya hak oktroi tersebut Belanda memaksa kerajaan-kerajaan di Indonesia

untuk menandatangani kontrak monopoli dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah

politik adu domba atau dikenal devide et impera. Siapa yang diadu domba? Adu domba yang

dilakukan Belanda dapat terjadi terhadap kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain, atau

antarpejabat kerajaan. Apa tujuan Belanda melakukan adu domba?


Belanda berharap akan terjadi permusuhan antarbangsa Indonesia, sehingga terjadi

perang antarkerajaan. Belanda juga terlibat dalam konflik internal yang terjadi di kerajaan.

Pada saat terjadi perang antarkerajaan, Belanda mendukung salah satu kerajaan yang

berperang. Demikian halnya saat terjadi konflik di dalam kerajaan, Belanda akan mendukung

salah satu pihak. Setelah pihak yang didukung Belanda menang, Belanda akan meminta balas

jasa.

Seusai perang, Belanda biasanya meminta imbalan berupa monopoli perdagangan atau

penguasaan atas beberapa lahan atau daerah. Akibat monopoli, rakyat Indonesia sangat

menderita. Mengapa demikian? Dengan adanya monopoli, rakyat tidak memiliki kebebasan

menjual hasil bumi mereka. Mereka terpaksa menjual hasil bumi hanya kepada VOC. VOC

dengan kekuasaannya membeli hasil bumi rakyat Indonesia dengan harga yang sangat rendah.

Padahal apabila rakyat menjual kepada pedagang lain, harganya bisa jauh lebih tinggi.

Untuk meluaskan kekuasaan, VOC mempersiapkan penguasaan dengan cara perang

(militer). Beberapa gubernur jenderal, seperti Antonio van Diemon (1635-1645, Johan

Maatsuyeker (1653-1678), Rijklof van Goens (1678-1681), Cornellis Janzoon Speelman

(1681-1684), merupakan tokoh-tokoh peletak dasar politik ekspansi VOC.

VOC mengalami kebangkrutan pada akhir abad XVIII. Korupsi dan manajemen perusahaan

yang kurang baik menjadi penyebab utama kebangkrutan VOC. Akhirnya, tanggal 13

Desember 1799, VOC dibubarkan. Mulai tanggal 1 Januari 1800, Indonesia menjadi jajahan

Pemerintah Belanda, atau sering disebut masa Pemerintahan Hindia Belanda. Mulai periode

inilah Belanda secara resmi menjalankan pemerintahan kolonial dalam arti yang sebenarnya.

Berikut ini kebijakan-kebijakan VOC yang diterapkan di Indonesia.

1. Menguasai pelabuhan-pelabuhan dan mendirikan benteng untuk melaksanakan

monopoli perdagangan.

2. Melaksanakan politik devide et impera (memecah dan menguasai) dalam rangka untuk

menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia.

3. Untuk memperkuat kedudukannya, perlu mengangkat seorang Gubernur Jenderal.

4. Melaksanakan sepenuhnya hak Oktroi yang diberikan pemerintah Belanda.


5. Membangun pangkalan/markas VOC yang semula di Banten dan Ambon, dipindah ke

Jayakarta (Batavia).

6. Melaksanakan pelayaran Hongi (Hongi tochten).

7. Adanya hak ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang

melebihi ketentuan.

8. Adanya verplichte leverantie (penyerahan wajib) dan Prianger stelsel (sistem

Priangan).

Berikut ini pengaruh kebijakan VOC bagi rakyat Indonesia.

1. Kekuasaan raja menjadi berkurang atau bahkan didominasi secara keseluruhan oleh

VOC.

2. Wilayah kerajaan terpecah-belah dengan melahirkan kerajaan dan penguasa baru di

bawah kendali VOC.

3. Hak oktroi (istimewa) VOC, membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin, dan

menderita.

4. Rakyat Indonesia mengenal ekonomi uang, mengenal sistem pertahanan benteng, etika

perjanjian, dan prajurit bersenjata modern (senjata api, meriam).

