Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SEJARAH
“Perlawanan Masyarakat Sumatera Terhadap VOC”

DISUSUN OLEH :
 Zalwa Aulia Pagala
 Ilmi Bur Abidah
 Gita Satria
 Syahra Ramadhani
 Fita Arianty

KELAS XI B1
SMA NEGERI 1 POMALAA
TAHUN AJARAN 2023/2024
Kata Pengantar

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karena hanya atas


penyertaan dan bimbingan-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah berjudul “Perlawanan Masyarakat Sumatera Terhadap
VOC” ini.

Makalah ini berisi tentang hasil pengamatan yang telah


dilakukan mengenai sejarah perlawanan masyarakat nusantara
terutama masyarakat bagian Sumatera terhadap VOC. Kami
sadar bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan baik data-
data yang kurang lengkap dan sebagainya. Untuk itu kami
membutuhkan saran dan kritik demi kesempurnaan makalah ini.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang


telah membantu penyelesaian makalah ini. Semoga makalah
sederhana ini dapat berguna bagi para pembacannya.

Pomalaa, 31 Oktober 2023

i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................3
A. Perlawanan Aceh..............................................................................3
1.1 Latar belakang........................................................................................3
1.2 Kronologi...............................................................................................4
1.3 Dampak..................................................................................................4
B. Perlawanan Banten...........................................................................5
2.1 Latar belakang........................................................................................5
2.2 Kronologi...............................................................................................6
2.3 Dampak..................................................................................................7
C. Perlawanan Minangkabau................................................................8
3.1 Latar belakang........................................................................................8
3.2 Kronologi...............................................................................................8
3.3 Dampak..................................................................................................11

BAB III PENUTUP....................................................................................13


A. Kesimpulan..................................................................................................13

B. Saran............................................................................................................13

ii
DAFTAR PUSTAKA 14

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur
Belanda adalah sebuah perusahaan dagang yang didirikan oleh Belanda pada
tahun 1602. VOC memiliki hak monopoli untuk melakukan perdagangan di
Asia, terutama di Nusantara. VOC juga memiliki kekuasaan politik dan militer
yang besar, sehingga dapat mengintervensi urusan dalam negeri kerajaan-
kerajaan di Nusantara.
Sumatera adalah sebuah pulau yang memiliki banyak sumber daya alam,
seperti rempah-rempah, lada, emas, dan timah. Sumatera juga memiliki banyak
kerajaan dan daerah yang beragam, seperti Aceh, Banten, Palembang, Jambi,
Minangkabau, dan Banjar. Sumatera menjadi salah satu wilayah yang diminati
oleh VOC untuk menguasai perdagangan dan sumber daya alamnya.
Masyarakat Sumatera tidak mau tunduk kepada VOC yang ingin
menjadikan mereka sebagai bawahan dan mengambil keuntungan dari mereka.
Masyarakat Sumatera juga memiliki semangat perjuangan yang tinggi untuk
mempertahankan kemerdekaan, agama, dan adat istiadat mereka. Masyarakat
Sumatera juga mendapat dukungan dari negara-negara lain yang bersaing
dengan VOC, seperti Inggris, Prancis, Tiongkok, Siam, dan Johor.
Oleh karena itu, masyarakat Sumatera melakukan berbagai bentuk
perlawanan terhadap VOC, baik secara diplomasi, politik, ekonomi, maupun
militer. Perlawanan ini melibatkan berbagai kerajaan dan daerah di Sumatera,
yang memiliki karakteristik dan strategi yang berbeda-beda. Perlawanan ini
berlangsung sejak abad ke-17 hingga abad ke-19, dan menghasilkan berbagai
peristiwa dan tokoh yang bersejarah.

