Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca.

. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan


dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Rajadesa, Februari 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar belakang...............................................................................................1
A. Rumusan Masalah.........................................................................................2
B. Tujuan...........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Jejak hidup....................................................................................................3
B. Perang Diponegoro (1825–1830)..................................................................5
C. Strategi perang sang Pangeran......................................................................5
1. Taktik Hindia Belanda...............................................................................7
2. Negosiasi dan pengkhianatan....................................................................9
D. Penghargaan sebagai Pahlawan..................................................................14
BAB III KESIMPULAN......................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pentingnya pembahasan topik ini adalah untuk mengetahui bagaimana


penderitaan bangsa Indonesia ketika di jajah oleh bangsa-bangs Eropa, sehingga
terjadi perlawanan-perlawanan di berbagai daerah untuk menusir para penjajah,
khususnya para penjajah Belanda.
Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan
meluas, bukan hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas
ke bidang-bidang lainnya seperti kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi
yang semakin besar dan meluas terhadap kehidupan bangsa Indonesia
menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa perlawanan dan perang melawan
penindasan dan penjajahan bangsa Eropa. Tindakan sewenang-wenang dan
penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan
kesengsaraan dan kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan penindasan
itu, rakyat Indonesia memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan
mula-mula ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC.
Perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua
periode, yaitu perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun
1800. Pembagian waktu tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman
mengenai sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Bangsa-Bangsa Barat
tersebut. Perlawanan sebelum tahun 1800, yaitu : Perlawanan Rakyat Mataram,
Perlawanan Rakyat Banten, Perlawanan Rakyat Makasar, Pemberontakan Untung
Surapati. Sedangkan perlawanan sesudah tahun 1800, yaitu : Perlawanan Sultan

1
Nuku(Tidore), Perlawanan Patimura, Perang Diponegoro,Perang Paderi, Perang
Aceh, Perang Bali, Perang Banjarmasin.
Proses penjajahan di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan
cukup tergambarkan dalam satu atau dua buku. Berbagai pristiwa yang pernah
dialami maupun berbagai peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi yang
masih banyak menyimpan rahasiah yang mungkin belum mampu terungkap.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal usul Pangeran Diponegoro?
2. Bagaimana kehidupan pribadi Pangeran Diponegoro?
3. Mengapa terjadi perang Diponegoro?

C. Tujuan
1. Memahami asal usul Pangeran Diponegoro.
2. Memahami bagaimana kehidupan pribadi Pangeran Diponegoro.
3. Mengetahui asal usul terjadinya perang Diponegoro.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Jejak hidup
Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dari ibu
yang merupakan seorang selir (garwa ampeyan), bernama R.A. Mangkarawati,
dari Pacitan dan ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian
hari naik tahta bergelar Hamengkubuwana III. Pangeran Diponegoro sewaktu
dilahirkan bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian diubah menjadi
Bendara Raden Mas Antawirya. Nama Islamnya adalah 'Abdul Hamid.
Setelah ayahnya naik tahta, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda
sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara.
Ketika dewasa, Pangeran Diponegoro menolak keinginan sang ayah untuk
menjadi raja. Ia sendiri beralasan bahwa posisi ibunya yang bukan sebagai istri
permaisuri, membuat dirinya merasa tidak layak untuk menduduki jabatan
tersebut.
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak
membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa. Dia juga lebih tertarik pada
masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah pemerintahan keraton dan
membaur dengan rakyat. Sang Pangeran juga lebih memilih tinggal di Tegalrejo,
berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng
Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di
keratin.
Dalam sejarah, ia pernah memendam benci terhadap kolonialisme Belanda
yang menjajah Kerajaan Nusantara, dalam hal ini terkait Kesultanan Yogyakarta.
Ketika Sultan Hamengkubowono IV atau Raden Mas Ibnu Jarot naik tahta
di usia 10 tahun, Belanda ikut campur urusan politik kerajaan peninggalan
ayahnya hingga membuat Diponegoro naik pitam.
Terkait hal ini, Sagimun dalam Pahlawan Dipanegara Berjuang (1965)
mengungkapkan alasan lengkapnya. Pangeran Diponegoro menyuarakan
perlawanan karena Belanda datang mengatur internal kerajaan dan juga
menetapkan beban pajak kepada rakyat dengan jumlah yang tidak sedikit.