5. Pelayaran Hongi, dapat dikatakan sebagai suatu perampasan, perampokan,

perbudakan, dan pembunuhan.

6. Hak ekstirpasi bagi rakyat merupakan ancaman matinya suatu harapan atau sumber

penghasilan yang bisa berlebih.

2.2 Pengaruh Kebijakan Kerja Paksa


Gambar di atas adalah peta jalan Anyer sampai Panarukan. Jalur tersebut memanjang

lebih dari 1.000 kilometer dari Cilegon (Banten), Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon,

Semarang, Pati, Surabaya, Probolinggo, hingga Panarukan (Jawa Timur). Saat ini, jalur

tersebut merupakan salah satu jalur transportasi utama bagi masyarakat di Pulau Jawa. Anyer-

Panarukan dibangun 200 tahun yang lalu oleh pemerintah Gubernur Jenderal Daendels yang

merupakan bagian dari Repulik Bataaf (Prancis). Mengapa jalan tersebut harus dibangun?

Bagaimana pengaruhnya bagi bangsa Indonesia?

Pada awal tahun 1795, pasukan Prancis menyerbu Belanda. Raja Willem V melarikan

diri ke Inggris. Belanda pun dikuasai Prancis, dan terbentuklah Republik Bataaf (1795-1806)

yang merupakan bagian Prancis. Kebijakan-kebijakan Republik Bataaf untuk mengatur

pemerintahan di Hindia masih juga terpengaruh Prancis. Pemerintahan yang mewakili

Republik Bataaf di Indonesia adalah Herman Williem Daendels (1808-1811) dan Jan Willem

Janssen (1811).

Kebijakan pemerintah Kerajaan Belanda yang dikendalikan oleh Prancis sangat

kentara pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808 – 1811). Kebijakan yang diambil

Daendels sangat berkaitan dengan tugas utamanya yaitu untuk mempertahankan Pulau Jawa

dari serangan pasukan Inggris.

Dalam upaya mempertahankan Pulau Jawa, Daendels melakukan hal-hal berikut.

1. Membangun ketentaraan, pendirian tangsi-tangsi/ benteng, pabrik mesiu/senjata di

Semarang dan Surabaya serta rumah sakit tentara.

2. Membuat jalan pos dari Anyer sampai Panarukan dengan panjang sekitar 1.000 km.

3. Membangun pelabuhan di Anyer dan Ujung Kulon untuk kepentingan perang.

4. Memberlakukan kerja rodi atau kerja paksa untuk membangun pangkalan tentara.

Berikut ini kebijakan-kebijakan yang diberlakukan Daendels terhadap kehidupan rakyat.

1. Semua pegawai pemerintah menerima gaji tetap dan mereka dilarang melakukan

kegiatan perdagangan.

2. Melarang penyewaan desa, kecuali untuk memproduksi gula, garam, dan sarang

burung.

3. Melaksanakan contingenten yaitu pajak dengan penyerahan hasil bumi.


4. Menetapkan verplichte leverantie, kewajiban menjual hasil bumi hanya kepada

pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan.

5. Menerapkan sistem kerja paksa (rodi) dan membangun ketentaraan dengan melatih

orangorang pribumi.

6. Membangun jalan pos dari Anyer sampai Panarukan sebagai dasar pertimbangan

pertahanan.

7. Membangun pelabuhan-pelabuhan dan membuat kapal perang berukuran kecil.

8. Melakukan penjualan tanah rakyat kepada pihak swasta (asing).

9. Mewajibkan Prianger stelsel, yaitu kewajiban rakyat Priangan untuk menanam kopi.

Pengaruh kebijakan pemerintah kerajaan yang diterapkan oleh Daendels sangat

berbekas dibanding penggantinya, Gubernur Jenderal Janssens yang lemah. Langkah-langkah

kebijakan Daendels yang memeras dan menindas rakyat menimbulkan:

1. kebencian yang mendalam baik dari kalangan penguasa daerah maupun rakyat,

2. munculnya tanah-tanah partikelir yang dikelola oleh pengusaha swasta,

3. pertentangan/perlawanan penguasa maupun rakyat,

4. kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan, serta

5. pencopotan Daendels.