1
B. Rumusan masalah
 Apa latar belakang terjadinya perlawanan masyarakat Sumatera
terhadap VOC?
 Bagaimana kronologi terjadinya perlawanan masyarakat
Sumatera terhadap VOC?
 Bagaimana dampak perlawanan masyarakat Sumatera terhadap
VOC?
C. Tujuan Penulisan
 Untuk mengetahui latar belakang terjadinya perlawanan
masyarakat Sumatera terhadap VOC
 Untuk memahami kronologi terjadinya perlawanan masyarakat
Sumatera terhadap VOC
 Untuk mengetahui dampak perlawanan masyarakat Sumatera
terhadap VOC

2
BAB II
PEMBAHASAN
Perlawanan masyarakat Sumatera terhadap VOC adalah salah satu bentuk
perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan Belanda yang berlangsung
sejak abad ke-17 hingga abad ke-19. Perlawanan ini melibatkan berbagai
kerajaan dan daerah di Sumatera, beberapa diantaranya yaitu Aceh, Banten,
dan Minangkabau. Berikut adalah beberapa penjelasan tentang perlawanan
masyarakat Sumatera terhadap VOC:

A. Perlawanan Aceh
1.1 Latar belakang terjadinya perlawanan masyarakat Aceh terhadap VOC
Aceh adalah kerajaan Islam yang kuat dan berpengaruh di Sumatera.
Aceh menolak untuk tunduk kepada VOC yang ingin menguasai
perdagangan rempah-rempah dan lada di wilayahnya. Perang Aceh adalah
salah satu perang terpanjang dan terberat dalam sejarah Indonesia. Aceh,
yang memiliki tradisi militer dan keagamaan yang kuat dan gigih. Aceh juga
membantu kerajaan-kerajaan lain yang berperang melawan VOC, seperti
Banten, Mataram, dan Makassar. Perlawanan Aceh terhadap VOC
berlangsung sejak tahun 1612 hingga tahun 1874. Salah satu tokoh
perlawanan Aceh yang terkenal adalah Sultan Iskandar Muda yang berhasil
memperluas wilayah Aceh dan mengalahkan VOC dalam beberapa
pertempuran.

1.2 Kronologi terjadinya perlawanan masyarakat Aceh terhadap VOC

Perang Aceh berlangsung dalam beberapa fase, yang ditandai oleh


perubahan strategi, kekuatan, dan kondisi kedua belah pihak. Fase pertama

3
(1873-1874) adalah fase perang terbuka, di mana Belanda mencoba
menyerbu ibu kota Aceh, Banda Aceh, tetapi gagal. Fase kedua (1874-1896)
adalah fase perang gerilya, di mana Aceh melakukan serangan-serangan
mendadak dan bermobilitas tinggi terhadap pasukan Belanda yang
bermarkas di benteng-benteng. Fase ketiga (1896-1904) adalah fase perang
pemberantasan, di mana Belanda mengubah taktiknya menjadi lebih agresif
dan sistematis, dengan membakar desa-desa, membunuh rakyat sipil, dan
membujuk para pemimpin Aceh untuk menyerah atau berkhianat.
Perang Aceh berakhir pada tahun 1904, ketika Teuku Umar, yang telah
berpura-pura menyerah kepada Belanda dan mendapatkan senjata dan
pasukan dari mereka, kembali memberontak dan menyerang markas
Belanda di Meulaboh. Namun, ia tewas dalam pertempuran tersebut, dan
istrinya, Cut Nyak Dhien, yang juga seorang pejuang Aceh, ditangkap dan
diasingkan ke Sumatera Barat. Belanda kemudian menganggap Aceh telah
ditaklukkan dan menjadikannya sebagai bagian dari Hindia Belanda.
Namun, perlawanan Aceh terhadap penjajahan Belanda masih terus
berlanjut hingga tahun 1942, ketika Jepang menginvasi Indonesia. Rakyat
Aceh tidak pernah mengakui kekalahan mereka dan terus berjuang melawan
Belanda hingga kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

1.3 Dampak perlawanan masyarakat Aceh terhadap VOC

Dari segi politik, Aceh harus mengakui kedaulatan Belanda dan


menyerahkan seluruh wilayahnya kepada Belanda pada tahun 1904, setelah
Teuku Umar tewas dalam pertempuran melawan Belanda di Meulaboh. Aceh
menjadi bagian dari Hindia Belanda dan kehilangan kemerdekaan dan
kedaulatannya.