3
Selain benci Belanda, ia juga diklaim tidak suka dengan bangsa Tionghoa
yang ada di Jawa. Keterampilan orang-orang Tionghoa dalam mengatur keuangan
sering memeras masyarakat Kesultanan Yogyakarta. Terungkap dalam Nusantara:
Sejarah Indonesia (2008:320) karya Bernard H.M., mereka kerap memeras dengan
aturan pajak tol yang tidak masuk akal.
Mengenai kebencian Diponegoro terhadap Tionghoa, ternyata tidak bisa
digambarkan secara benar. Faktanya, Peter Carey dalam Kuasa Ramalan:
Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2019:727)
menerangkan, tidak secara gamblang kebencian tersebut dianggap benar. Sebab,
kata dia, perlakuan Diponegoro kepada orang-orang Tionghoa juga baik. Bahkan,
seiring perjalanan Perang Diponegoro mereka menjadi mitra bisnis dan membantu
Diponegoro dengan ikut masuk menjadi tentara ketika pertempuran melawan
Belanda terjadi.
Aksi yang dijalankan Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya di
Jawa membuat Belanda kewalahan. Pada 28 Maret 1830, Belanda mengajak
Diponegoro melakukan gencatan senjata lalu mengadakan perundingan. Belanda
ternyata hanya memberi janji manis kepada Diponegoro ketika itu. Penjajah
tersebut bukan mengadakan perundingan, namun malah menangkap pangeran
yang datang tanpa membawa senjata. Saat itu, Perang Diponegoro pun dikatakan
sudah sampai pada akhir perjuangannya karena pemimpinnya berhasil ditahan di
Batavia hingga 3 Mei 1830. Berdasarkan catatan Toby Alice dalam Sulawesi:
Islan Crossroads of Indonesia (1990), Pangeran Diponegoro setelah itu diasingkan
ke Manado, lalu dipindahkan ke Makassar. Melengkapi itu, tahun 1833 di
Makassar, benteng Rotterdam, Diponegoro hidup bersama istri, dua anaknya, dan
23 pengikutnya. Pada 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro meninggal dunia.
Berdasarkan Surat Keterangan (SK) yang tertulis dalam Pahlawan Dipanegara
Berjuang (1965) karya Sagimun, usia lanjut adalah penyebab wafatnya
Diponegoro. Menurut catatan profil, pada 6 November 1973, Pangeran
Diponegoro diresmikan namanya menjadi salah satu Pahlawan Nasional
berdasarkan Keppres No.87/TK/1973.

4
B. Perang Diponegoro (1825–1830)
Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan
Hindia Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di
Desa Tegalrejo. Tindakan tersebut ditambah beberapa kelakuan Hindia Belanda
yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap
rakyat dengan pajak tinggi, membuat Pangeran Diponegoro semakin muak hingga
mencetuskan sikap perlawanan sang Pangeran.
Di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia Belanda, menurut mantan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Professor Wardiman Djojonegoro, terdapat
pembelokan sejarah penyebab perlawanan Pangeran Diponegoro karena sakit hati
terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan keraton, yang menolaknya menjadi
raja. Padahal, perlawanan yang dilakukan disebabkan sang Pangeran ingin
melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan
membebaskan Istana dari madat.
Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda
secara terbuka kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran
dari sang paman, yakni GPH Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir
dari Tegalrejo dan membuat markas di Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro
menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi
kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa
pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.
Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu,
Bagelen, Surakarta, dan beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo,
Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi,
Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan Surabaya.

