Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PERLAWANAN BANGSA INDONESIA TERHADAP


PENJAJAHAN KOLONIAL HINDIA BELANDA

Nama Kelompok: Kelompok 3


(Laksamana Keumalahayati)
Kelas: XI-5
Mata Pelajaran: Sejarah
Guru: Desti Milawati

SMAN CAHAYA MADANI BANTEN BOARDING SCHOOL


2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan
karunia Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Perlawanan Indonesia
Terhadap Penjajahan Kolonial Hindia Belanda”. Kami berharap karya tulis sederhana ini, dapat
berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Perlawanan-
perlawanan rakyat Indonesia melawan Belanda. Meskipun karya tulis ini masih jauh dari
sempurna, semoga karya tulis sederhana ini dapat dipahami dan bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.

Kami juga berterima kasih kepada Miss Desti Milawati, S.Pd, selaku guru Sejarah sekaligus
pembimbing dalam penulisan, sehingga karya tulis sederhana ini dapat selesai dengan lancar. Dan
tidak lupa pula penulis mohon maaf atas kekurangan disa sini dari makalah yang penulis buat ini.
Mohon kritik serta sarannya. Terimakasih.

Pandeglang, 21 September 2022


KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 4

BAB I PENDAHULUAN 5

BAB II PEMBAHASAN 7

BAB III PENUTUP 21

KESIMPULAN 22

DAFTAR PUSTAKA 23
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................ ii


Daftar Isi................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
2.1 Latar Belakang Terjadinya Perlawanan ..........................................................
2.2 Sejarah dan jalannya Perlawanan terhadap Belanda
1. Perlawanan Pattimura ..................................................................................
2. Perlawanan Pangeran Diponegoro ...............................................................
3. Perlawanan Kesultanan Palembang .............................................................
4. Perlawanan Imam Bonjol .............................................................................
2.3 Berakhirnya Perlawanan ..................................................................................
2.4 Dampak dari Perlawanan di Berbagai Aspek .................................................
1. Dampak Politik ............................................................................................
2. Dampak Ekonomi ........................................................................................
3. Dampak Sosial ............................................................................................
4. Dampak Budaya ............................................................................................

BAB III PENUTUP..................................................................................................


KESIMPULAN...........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pentingnya pembahasan topik ini adalah untuk mengetahui bagaimana penderitaan bangsa
Indonesia ketika dijajah oleh bangsa-bangs Eropa, sehingga terjadi perlawanan- perlawanan di
berbagai daerah untuk mengusir para penjajah, khususnya para penjajah Belanda.

Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan meluas, bukan
hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke bidang-bidang lainnya seperti
kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang semakin besar dan meluas terhadap
kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa perlawanan dan perang
melawan penindasan dan penjajahan bangsa Eropa. Tindakan Sewenang-wenang dan penindasan
yang dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan
bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan penindasan itu, rakyat Indonesia memberikan perlawanan
yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC.

Perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia tersebut antara lain: Perlawanan Pattimura,
Perlawanan Diponegoro, Perang Padri, Perlawanan Kesultanan Palembang, Perang Aceh, Perang
Bali, Perang Banjarmasin, dll.

Proses penjajahan di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan cukup
tergambarkan dalam satu atau dua buku. Berbagai peristiwa yang pernah dialami maupun berbagai
peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi yang masih banyak menyimpan rahasia yang
mungkin belum mampu terungkap.

1.2 Rumusan Masalah

1) Apa yang menjadi faktor terjadinya perlawanan rakyat Indonesia terhadap pemerintahan
Kolonial Belanda?
2) Bagaimana Sejarah dan jalannya perlawanan Indonesia terhadap Belanda?
3) Bagaimana strategi yang dilakukan di setiap daerah untuk melawan Belanda?
4) Siapa tokoh yang paling berperan dalam perlawanan tersebut?
5) Kapan perlawanan tersebut berlangsung?
6) Apakan perlawanan yang mereka lakukan dapat berhasil mengusir para penjajah?
1.3 Tujuan Penulisan

1) Mengetahui tentang latar belakang perlawanan Indonesia terhadap penjajahan kolonial


Hindia Belanda
2) Mengetahui sejarah dan kronologi perlawanan Indonesia terhadap penjajahan kolonial
Hindia Belanda
3) Mengetahui dampak yang timbul akibat perlawanan Indonesia terhadap penjajahan
kolonial Hindia Belanda
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Terjadinya Perlawanan

Latar belakang kedatangan Belanda ke Indonesia adalah akibat meletusnya perang delapan
puluh tahun antara Belanda dan Spanyol (1568-1648). Pada awalnya, perang antara Belanda dan
Spanyol bersifat agama karena Belanda mayoritas beragama kristen protestan sedangkan orang
Spanyol beragama kristen katolik. Perang tersebut kemudian menjadi perang ekonomi dan politik.
Raja philip II dari Spanyol memerintahkan kota Lisabon tertutup bagi kapal Belanda pada tahun
1585 selain karena faktor tersebut juga karena adanya petunjuk jalan ke Indonesia dari Jan Huygen
Van Linschoten, mantan pelaut Belanda yang bekerja pada Portugis dan pernah sampai di
Indonesia.