Pada tahun 1810, Kaisar Napoleon menganggap bahwa tindakan Daendels sangat

otoriter. Pada tahun 1811 Daendels ia ditarik kembali ke negeri Belanda dan digantikan

oleh Gubernur Jenderal Janssens. Ternyata Janssens tidak secakap dan sekuat Daendels

dalam melaksanakan tugasnya. Ketika Inggris menyerang Pulau Jawa, ia menyerah dan harus

menandatangani perjanjian di Tuntang pada tanggal 17 September 1811. Perjanjian tersebut

dikenal dengan nama Kapitulasi Tuntang, yang berisi sebagai berikut.

a. Seluruh militer Belanda yang berada di wilayah Asia Timur harus diserahkan kepada

Inggris dan menjadi tawanan militer Inggris.

b. Hutang pemerintah Belanda tidak diakui oleh Inggris.

c. Pulau Jawa dan Madura serta semua pelabuhan Belanda di luar Jawa menjadi daerah

kekuasaan Inggris (EIC).


2.3 Pengaruh system sewa tanah

Pada masa tersebut meletus perang di Eropa antara Prancis dan Belanda. Willem V

dari negeri Belanda berhasil lolos dari serangan Prancis dan melarikan diri ke Inggris. Willem

V kemudian mengeluarkan maklumat yang memerintahkan para pejabat jajahan Belanda

menyerahkan wilayahnya kepada Inggris. Maklumat ini dimaksudkan agar jajahan Belanda

tidak jatuh ke tangan Prancis. Saat Inggris menguasai Indonesia, Gubernur Jenderal Lord

Minto membagi daerah jajahan Hindia Belanda menjadi empat gubernement, yakni Malaka,

Sumatra, Jawa, dan Maluku. Lord Minto selanjutnya menyerahkan tanggung jawab kekuasaan

atas seluruh wilayah itu kepada Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.

Salah satu kebijakan terkenal pada masa Raffles adalah sistem sewa tanah atau

landrent-system atau landelijk stelsel. Sistem tersebut memiliki ketentuan, antara lain sebagai

berikut.

1. Petani harus menyewa tanah meskipun dia adalah pemilik tanah tersebut.

2. Harga sewa tanah tergantung kepada kondisi tanah.

3. Pembayaran sewa tanah dilakukan dengan uang tunai.

4. Bagi yang tidak memiliki tanah dikenakan pajak kepala.

Pelaksanaan sistem sewa tanah tersebut dianggap memiliki banyak kelemahan

sehingga gagal diterapkan di Indonesia. Beberapa penyebab kegagalan pelaksanaan sistem

sewa tanah adalah sebagai berikut.

1. Sulit menentukan besar kecil pajak bagi pemilik tanah karena tidak semua rakyat

memiliki tanah yang sama.


2. Sulit menentukan luas dan tingkat kesuburan tanah petani.

3. Keterbatasan jumlah pegawai.

4. Masyarakat desa belum mengenal sistem uang.

Sistem sewa tanah diberlakukan terhadap daerah-daerah di Pulau Jawa, kecuali

daerah-daerah Batavia dan Parahyangan. Daerah-daerah Batavia umumnya telah menjadi

milik swasta dan daerah-daerah Parahyangan merupakan daerah wajib tanaman kopi yang

memberikan keuntungan besar kepada pemerintah.

Tindakan yang dilakukan oleh Raffles berikutnya adalah membagi wilayah Jawa

menjadi 16 daerah karesidenan. Hal ini mengandung maksud untuk mempermudah

pemerintah melakukan pengawasan terhadap daerah-daerah yang dikuasai. Setiap karesidenan

dikepalai oleh seorang residen dan dibantu oleh asisten residen.

