Anda di halaman 1dari 15

Makalah

Sejarah Indonesia

Perlawanan Terhadap Kolonialisme Belanda

Disusun Oleh :
M. Dananta Anggra H
Suci Ramadhani
Wahid Nur Salim

SMK Negeri 1 Batam


Jalan Prof. Dr. Hamka No.1, Kibing, Batu Aji, Kota Batam,
Kepulauan Riau
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan limpahan rahmatNya-lah maka kami bisa menyelesaikan makalah dengan tepat
waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah tentang Perlawanan Terhadap
Kolonialisme Belanda, yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita
untuk mempelajari berbagai sejarah tentang cikal bakal Bangsa Indonesia dan bisa
mengetahui perjuangan dari rakyat-nya itu sendiri.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Dengan ini, kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih
dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat untuk
semua pihak. Amin.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Pembahasan......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................. 1
2.1 Perang Thomas Matulessy / Pattimura.. 1
2.1.1 Latar Belakang Terjadinya Perlawanan................................................................ 1
2.1.2 Tokoh / Pemimpin Perang..................................................................................... 2
2.1.3 Proses Perlawanan................................................................................................. 2
2.1.4 Akhir Perlawanan.................................................................................................. 3
2.2 Perang Padri.... 3
2.2.1 Latar Belakang Terjadinya Perlawanan.............................................................. 3
2.2.2 Tokoh / Pemimpin Perang.................................................................................... 4
2.2.3 Proses Perlawanan................................................................................................ 4
2.2.4 Akhir Perlawanan................................................................................................. 5
2.3 Perang Diponegoro.. 5
2.3.1 Latar Belakang Terjadinya Perlawanan.............................................................. 5
2.3.2 Tokoh / Pemimpin Perang................................................................................... 6
2.3.3 Proses Perlawanan............................................................................................... 7
2.3.4 Akhir Perlawanan................................................................................................ 8
BAB III PENUTUP...................................................................................................... 9
2.3 Kesimpulan .... 9
2.3 Saran .. 9
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pentingnya pembahasan topik ini adalah untuk mengetahui bagaimana penderitaan
bangsa Indonesia ketika di jajah oleh bangsa-bangs Eropa, sehingga terjadi perlawanan-
perlawanan di berbagai daerah untuk menusir para penjajah, khususnya para penjajah
Belanda.
Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan meluas, bukan
hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke bidang-bidang lainnya
seperti kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang semakin besar dan meluas
terhadap kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa perlawanan
dan perang melawan penindasan dan penjajahan bangsa Eropa. Tindakan sewenang-wenang
dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan
kesengsaraan dan kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan penindasan itu, rakyat
Indonesia memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan
kepada kekuasaan Portugis dan VOC.
Perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua periode,
yaitu perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun 1800. Pembagian waktu
tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman mengenai sejarah perlawanan bangsa
Indonesia terhadap Bangsa-Bangsa Barat tersebut. Perlawanan sebelum tahun 1800, yaitu :
Perlawanan Rakyat Mataram, Perlawanan Rakyat Banten, Perlawanan Rakyat Makasar,
Pemberontakan Untung Surapati. Sedangkan perlawanan sesudah tahun 1800, yaitu :
Perlawanan Sultan Nuku(Tidore), Perlawanan Patimura, Perang Diponegoro,Perang Paderi,
Perang Aceh, Perang Bali, Perang Banjarmasin.
Proses penjajahan di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan cukup
tergambarkan dalam satu atau dua buku. Berbagai pristiwa yang pernah dialami maupun
berbagai peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi yang masih banyak menyimpan
rahasiah yang mungkin belum mampu terungkap.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang melatar belakangi dalam prlawanan tersebut ?
2. Bagaimana strategi yang dilakukan di setiap daerah untuk melawan Belanda?
3. Siapa tokoh yang paling berperan dalam perlawanan tersebut?
4. Bagaimana proses dalam perlawanan tersebut ?
5. Bagaimana akhir dari perlawanan tersebut ?