Kedudukan Belanda di Nusantara berlangsung pada tahun 1596-1942 diawali dengan


kedatangan armada dagang Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada tahun 1596
yang berlabuh di Banten. Mulanya mencari barang dagangan atau rempah rempah akan tetapi
kemudian Belanda bukan sekedar ingin berdagang biasa, melainkan ingin menguasai dan menjajah
Nusantara. Pada tahun 1596 awal penjajahan Belanda di Nusantara dengan mendirikan
persekutuan dagang yang bernama VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) atau persekutuan
dagang India timur yang dibantu oleh pemerintahan Belanda. VOC menguasai dan
mengeksploitasi ekonomi di Indonesia dari tahun 1602 – 1799.

Proses hubungan antara kekuasaan negara dan kekuasaan Belanda pada abad ke-19
menunjukkan dua gejala yang bertolak belakang, di satu pihak tampak makin meluasnya
kekuasaan Belanda ,sedangkan di lain pihak terlihat makin merosotnya kekuasaan negara-negara
tradisional. Pengaruh hubungan dengan kekuasaan barat tersebut menyangkut berbagai segi
kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

Selama situasi kritis di daerah kerajaan ,ajakan perlawanan dari para bangsawan ataupun
ulama yang berpengaruh untuk melawan kekuasaan asing dengan cepat mendapat sambutan baik
dari kelompok rakyat karena tekanan-tekanan hidup yang mereka alami dan sikap antipati mereka
terhadap kekuasaan asing. Selain itu pengalaman pahit yang pernah dirasakan oleh rakyat di
daerah-daerah selama kontak dengan kekuasaan asing dapat memperkuat keinginan untuk
berjuang melawan kekuasaan asing.

Dalam rangka usahanya menguasai Indonesia, Belanda secara licik menjalankan politik
pecah belah, sehingga kerajaan-kerajaan yang saling bertentangan itu menjadi lemah. Kesempatan
inilah digunakan oleh Belanda untuk menjajah Indonesia. Secara umum dapat dikatakan bahwa
kondisi di daerah-daerah selama kontak dengan kekuasaan barat cukup subur untuk timbulnya
perjuangan tersebut. Dalam tiap-tiap daerah, intensitas kontak dari kekuasaan Belanda tidak
bersamaan waktu terjadinya, sehingga timbulnya perjuangan terhadap kekuasaan asing pun tidak
sama waktunya. Perjuangan-perjuangan itu dapat berupa perlawanan besar atau pemberontakan,
ataupun hanya berupa kericuhan.

Secara singkatnya perlawanan lokal terhadap Pemerintah Kolonial Belanda muncul akibat
adanya beberapa faktor, yaitu:
1. Adanya praktik monopoli perdagangan yang dilaksanakan di Nusantara yang sangat
merugikan masyarakat Nusantara.
2. Penerapan politik adu domba/ devide et impera atau politik adu domba yang sangat
merugikan rakyat Indonesia
3. Campur tangan pemerintah Belanda dalam masalah internal di kerajaan-kerajaan
Nusantara.

2.2 SEJARAH DAN JALANNYA PERLAWANAN TERHADAP BELANDA

Perlawanan Pattimura
Secara umum penyebab terjadinya perlawanan rakyat Maluku ini adalah karena adanya beberapa
faktor seperti:
1. Upah kerja yang tidak pernah dibayar
2. Keharusan membuat garam dan ikan tanpa diupah;
3. Tindakan sewenang-wenang residen terhadap rakyat Saparua
4. Pemerintah kolonial menurunkan tarif hasil bumi yang wajib diserahkan, sedangkan
pembayarannya tersendat-sendat
5. Pemerintah kolonial memberlakukan uang kertas, sedangkan rakyat Maluku telah terbiasa
dengan uang logam
6. Pemerintah kolonial menggerakkan pemuda Maluku untuk menjadi prajurit Belanda.