Di samping itu Thomas Stamford Raffles juga memberi sumbangan positif bagi

Indonesia yaitu:

1. membentuk susunan baru dalam pengadilan yang didasarkan pengadilan Inggris,

2. menulis buku yang berjudul History of Java,

3. menemukan bunga Rafflesia-arnoldii, dan

4. merintis adanya Kebun Raya Bogor.

Perubahan politik yang terjadi di Eropa mengakhiri pemerintahan Raffles di Indonesia.

Pada tahun 1814, Napoleon Bonaparte akhirnya menyerah kepada Inggris. Belanda lepas dari

kendali Prancis. Hubungan antara Belanda dan Inggris sebenarnya akur, dan mereka

mengadakan pertemuan di London, Inggris. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan yang

tertuang dalam Convention of London 1814. Isinya Belanda memperoleh kembali daerah

jajahannya yang dulu direbut Inggris. Status Indonesia dikembalikan sebagaimana dulu

sebelum perang, yaitu di bawah kekuasaan Belanda.

2.4 Pengaruh System Tanam Paksa

Setelah Indonesia kembali di bawah pemerintah kolonial Belanda, pemerintahan

dipegang oleh Komisaris Jenderal. Komisaris ini terdiri dari Komisaris Jenderal Ellout, dan

Buyskes yang konservatif, serta Komisaris Jenderal van der Capellen yang beraliran liberal.
Untuk selanjutnya pemerintahanan di Indonesia dipegang oleh golongan liberal di bawah

pimpinan Komisaris Jenderal van der Capellen (1817 - 1830).

Selama memerintah, van der Capellen berusaha mengeruk keuntungan sebanyak-

banyaknya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membayar hutanghutang Belanda yang

cukup besar selama perang. Kebijakan yang diambil adalah dengan meneruskan kebijakan

Raffles yaitu menyewakan tanah-tanah terutama kepada bangsawan Eropa. Oleh kalangan

konservatif seiring dengan kesulitan ekonomi yang menimpa Belanda, kebijakan ekonomi

liberal dianggap gagal.

Kegagalan van der Capellen menyebabkan jatuhnya kaum liberal, sehingga

menyebabkan pemerintahan didominasi kaum konservatif. Gubernur Jenderal Van den Bosch,

menerapkan kebijakan politik dan ekonomi konservatif di Indonesia.

1.

Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)

Pada masa penjajahan abad XIX, tanaman tersebut merupakan komoditas utama ekspor

Indonesia. Karena itu, Belanda berusaha menaikkan ekspor tanaman perkebunan tersebut.

Apalagi ketika awal abad XX Belanda menghadapi perang di Eropa, yang menyebabkan

kerugian keuangan yang besar. Selain itu Belanda menghadapi berbagai perlawanan rakyat

Indonesia di berbagai daerah. Salah satu cara Belanda untuk menutup kerugian adalah dengan

meningkatkan ekspor. Peningkatan ekspor merupakan pilihan Belanda untuk mempercepat

penambahan pundi-pundi keuangan negara.


Pada tahun 1830, Johannes van den Bosch menerapkan sistem tanam

paksa (cultuur stelsel). Kebijakan ini diberlakukan karena Belanda menghadapi kesulitan

keuangan akibat perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) dan Perang Belgia (1830-

1831).

Ketentuan-ketentuan kebijakan tanam paksa

1. Penduduk wajib menyerahkan seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman wajib dan

berkualitas ekspor.

2. Tanah yang ditanami tanaman wajib bebas dari pajak tanah.

3. Waktu yang digunakan untuk pengerjaan tanaman wajib tidak melebihi waktu untuk

menanam padi.

4. Apabila harga tanaman wajib setelah dijual melebihi besarnya pajak tanah,

kelebihannya dikembalikan kepada penduduk.

5. Kegagalan panen tanaman wajib bukan kesalahan penduduk, melainkan menjadi

tanggung jawab pemerintah Belanda.

6. Penduduk dalam pekerjaannya dipimpin penguasa pribumi, sedangkan pegawai Eropa

menjadi pengawas, pemungut, dan pengangkut.