4
Dari segi ekonomi, Aceh mengalami kerugian besar akibat perang, karena
sumber daya alam dan perdagangan Aceh diambil alih oleh Belanda. Aceh
juga harus membayar pajak dan upeti yang tinggi kepada Belanda. Industri dan
pertanian Aceh terhambat akibat perang.

Dari segi sosial, Aceh mengalami banyak korban jiwa dan penderitaan
akibat perang. Banyak rakyat Aceh yang tewas, terluka, atau hilang akibat
perang. Banyak juga rakyat Aceh yang mengungsi, merantau, atau menjadi
tawanan, budak, atau pengasingan Belanda. Perang juga menimbulkan
perpecahan di antara masyarakat Aceh, antara yang pro dan kontra dengan
Belanda.

Dari segi budaya, Aceh mempertahankan budaya dan identitasnya sebagai


bangsa yang beragama Islam dan berjiwa pejuang. Aceh melahirkan karya-
karya sastra dan seni yang menggambarkan perjuangan dan kehidupan Aceh,
seperti syair, puisi, cerita, lagu, tari, dan senjata. Aceh juga mengembangkan
sistem pendidikan dan ibadah yang berdasarkan syariat Islam.

B. Perlawanan Banten

2.1 Latar belakang terjadinya perlawanan masyarakat Banten terhadap


VOC

Banten adalah kerajaan Islam yang menjadi pusat perdagangan di


Sumatera. Banten bersaing dengan VOC yang ingin mengendalikan
perdagangan di Selat Sunda. Banten juga bersekutu dengan Aceh dan
Mataram untuk melawan VOC.
Perlawanan Banten terhadap VOC adalah salah satu peristiwa penting
dalam sejarah Indonesia. Perlawanan ini berlangsung selama lebih dari 30

5
tahun, dari tahun 1873 hingga 1904, dan melibatkan dua generasi penguasa
Banten, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji
Banten adalah salah satu kesultanan yang sangat maju dan kaya di
Nusantara, yang menjadi pusat perdagangan internasional di Sumatera bagi
pedagang-pedagang dari Eropa dan Asia. Banten memiliki sumber daya
alam yang melimpah, seperti rempah-rempah, emas, dan lada, yang sangat
diminati oleh VOC yang ingin menguasai seluruh wilayah Indonesia,
termasuk Banten, untuk memperoleh keuntungan maksimal. VOC juga ingin
menghapus pesaing-pesaingnya, seperti Inggris, Prancis, Denmark, dan
Portugis, yang berdagang di Banten.
Banten, yang memiliki tradisi militer dan keagamaan yang kuat,
menolak untuk tunduk kepada VOC dan mempertahankan kemerdekaannya
dengan gigih. Banten juga berusaha memperluas pengaruhnya di wilayah
sekitarnya, seperti Cirebon, Priangan, dan Mataram.

2.2 Kronologi terjadinya perlawanan masyarakat Banten terhadap VOC

Perlawanan Banten terhadap VOC berlangsung dalam tiga fase, yaitu:

Fase pertama (1873-1874): Fase perang terbuka, di mana VOC


mencoba menyerbu ibu kota Banten, Banda Aceh, tetapi gagal. VOC
mengalami kekalahan besar dalam Pertempuran Kuta Reh, di mana
komandan pasukan VOC, Jenderal J.H.R. Kohler, tewas. Banten berhasil
mempertahankan kemerdekaannya dan mengusir VOC dari wilayahnya.
Fase kedua (1874-1896): Fase perang gerilya, di mana Banten
melakukan serangan-serangan mendadak dan bermobilitas tinggi terhadap
pasukan VOC yang bermarkas di benteng-benteng. Banten juga
mengembangkan hubungan dagang dengan negara-negara Asia lainnya,
seperti Cina, Persia, Benggala, Siam, dan Tonkin. VOC mengalami kesulitan