Perang Pattimura (1817) merupakan sebuah peristiwa sejarah yang terjadi di Maluku yang
merupakan bentuk perlawanan rakyat terhadap VOC atau serikat dagang milik Belanda. Maluku
yang merupakan surga rempah-rempah memang kerap didatangi para pedagang dari Cina, India,
Arab, hingga bangsa Eropa. Hal inilah yang membuat VOC datang dan Belanda resmi menguasai
Maluku dan membawa kesengsaraan bagi rakyat. Tak urung perlawanan rakyat Maluku terhadap
Belanda pun meletus di bawah pimpinan komando Thomas Matulessy atau dikenal dengan nama
Kapitan Pattimura, sehingga disebut dengan Perang Pattimura. Perang ini berlangsung di berbagai
tempat, dan salah satunya dikenal juga sebagai Perang Saparua. Perlawanan terhadap pemerintah
kolonial Belanda diawali dengan tindakan Kapitan Pattimura yang mengajukan daftar keluhan
kepada Residen Van Den Bosch. Dalam daftar keluhan tersebut berisi tindakan semena-mena
pemerintah kolonial yang menyengsarakan rakyat.

Perlawanan rakyat Maluku berakhir dengan menyerahkan Kapitan Pattimura dengan


teman-temannya kepada Residen Liman Pietersen. Setelah Kapitan Pattimura dan teman-
temannya diadili di Ambon, pada tanggal 16 Desember 1817 dihukum mati di depan Benteng
Nieuw Victoria. Mereka gugur sebagai pahlawan dalam membela rakyat yang tertindas.

Perlawanan Pangeran Diponegoro


Sebab umum terjadinya perang Diponegoro adalah:
1. Rakyat dibelit berbagai bentuk pajak dan pungutan.
2. Pihak Keraton Yogyakarta tidak berdaya menghadapi campur tangan politik pemerintah
kolonial.
3. Para pejabat kesultanan diperlakukan sebagai bawahan pemerintah kolonial Belanda.

Adapun sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro adalah sebagai berikut.


1. Pangeran Diponegoro tersingkir dari elite kekuasaan karena menolak berkompromi
dengan pemerintah kolonial. Pangeran Diponegoro memilih mengasingkan diri ke
Tegalrejo
2. Pemasangan patok-patok batas pembangunan jalan yang melewati tanah makam leluhur
Pangeran Diponegoro

Perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro terhadap pemerintah kolonial


Belanda menjadi salah satu catatan sejarah yang dikenal dengan sebutan Perang Diponegoro.
Sebutan Perang Diponegoro diberikan karena pemimpin perlawanan ini adalah Pangeran
Diponegoro. Disebut sebagai juga sebagai Perang Jawa karena peristiwa ini terjadi di tanah Jawa.
Perang Diponegoro atau Perang Jawa bahkan disebut sebagai salah satu bagian perubahan yang
besar di dunia pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Sejarah mencatat bahwa Perang
Diponegoro telah menewaskan ratusan ribu rakyat Jawa dan puluhan ribu serdadu Belanda. Selain
melawan Belanda, perang ini juga merupakan perang (sesama) saudara antara orang-orang keraton
yang berpihak pada Diponegoro dan yang anti Diponegoro (antek Belanda).

Perang tersebut terjadi karena Pangeran tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan
kerajaan. Selain itu, sejak tahun 1821 para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan
penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Van der Capellen
mengeluarkan dekrit pada tanggal 6 Mei 1823 yang menyatakan bahwa semua tanah yang disewa
orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun,
pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.

Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan


pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan. Kekecewaan
Pangeran Diponegoro juga semakin memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda
memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya. Beliau
kemudian bertekad melawan Belanda dan menyatakan siap perang.

Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin
pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo
sebelum perang pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian
besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro
beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo,
dan meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima
kilometer arah barat dari Kota Bantul.
Pangeran Diponegoro kemudian pindah ke Selarong, sebuah daerah berbukit-bukit yang dijadikan
markas besarnya. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang
terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran
menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaannya,
sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua
istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun.
Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang
menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat
“Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”; “sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai
mati”.

Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro juga berhasil
memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan,
meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang
juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro
juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo
Bupati Gagatan.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan
sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin
spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima
utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28
Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana,
Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota
laskarnya dilepaskan. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke
Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8
Januari 1855.

Perang Diponegoro yang terjadi selama lima tahun (1825 – 1830) telah menelan korban tewas
sebanyak 200.000 jiwa penduduk Jawa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000
tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi.
Selain melawan Belanda, perang ini juga merupakan perang (sesama) saudara antara orang-orang
keraton yang berpihak pada Diponegoro dan yang anti-Diponegoro (antek Belanda). Akhir perang
ini menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.

Setelah perang Diponegoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah
kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang
seluruh kantor belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di jawa tengah seperti
Wonogiri, karanganyar yang banyak dihuni oleh Warok.