7. Penduduk yang tidak memiliki tanah harus melakukan kerja wajib selama seperlima

tahun (66 hari) dan mendapatkan upah.

Kalau melihat pokok-pokok cultuurstelsel jika dilaksanakan dengan semestinya

merupakan aturan yang baik. Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau

dengan kata lain terjadi penyimpangan. Dalam pelaksanaannya penuh dengan penyelewengan

sehingga semakin menambah penderitaan rakyat Indonesia. Banyak ketentuan yang dilanggar

atau diselewengkan baik oleh pegawai Belanda maupun pribumi.

Praktik-praktik penekanan dan pemaksaan terhadap rakyat tersebut antara lain

sebagai berikut.

1. Menurut ketentuan, tanah yang digunakan untuk tanaman wajib hanya 1/5 dari tanah

yang dimiliki rakyat. Namun kenyataannya, selalu lebih bahkan sampai ½ bagian dari

tanah yang dimiliki rakyat.

2. Kelebihan hasil panen tanaman wajib tidak pernah dibayarkan.

3. Waktu untuk kerja wajib melebihi dari 66 hari, dan tanpa imbalan yang memadai.
4. Tanah yang digunakan untuk tanaman wajib tetap dikenakan pajak.

Penderitaan rakyat Indonesia akibat kebijakan Tanam Paksa ini dapat dilihat dari

jumlah angka kematian rakyat Indonesia yang tinggi akibat kelaparan dan penyakit

kekurangan gizi. Pada tahun 1848-1850, karena paceklik, 9/10 penduduk Grobogan, Jawa

Tengah mati kelaparan. Dari jumlah penduduk yang semula 89.000 orang, yang dapat

bertahan hanya 9.000 orang. Penduduk Demak yang semula berjumlah 336.000 orang hanya

tersisa sebanyak 120.000 orang. Data ini belum termasuk data penduduk di daerah lain, yang

menunjukkan betapa mengerikannya masa penjajahan saat itu. Tentu saja, tingginya kematian

tersebut bukan semata-mata disebabkan sistem Tanam Paksa.

Sistem ini membuat banyak pihak bersimpati dan mengecam praktik Tanam Paksa.

Kecaman tidak hanya datang dari bangsa Indonesia, tetapi juga orang-orang Belanda. Mereka

menuntut agar Tanam Paksa dihapuskan. Kecaman dari berbagai pihak tersebut membuahkan

hasil dengan dihapusnya sistem Tanam Paksa pada tahun 1870. Orang-orang Belanda yang

menentang adanya Tanam Paksa tersebut di antaranya E.F.E. Douwes Dekker

(Multatuli) dengan menerbitkan buku yang berjudul "Max Havelar", Baron van Hoevel dan

Fransen van de Putte yang menerbitkan artikel "Suiker Contracten" (Perjanjian Gula)

Pada tahun 1870, keluar Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang mengatur

tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan yang menegaskan bahwa pihak swasta

dapat menyewa tanah, baik tanah pemerintah maupun tanah penduduk. Tanah-tanah

pemerintah dapat disewa pengusaha swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat disewa

selama 5 tahun, dan ada juga yang disewa sampai 30 tahun.

Pada tahun yang sama juga (1870) keluar Undang-undang Gula (Suiker Wet), yang

berisi larangan mengangkut tebu keluar dari Indonesia. Tebu harus diproses di Indonesia.

Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap dan diambil alih oleh pihak

swasta. Pihak swasta diberi kesempatan yang luas untuk mendirikan pabrik gula baru. Melalui

UU Gula, perusahaan-perusahaan swasta Eropa mulai berinvestasi di Hindia-Belanda di

bidang perkebunan.
2. Politik Pintu Terbuka

UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu

membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin.

Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah, bukan

untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing.

Tanah sewaan itu dimaksudkan untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa.