1.3 Tujuan Pembahasan


Supaya kita dapat mengetahui susah payahnya para pejuang yang peduli akan keadaan
Bangsa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perang Thomas Matulessy / Pattimura


2.1.1 Latar Belakang Terjadinya Perlawanan
Tidakan sewenang-wenang yang dilakukan VOC di Maluku kembali dilanjutkan oleh
pemerintah Kolonial Hindia Belanda setelah berkuasa kembali pada tahun 1816 dengan
berakhirnya pemerintah Inggris di Indonesia tahun 1811-1816.
Berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda di bawah ini
menyebabkan timbulnya perlawanan rakyat Maluku
Penduduk wajib kerja paksa untuk kepentingan Belanda misalnya di perkebunan-perkebunan
dan membuat garam.
Penyerahan wajib berupa ikan asin, dendeng dan kopi.
Banyak guru dan pegawai pemerintah diberhentikan dan sekolah hanya dibuka di kota-kota
besar saja.
Jumlah pendeta dikurangi sehingga kegaitan menjalankan ibadah menjadi terhalang.
Secara khusus yang menyebabkan kemarahan rakyat adalah penolakan Residen Van den Berg
terhadap tuntutan rakyat untuk membayar harga perahu yang dipisah sesuai dengan harga
sebenarnya.
Tahun 1817 rakyat Saparua mengadakan pertemuan dan menyepakati untuk memilih
Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura) untuk memimpin perlawanan. Keesokan harinya
mereka berhasil merebut benteng Duurstede di Saparua sehingga residen Van den Berg tewas.
Selain Pattimura tokoh lainnya adalah Paulus Tiahahu dan puterinya Christina Martha
Tiahahu. Anthoni Reoak, Phillip Lattumahina, Said
Perintah dan lain-lain. Perlawanan juga berkobar di pulau-pulau lain yaitu Hitu, Nusalaut
dan Haruku penduduk berusaha merebut benteng Zeeeland.
Untuk merebut kembali benteng Duurstede, pasukan Belanda didatangkan dari Ambon
dibawah pimpinan Mayor Beetjes namun pendaratannya digagalkan oleh penduduk dan
mayor Beetjes tewas. Pada bulan Nopember 1817 Belanda mengerahkan tentara besar-
besaran dan melakukan sergapan pada malam hari Pattimura dan kawan-kawannya
tertangkap. Mereka menjalani hukuman gantung pada bulan Desember 1817 di Ambon.
Paulus Tiahahu tertangkap dan menjalani hukuman gantung di Nusalaut. Christina Martha
Tiahahu dibuang ke pulau Jawa. Selama perjalanan ia tutup mulut dan mogok makan yang
menyebabkan sakit dan meninggal dunia dalam pelayaran pada awal Januari tahun 1818.
Latar belakang timbulnya perlawanan Pattimura, di samping adanya tekanan-tekanan
yang berat di bidang ekonomi sejak kekuasaan VOC juga dikarenakan hal sebagai berikut.
a) Sebab ekonomis, yakni adanya tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang memperberat
kehidupan rakyat, seperti sistem penyerahan secara paksa, kewajiban kerja blandong,
penyerahan atap dan gaba-gaba, penyerahan ikan asin, dendeng dan kopi. Selain itu,
beredarnya uang kertas yang menyebabkan rakyat Maluku tidak dapat menggunakannya
untuk keperluan sehari-hari karena belum terbiasa.
b) Sebab psikologis, yaitu adanya pemecatan guru-guru sekolah akibat pengurangan sekolah
dan gereja, serta pengiriman orang-orang Maluku untuk dinas militer ke Batavia. Hal-hal
tersebut di atas merupakan tindakan penindasan pemerintah Belanda terhadap rakyat
Maluku.