6
untuk mengendalikan wilayah Banten dan menghadapi perlawanan yang
sengit dari rakyat Banten.
Fase ketiga (1896-1904): Fase perang pemberantasan, di mana VOC
mengubah taktiknya menjadi lebih agresif dan sistematis, dengan membakar
desa-desa, membunuh rakyat sipil, dan membujuk para pemimpin Banten
untuk menyerah atau berkhianat. VOC juga memanfaatkan perpecahan
internal di Banten, antara Sultan Haji dan Sultan Ageng Tirtayasa. VOC
berhasil menangkap Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1683 dan
menjadikan Sultan Haji sebagai raja boneka di Banten. VOC kemudian
menganggap Banten telah ditaklukkan dan menjadikannya sebagai bagian
dari Hindia Belanda.
Perlawanan Banten terhadap VOC berakhir pada tahun 1904, ketika
Pangeran Purbaya, yang melanjutkan perlawanan terhadap VOC, tewas
dalam pertempuran melawan VOC di Banten. VOC kemudian menguasai
seluruh wilayah Banten dan memonopoli perdagangan di kawasan pesisir
Jawa. VOC juga menangkap dan mengasingkan para pejuang Banten yang
masih hidup, seperti Cut Nyak Dhien, istrinya Pangeran Purbaya, yang juga
seorang pejuang Banten. Namun, perlawanan Banten terhadap penjajahan
VOC masih terus berlanjut hingga tahun 1942, ketika Jepang menginvasi
Indonesia.

2.3 Dampak perlawanan masyarakat Banten terhadap VOC


Banten menjadi koloni Belanda dan kehilangan kedaulatan dan
kemerdekaan. Sistem pemerintahan adat diganti dengan sistem
pemerintahan kolonial. Wilayah Banten dibagi-bagi menjadi beberapa
daerah.

7
Perekonomian Banten hancur dan dikontrol oleh Belanda. Sumber daya
alam Banten dijadikan komoditas ekspor. Rakyat Banten dipaksa
membayar pajak dan upeti yang tinggi. Industri dan pertanian Banten
terhambat.
Banyak korban jiwa dan penderitaan akibat perang. Banyak rakyat
Banten yang mengungsi, merantau, atau menjadi tawanan, budak, atau
pengasingan Belanda.
Muncul karya-karya sastra dan seni yang menggambarkan perjuangan
Banten. Beberapa tradisi dan budaya Banten terancam punah.
Tidak ada perubahan besar dalam agama, tetapi ada perbedaan
pandangan tentang Islam antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji.

C. Perlawanan Minangkabau

3.1 Latar belakang terjadinya perlawanan masyarakat Minangkabau


terhadap VOC

Minangkabau adalah daerah yang memiliki tradisi adat dan agama yang
kuat. Minangkabau menentang VOC yang ingin mengintervensi urusan
dalam negeri dan mengubah sistem sosial dan politik di wilayahnya.
Minangkabau juga berperan dalam menyebarkan Islam dan ilmu
pengetahuan di Nusantara. Perlawanan ini dikenal sebagai Perang Padri,
yang dipicu oleh konflik antara kaum Padri (pembaru Islam) dan kaum
Adat. Salah satu tokoh perlawanan Minangkabau yang terkenal adalah
Imam Bonjol yang berhasil memimpin pasukan Padri dan menghadapi
pasukan VOC dan Adat.

Perang ini berlangsung selama lebih dari 30 tahun, dari tahun 1803
hingga 1837, di wilayah Sumatera Barat. Perang ini melibatkan tiga pihak,
yaitu kaum Padri, kaum Adat, dan VOC.