Perlawanan Kesultanan Palembang


Penyebab terjadinya perlawanan:
1. Belanda yang memonopoli seluruh perdagangan di Palembang dan memaksa seluruh
rakyat Palembang mengakui kedaulatan Belanda di wilayah Palembang menjadikan rakyat
marah
2. Sultan Mahmud Badaruddin merasa bahwa Belanda sudah keterlaluan dalam menguasai
wilayah Palembang.
3. Keinginan Belanda untuk menguasai Palembang yang menimbulkan ancaman bagi
Kesultanan Palembang.

Perlawanan rakyat Pelambang terhadap Belanda atau yang dikenal dengan nama Perang
Muntinghe terjadi pada tanggal 12 Juni 1819. Perang tersebut melibatkan seluruh rakyat
Palembang bersama Kesultanan Palembang yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II.
Kesultanan Palembang adalah kerajaan bercorak maritim yang berkuasa di wilayah Sumatera
Selatan dengan pusat pemerintahan di kota Palembang pada awal abad ke-19. Raja pertama adalah
Ki Gedeng Suro, seorang Jawa yang mengungsi ke Palembang akibat kemelut tahta di Demak.
Kota Palembang sebagai pusat pemerintahan kesultanan, terletak agak ke pedalaman dari bibir
pantai. Namun adanya aliran sungai Musi yang membelah kota itu menjadi bagian hulu dan hilir
menyebabkan berkembangnya kebudayaan maritim sungai. Bahkan kapal-kapal besar pun bisa
memasuki aliran sungai Musi dan berlayar lebih jauh ke daerah pedalaman. Tidak heran kota ini
kemudian dijuluki sebagai "Venice from the East" oleh orang-orang Eropa. Bangsa asing pertama
yang terlibat konflik dengan kesultanan adalah Inggris, yang memegang mandat sementara atas
koloni Belanda di Nusantara sampai perang melawan Napoleon di Eropa selesai.
Sebuah peristiwa pembunuhan orang-orang Eropa di Palembang yang dikenal dengan
"Palembang Massacre" membuat Raffles geram kepada pemimpin kesultanan saat itu, Sultan
Mahmud Badaruddin II (1803-1821). Raffles kemudian memerintahkan Mayor Jenderal Robert
Gillespie untuk menggempur Palembang, namun mendapat perlawanan sengit dari Sultan
Mahmud Badaruddin II. Setelah takluk di tangan Inggris, wilayah kesultanan terbagi menjadi dua,
wilayah pedalaman menjadi kekuasaan Badaruddin II sedangkan ibukota dikuasai oleh Sultan
Ahmad Najmuddin II, sepupu Badaruddin II yang berkhianat. Keadaan mulai berubah ketika
Konvensi London 1814 diresmikan. Inti dari konvensi ini menyatakan Inggris harus menyerahkan
kembali koloni VOC yang dikuasainya kepada Kerajaan Belanda.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berkuasa di Nusantara, tetapi pemerintahan yang


masih muda itu juga mewariskan kekacauan yang terjadi di Sumatera akibat ulah Raffles yang
membagi Kesultanan Palembang. Karena itulah pada tahun 1818, kedua kesultanan dipersatukan
kembali dengan Badaruddin II sebagai sultannya. Untuk mengetahui sejauh mana kesetiaan sultan
kepada pemerintah kolonial, maka Belanda mengirimkan ekspedisi ke pedalaman di bawah
pimpinan Muntinghe pada Mei 1819. Dalam ekspedisinya itu Muntinghe diserang oleh rakyat
Palembang dan dia menyalahkan sultan atas perbuatan rakyatnya. Sebagai jaminan agar sultan
tidak berbuat macam-macam, pemerintah kolonial meminta putra mahkota (Pangeran Ratu) untuk
didatangkan ke Batavia. Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh sultan. Hal ini ditanggapi
Belanda dengan mengirimkan 200 orang tentara berikut dua kapal perangnya, Eendragt dan Ajax,
untuk menghukum Badaruddin II. Namun penyerbuan yang dilakukan oleh 200 prajurit Belanda
ke dalam Kuto Besak mengalami kegagalan akibat kokohnya pertahanan benteng yang dijaga oleh
rakyat Palembang. Karena tak bisa menembus tembok Kuto Besak (yang tebalnya 2 meter),
Muntinghe pun mundur dan kembali ke Batavia pada 15 Juni 1819. Kemenangan ini disambut
dengan sukacita oleh rakyat Palembang. Namun sultan tahu kalau Belanda akan kembali lagi
dengan kekuatan yang lebih besar. Sultan beranggapan bahwa Belanda akan kembali melalui aliran
sungai Musi karena kondisi daratan Palembang yang penuh rawa tidak cocok untuk dilalui oleh
pasukan darat. Sultan kemudian menjalankan strategi perbentengan di antara Pulau Kembaro dan
Plaju yang menjadi pintu masuk ke Kota Palembang. Sultan juga memerintahkan untuk membuat
pancang-pancang kayu yang berfungsi menahan majunya kapal-kapal Belanda dari depan,
sedangkan dari belakang armada itu nantinya akan diserang oleh rakit-rakit. Jika taktik ini berhasil
maka armada Belanda akan terjebak di sekitar Pulau Kembaro dan Plaju dan benteng-benteng yang
bermeriam akan menggempur armada yang terkurung itu. Armada Belanda datang kembali ke
Palembang pada tanggal 18 September 1819, diiringi dengan pelepasan yang sangat meriah pada
saat mereka berangkat dari Batavia. Jumlah personil yang dikerahkan berjumlah 2000 personil dan
puluhan kapal tempur yang dipimpin oleh Laksamana laut Wolterbeek. Namun usaha Belanda
yang kedua ini juga menemui kegagalan, karena semua strategi yang dipasang oleh Sultan
Mahmud Badarudin berjalan sesuai rencana. Kapal-kapal Belanda itu tidak bisa maju karena
tertahan oleh pancang-pancang kayu yang ditanam di dalam sungai. Adu tembak-menembak
meriam terjadi antara benteng-benteng di Pulau Kembaro dan Plaju dan kapal-kapal tempur
Belanda. Karena semakin terdesak, maka Wolterbeek memutuskan untuk mundur ke Bangka.