2.1.2 Tokoh / Pemimpin Perang


Bangsa Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang berhasil menguasai Maluku pada
tahun 1512, kemudian disusul oleh bangsa Spanyol. Lalu disusul bangsa Inggris menguasai
Maluku pada tahun 1811. Berdasarkan Convention of London (1814), daerah Maluku
diserahkan oleh Inggris kepada Belanda. Belanda kemudian menerapkan praktek monopoli
perdagangan di Maluku, dan melakukan tindakan-tindakan lain yang sangat merugikan rakyat
Maluku. Diantaranya diadakan "pelayaran hongi" dan "ekstirpasi" yaitu aksi penebangan
pohon pala dan cengkeh yang melanggar aturan monopoli.
Akibat penderitaan yang dialami rakyat Maluku, maka timbullah reaksi dan perlawanan
rakyat Maluku pada tahun 1817 dibawah pimpinan Thomas Matulessy atau lebih dikenal
dengan nama Kapitan Pattimura, seorang bekas sersan mayor pada dinas angkatan perang
Inggris. Pattimura dibantu oleh beberapa pejuang lainnya antara lain, Anthony Rhebok,
Thomas Pattiwael dan seorang pejuang putri Christina Martha Tiahahu.

2.1.3 Proses Perlawanan


Serangan pertama terhadap Belanda dilancarkan pada malam hari tanggal 18 Mei
1817.Serangan ini berhasil dengan dibakarnya perahu-perahu pos di Porto (pelabuhan).
Keesokan harinya mereka menyerang Benteng Duurstede dan berhasil merebutnya. Pada saat
itu Residen Van Den Berg beserta keluarga dan pengawalnya yang ada di benteng berhasil
dibunuh.
Untuk membalas dan merebut kembali benteng Duurstede, Belanda mendatangkan bala
bantuan dari Ambon ke Haruku pada tanggal 19 Mei 1817. Bantuan itu berkekuatan 200
orang prajurit dan dipimpin oleh seorang mayor. Mereka memusatkan kekuatan di benteng
Zeelandia.
Raja-raja di Maluku mengerahkan rakyatnya untuk menyerang benteng Zeelandia.
Belanda menerobos kepungan rakyat dan melanjutkan perjalanan ke Saparua. Terjadi
pertempuran sengit di Saparua. Banyak jatuh korban dipihak tentara Belanda. Dengan
demikian berhasillah pasukan Pattimura mempertahankan benteng Duurstede.
Kemenangan yang gemilang ini menambah semangat juang rakyat Maluku, sehingga
perlawanan meluas ke daerah lain seperti Seram, Hitu dan lain-lain. Perlawanan rakyat di
Hitu, ditangani oleh Ulupaha (80 tahun). Karena pengkhianatan terhadap bangsa sendiri,
akhirnya Ulupaha terdesak dan tertangkap oleh Belanda.
Pada bulan Juli 1817, Belanda mendatangkan bala bantuan berupa kapal perang yang
dilengkapi dengan meriam-meriam. Benteng Duurstede yang dikuasai oleh Pattimura
dihujani meriam-meriam yang ditembakkan dari laut. Akhirnya benteng Duurstede berhasil
direbut kembali oleh Belanda. Pasukan Pattimura melanjutkan perjuangan dengan siasat
perang gerilya.
Pada bulan Oktober 1817, Belanda mengerahkan pasukan besar-besaran untuk
menghadapi Pattimura. Sedikit demi sedikit pasukan Pattimura terdesak. Akhirnya pada bulan
November 1817, Belanda berhasil menangkap Pattimura, Anthonie Rhebok dan Thomas
Pattiwael.
Pada tanggal 16 Desember 1817, Kapitan Pattimura dan teman-teman menjalani
hukuman gantung di depan benteng Neuw Victoria di Ambon. Sementara Kapitan Paulus
Tiahahu ditembak mati dan putrinya Christina Martha Tiahahu diasingkan ke Pulau Jawa
pada tanggal 2 Januari 1818 dan meninggal diatas kapal perang Eversten. Christina
meninggal diusia 17 tahun. Jenazahnya diluncurkan di Laut Banda.
Atas jasa-jasanya, Pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Kapitan
Pattimura an Christina Martha Tiahahu.