8
3.2 Kronologi terjadinya perlawanan masyarakat Minangkabau terhadap
VOC

Perang Padri disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan antara kaum


Padri dengan kaum Adat. Kaum Padri adalah kelompok yang ingin
menerapkan syariat Islam secara ketat di Minangkabau, sedangkan kaum
Adat adalah kelompok yang ingin mempertahankan tradisi dan budaya
Minangkabau yang sudah ada sejak lama.

Perbedaan ini muncul ketika beberapa orang Minangkabau yang baru


pulang dari tanah suci Mekkah, seperti Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji
Piobang, berusaha untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat adat
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti sabung ayam, judi, dan
minum-minuman keras.

Mereka bergabung dengan kelompok Harimau nan Salapan, yang


dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh, seorang ulama yang juga ingin
memperbaiki syariat Islam di Minangkabau. Mereka meminta Sultan Arifin
Muningsyah, pemimpin Kesultanan Pagaruyung, dan Tuanku Lintau,
seorang bangsawan, untuk bergabung dengan mereka dan meninggalkan
praktik adat yang tidak sejalan dengan Islam.

Namun, Sultan Arifin Muningsyah dan Tuanku Lintau menolak


permintaan mereka, karena mereka masih ingin mempertahankan adat
Minangkabau yang sudah berakar kuat di masyarakat. Mereka juga merasa
bahwa kaum Padri terlalu radikal dan mengancam kedaulatan mereka
sebagai pemimpin adat.

9
Akibatnya, terjadi konflik antara kaum Padri dan kaum Adat, yang
semakin memanas ketika Belanda ikut campur tangan. Belanda, yang saat
itu sudah menguasai Batavia, ingin menguasai seluruh wilayah Indonesia,
termasuk Minangkabau, untuk memperoleh keuntungan dari perdagangan
rempah-rempah, emas, dan lada.

Belanda menggunakan strategi adu domba, dengan mendukung kaum


Adat melawan kaum Padri, dengan harapan dapat mengendalikan
Minangkabau dengan mudah. Belanda juga memberikan bantuan militer dan
ekonomi kepada kaum Adat, dengan imbalan mendapatkan sebagian
wilayah dan hak-hak Minangkabau, seperti monopoli lada dan pelabuhan.

Ia berperan sebagai penasihat dan perantara bagi Tuanku Imam Bonjol.


Ia juga memimpin pasukan Padri dalam beberapa pertempuran, seperti
Pertempuran Rokan, Pertempuran Kampar, dan Pertempuran Kuantan. Ia
berhasil mengalahkan pasukan Belanda dan kaum Adat dalam beberapa
kesempatan. Ia menyerah kepada Belanda pada tahun 1837 dan diasingkan
ke Ambon, Maluku, di mana ia meninggal pada tahun 1847 .

Perang Padri berlangsung dalam empat fase, yaitu:

Fase pertama (1803-1819): Fase perang saudara, di mana kaum Padri


dan kaum Adat saling bertempur untuk merebut kekuasaan di Minangkabau.
Kaum Padri berhasil menguasai sebagian besar wilayah Minangkabau,
seperti Agam, Lima Puluh Kota, Tanah Datar, dan Pasaman. Kaum Adat
hanya menguasai sebagian kecil wilayah Minangkabau, seperti Pariaman,
Padang, dan Solok. Belanda belum terlibat secara langsung dalam perang
ini, tetapi sudah mulai menjalin hubungan dengan kaum Adat .

Fase kedua (1819-1821): Fase perang campuran, di mana Belanda mulai


ikut campur tangan dalam perang Padri, dengan mendukung kaum Adat

10
melawan kaum Padri. Belanda mengirimkan pasukan dan senjata kepada
kaum Adat, dengan harapan dapat mengendalikan Minangkabau dengan
mudah. Namun, Belanda mengalami kesulitan untuk menghadapi kaum
Padri, yang memiliki pasukan yang banyak dan berani. Belanda juga
menghadapi perlawanan dari rakyat Minangkabau, yang tidak menyukai
campur tangan Belanda dalam urusan mereka .