C. Strategi perang sang Pangeran


Pasukan Pangeran Diponegoro dibagi menjadi beberapa batalyon yang
diberi nama berbeda-beda, seperti Turkiya, Arkiya, dan lain sebagainya. Setiap
batalyon dibekali dengan senjata api dan peluru-peluru yang dibuat di
hutan.Pangeran Diponegoro bersama para panglimanya menerapkan strategi
perang gerilya yang selalu berpindah-pindah. Markasnya di Selarong sering kali

5
kosong ketika pasukan Belanda menyerang lokasi tersebut. Sang Pangeran dan
pasukannya baru kembali ke Selarong setelah pasukan Belanda pergi
meninggalkan Selarong.
Pusat pertahanan pasukan Diponegoro kemudian dipindahkan dari Selarang
ke Daksa. Sang Pangeran juga dinobatkan menjadi kepala negara bergelar "Sultan
Abdulhamid Herucakra Amirulmukminin Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah
Jawa", dengan pusat negara berada di Plered, dengan pertahanan yang kuat.
Sistem pertahanan daerah Plered dipercayakan penanganannya kepada Kerta
Pengalasan.
Kuatnya pertahanan di Plered dibuktikan dengan gagalnya serangan besar-
besaran pasukan Hindia Belanda pada tanggal 9 Juni 1826. Setelah penyerangan
tersebut, sang Pangeran mengganti posisi Kerta Pengalasan dengan Ali Basha
Prawiradirja dan Prawirakusumah, keduanya masih berusia 16 tahun. Setelah itu,
masih di bulan dan tahun yang sama, pasukan Hindia Belanda menyerang markas
Diponegoro di Daksa, tetapi sudah dikosongkan. Ketika pasukan Hindia Belanda
kembali dari Daksa menuju Yogyakarta, pasukan Diponegoro menyergap dan
membinasakan seluruh pasukan dan menghilang dari Daksa.
Pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro menyerang pasukan Hindia
Belanda di Gawok dan mendapat kemenangan. Namun, sang Pangeran terluka dan
terpaksa harus ditandu ke lereng Gunung Merapi. Pada 17 November 1826, sang
Pangeran bertolak ke Pengasih (sebelah barat Yogyakarta) untuk menyerang
pasukan Hindia Belanda. Di lokasi ini, sang Pangeran mendirikan keraton di
Sambirata sebagai pusat negara baru. Pasukan Belanda sempat menyerang
Sambirata, tetapi Diponegoro berhasil meloloskan diri. Perang sempat berhenti
akibat gencatan senjata pada 10 Oktober 1827, namun perundingan tidak
menemui kesepakatan apa pun.[7]
Berkat dukungan dan simpatik rakyat, pasukan Pangeran Diponegoro dapat
dengan mudah memindah-mindahkan markasnya dan mendapat pasokan logistik.
Selain itu, pasukan Diponegoro dikenal sangat cepat dan lincah berkat semangat
perang Sabilillah. Akibatnya, Hindia Belanda banyak mengirimkan jenderal,
kolonel dan mayor ke Pulau Jawa, seperti Jenderal De Kock, Jenderal Van Geen,
Jenderal Holsman, dan Jenderal Bisschof.[12]

6
Para senopati menggunakan strategi dengan menjadikan kondisi alam
sebagai "senjata" dan tameng yang tak terkalahkan. Hal ini dilakukan dengan
melakukan serangan-serangan besar-besaran pada saat bulan-bulan penghujan.
Hujan tropis yang deras tersebut sering kali membuat gerak dari pasukan Hindia
Belanda terhambat, sehingga para gubernur Hindia Belanda akan melakukan
berbagai usaha untuk melakukan gencatan senjata dan berunding. Ancaman
lainnya datang dari penyakit malaria, disentri, dan sebagainya, yang menjadi
“musuh yang tak tampak” bagi pasukan Hindia Belanda sehingga sering kali
melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan. Ketika
gencatan senjata terjadi, Belanda lantas memanfaatkan situasi dengan
mengkonsolidasikan pasukannya dan menyebarkan mata-mata serta provokator di
desa-desa dan kota kemudian menghasut, memecah belah dan bahkan menekan
anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang
di bawah komando pangeran Diponegoro. Namun, pejuang pribumi tersebut tidak
gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
1. Taktik Hindia Belanda
Bagi Hindia Belanda, Perang Diponegoro adalah perang terbuka
dengan mengerahkan berbagai jenis pasukan mulai dari pasukan infanteri,
kavaleri, dan artileri, yang sejak Perang Napoleon selalu menjadi senjata
andalan dalam pertempuran frontal. Front pertempuran terjadi di berbagai
desa dan kota di seluruh Jawa dan berlangsung sanngat sengit. Penguasaan
suatu wilayah selalu silih berganti. Jika ada suatu wilayah dikuasai
pasukan Hindia Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu
sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi, demikian pula sebaliknya.
Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk
menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-
hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus
sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja
keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk
menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak
tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama,