Sejak UU Agraria dan UU Gula dikeluarkan, pihak swasta semakin banyak memasuki tanah

jajahan di Indonesia. Mereka memainkan peranan penting dalam mengeksploitasi tanah

jajahan. Tanah jajahan di Indonesia berfungsi sebagai tempat untuk mendapatkan bahan

mentah untuk kepentingan industri di Eropa dan tempat penanaman modal asing, tempat

pemasaran barang-barang hasil industri dari Eropa, serta penyedia tenaga kerja yang murah.

Berikut ini beberapa perkebunan asing yang muncul.

1. Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.

2. Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

3. Perkebunan kina di Jawa Barat.

4. Perkebunan karet di Sumatra Timur.

5. Perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara.

6. Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatra Utara.

Politik pintu terbuka yang diharapkan dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat, justru

membuat rakyat semakin menderita. Eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian maupun

tenaga manusia semakin hebat. Rakyat semakin menderita dan sengsara. Adanya UU

Agraria memberikan pengaruh bagi kehidupan rakyat, seperti berikut.

1. Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi.

2. Rakyat menderita dan miskin.

3. Rakyat mengenal sistem upah dengan uang, juga mengenal barang-barang ekspor dan

impor.

4. Timbul pedagang perantara. Pedagang-pedagang tersebut pergi ke daerah pedalaman,

mengumpulkan hasil pertanian dan menjualnya kepada grosir.


5. Industri atau usaha pribumi mati karena pekerja-pekerjanya banyak yang pindah

bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik.

3. Politik Etis

Dampak politik pintu terbuka bagi Belanda sangat besar. Negeri Belanda mencapai

kemakmuran yang sangat pesat. Sementara rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan

menderita. Oleh karena itu, Van Deventer mengajukan politik yang diperjuangkan untuk

kesejahteraan rakyat. Politik ini dikenal dengan politik etis atau politik balas budi karena

Belanda dianggap mempunyai hutang budi kepada rakyat Indonesia yang dianggap telah

membantu meningkatkan kemakmuran negeri Belanda. Politik etis yang diusulkan van

Deventer ada tiga hal, sehingga sering disebut Trilogi van Deventer

Berikut ini Isi Trilogi van Deventer.

1. Irigasi (pengairan), yaitu diusahakan pembangunan irigasi untuk mengairi sawah-

sawah milik penduduk untuk membantu peningkatan kesejahteraan penduduk.

2. Edukasi (pendidikan), yaitu penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat pribumi

agar mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik.

3. Migrasi (perpindahan penduduk), yaitu perpindahan penduduk dari daerah yang

padat penduduknya (khususnya Pulau Jawa) ke daerah lain yang jarang penduduknya

agar lebih merata.

Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan

tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh

para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan tersebut.

1. Irigasi, Pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk

perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.

2. Edukasi, Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan

untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka

untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan

orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah

kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah

kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.


3. Migrasi, Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang

dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya

permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti

perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka

dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena

migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang

banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri,

pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan

bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian

dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Belanda datang pertama kali ke Indonesia pada tahun 1596-1811, dan yang kedua

kalinya pada tahun 1814-1904. Tujuan kedatangan Belanda ke Indonesia adalah untuk

memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Dan untuk melancarkan usahanya,

Belanda menempuh beberapa cara yaitu membentuk VOC pada tahun 1902 dan membentuk

pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Setelah masa penjajahan itu usai, Belanda

meninggalkan kebudayaan dan kebijakan-kebijakan yang sebagian masih dipakai oleh

Indonesia.

Indonesia pada masa pemerintahan Hindia-Belanda abad XIX sudah mengalami

berbagai pergantian Gubernur Jendral tetapi yang paling menyengsarakan rakyat yaitu pada

masa Gubjen, Rafles, Daendels, Van den Bosch, dan van Hogendrop. Yang menerapkan

system tanam paksa, penyerahan wajib hasil pertanian, penyewaan tanah kepada rakyat,

penyewaan desa pada pihak swasta dan pembuatan jalan dari Anyer sampai Panarukan.

Anda mungkin juga menyukai