2.1.4 Akhir Perlawanan


Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda. Bersama
beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk agar bersedia
bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya.
Akhirnya dia diadili di Pengadilan kolonial Belanda dan hukuman gantung pun dijatuhkan
kepadanya. Walaupun begitu, Belanda masih berharap Pattimura masih mau berobah sikap dengan
bersedia bekerjasama dengan Belanda. Satu hari sebelum eksekusi hukuman gantung dilaksanakan,
Pattimura masih terus dibujuk. Tapi Pattimura menunjukkan kesejatian perjuangannya dengan tetap
menolak bujukan itu. Di depan benteng Victoria, Ambon pada tanggal 16 Mei 1817, eksekusi pun
dilakukan.
Memang benar bahwa perlu sebuah kepastian tentang asal usul Pattimura dan untuk hal ini perlu
adanya tindakan pelurusan sejarah yang didukung dengan penelitian sumber-sumber yang otentik dan
faktual. Penuturan sejarah heroik Kapitan Pattimura adalah penuturan secara lisan yang di sampaikan
secara turun temurun bagi anak cucu. gambaran wajah sang Pattimura itu pun hanya hasil imajinasi pelukis
sesuai karakteristik dan tipe wajah orang Maluku atau mungkin ada yang bisa memberikan bukti foto dari
Thomas Matulessy atau Ahmad Lussy itu sendiri.
Sebagai Anak Pribumi Maluku penulis hanya ingin memaparkan 2 versi asal usul Pattimura ini
berdasarkan hasil penelusuran penulis terhadap sejarah Pattimura yang penulis temukan dari beberapa Blog
yang beberapa diantaranya bukanlah blog yang bersifat independen melainkan bertendensi pada
pencintraan suatu golongan Agama.
Pattimura adalah milik Maluku tidak hanya menjadi milik orang Hualoy (seram) atau Orang Haria
(Saparua). Perjuangan Pattimura adalah untuk membebaskan Tanah Maluku Negeri raja-raja dari tangan
penjajah dan perjuangan itu tanpa tendensi agama atau golongan.
Sebagai Anak Pribumi Maluku penulis hanya ingin memaparkan 2 versi asal usul Pattimura ini
berdasarkan hasil penelusuran penulis terhadap sejarah Pattimura yang penulis temukan dari beberapa Blog
yang beberapa diantaranya bukanlah blog yang bersifat independen melainkan Blog bertendensi pada
pencintraan suatu golongan Agama yang kemudian tidak bisa diterima sebagai kebenaran yang mutlak
tentang sejarah Pattimura

2.2 Perang Padri


2.2.1 Latar Belakang Terjadinya Perlawanan
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di daerah Minangkabau (Sumatra
Barat) dan sekitarnya terutama di kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.
Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah
agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Istilah Padri berasal dari kata Pidari atau Padre, yang berarti ulama yang selalu
berpakaian putih. Para pengikut gerakan padri biasanya memakai jubah putih. Sedangkan
kaum adat memakai pakaian hitam. Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa disebut
gerakan Padri karena para pemimpin gerakan ini adalah orang Padari, yaitu orang-orang yang
berasal dari Pedir yang telah naik haji ke Mekah melalui pelabuhan Aceh yaitu Pedir.
Adapun tujuan dari gerakan Padri adalah memperbaiki masyarakat Minangkabau dan
mengembalikan mereka agar sesuai dengan ajaran Islam yang murni yang berdasarkan Al-
Quran dan Hadist. Gerakan ini mendapat sambutan baik di kalangan ulama, tetapi mendapat
pertentangan dari kaum adat. (Mawarti, Djoened PNN, 1984:169).
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar
tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki
syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui
hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang
Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau
Nan Salapan.
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang
Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan
beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa
perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu
beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum
Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah
peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa
menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yang pernah
mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-
sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.