Kekalahan tersebut membuat geram petinggi-petinggi di Batavia dan akhirnya Wolterbeek


diturunkan dari jabatan panglima perang di Palembang. Kali ini Belanda mempersiapkan secara
besar-besaran keperluan perangnya di Palembang. Persiapan dilakukan selama 3 tahun, dari tahun
1819 sampai 1821. Untuk memperkuat armada tempurnya, Belanda memesan kapal-kapal
langsung dari Amsterdam. Beberapa dari kapal itu adalah kapal khusus yang digunakan untuk
mencabut pancang-pancang kayu. Selain itu, Belanda juga mendatangkan pasukan Eropa yang
merupakan veteran pada masa perang Napoleon. Untuk pemimpin armada kali ini adalah Mayor
Jenderal de Kock. Kekuatan Belanda saat itu ditaksir mencapai 10 kali lipat lebih besar dari
serangan keduanya, dengan jumlah personil sebanyak 7000 orang dan kapal tempur berjumlah 47
buah. Armada besar itu akhirnya berangkat ke Palembang pada 9 Mei 1821 dari Batavia. Di kubu
kesultanan sendiri tak ada pergolakan yang berarti. Badaruddin II akhirnya melepaskan jabatan
sultan dan mewarisinya kepada Pangeran Ratu. Meski begitu komando perang masih tetap
dipimpin oleh Badaruddin II. Benteng-benteng di Pulau Kembaro dan Plaju diperkuat kembali
dengan meriam-meriam yang dibeli oleh Badaruddin II dari seorang Eropa. Jumlah rakyat yang
siap mengangkat senjata bagi kesultanan sendiri ada sekitar 7000 sampai 8000 orang.

Armada de Kock akhirnya tiba di muara sungai Musi pada 22 Mei 1821. Hambatan-
hambatan yang ditemui oleh Wolterbeek saat serangan kedua bisa ditangani dengan baik oleh de
Kock. Pos-pos meriam tersembunyi di pesisir sungai Musi bisa diketahui dan dihancurkan karena
dia telah mendapatkan peta strategi Badaruddin II dari seorang ulama yang berkhianat. Satu-
satunya hambatan yang berarti bagi armada itu hanyalah penyakit. Banyak serdadu-serdadu Eropa
yang belum bisa beradaptasi dengan cuaca tropis dan akhirnya 100 personil tewas akibat wabah
penyakit tropis. Pada 16 Juni 1821, armada itu sampai ke mulut Pulau Kembaro dan Plaju.
Usahanya untuk melumpuhkan benteng Tambakbaya, salah satu posisi vital pasukan Palembang,
berakhir dengan kegagalan. Akibatnya de Kock terpaksa berlayar menerobos jebakan di sekitar
Pulau Kembaro dan Plaju itu. Pertempuran sengit terjadi kembali. Di saat kapal-kapal itu berupaya
menerobos pancang kayu, tembakan meriam dan rakit-rakit api memporak-porandakan formasi
armada de Kock. Banyak kapal de Kock yang kehilangan tiang layarnya dan menjadi sasaran
empuk meriam benteng pasukan Palembang. Kekacauan itu akhirnya membuat armada tersebut
kepayahan dan memutuskan untuk mundur. Jumlah korban tewas di pihak Belanda ada sekitar 101
orang, sedangkan di pihak Palembang tak diketahui. Karena tidak ingin menderita kerugian yang
lebih besar lagi, maka de Kock meminta gencatan senjata kepada Badaruddin II. Dia berjanji tidak
akan menyerang benteng-benteng Palembang pada hari Jumat. Sebagai gantinya Badaruddin II
sendiri harus berjanji untuk tidak menyerang pada hari Minggu. Hal ini dilakukan untuk
menghormati hari suci agama masing-masing. Badaruddin II sendiri mengiyakan karena dia juga
ingin memberi kesempatan beristirahat bagi pasukannya yang sedang berpuasa (saat itu sedang
bulan Ramadhan). Tapi perjanjian itu hanya bertahan beberapa hari, karena meskipun pada hari
Jumat tidak terjadi kontak senjata, secara mendadak pasukan Belanda menggempur benteng-
benteng di Pulau Kembaro dan Plaju pada saat subuh. Perang jarak dekat terjadi, senapan-senapan
Belanda melawan tombak dan sangkur pasukan Palembang. Karena diserang mendadak, maka
pertahanan di Pulau Kembaro dan Plaju jatuh. Armada de Kock pun berlayar ke pusat kota
Palembang dan bermaksud menghancurkan benteng Kuto Besak. Namun tembok setebal 2 meter
dan barisan meriam yang kokoh membuat armada yang sudah porak-poranda itu semakin frustasi.
Akhirnya de Kock mengeluarkan siasat licik lainnya. Dia menunjukkan Sultan Najamuddin IV
(kerabat Badaruddin II yang diangkat menjadi sultan secara sepihak oleh Belanda) di salah satu
kapal perangnya.