Fase ketiga (1821-1833): Fase perang penaklukan, di mana Belanda


mengubah taktiknya menjadi lebih agresif dan sistematis, dengan membakar
desa-desa, membunuh rakyat sipil, dan membujuk para pemimpin Padri
untuk menyerah atau berkhianat. Belanda juga memanfaatkan perpecahan
internal di Padri, antara Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai.
Belanda berhasil menaklukkan sebagian besar wilayah Minangkabau,
seperti Agam, Lima Puluh Kota, Tanah Datar, dan Pasaman. Kaum Padri
hanya tersisa di beberapa benteng, seperti Bonjol, Lubuk Jambi, dan
Pasaman .

Fase keempat (1833-1837): Fase perang penyerahan, di mana kaum


Padri mulai menyerah kepada Belanda, karena kehabisan pasukan, senjata,
dan harapan. Belanda berhasil menangkap Tuanku Imam Bonjol pada tahun
1837, setelah mengepung benteng Bonjol selama beberapa bulan. Belanda
kemudian menganggap Minangkabau telah ditaklukkan dan menjadikannya
sebagai bagian dari Hindia Belanda .

3.3 Dampak terjadinya perlawanan masyarakat Minangkabau terhadap VOC

Perang Padri memiliki akibat dan dampak yang besar bagi sejarah dan
kehidupan masyarakat Minangkabau, baik dari segi politik, ekonomi, sosial,

11
budaya, maupun agama. Berikut adalah beberapa akibat dan dampak perang
Padri:

Perang Padri mengakhiri kedaulatan dan kemerdekaan Minangkabau, yang


menjadi bagian dari koloni Belanda. Belanda menghapus sistem pemerintahan
adat Minangkabau, yang berdasarkan sistem matrilineal dan demokratis, dan
menggantinya dengan sistem pemerintahan kolonial, yang berdasarkan sistem
patrilineal dan otoriter. Belanda juga membagi-bagi wilayah Minangkabau
menjadi beberapa daerah, seperti Sumatera Barat, Sumatera Tengah dan
Sumatera Selatan, yang mengurangi rasa persatuan dan solidaritas masyarakat
Minangkabau.

Perang Padri menghancurkan perekonomian Minangkabau, yang


sebelumnya sangat maju dan kaya. Belanda menguasai sumber daya alam
Minangkabau, seperti rempah-rempah, emas, dan lada, dan menjadikannya
sebagai komoditas ekspor. Belanda juga memonopoli perdagangan di
Minangkabau, dan memaksa rakyat Minangkabau untuk membayar pajak dan
upeti yang tinggi. Belanda juga menghambat perkembangan industri dan
pertanian di Minangkabau.

Banyak rakyat Minangkabau yang tewas, terluka, atau hilang akibat perang.
Banyak juga rakyat Minangkabau yang mengungsi, mengembara, atau
merantau ke daerah lain, untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Banyak
juga rakyat Minangkabau yang menjadi tawanan, budak, atau pengasingan
Belanda, yang harus hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi .

Perang Padri mempengaruhi perkembangan budaya Minangkabau, baik


dari segi positif maupun negatif. Di satu sisi, perang Padri memicu munculnya
karya-karya sastra dan seni yang menggambarkan perjuangan dan kehidupan
masyarakat Minangkabau, seperti syair, puisi, cerita, lagu, tari, dan senjata. Di

12
sisi lain, perang Padri juga mengancam keberadaan beberapa tradisi dan
budaya Minangkabau yang sudah ada sejak lama, seperti sistem matrilineal,
adat perpatih, dan rumah gadang.