2.2.2 Tokoh / Pemimpin Perang Padri


Adanya perselisihan antara kaum adat dan kaum padri sebagai akibat dari usaha yang
dilakukan kaum padri untuk memurnikan ajaran Islam dengan menghapus adat kebiasaan
yang tidak sesuai dengan ajaran islam.
Campur tangan belanda dengan membantu kaum adat .Pertempuran pertama terjadi
dikota lawas kemudian meluas ke daerah daerah lain. Sehingga muncul pemimpin pemimpin
yang mendukung gerakan kaum padri seperti Datuk Bandaro, Datuk Malim Basa
(Imam Bonjol), Tuanku pasaman, Tuanku Nan Rencek, Tuanku Nan. cerdik, dan
Tuanku Nan Gapuk.

2.2.3 Proses Perlawanan


Musuh kaum Padri selain kaum adat adalah Belanda. Perlawanan dimulai
tahun1821 Kaum Adat yang mulai terdesak dengan serangan Kaum Padri, meminta bantuan
kepada Belanda. Kaum Padri memulai serbuan ke berbagai pos Belanda dan pencegatan
terhadap patrol Belanda. Pasukan Padri bersenjatakan senjata tradisional, sedangkan
musuhnya menggunakan meriam dan jenis senjata lainnya yang sudah dibilang cukup
modern. Pertempuran banyak menimbulkan korban kedua belah pihak. Pasukan Belanda
mendirikan benteng pertahanan di Batu sangkar diberi nama Fort Van Der Capellen.
Benteng pertahanan kaum Padri dibangun di berbagai tempat, antara lain Agam dan
Bonjol yang diperkuat dengan pasukan yang banyak. Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum
Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh
sebab itu Belanda melalui wakilnya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu
itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan mengadakan "Perjanjian
Masang" pada tanggal 15 November 1825 dan diingkari oleh Belanda sendiri.
Pada April 1824 Raaf meninggal digantikan oleh Kolonel De Stuers. Dia membangun
Benteng Fort De Kock,di Bukit Tinggi. Hal ini dilakukan karena disaat bersamaan
Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Jawa
yaitu Perang Diponegoro.

Tahun 1829 daerah kekuasaan kaum Padri telah meluas sampai ke Batak Mandailing,
Tapanuli. Di Natal. Tapanuli Baginda Marah Husein minta bantuan kepada Kaum Padri
mengusir Gubernur Belanda di sana. Maka setelah selesai perang Diponegoro, Natal di
bawah pimpinan Tuanku Nan Cerdik dapat mempertahankan serangan Belanda di sana.
Tahun 1829 De Stuers digantikan oleh Letnan Kolonel Elout, yang datang di Padang Maret
1931. Dengan bantuan Mayor Michiels, Natal dapat direbut, sehingga Tuanku Nan Cerdik ke
Bonjol. Banyak kampung yang dapat direbut Belanda. Tahun 1932 datang bantuan dari Jawa,
di bawah Sentot Prawirodirjo. Dengan cepat Lintau, Bukit, Komang, Bonjol, dan hampir
seluruh daerah Agam dapat dikuasai oleh Belanda. Melihat ini baik Kaum Adat dan Kaum
Padri bersatulah mereka bersama-sama menghadapi penjajah Belanda.