Badaruddin II kemudian memutuskan untuk menghentikan serangannya karena tidak ingin


membunuh kerabatnya sendiri hanya demi kepuasan untuk mengalahkan de Kock. Akhirnya,
benteng Kuto Besak jatuh dan Badaruddin II beserta panglima-panglima perangnya ditangkap oleh
Belanda. Maka berakhirlah pertempuran ketiga dan terakhir antara Kesultanan Palembang
melawan Pemerintah Kolonial. Gelar sultan akhirnya diserahkan pada Najamuddin IV dari
Pangeran Ratu pada 29 Juni 1821. Badaruddin II dan keluarganya pun akhirnya diasingkan oleh
Belanda ke Ternate pada 3 Juli 1821. Ternyata, Najamuddin IV tidak sanggup memerintah
kesultanan karena rakyat Palembang tidak mendukungnya. Akibatnya Belanda turun tangan dan
akhirnya menghapuskan sistem kesultanan dan menggantinya dengan keresidenan Palembang
pada tanggal 7 Oktober 1823. Dengan itu, maka berakhirlah perlawanan Kesultanan Palembang
terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pertempuran maritim yang dilakukan Pemerintah
kolonial Hindia Belanda terhadap Kesultanan Palembang merupakan yang terbesar dan termahal
bagi angkatan laut Kerajaan Belanda di Nusantara saat itu. Selain itu, setelah kesultanan jatuh tetap
saja rakyat Palembang tetap mengadakan perlawanan meskipun tidak begitu besar.

Perlawanan Imam Bonjol


Penyebab terjadinya perlawanan:
1. Konflik internal antara kaum padri dan kaum adat.
2. Pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan konflik tersebut dengan memberi bantuan
kepada kaum adat dalam menghadapi kaum padri.

Tuanku Imam Bonjol adalah pahlawan yang dikenal berjuang di Perang Padri. Perang
tersebut terjadi selama 18 tahun dan meninggalkan luka bagi orang Minang dan Mandailing atau
Batak pada umumnya. Perang ini terjadi karena keinginan di kalangan pemimpin ulama di kerajaan
Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal
Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu
'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan
meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk
meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (bid'ah).

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi
kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu di beberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung
bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang
Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan
Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubuk Jambi.

Pada tanggal 21 Februari 1821, kaum Adat kemudian bekerja sama dengan pemerintahan
Hindia Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang.
Dari hasil perjanjian tersebut Belanda mendapatkan kompensasi atas penguasaan wilayah di
pedalaman Minangkabau.

Karena hasil perjanjian tersebut, pasukan padri melawan dengan tangguh. Kesulitan
melawan pasukan Padri, Belanda melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak
pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai
dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Belanda menawarkan perdamaian melalui
Perjanjian Masang pada 1824. Sayangnya, perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan
menyerang Desa Pandai Sikek. Pada 1833, peperangan mulai berubah, yang tadinya antara Kaum
Adat dan Kaum Padri, sekarang kedua kaum ini justru bekerja sama melawan belanda. Bersatunya
Kaum Adat dan Kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama
Plakat Puncak Pato di Tabek Patah. Penyerangan serta pengepungan benteng Kaum Padri oleh
Belanda terjadi selama sekitar enam bulan, dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda.
Tuanku Imam Bonjol kemudian menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan
kesepakatan bahwa anaknya, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.a.