7
karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui
penguasaan informasi.
Pada puncak peperangan tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih
dari 23.000 orang serdadu, suatu hal yang belum pernah ada suatu wilayah
yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur, tetapi
dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang
pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah
perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun
metode perang gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan melalui
taktik hit and run dan pengadangan. Ini bukan sebuah perang suku,
melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang
saat itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan
taktik perang urat saraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan
serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung
dalam pertempuran, dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua
pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan
kelemahan lawannya.
Berbagai cara licik juga terus dilakukan Hindia Belanda untuk
menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan dengan
mengeluarkan maklumat pada 21 September 1829 bahwa siapapun yang
dapat menangap Pangeran Diponegoro baik hidup atau mati, akan diberi
hadiah sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan.
Perubahan strategi Hindia Belanda terjadi ketika Gubernur Jenderal
De Kock diangkat menjadi panglima seluruh Hindia Belanda tahun 1827.
Untuk membatasi ruang gerak dan strategi gerilya Pangeran Diponegoro,
De Kock menggunakan strategi perbentengan (Benteng Stelsel). Benteng-
benteng dengan kawat berduri didirikan begitu pasukan Hindia Belanda
berhasil merebut daerah kekuasaan pasukan Diponegoro. Tujuannya agar
pasukan Diponegoro tidak dapat kembali dan mempersempit ruang
geraknya. Jarak antar bentang berdekatan dan dihubungkan dengan
pasukan gerak cepat.

8
Perlawanan Pangeran Diponegoro semakin melemah sejak akhir
tahun 1828, setelah Kiai Madja, pemimpin spiritual pemberontakan,
ditangkap pada 12 Oktober 1828, menyusul kemudian Sentot
Prawirodirdjo dan pasukannya pada 16 Oktober 1828, karena kesulitan
biaya, dan tertangkapnya istri sang Pangeran yakni R.A Ratnaningsih dan
putranya pada 14 Oktober 1829.[7]
2. Negosiasi dan pengkhianatan
Pada 16 Februari 1830, Diponegoro setuju untuk bertemu dengan
utusan Jenderal De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist Clereens dan
mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badaruddin agar Clereens bisa
datang ke Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten
Purworejo), di hulu sungai Cingcingguling. Pertemuan pada 20 Februari
1830 tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, meski berjalan lancar dan
akrab. Akhirnya, Diponegoro ingin bertemu langsung dengan De Kock
yang ketika itu berada di Batavia dan bermaksud menunggunya di Bagelen
Barat. Namun, Clereens menyarankan agar Diponegoro menunggu De
Kock di Menoreh dan sang Pangeran tiba pada 21 Februari 1830 dan dielu-
elukan oleh 700 pengikutnya.[3]
Ketika itu, bulan Ramadhan berlangsung mulai 25 Februari hingga
27 Maret 1830 dan Pangeran Diponegoro menegaskan kepada De Kock
bahwa selama pertemuan di bulan puasa tidak akan ada diskusi yang serius
dan hanya ramah tamah biasa hingga bulan Ramadhan berakhir. De Kock
menyetujuinya. Selama tinggal di Magelang, seluruh pasukan dan pengikut
Pangeran Diponegoro ditandai dengan sorban dan jubah hitam yang
diberikan oleh Clereens.[3]
Sikap manis ditunjukkan De Kock kepada Pangeran Diponegoro
dengan memberikan hadiah seekor kuda berwarna abu-abu dan uang f
10.000 yang dicicil dua kali untuk membiayai para pengikutnya selama
bulan puasa. Bahkan, De Kock mengizinkan istri sang Pangeran, ibunya,
kedua putra dan putrinya yang masih kecil, yakni Raden Mas Joned dan
Raden Mas Raib, putra tertuanya bersama panglima Diponegoro di Kedu
Utara, Basah Imam Musbah, hadir dan bergabung di Magelang.[3]