Perang Padri memperkuat pengaruh Islam di Minangkabau, yang menjadi


agama mayoritas di wilayah tersebut. Kaum Padri berhasil menyebarkan ajaran
Islam yang lebih murni dan sesuai dengan Al-Quran dan Hadits. Namun,
perang Padri juga menimbulkan perpecahan di antara masyarakat
Minangkabau, yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kaum Padri dan
kaum Adat, yang memiliki pandangan yang berbeda tentang Islam.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perlawanan masyarakat Sumatera terhadap VOC adalah salah satu bentuk
perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan Belanda yang berlangsung sejak
abad ke-17 hingga abad ke-19. Perlawanan ini melibatkan berbagai kerajaan dan
daerah di Sumatera, seperti Aceh, Banten, dan Minangkabau.
Perlawanan Aceh: Aceh adalah kerajaan Islam yang kuat dan berpengaruh di
Sumatera. Aceh menolak untuk tunduk kepada VOC yang ingin menguasai
perdagangan rempah-rempah dan lada di wilayahnya. Aceh juga membantu kerajaan-
kerajaan lain yang berperang melawan VOC. Perlawanan Aceh terhadap VOC
berlangsung sejak tahun 1612 hingga tahun 1874. Salah satu tokoh perlawanan Aceh
yang terkenal adalah Sultan Iskandar Muda yang berhasil memperluas wilayah Aceh
dan mengalahkan VOC dalam beberapa pertempuran.
Perlawanan Banten: Banten adalah kerajaan Islam yang menjadi pusat
perdagangan di Sumatera. Banten bersaing dengan VOC yang ingin mengendalikan
perdagangan di Selat Sunda. Banten juga bersekutu dengan Aceh dan Mataram untuk
melawan VOC. Perlawanan Banten terhadap VOC berlangsung sejak tahun 1628
hingga tahun 1683. Salah satu tokoh perlawanan Banten yang terkenal adalah Sultan

13
Ageng Tirtayasa yang berhasil membangun benteng-benteng pertahanan dan
mengobarkan perang melawan VOC.
Perlawanan Minangkabau: Minangkabau adalah daerah yang memiliki tradisi adat
dan agama yang kuat. Minangkabau menentang VOC yang ingin mengintervensi
urusan dalam negeri dan mengubah sistem sosial dan politik di wilayahnya.
Perlawanan Minangkabau terhadap VOC berlangsung sejak tahun 1821 hingga tahun
1837. Perlawanan ini dikenal sebagai Perang Padri, yang dipicu oleh konflik antara
kaum Padri (pembaru Islam) dan kaum Adat. Salah satu tokoh perlawanan
Minangkabau yang terkenal adalah Imam Bonjol yang berhasil memimpin pasukan
Padri dan menghadapi pasukan VOC dan Adat.

B. Kritik dan Saran


Demikianlah makalah ini kami susun dengan baik. Semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca. Kami menyadari makalah ini masih banyak
kekurangan, maka kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun untuk menyempurnakan makalah ini .
DAFTAR PUSTAKA
https://www.kompas.com/skola/read/2020/10/07/153350569/
perlawanan-aceh-terhadap-portugis-dan-voc?
ssp=1&darkschemeovr=1&setlang=id-
ID&safesearch=moderate

https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/23/090000479/
perang-aceh-penyebab-tokoh-jalannya-pertempuran-dan-akhir

https://www.freedomsiana.id/perlawanan-banten-terhadap-voc/

https://roboguru.ruangguru.com/forum/apa-dampak-yang-
ditimbulkan-dalam-perperangan-yang-terjadi-baik-itu-
perperangan-rakyat_FRM-8DNTRIHP

14
https://tirto.id/kronologi-sejarah-perang-padri-tokoh-latar-
belakang-akhir-f7Kg?ssp=1&darkschemeovr=1&setlang=id-
ID&safesearch=moderate

15

Anda mungkin juga menyukai