Semakin lama Belanda semakin kuat dalam Perang Padri hingga pada Oktober 1837,
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda. Menyerahnya Imam Bonjol diikuti dengan
kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat
sebagai pejabat kolonial Belanda. Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, kemudian
dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotta, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia
meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat
pengasingannya tersebut. Atas jasa-jasanya dalam Perang Padri, Tuanku Imam Bonjol diapresiasi
atas jasa kepahlawanannya dalam melawan penjajahan. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
2.3 BERAKHIRNYA PERLAWANAN

2.4 DAMPAK DARI PERLAWANAN DI BERBAGAI ASPEK


A. Dampak Politik
1. Membagi wilayah Hindia Belanda khususnya Jawa menjadi 9 prefektur dan 30
regentschap.
2. Tiap prefektur dipimpin oleh prefek yang merupakan orang Eropa sedangkan tiap
regentschap (kabupaten) dipimpin bupati yang berasal dari orang pribumi bangsawan.
3. Penerapan pemerintahan tidak langsung, masyarakat dipimpin oleh bupati atau
gubernur yang merupakan perwakilan pemerintah kolonial Hindia Belanda di pusat.
4. Pax Neerlandica adalah perubahan sistem pemerintahan dari administrasi tradisional
ke sistem administrasi modern. Sistem Pax Neerlandica adalah perubahan sistem
pemerintahan dari administrasi tradisional ke sistem administrasi modern. Sistem ini
diterapkan untuk menggantikan posisi penting pemerintah daerah ke tangan pemerintah
Belanda dengan cara mengangkat dan menggaji pegawai yang menduduki jabatan
struktur birokrasi. Dalam sistem tersebut jabatan tertinggi yang bisa dipegang oleh
masyarakat pribumi adalah bupati dan di bawahnya terdapat wedana dan patih.
5. Sistem pemerintahan di Indonesia sekarang merupakan warisan dari penerapan ajaran
Trias Politica yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam badan
yudikatif di struktur tersebut, pemerintahan kolonial Belanda membagi badan peradilan
menjadi tiga macam berdasarkan golongan masyarakat di Hindia-Belanda. Badan
peradilan tersebut terdiri dari :
● peradilan untuk orang Eropa
● peradilan orang Timur Asing
● Peradilan orang pribumi.
Dalam badan legislatif, pemerintah kolonial Belanda membentuk Volksraad atau Dewan
Rakyat pada tahun 1918.

B. Dampak Ekonomi
1. Bidang pertanian yang awalnya menjadi sumber ekonomi utama digantikan dengan
bidang industri perkebunan.
2. Bangkitnya kehidupan perekonomian akibat pembangunan jalan raya pos Anyer-
Panarukan. Keberadaan infrastruktur jalan didukung oleh jaringan transportasi
khususnya kereta api yang muncul dan berkembang pada masa Sistem Tanam Paksa.
3. Jaringan kereta api muncul dan berkembang di Hindia-Belanda sebagai sarana
pengantaran hasil perkebunan yang ada di Hindia Belanda serta transportasi
masyarakat. Munculnya sistem transportasi ini merupakan dampak kedatangan Bangsa
Eropa bagi Indonesia yang dapat digunakan hingga sekarang.
4. Pembangunan fasilitas publik, seperti kantor, rumah sakit, dan sistem transportasi.

C. Dampak Sosial
Pengaruh Belanda dalam bidang budaya tampak pada bahasa Indonesia yang dipengaruhi
bahasa Belanda. Banyak kata-kata dalam bahasa Belanda yang di-Indonesiakan.
Contohnya knalpot, vermaak, absurd, afdruk, fabel, garasi, giro, gratis, spoor (menjadi
sepur/kereta), tank, sigaret, tol, urine, wastafel, drama, handel, dan lain-lain.
Pengaruh lain tampak pada bidang arsitektur di Hindia Belanda pada saat itu. Banyak
rumah-rumah yang dibangun dengan konsep rumah-rumah modern khas Eropa. Di
Yogyakarta misalnya, terdapat rumah-rumah khas Belanda yang berada di Kotabaru.