9
Dalam pikiran De Kock, kedatangan Diponegoro dan pengikutnya
secara sukarela menunjukkan Pangeran Diponegoro telah kalah secara de
facto. Sementara itu, selama bulan puasa, De Kock bertemu dengan sang
Pangeran sebanyak tiga kali, yakni sebanyak dua kali saat jalan subuh di
taman karesidenan dan satu kali ketika De Kock datang sendiri ke
pesanggarahan sang Pangeran. Namun, mata-mata yang ditanamkan
Residen Valck di kesatuan Diponegoro, Tumenggung Mangunkusumo,
melaporkan bahwa sang Pangeran tetap bersikeras mendapatkan
pengakuan Hindia Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan ataupun
sebagai Ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya (Raja
dan pengatur agama di seluruh tanah Jawa atau kepala agama Islam).
Setelah itu, pada 25 Maret 1830, De Kock memberi perintah rahasia
kepada dua komandannya, yakni Letnan Kolonel Louis du Perron dan
Mayor A.V Michels, mempersiapkan perlengkapan militer untuk
mengamankan penangkapan sang Pangeran.[3]
Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, bertepatan dengan Hari Idul
Fitri, Jenderal De Kock bertemu dengan Pangeran Diponegoro. Jenderal
De Kock didampingi Residen Kedu Valck, Letkol Roest (perwira De
Kock), Mayor F.V.H.A de Stuers, dan penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J
Roefs. Pangeran Diponegoro didampingi ketiga putranya, penasihat
agama, dua punakawan, dan panglima Basah Mertanegara. De Kock
memulai pertemuan dengan meminta agar Pangeran Diponegoro tidak
usah kembali ke Metesih. Sang Pangeran merasa heran dan
mempertanyakan kembali kepada De Kock kenapa tidak diizinkan
kembali, padahal dia hanya bersilahturahmi menjelang akhir bulan puasa.
De Kock langsung bicara akan menahan Diponegoro dan suasana pun
langsung berubah tegang.[21]
Diponegoro langsung meresponsnya dengan menanyakan ada
masalah apa sehingga dirinya harus ditahan. Dia merasa tidak bersalah dan
tidak menaruh benci kepada siapapun. Mertanegara menyela perbicaraan
dan meminta agar masalah politik bisa diselesaikan lain waktu. De Kock
langsung memotong perbicaraan dan menegaskan dengan nada tinggi,

10
dengan mengatakan terserah Pangeran setuju atau tidak, dia akan
menuntaskan masalah politik hari itu juga. Diponegoro langsung berbicara
dan menuding Jenderal De Kock sangat dan hatinya busuk karena
keputusannya terburu-buru dan tidak pernah dibicarakan sebelumnya
selama bulan puasa. Sang Pangeran langsung berbicara bahwa dia tidak
memiliki keinginan lain, kecuali pemerintah Hindia Belanda mengakuinya
sebagai kepada agama Islam di Jawa dan gelar sultan yang disandangnya.
[21]
Jenderal De Kock kemudian memerintahkan Letkol Roest agar Du
Perron menyiapkan pasukan. Diponegoro kemudian berbicara dengan
situasi seperti itu dan karena sifat jahatmu, dirinya tidak takut mati. Dia
tidak takut dibunuh dan tidak bermaksud menghindarinya. De Kock
terhenyak mendengar sikap keras Pangeran Diponegoro dan dengan suara
lirih berbicara bahwa dirinya tidak akan membunuh sang Pangeran, tetapi
juga tidak akan memenuhi keinginan sang Pangeran. Sempat terbersit
dalam benak Diponegoro untuk menghujam keris ke tubuh De Kock,
namun niatannya diurungkan karena akan merendahkan martabatnya.
Setelah meminum teh dan menghampiri pengikutnya, sang Pangeran
beranjak keluar dan Pangeran Diponegoro pun berhasil ditangkap.[21]
Sang Pangeran bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa
anggota laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran
Diponegoro diasingkan ke Gedung Karesidenan Semarang, di Ungaran,
lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan menggunakan kapal
Pollux. Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan
ditawan di Stadhuis (Gedung Museum Fatahillah). Selanjutnya pada 30
April 1830, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado bersama istri
keenamnya bersama Tumenggung Dipasena dan istrinya serta para
pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai
Sotaruna. Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di
Benteng Amsterdam. Tahun 1834, Diponegro dipindahkan
ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari
1855.