2.2.4 Akhir Perlawanan


Setelah daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda, serangan ditujukan
langsung ke benteng Bonjol. Membaca situasi yang gawat ini, Tuanku Imam Bonjol
menyatakan bersedia untuk berdamai. Belanda mengharapkan, bahwa perdamaian ini disertai
dengan penyerahan. Tetapi Imam Bonjol berpendirian lain. Perundingan perdamaian ini
adalah siasat mengulur waktu, agar dapat mengatur pertahanan lebih baik, yaitu membuat
lubang yang menghubungkan pertahanan dalam benteng dengan luar benteng, di samping
untuk mengetahui kekuatan musuh di luar benteng. Kegagalan perundingan ini menyebabkan
berkobarnya kembali pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837.
Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng Bonjol,yang
didahului dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng Bonjol tidak banyak
menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat. Perkelahian satu lawan satu tidak dapat
dihindarkan lagi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak.Pasukan Padri terdesak dan
benteng Bonjol dapat dimasuki oleh pasukan Belandamenyebabkan Tuanku Imam Bonjol
beserta sisa pasukannya menyerah pada tanggal 25 Oktober 1937. Walaupun Tuanku Imam
Bonjol telah menyerah tidak berarti perlawanan kaum Padri telah dapat dipadamkan.
Perlawanan masih terus berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusi pada tahun 1838.
Setelah itu berakhirlah perang Padri dan daerah Minangkabau dikuasai oleh Belanda.

2.3 Perang Diponegoro


2.3.1 Latar Belakang Terjadinya Perlawanan
Sejak kedatangan Belanda di Jawa Tengah, kerajaan Mataram mengalami kemerosotan.
Wilayah kerajaan semakin sempit karena banyak daerah diambil alih oleh Belanda sebagai
imbalan atas bantuannya. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Belanda ini menimbulkan
rasa benci dari golongan-golongan rakyat banyak atau rakyat jelata. Walaupun keadaan sudah
mulai panas namun golongan-golongan itu masih menunggu datangnya seorang Ratu Adil
yang dapat memimpin mereka dalam menghadapi Belanda. Tokoh yang diharapkan itu adalah
dari kalangan istana yang tampil ke depan untuk memimpin mereka, beliau adalah Pangeran
Diponegoro.
Latar Belakang Perang Diponegoro Ada beberapa hal yang menyebabkan Pangeran
Diponegoro turun tangan dan memimpin perlawanan terhadap Belanda.
A. Sebab-sebab Umum
- Kekuasaan raja Mataram semakin kecil dan kewibawaannya mulai merosot. Bersamnaan
dengan itu terjadi pemecahan wilayah menjadi empat kerajaan kecil, yaitu Surakarta,
Ngayoyakarta , Mangkunegara dan Paku Alaman.
- Kaum bangsawan merasa dikurangi penghasilannya, karena daerah-daerah yang dulu dibagi-
bagikan kepada para bangsawan, kini diambil oleh pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda
mengeluarkan maklumat yang isinya akan menguasahakan perekonomian sendiri, tanah milik
kaum partikelir (swasta) harus dikembalikan kepada pemerintah Belanda. Sudah tentu
tindakan ini menimbulkan kegelisahan diantara para bangsawan, karena harus
mengembalikan uang persekot yang telah diterima.
- Rakyat yang mempunyai beban seperti kerja rodi, pajak tanah dan sebagainya merasa
tertindas. Begitu pula karena pemungutan beberapa pajak yang di borong oleh orang-orang
Tionghoa dengan sifat memeras dan memperberat beban rakyat.
B. Sebab-sebab Khusus
Sebab-sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro adalah pembuatan jalan yang melalui
makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegal Rejo. Patih Danurejo IV (seorang "kaki
tangan" Belanda) memerintahkan untuk memasang patok-patok di jalur itu. Pangeran
Diponegoro memerintahkan untuk mencabutnya, namun potok-patok itu dipasang kembali
atas perintah Patih Danurejo IV. Keadaan seperti ini berlangsung berkali-kali, sehingga
akhirnya patok-patok itu diganti dengan tombak. Dengan penggantian patok itu menandakan
kesiapan Pangeran Diponegoro untuk berperang melawan Belanda. Peperangan tidak dapat
dielakan lagi dan pasti akan terjadi. Tetapi Belanda berusaha menghadapi kemelut antara
kedua bangsawan tersebut dan mengharapkan tidak terjadi peperangan. Untuk itu Belanda
mengutus Pangeran Mangkubumi (paman dari Pangeran Diponegoro) untuk membujuknya
agar mau bertemu dengan residen Belanda di Loji. Pangeran Diponegoro menolak tawaran
itu karena tahu arti semua yang dimaksud oleh Belanda. Ketika pembicaraan antara Pangeran
Mangkubumi dengan Pangeran Diponegoro berlangsung, Belanda tiba-tiba telah melakukan
serangan.