D. Dampak Budaya
Penjajahan Belanda di Hindia Belanda membawa dampak pada kehidupan masyarakat
yang masih bisa dirasakan hingga kini. Dampak tersebut diantaranya adalah pembagian
status sosial berdasarkan peraturan hukum ketatanegaraan Hindia Belanda. Menurut
peraturan tersebut, penduduk Hindia Belanda digolongkan menjadi:
● Golongan Eropa dan keturunannya menempati kasta tertinggi
● Golongan Timur Asing (Cina, Arab, India, Pakistan, dan lain-lain) berada pada
lapisan menengah
● Golongan pribumi yaitu bangsa Hindia Belanda asli yang berada pada lapisan
paling bawah.
Pembagian status sosial tersebut membawa dampak pada mental orang-orang Hindia
Belanda pada saat itu, yaitu mentalitas inlander. Inlander adalah kata dalam bahasa Belanda
untuk menyebut orang-orang pribumi. Mereka tidak mempunyai hak yang sama dengan
golongan Eropa. Dari sebutan tersebutlah muncul istilah mentalitas inlander, atau mental
khas orang pribumi (Hindia Belanda) yang bahkan masih bisa terasa sampai masa kini.
Akibatnya, pribumi merasa lebih rendah dan cenderung mengagungkan Barat dan
budayanya serta orang asing yang datang ke tanah mereka. Selain itu, pemerintah kolonial
juga memberantas budaya feodal dengan tidak memberi keistimewaan kepada para
bangsawan dan raja-raja di nusantara. Penguasa pribumi perlahan ditempatkan sebagai
pegawai pemerintah kolonial, menghilangkan status kebangsawanan mereka, serta hak-hak
istimewa yang dimiliki oleh mereka diabaikan. Padahal sebelumnya masyarakat sangat
meenghormati kaum bangsawannya. Sebaliknya, masyarakat dituntut untuk mengakui
dominasi penjajah, menghormati, taat dan bahkan memberikan semua kekayaan tanahnya
untuk penjajah.
BAB III

PENUTUP

Perlawanan melawan penjajahan kolonial Hindia Belanda dilakukan di berbagai daerah di


Indonesia. Dengan tujuan untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya agar tidak tidak jatuh ke
tangan Belanda. Di Maluku terjadi perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Maluku yang dipimpin
oleh Kapitan Pattimura. Akhir dari perlawanan tersebut, Kapitan Pattimura dan teman-temannya
menyerah kepada Residen Liman Pietersen, dan kemudian mereka dihukum mati. Mereka gugur
sebagai pahlawan dalam membela rakyat yang tertindas. Kemudian, di Sumatra Barat juga terjadi
perang yang disebut Perang Padri. Perang Padri terbagi menjadi dua bagian yaitu Perang Padri I
(tahun 1821-1825) dan Perang Padri II (tahun 1830-1837). Di Pulau Jawa pun terjadi perlawanan
terhadap Belanda, yang disebut Perang Diponegoro yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Semua
itu dilakukan karena tindakan semena-mena pemerintah kolonial Belanda yang menyengsarakan
rakyat Indonesia.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Puspasari. 2022. Sejarah Perang Pattimura: Tokoh, Penyebab, Kronologi, dan Dampak.
http://regional.kompas.com/read/2022/07/20/182128678/sejarah-perang-pattimura-tokoh-
penyebab-kronologi-dan-dampak, diakses pada 7 september 2022.

Sulistiyowati, Anik. 2020. Sejarah Indonesia. Jakarta. Kementerian dan Pendidikan Direktorat
Jenderal PAUD, DIKDAS, dan DIKMEN.

Setyaningrum, Puspasari. 2022. “Sejarah Perang Diponegoro: Penyebab, Kronologi, dan


Dampak.”https://regional.kompas.com/read/2022/07/19/222043778/sejarah-perang-diponegoro-
penyebab-kronologi-dan-
dampak#:~:text=Penyebab%20Perang%20Diponegoro%20atau%20Perang,tangan%20Belanda%
20dalam%20urusan%20kerajaan, diakses pada 11 September 2022.

Pengelola Web Direktorat SMP. 2021. “Pangeran Diponegoro dalam Melawan Penjajahan di
Tanah Jawa”https://ditsmp.kemdikbud.go.id/pangeran-diponegoro-dalam-melawan-penjajahan-
di-tanah-jawa/, diakses pada 11 September 2022.

Sobirin, Nanang. 2015. “Perang Palembang, Pertempuran Sengit Pasukan Badaruddin II


Melawan Belanda.” https://daerah.sindonews.com/berita/1032699/29/perang-palembang-
pertempuran-sengit-pasukan-badaruddin-ii-melawan-belanda?showpage=all, diakses pada 11
September 2022.

Milawati, Desti. 2022. Powerpoint Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Penjajahan Bangsa
Eropa hingga Awal Abad XX

Adryamarthanino, Verelladevanka. 2021. "Tuanku Imam Bonjol: Perjuangan, Perang Padri, dan
Akhir Hidup" https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/21/210000679/tuanku-imam-bonjol-
perjuangan-perang-padri-dan-akhir-hidup?page=all, diakses pada 20 September 2022.

C.Sianturi.https://roboguru.ruangguru.com/question/apa-latar-belakang-munculnya-perlawanan-
lokal-terhadap-pemerintah-kolonial-_QU-1Z07JMQX

Anda mungkin juga menyukai