11
Lukisan "Penangkapan Diponegoro"

Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Letnan Jenderal Hendrik


Merkus de Kock tanggal 28 Maret 1830, karya Raden Saleh.
Peristiwa pada tanggal 28 Maret 1830 ditafsirkan berbeda antara
pelukis Indonesia yang tinggal di Eropa, Raden Saleh Syarif Bustaman,
dengan Nicolaas Pieneman (1809-1860). Raden Saleh menggambarkan
peristiwa tanggal 28 Maret 1830 sebagai "Penangkapan Diponegoro",
sedangkan Pienaman melukisnya sebagai "Penyerahan Diponegoro".[22]
Lukisan "Penangkapan Diponegoro" dibuat oleh Raden Saleh ketika
berada di Eropa pada tahun 1856, dari sketsa terlebih dahulu dan lukisan
cat minyaknya baru selesai setahun kemudian. Pada 12 Maret 1857, Raden
Saleh menunjukkan lukisannya tersebut kepada temannya di Jerman,
bernama Duke Ernst II, dengan judul "Ein historisches Tableau, die
Gefangennahme des javanischen Hauptings Diepo Negoro" (lukisan
bersejarah tentang penangkapan seorang pemimpin Jawa Diponegoro).
Raden Saleh kemudian memberikan lukisannya sebagai hadiah kepada
Raja Belanda, Willem III.[22]
Raden Saleh melukis peristiwa tersebut dari sisi kiri gedung,
sehingga Bendera Belanda yang dilukiskan oleh Pieneman tidak terlihat.
Selain itu, Raden Saleh menggambarkan sosok Pangeran Diponegoro
ketika ditangkap menggunakan sorban hijau berdiri dengan kepala tegak
mendongak, tegas, menahan amarah,[22] menunjukkan perlawanan,

12
[23] dan tegar, meskipun para pengikutnya terlihat sedih dan dukacita
yang mendalam.[24]
Lukisan "Penyerahan Diponegoro"
Lukisan karya Nicolaas Pieneman menunjukkan ilustrasi gedung di
sisi kanan dengan Bendera Belanda terlihat jelas. Sosok Pangeran
Diponegoro dalam lukisannya terlihat lesu dan pasrah,[22] meskipun
tergambarkan tidak menunduk. Sementara itu, sosok Jenderal De Kock
dilukiskan lebih tinggi, tegas, garang, dan berwibawa.[24] Sosok sang
Pangeran dalam lukisan juga digambarkan terkesan mengikuti perintah De
Kock, dengan latar belakang tangisan para pengikutnya.[23] Selain itu,
posisi anak tangga tempat berdiri sang Pangeran berada di bawah De Kock
yang menyiratkan posisi perbedaan derajat di antara mereka dan posisi
tawanan dan penguasa.

Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal


Hendrik Merkus de Kock tanggal 28 Maret 1830 yang mengakhiri
Perang Diponegoro (1825-1830), karya Nicolaas Pieneman.
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra
Pangeran Diponegoro, yakni Ki Sodewa atau Bagus Singlon,
Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned, yang terus-menerus
melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra

13
Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sedangkan Pangeran Joned
terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewa.
Selama perang, kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000
tentara, terdiri atas 8.000 tentara Belanda dan 7.000 tentara pribumi serta
kerugian materi sebesar 25 juta gulden.[5] Berakhirnya Perang Jawa yang
merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak
memakan korban di ' pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu
berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.
Dampaknya, setelah perang, jumlah penduduk Ngayogyakarta menyusut
separuhnya.
Mengingat bagi sebagian kalangan dalam Kraton Ngayogyakarta,
Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak
cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri
Sultan Hamengkubuwana IX memberi amnesti bagi keturunan
Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang
dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas
masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa
takut akan diusir.
D. Penghargaan sebagai Pahlawan

Mata uang kertas Rp100,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan


tahun 1952 setelah kemerdekaan.
Atas penghormatan terhadap jasa-jasa Diponegoro melawan penjajahan
Hindia Belanda, kota-kota besar di Indonesia banyak yang memiliki nama Jalan
Pangeran Diponegoro, seperti di Kota Semarang terdapat nama Jalan Pangeran
Diponegoro, Stadion Diponegoro, Universitas Diponegoro (Undip), dan Kodam
IV/Diponegoro. Selain itu, ada beberapa patung yang dibuat sebagai penghargaan,

14
seperti Patung Diponegoro di Undip Pleburan, Patung Diponegoro di Kodam
IV/Diponegoro dan di pintu masuk Undip Tembalang.
Mata uang kertas Rp1.000,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan
tahun 1975 setelah kemerdekaan.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, pemerintah pernah
menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran
Diponegoro pada tanggal 8 Januari 1955, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan
Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui
Keppres No 87/TK/1973.
Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21
Juni 2013, UNESCO menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan
Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang
dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi
Utara, pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran
Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Antawirya.[35][36]
Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan
kemerdekaan, didirikanlah Museum Monumen Pangeran Diponegoro atau yang
lebih dikenal dengan sebutan "Sasana Wiratama" di Tegalrejo, Yogyakarta, yang
menempati bekas kediaman Pangeran Diponegoro.

15
BAB III
KESIMPULAN

Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dari ibu


yang merupakan seorang selir (garwa ampeyan), bernama R.A. Mangkarawati,
dari Pacitan dan ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian
hari naik tahta bergelar Hamengkubuwana III. 
Dalam kehidupan sehari-harinya, Pangeran Diponegoro adalah pribadi yang
menyukai sirih dan rokok sigaret Jawa yang dilinting khusus dengan tangan,
mengoleksi emas, berkebun. Bahkan, di tempat persemediannya di Selarejo dan
Selarong, kebun yang dimilikinya ditanamin bunga, sayur-sayuran, buah-buahan,
ikan, kura-kura, burung tekukur, buaya hingga harimau. Pangeran Diponegoro
juga menyukai roti bakar, kentang Belanda yang dimakan dengan campuran
sambal dan keripik singkong.
Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan
Hindia Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di
Desa Tegalrejo. Tindakan tersebut ditambah beberapa kelakuan Hindia Belanda
yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap
rakyat dengan pajak tinggi, membuat Pangeran Diponegoro semakin muak hingga
mencetuskan sikap perlawanan sang Pangeran.
Mata uang kertas Rp100,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan
tahun 1952 setelah kemerdekaan.
Atas penghormatan terhadap jasa-jasa Diponegoro melawan penjajahan Hindia
Belanda, kota-kota besar di Indonesia banyak yang memiliki nama Jalan Pangeran
Diponegoro, seperti di Kota Semarang terdapat nama Jalan Pangeran
Diponegoro, Stadion Diponegoro, Universitas Diponegoro (Undip), dan Kodam
IV/Diponegoro.T

16
DAFTAR PUSTAKA

Prinada, Y. (2021, Maret 14). Biografi Pangeran Diponegoro: Jejak Hidup


hingga Akhir Hayatnya. Retrieved Februari 01, 2022, from trito.id:
https://tirto.id/biografi-pangeran-diponegoro-jejak-hidup-hingga-akhir-
hayatnya-ga9h
Sultan187. (2022, 01 18). Diponegoro. Retrieved 01 28, 2022, from
id.wikipedia.org: https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro

17

Anda mungkin juga menyukai