2.3.2 Tokoh / Pemimpin Perang


Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat
"Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah
dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan
Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin
spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi
dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro mendapat dukungan dari rakyat, ulama dan
juga kaum bangsawan. Dari kaum bangsawan ada Pangeran Mangkubumi, Pangeran
Joyokusumo dan lain-lain. Sementara dari kaum ulama ada Kiai Mojo, Haji Mustopo, Haji
Badaruddin dan Alibasha Sentot Prawirodirdjo.

2.3.3 Proses Perlawanan


Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-
pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan
dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front
pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung
sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang
hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu
pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk
menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutandan di
dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang
berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi
yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak
tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan
strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-
bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai
"senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan
usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat
gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan
"musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa
pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan
dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut,
memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin
perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang
pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu
hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas
seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut
kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam
sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode
perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan
penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang
suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum
pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war)
melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka
yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) di mana
kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan
kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan
menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai
Modjo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian
PangeranMangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah
kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit
pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia
menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran
Diponegoro ditangkap dan diasingkan keManado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga
wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa
ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu
berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.[10] Setelah perang berakhir,
jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Karena bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak,
konon keturunan Diponegoro tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton hingga Sri Sultan
Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro dengan
mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak
cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka,
tanpa rasa takut akan diusir.

2.3.4 Akhir Perlawanan


Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat.
Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum
Adat (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-
mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belanda masuk dan
mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda harus melawan baik kaum
adat dan kaum paderi, yang belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak:
babak I antara 1821-1825, dan babak II.
Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai
perang di Sumatera Barat untuk menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan
gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari
Sumatera Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir (1830),
kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri babak kedua. Pada
tahun 1837 pemimpin Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol akhirnya menyerah. Berakhirlah
Perang Padri.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Akhirnya pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam
Bonjol berhasil ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng
terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu , yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai
jatuh pada 28 Desember 1838. Hancurnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai
mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah kenegeri sembilan semenanjung malaya dan
akhirnya peperangan ini dianggap selesai karena sudah tidak ada perlawanan yang berarti.

3.2 Saran
Semoga dengan dibuatnya makalah ini, kita bisa mengetahui bagaimana susahnya
pejuang Indonesia zaman dahulu merebut NKRI, dari bertaruh harta maupun nyawa.
Janganlah melupakan jasa pahlawan yang telah gugur dalam membela Indonesia dan semoga
kita bisa mengambil nilai-nilai luhur dari mereka.
DAFTAR PUSTAKA

http://iskandarberkasta-sudra.blogspot.com/2011/02/kedatangan-belanda-ke-indonesia.html
Notosusanto, Nugroho:Poesponegoro Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional
Indonesia Jilid IV. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Suyono Capt.R.P. 2003. Peperangan Kerajaan di Nusantara. Jakarta:PT Gramedia
Hanna, Williard. 1996. Ternate dan Tidore. Jakarta : PT Penebar Swadaya

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan limpahan rahmatNya-lah maka kami bisa menyelesaikan makalah dengan tepat
waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah tentang Perlawanan Terhadap
Kolonialisme Belanda, yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita
untuk mempelajari berbagai sejarah tentang cikal bakal Bangsa Indonesia dan bisa
mengetahui perjuangan dari rakyat-nya itu sendiri.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.http://warnetgadis.blogspot.co.id/
Dengan ini, kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan
semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat untuk
semua pihak. Amin.

Penulis

Anda mungkin juga menyukai